Marie baru memasuki sekolah. Ia mengernyit ketika mendapati mading sekolah dipenuhi oleh siswa.
"Pantes aja ya si Amanda bisa sekolah di sini. Ternyata anak rampok!"
"Najis banget gak sih, kita satu sekolah sama anak penjahat?"
"Bukannya si Amanda dapet beasiswa ya di sini?"
"Bodolah masalah itu. Yang penting gue kagak ridho sekolah kita di sekolahin sama anak rampok."
Itulah sayup-sayup yang Marie dengar dari siswa-siswa yang ia lewati.
Marie mengernyit. Ia penasaran. Marie pun berjalan cepat menuju mading.
Ia menjijitkan kakinya untuk memastikan kasak-kusuk yang Marie dengar. Dia bisa saja bertanya sama yang lain. Tapi, takut ghibah. Jadi lebih baik pastikan sendiri.
Dan di mading terdapat artikel tentang penangkapan perampok yang terdiri dari 5 orang. Fokus Marie pada seorang pria setengah baya yang dilingkari oleh spidol merah. Marie melirikan matanya pada foto di sebelah artikel tersebut.
Marie menarik napas berat. Foto itu adalah foto perampok yang ditandai bersama Amanda.
"Kasian pasti dibully." gumam Marie.
Marie keluar dari kerumunan.
"Permisi."
Marie tersenyum pada teman-temannya yang mengajaknya tersenyum. Marie tidak mengenal mereka tapi mereka mengenalnya. Bergabung dengan genk Princess menjadikannya terkenal di sekolah.
"Marie, Amanda itu satu kelas sama lo ya?" tanya seorang cewek ketika Marie berjalan melewatinya.
"Iya." jawab Marie singkat.
"Dih gak nyangka ya di kelas lo ada anak penjahat. Malu-maluin aja!"
"Gak apa-apa. Yang penting Marie masih sekelas sama anak manusia. Marie pergi dulu ya."
Marie pamit dengan ramah, berjalan menuju kelas.
"Marie!"
Marie menoleh. Eza.
Marie tersenyum. Cowok itu berlari menghampirinya.
"Sendirian? Ke mana yang lain?"
"Marie baru dateng. Telat. Eza mau ke Shella ya?"
"Oh.. Maunya ke elo." kekeh Eza.
Marie hanya tersenyum kecil. Kalau cewek lain digituin mungkin sudah deg-degan. Apalagi Eza termasuk cowok terganteng dan terkenal di sekolahnya.
Tapi Marie merasa biasa saja mau di gituin sama cowok mana pun. Tenang saja Marie masih sangat normal. Marie hanya terlalu sayang sama pacarnya, Ferran.
"Gosip Amanda rame. Gak nyangka cewek introvert itu ternyata anak rampok." Kata Eza mengalihkan pembicaraan ketika menyadari Marie tidak tertarik dengan gombalannya.
"Jangan ngomongin Amanda, Za. Kasian. Udah banyak yang ngomongin dia. Kita gak usah ikut-ikutan ngomongin." timpal Marie prihatin.
"Tau gak kenapa gue suka sama lo?"
Marie menoleh pada Eza,
"Lo baik banget. Sesuai dengan nama genk lo. Princess. Lo selalu berpikiran positif dengan orang-orang di sekitar lo, padahal belum tentu mereka berpikiran positif juga sama lo."
"Berpikiran positif bisa membuat hidup lebih ringan." jawab Marie singkat. Eza tersenyum.
"Kamu ada apa nyamperin Marie?" tanya Marie kemudian.
"Gak ada apa-apa. Gue tadi cuman liat lo. Gue anterin ke kelas ya?"
"Nanti Shella salah paham loh, Za."
"Gue sama Shella belum jadian. Masih ragu. Soalnya gue sukanya sama lo." aku Reza.
Marie hanya menipiskan bibirnya. Ia tidak tau harus menanggapi bagaimana.
Dalam diam, keduanya berjalan beringan menuju kelas Marie. Tapi begitu sampai di kelas. Marie terbelalak melihat pemandangan di dalam kelasnya,
Amanda dibully hampir oleh teman sekelasnya yang diketuai sahabatnya, Shella, Icha dan Sesil.
