Marie dan Ferran menghabiskan waktu libur mereka di apartemen milik Ferran, seperti biasa. Mau bagaimana lagi, Marie tidak ingin mengekpos hubungan mereka berdua.
Kalau pun mereka kencan di luar hanya untuk sekedar nonton atau karoke untuk menghabiskan waktu berdua, mereka pun akan berjalan terpisah. Biar tidak masuk lambe turah kata Marie. Ferran hanya bisa mangut. Bagaimana lagi, ia sudah menjadi bucin-nya Marie Alexandria. Si polos yang menggemaskan.
Ferran sedang bermain video game sembari tiduran di sofa dengan Marie di pelukannya. Yang diawasi oleh Marie, si anak asuh memperhatikan di bawah kakinya dan Marie.
Kucing yang menjadi saksi pertemuan pertamanya dengan Marie-nya. Ferran benar-benar merawat anak kucing yang Marie temukan di jalan beberapa tahun lalu. Dan ia memberi nama kucing itu dengan nama Marie. Karena hanya nama itu yang ada di otaknya setelah pertemuan mereka.
Ferran beberapa kali mencium puncak kepala Marie yang setia ikut memerhatikannya bermain playstation. Gemas.
"Ferran laper...." keluh Marie kemudian.
Ferran melirik beberapa cangkang cemilan di atas meja.
"Memangnya kamu belum kenyang? Cemilan kamu yang ngabisin semua,"
"Belum... Memang chiki bisa bikin kenyang?"
Ferran hanya mengangguk tanpa menghilangkan fokus memainkan gamenya.
"Ferran! Laper ihh!"
"Bentar lagi ya, sayang..., tanggung."
"Ferran mah gak pengertian, orang laper banget!" gerutu Marie dengan ketus.
Ferran mengecup puncak kepala Marie,
"Delivery aja ya?"
"Gak mau. Pengen nasi goreng buatan Ferran. Kangen."
"Sekarang banget, yang? Lagi seru nih."
"Sekarang Ferran. No debat!"
Ferran mendesah. Akhirnya ia pun mengalah. Ferran mengesave game-nya lalu bangkit dari rebahannya, sementara Marie masih tiduran di sofe.
"Pedes gak?" tanya Ferran kemudian,
"Pedes dong. Kecapnya yang banyak ya, Cho."
"Baik Nyah." sahut Ferran mendrama. Marie terkekeh.
Ferran pun berjalan menuju dapur.
"Gantinya Marie beresin kamar Ferran ya?" bujuk Marie.
"Gak usah. Nanti kamu capek."
"Enggak kok, kalau ikhlas gak capek."
Kata-kata favorit Marie. Ferran tersenyum mengiyakan. Marie pun bangkit dari sofa lalu berjalan ke kamar Ferran. Sedangkan Ferran memasak nasi goreng untuk Marie dan untuknya. Ternyata setelah lepas dari main game-nya, ia juga baru merasakan lapar.
Tak lama Marie keluar dari kamar Ferran. Dengan cemberut gadis itu menghampiri Ferran di dapur.
"Sudah rapi. Nyebelin."
Ferran terkekeh, "Memang sejak kapan kamarku berantakan?"
"Terus Marie harus ngapain dong?"
"Tungguin aku masak saja."
"Gak mau, tambah laperrr." rengek Marie.
Ferran mengacak-ngacak rambut pacarnya dengan gemas. Apalagi melihat bibir Marie yang maju cemberut. Lucu. Tambah cantik.
"Itu di meja ada bekas cemilan kamu, kenapa gak diberesin?" kata Ferran memberi saran.
"Oh iya.... Marie beresin ya."
Dengan riang Marie menuju ruang TV,
"Marie juga belum dikasih makan." tambah Ferran setengah berteriak.
"Marie kan memang belum dikasih makan sama Ferran." protes Marie balas berteriak.
"Maksudnya Marie kucing kita, sayang..." ralat Ferran.
"Nyebelin! Kenapa sih Ferran kasih nama Marie sama Marie?"
"Biar inget terus sama kamu."
"Ih Ferran nyebelin. Blushing kan jadinya. Pipi Marie panas." aku Marie polos.
Ferran tertawa pelan, "I love you, sayang."
"I love you too, Ferran..."
Meskipun Ferran merasa seperti mengasuh anak daripada pacaran dengan Marie, tapi Ferran sangat menikmati hubungannya bersama gadisnya itu.
Ferran yang selalu dipusingkan oleh kuliah S2 dan pekerjaan, akan selalu merasa lebih ringan jika sudah melihat Marie. Baik itu melihat langsung atau hanya melalui video call.
Ferran selalu suka dengan Marie yang cmenceritakan hari-harinya dengan cerewet. Dari mulai bangun tidur sampai tidur kembali. Mungkin bagi sebagian orang mendengar ocehan saat penat oleh pekerjaan akan kesal, tapi tidak dengan Ferran, justru Marie seperti obat penat untuknya.
Bahkan demi bersama Marie, Ferran menolak mentah-mentah semua beasiswa yang dia dapatkan dari berbagai universitas bonafide di luar negeri. Sampai ibunya, Abigail ngambek selama satu minggu padanya karena menolak kesempatan bagus itu. Sedangkan ayahnya, Aldrich, ia adalah ayah tersantai di dunia. Selalu mendukung jalan yang dipilih oleh anak-anaknya.
Dan itu semua Ferran lakukan demi Marie. Meskipun tidak ada yang tau, karena hubungan backstreet yang dijalani keduanya. Termasuk Evan, sahabatnya sendiri.
Tiba-tiba Ferran merasakan pelukan di pinggangnya. Marie memeluknya dari belakang.
"Kaget gak?"
"Enggak."
"Kok enggak?"
