"Apa yang kamu katakan, kamu tidak punya hak untuk membawa putriku!!" Sergah Nilam hampir membentak.
Kedua mata Ferran dan Nilam saling beradu tajam.
"Sudah jelas dengan apa yang saya katakan. Saya akan membawa Marie dari rumah kalian." Tegas Ferran sekali lagi.
"Tidak,-"
Ucapan Nilam terpotong oleh deheman dari Axel.
&nb
Ferran, Abigail dan Aldrich keluar dari mobilnya masing-masing. Di tangan Ferran sudah terdapat boneka sapi berukuran besar, sebuket bunga mawar putih, dan di saku celananya terdapat sekotak cincin yang berisi sepasang cincin. Ketiganya berjalan menuju rumah sakit, namun ternyata mereka disambut oleh beberapa wartawan dengan kamera dan juga cercaran pertanyaan mereka pada Ferran, Abigail dan Aldrich. "Kenapa bisa banyak wartawan di sini?" Bisik Abigail tidak suka. Dia memang paling anti dengan lampu sorot kamera wartawan. &nbs
Hening. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun saat Marie yang dengan tanpa ragu mengakui jati dirinya, menolak bertunangan dan juga meminta Ferran untuk mencari perempuan lain. Marie tidak ingin ada kebohongan. Jika Ferran dan keluarganya mengetahui fakta tersebut dari orang lain, mungkin akan membuat Ferran lebih syok. Marie menundukkan wajahnya, lalu dia menarik napas dengan kasar. Marie mengangkat wajahnya dengan senyum yang dia sunggingkan dengan manis.
Satu minggu kemudian Marie menggeliat, dia menguap dan membuka matanya secara perlahan di kala mendengar alarmnya berbunyi. Menandakan dia harus bangun, mandi, dan bersiap pergi ke sekolah. Setelah matanya terbuka sempurna, bibirnya tersenyum lebar saat melihat sosok di sampingnya. Nilam dengan kue tart di tangannya, plus sebuah lilin kecil di atas kue tersebut. "Ma...," "Selamat ulang tahun, putri mama..."
Marie melangkahkan kakinya menuju kelas. Ia tetap menatap lurus saat melintasi kelas IPS, di mana para murid perempuan berbisik-bisik sambil menatap tidak suka padanya. Siapa lagi kalau bukan genknya Dhea. "Jadi sekarang lo itu tunangan pak Ferran?" Marie mencoba tidak menghiraukannya, namun dia berhenti ketika mendengar seruan Dhea selanjutnya. "Wah, nyonya pemilik sekolah sombong bener ya?! diajak ngomong kok nyelonong terus, gak sopan." Marie menoleh pada Dhea, &
Ferran mengecup lembut bibir Marie. "Terima kasih. Aku tidak akan pernah bisa melupakan pengalaman pertama kita ini." Marie mengangguk, Ferran menghapus air mata yang keluar dari sudut mata Marie. "Aku janji tidak akan pernah meninggalkan kamu." "Iya Ferran..." Ferran meraih pipi Mar
"Kamu sangat terlihat berseri sekali, boy?" "Really?" Balas Ferran dengan senyum lebar, sembari memasukan potongan daging ke dalam mulutnya. Aldrich memicingkan matanya penuh selidik, Abigail memerhatikan ayah dan anak itu secara bergantian, kemudian menghela napasnya dengan kasar. Aldrich menyeringai tanpa menghilangkan fokusnya dari Ferran yang masih asik dengan makanannya. "Jadi, perjaka kita sudah tidak perjaka lagi?"
Bell istirahat berbunyi. "Cha, Sil, kantin." Shela beranjak, begitu juga dengan Icha dan Sesil. Marie memasukan semua bukunya ke dalam tas. Marie tersenyum ketika menyadari kalau ketiga sahabatnya menjaga jarak dengannya. Sedari duduk di bangkunya, mereka tidak ada yang mengajaknya bicara dan sekarang mereka juga tidak menghiraukannya untuk pergi ke kantin bersama. Marie menarik napas secara perlahan. Dia mencoba menyunggingkan senyumnya, mencoba berpikir positif kalau semua baik-baik saja. &
45"Kalian ngejauhin Marie?" Marie menatap nanar ketiga sahabatnya. Shella, Sesil, dan Icha. Mereka bertiga sedang berada di sebuah taman di belakang sekolah yang jarang dikunjungi murid. Salah satu tempat favorit mereka. "Kalian semua bilang kita akan temenan selamanya, tapi kenapa sekarang kalian ngejauhin Marie? Apa salah Marie? Apa karena Marie bukan anak kandung papa Dion? Atau,- Kalian malu, karena Marie anak hasil kejahatan dari seorang penjahat?" Marie ternyata tidak tahan karena terus tidak diacuhkan oleh ketiga sahabatnya s