"Jangan robekin buku-buku aku, La, aku gak punya lagi uang buat belinya." Pinta Amanda dengan memohon di tengah isak tangisnya.
"Masa anak rampok gak punya duit? Ops sorry, bokap lo nya udah ditangkep police. Kesian..."
Shella dan anak-anak lain tertawa. Amanda menutup wajahnya menggunakan kedua tangan. Dia menangis sesegukan.
"Gila ya?! Lo ternyata bisa sekolah di sini hasil dari rampok, Man! Pantes aja sih, orang semiskin lo mana bisa sekolah di sini kalo dari duit halal. Ibu lo aja cuman buruh cuci, ya mau gak mau bokap lo ngerampoklah." hina Sesil.
"Lo cuman cemar buat sekolah kita tau ga?! Ibarat bunga bangke, yang gak ada manfaat tapi nyebarin baunya doang. Itu elo buat sekolah kita." Shella menoyor kepala Amanda yang diikuti oleh teman-temannya yang lain, tidak hanya Icha sama Sesil saja.
Sedangkan yang cowok menyoraki Amanda. Benar-benar Amanda yang malang.
"Marie, gue balik ke kelas ya. Kelas lo lagi rusuh." pamit Eza. Marie mengangguk. Lalu Marie masuk ke dalam kelas setelah Eza pergi.
"Eh Marie, lo baru dateng? Lo udah tau belum, ternyata si cupu yang suka lo tolongin ini adalah anak rampok?" terang Icha ketika melihat keberadaan Marie.
"Iya udah tau kok, di mading Marie liat beritanya."
"Gak beres banget gak sih ni orang?"
Marie mengangguk, tidak ingin berargumen. lalu dia berjongkok mengambil salah satu buku milik Amanda di lantai yang sebagian sudah rusak di sobek.
Marie membolak-balikan buku tersebut,
"Ngapain sih lo?" tanya Shella menyuarakan suara semua orang yang terheran dengan tingkah tidak jelas Marie.
"Cari contekan. Marie belum ngerjain PR pak Samsul."
Senyap.
Dan didetik selanjutkan kelas kembali gaduh karena mereka baru sadar dengan PR kimia yang belum dikerjakan. Bukan apa, Pak Samsul adalah guru terkiller Pelita, tidak mengerjakan PR taruhannya nama baik. Siswa akan dibuat sengsara dengan dihukum melompat kodok di lapangan sebanyak 3 putaran, dengan sebuah karton di dada yang bertulis 'SAYA RELA TIDAK NAIK KELAS KARENA MALAS'. Mana capek. Malulah yang jelas.
Suasana kelas pun menjadi genting, buku di tangan Marie direbut Shella.
"Gue juga nyontek!"
"Iya...." Marie tersenyum tipis.
Marie menoleh pada Amanda yang sedang memerhatikannya lekat. Marie tersenyum simpul pada Amanda sebelum ikut bergabung dengan teman-temannya untuk mengerjakan PR kimia-nya. Setidaknya ia berhasil mengalihkan perhatian teman-temannya dari pembullyan terhadap Amanda.
*****
Marie membuka pintu toilet perempuan dengan perlahan. Dia menghela napas berat saat mendengar sebuah isakan di salah satu bilik. Itu Amanda. Marie terdiam di depan cermin.
"Benci banget sama ayah. Gara-gara ayah aku semakin di bully." Isak Amanda di dalam bilik toilet,
"Kalo bukan karena beasiswa, aku gak mau sekolah di sini. Sekolah ini memang bukan untuk orang miskin."
Amanda terus berbicara menumpahkan isi hatinya. Termasuk bagaimana cara dia membeli buku-bukunya yang di rusak Shella dan yang lain. Tak berselang lama Amanda keluar.
Amanda sempat terkejut saat mendapati Marie yang sedang mencuci wajah di depan cermin. Amanda mendekat untuk ikut membasuh wajahnya yang sembab.
"Marie, makasih yang tadi." gumam Amanda dengan suara parau. Setelah keduanya menyeka air di wajahnya dengan tisu.
"Justru Marie yang makasih sama Manda yang udah ngebolehin kita semua nyontek PR Manda."
"Itu udah biasa kan?!" kekeh Amanda dengan kecut.
"Iya juga sih. Habis cuman Manda yang pinter dan dermawan di kelas." sahut Marie ikut tertawa kecil.