"Karena aku selalu nunggu kamu peluk."
"Ih Ferran gomballl!! blushing lagi kan jadinya."
"Berarti kamu beneran cinta sama aku."
"Cintaaa banget."
"Cium dong kalau begitu."
Ferran memutar kepalanya menghadap Marie sembari memonyongkan bibirnya, minta dicium.
Marie tersenyum manis. Lalu gadis itu menempelkan dua jarinya di bibirnya, lalu menempelkannya di bibir Ferran.
Itu adalah ciuman bibir ala Marie. Ferran tidak pernah memaksa gadis itu untuk berciuman bibir yang nyata. Dia akan menunggu. Meskipun harus dia dapatkan saat mereka berdua menikah nanti.
Tapi masa Marie sekejam itu padanya? Ferran mendengkus dalam hati.
Kemudian Ferran membalas ciuman Marie dengan mencium kening gadis itu sangat lama.
"Nasi gorengnya sudah matang. Waktunya makan."
Marie baru memasuki sekolah. Ia mengernyit ketika mendapati mading sekolah dipenuhi oleh siswa. "Pantes aja ya si Amanda bisa sekolah di sini. Ternyata anak rampok!" "Najis banget gak sih, kita satu sekolah sama anak penjahat?" "Bukannya si Amanda dapet beasiswa ya di sini?" "Bodolah masalah itu. Yang penting gue kagak ridho sekolah kita di sekolahin sama anak rampok."
'Aku tunggu di gang block D deket sekolah. Sekarang.' Marie memasukan HP-nya ke dalam saku hoodie -nya. Marie celingak celinguk melihat sekitar. Aman. Marie pun berjalan menuju lokasi yang dikirim oleh Ferran. Marie tersenyum saat melihat sebuah mobil rover hitam ber-plat B 1C-RY. Kalau ada yang ngeh plat mobil Ferran adalah namanya, C-RY (Marie) sedangkan angka 1. Katanya Marie nomer satu di hidupnya. F
8 Nilam memerhatikan kedua putrinya dengan kening mengernyit. Putri sulungnya, Shirin terlihat bersemangat dan berseri-seri. Anak itu pun menyantap makanannya dengan lahap, biasanya Shirin selalu makan sesuai takaran yang di anjurkan oleh agensi model tempatnya bernaung. "Shirin, kamu sudah tidak diet lagi?" tanya Nilam dengan semringah, akhirnya anak sulungnya bisa terlepas dari bahaya anoreksia. "Sekali-kali, Ma. Shirin lagi happy." Senyum Nilam sedikit memudar, tapi hatinya senang melihat
Hari ini pak Samsul Sang Guru kimia yang killer tidak mengajar. Kabarnya istrinya sedang sakit. Pelajaran pun bebas. Jadi kelas XI IPA 2 sangat ribut sekali dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bermain gitar, bernyanyi tidak karuan, menari di atas meja, atau bergosip sembari makeup-an. Contohnya Shella, Icha dan Sesil, mereka sangat asyik memamerkan alat make up yang baru dibelinya. Sedangkan Marie, hanya mencorat-coret buku tulisnya sembari sesekali menimpali cuapan sahabat-sahabatnya itu sekenanya yang membuat kesal mereka. Akhirnya ketiga gadis itu pun memilih tidak mengacuhkan Marie yang sedang badmood. Tiba-tiba, tanpa permisi segerombolan siswa dari kelas lain masuk dengan angkuh. Kelompok siswa kaya. Sudah biasa seperti itu di Pelita. Sekolah ini m
Ferran sedang terdiam di balkon studio miliknya sembari mengisap sebuah rokok dengan memandangi lampu kota. Pikirannya menerawang. Sudah beberapa hari dia hampir tidak menemukan senyum tulus dari gadisnya, bersamaan dengan beredarnya foto skandal dirinya dan Shirin yang mencuat di media. Apa Marie mengetahui perselingkuhannya dengan Shirin? Tidak. Tidak. Tidak. Marie pasti tidak tau, gadisnya hanya sedang badmood seperti yang dia katakan. Ini juga bukan kali pertama Marie-nya bersikap aneh seperti ini. Tapi.... Perkataannya dia kemarin sangat tidak biasa. Secara tidak langsung Marie meminta putus dengan wajah.... Sendu. Bukan dengan cara polos seperti biasa.
"Kami sudah mendapatkan 500 tandatangan dari semua murid Pelita pak, untuk mengeluarkan Amanda keluar dari sekolah. Ini belum semua. Karena kelas XI IPA 2. Ingin keputusan lewat sidang yang melibatkan seluruh perwakilan sekolah." Dea menyerahkan sebuah proposal pada kepala sekolah. Sesuai permintaan Marie, mereka semua kini telah berkumpul di auditorium sekolah. Pak Adnan membenarkan kacamatanya sebelum memeriksa isi dokumennya. "Semuanya berisi tandatangan, pak." Pak Adnan menyerahkannya pada Ferran.  
Usis 5 tahun "Papa, Shirin mau boneka beruang paling besar itu!" Shirin menunjuk boneka yang di inginkannya pada Dion. Mereka sekeluarga sedang berjalan-jalan di mall. Termasuk Marie dan Nilam. "Iya sayang." Dion pun langsung memanggil seorang pramuniaga agar mengambilkannya. "
Marie mengecup bibir Ferran. Kecupan yang tidak sampai satu detik tapi membuat tubuh Ferran seperti tersengat aliran listrik. Seperti orang bodoh, tanpa sadar Ferran memegangi bibirnya, layaknya seseorang yang baru saja menerima ciuman pertamanya. Marie mengernyit. "Ciumannya tidak enak ya?" tanyanya ringan membuyarkan rasa terkejut Ferran. Ferran terkekeh. Untung saja pacarnya itu sangat