Amanda tersenyum sembari menghapus air matanya yang kembali mengalir.
"Btw, Marie boleh minta tolong sama Manda gak?"
"Minta tolong apa?"
"Tolong kerjain makalah bahasa inggris Marie ya."
Tanpa kata, Marie menyelipkan 15 lembar uang 100 ribuan ke tangan Amanda.
"Marie, ini... Kamu apa-apaan?! Aku gak mau dikasihani,-"
"Enggak kok. Tapi itu upah buat Manda ngerjain makalah Marie."
Amanda terdiam sejenak dengan memerhatikan uang di tangannya sebelum menimpali,
"Tapi ini terlalu banyak..." gumam Amanda dengan parau.
Marie tersenyum,
"Itu juga termasuk bayaran Manda nyariin bahan buat presentasi biologi minggu depan. Terus kerjain juga PR fisika sama matematika. Manda tau kan gimana kondisi otak Marie? Jadi tolong bantu Marie."
Amanda mengangguk dengan bibir menipis manis. Marie lega.
"Gimana Manda mau? Tapi jangan di benerin semua. Manda kerjainnya ala-ala Marie aja tapi bagusin dikit."
Amanda terkekeh haru. "Makasih ya Marie, kamu memang baik banget "
Marie hanya meresponsnya dengan tersenyum.
"Marie, kamu gak jijik sama aku? Aku anak rampok, Marie..."
"Anak rampok juga tetep anak manusia kan? Kalo Manda anak amoeba mungkin baru Marie jijik sama Manda."
Amanda terkekeh dengan jawaban konyol Marie, begitu pun dengan Marie. Tapi lama-lama keduanya tertawa keras. Geli dengan pernyataan Marie.
"Oh ya Manda mau masuk ke kelas lagi? Kalo mau kita bareng." tawar Marie setelah tawa mereka reda.
"Gak usah. Kamu duluan aja. Genk kamu gak bakalan suka kalo liat kita barengan. Aku takut kamu diapa-apain sama mereka."
Marie tersenyum lebar. Dia merasa dipedulikan oleh orang yang tidak terlalu saling mengenal. Cukup mengharukan. Ya, walau satu kelas Marie dan Amanda memang tidak terlalu dekat. Mereka cuma berbicara jika sedang perlu, atau sekedar basa-basi.
"Maafin temen-temen Marie ya. Sebenarnya mereka baik. Cuman masih terpendam aja. Harus sabar."
"Iya Marie,"
"Kalau begitu Marie balik ke kelas duluan ya, Man."
Amanda mengangguk, mengiyakan. Marie pun membalikkan tubuhnya. Ia langsung mengurungkan langkahnya saat mendapati sosok di depan toiletnya.
Ferran berdiri tidak jauh di hadapannya dengan setelan jas rapih berwarna abu. Sangat tampan.
Marie menelan salivanya saat menyadari tatapan tidak bersahabat dari Ferran. Bagaimana bisa Ferran berada di sekolahnya? Tidak biasanya. Lalu apa pacarnya itu mendengar semuanya? Apa pacarnya itu juga ikut membenci apa yang dia lakukan? Baik pada anak perampok? Soalnya Ferran tidak terlalu menyukai jika dirinya terlalu baik,-
"So proud of you."
Kalimat dari gerakan bibir tanpa suara Ferran membuat langsung Marie menghentikan pikiran buruk pada pacarnya itu. Marie terkesima. Ferran tesenyum sambil menggerakan lidahnya, menjelajahi bibir merahnya yang menggoda.
"YA TUHAN, TOLONG KUATKAN IMAN Marie!"
Marie berlari kabur dari pesona sang pacar. Sementara Ferran terkekeh dengan menggelengkan kepalanya sembari berlalu menuju toilet pria.
'Aku tunggu di gang block D deket sekolah. Sekarang.' Marie memasukan HP-nya ke dalam saku hoodie -nya. Marie celingak celinguk melihat sekitar. Aman. Marie pun berjalan menuju lokasi yang dikirim oleh Ferran. Marie tersenyum saat melihat sebuah mobil rover hitam ber-plat B 1C-RY. Kalau ada yang ngeh plat mobil Ferran adalah namanya, C-RY (Marie) sedangkan angka 1. Katanya Marie nomer satu di hidupnya. F
8 Nilam memerhatikan kedua putrinya dengan kening mengernyit. Putri sulungnya, Shirin terlihat bersemangat dan berseri-seri. Anak itu pun menyantap makanannya dengan lahap, biasanya Shirin selalu makan sesuai takaran yang di anjurkan oleh agensi model tempatnya bernaung. "Shirin, kamu sudah tidak diet lagi?" tanya Nilam dengan semringah, akhirnya anak sulungnya bisa terlepas dari bahaya anoreksia. "Sekali-kali, Ma. Shirin lagi happy." Senyum Nilam sedikit memudar, tapi hatinya senang melihat
Hari ini pak Samsul Sang Guru kimia yang killer tidak mengajar. Kabarnya istrinya sedang sakit. Pelajaran pun bebas. Jadi kelas XI IPA 2 sangat ribut sekali dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bermain gitar, bernyanyi tidak karuan, menari di atas meja, atau bergosip sembari makeup-an. Contohnya Shella, Icha dan Sesil, mereka sangat asyik memamerkan alat make up yang baru dibelinya. Sedangkan Marie, hanya mencorat-coret buku tulisnya sembari sesekali menimpali cuapan sahabat-sahabatnya itu sekenanya yang membuat kesal mereka. Akhirnya ketiga gadis itu pun memilih tidak mengacuhkan Marie yang sedang badmood. Tiba-tiba, tanpa permisi segerombolan siswa dari kelas lain masuk dengan angkuh. Kelompok siswa kaya. Sudah biasa seperti itu di Pelita. Sekolah ini m
Ferran sedang terdiam di balkon studio miliknya sembari mengisap sebuah rokok dengan memandangi lampu kota. Pikirannya menerawang. Sudah beberapa hari dia hampir tidak menemukan senyum tulus dari gadisnya, bersamaan dengan beredarnya foto skandal dirinya dan Shirin yang mencuat di media. Apa Marie mengetahui perselingkuhannya dengan Shirin? Tidak. Tidak. Tidak. Marie pasti tidak tau, gadisnya hanya sedang badmood seperti yang dia katakan. Ini juga bukan kali pertama Marie-nya bersikap aneh seperti ini. Tapi.... Perkataannya dia kemarin sangat tidak biasa. Secara tidak langsung Marie meminta putus dengan wajah.... Sendu. Bukan dengan cara polos seperti biasa.
"Kami sudah mendapatkan 500 tandatangan dari semua murid Pelita pak, untuk mengeluarkan Amanda keluar dari sekolah. Ini belum semua. Karena kelas XI IPA 2. Ingin keputusan lewat sidang yang melibatkan seluruh perwakilan sekolah." Dea menyerahkan sebuah proposal pada kepala sekolah. Sesuai permintaan Marie, mereka semua kini telah berkumpul di auditorium sekolah. Pak Adnan membenarkan kacamatanya sebelum memeriksa isi dokumennya. "Semuanya berisi tandatangan, pak." Pak Adnan menyerahkannya pada Ferran.  
Usis 5 tahun "Papa, Shirin mau boneka beruang paling besar itu!" Shirin menunjuk boneka yang di inginkannya pada Dion. Mereka sekeluarga sedang berjalan-jalan di mall. Termasuk Marie dan Nilam. "Iya sayang." Dion pun langsung memanggil seorang pramuniaga agar mengambilkannya. "
Marie mengecup bibir Ferran. Kecupan yang tidak sampai satu detik tapi membuat tubuh Ferran seperti tersengat aliran listrik. Seperti orang bodoh, tanpa sadar Ferran memegangi bibirnya, layaknya seseorang yang baru saja menerima ciuman pertamanya. Marie mengernyit. "Ciumannya tidak enak ya?" tanyanya ringan membuyarkan rasa terkejut Ferran. Ferran terkekeh. Untung saja pacarnya itu sangat
Ferran menghentikan mobilnya beberapa block dari rumah Marie. "Sayang, kamu yakin tidak mau aku antar sampai rumah?" Marie menggeleng. "Kan Ferran tau, kita masih backstreet." Marie mengusap pipi Ferran dengan lembut. Ferran menarik napas. Dia meraih tangan Marie di pipinya, lalu menciumnya. "Hati-hati."