“Ini malam pertama, Mas!” teriakku.
Ya, aku berteriak kepada Mas Gala. Lelaki yang siang tadi mengucapkan ijab kabul di hadapan seluruh kerabatku. Ini benar-benar gila. Di luar dugaan. Bagaimana mungkin Mas Gala bisa berubah menjadi sosok yang begitu beringas? Kenapa pula perubahan itu harus terjadi di malam pertama kami menikah?
“Kamu jangan banyak omong,” kata Mas Gala. “Saya tidak peduli dengan malam pertama!”
Sekarang, aku mundur dari hadapannya. Aku memilih duduk di ranjang yang sudah dihias sedemikian rupa. Ranjang yang kemudian diduduki oleh dua angsa yang sedang berhadap-hadapan. Ranjang yang kurasa akan menjadi saksi kemesraan kami.
“Mas, aku butuh penjelasan!” desakku. “Kamu nggak bisa giniin aku!”
Mas Gala terdiam di hadapanku. Dia hanya menatapku dengan tatapan elang. Terlihat penuh emosi, tajam, kejam, bengis. Aku sempat merasa bahwa ini bukan Mas Gala-ku. Di mana Mas Gala yang tadi siang mengecup keningku sesaat setelah ijab kabul?
Detik ini, ada sedikit senyum misterius yang merekah. Senyum yang lantas membuatku bergetar. Oh, itu senyum yang menyeramkan. Aku belum pernah melihat Mas Gala tersenyum seperti itu.
“Mas, kamu mau ngapain?” Aku yang sudah berada di atas ranjang semakin mundur ke belakang. “Kamu itu suamiku, bagaimana mungkin kamu malah ingin menyakitiku, Mas?”
Tidak ada suara dari mulut Mas Gala. Lelaki yang sekarang sudah mengenakan baju tidur berwarna putih itu malah naik ke atas ranjang. Dia membuatku terdesak, hingga badanku menempel di dinding ranjang. Kami berhadap-hadapan dalam waktu yang lama.
“Jangan kira kalau saya akan menyentuhmu,” desahnya di telingaku.
Suara Mas Gala membuat bulu kudukku meremang.
“Jangan kira, saya akan mencintaimu seperti suami-suami lain!” tegasnya.
“Terus tujuanmu menikahiku apa, Mas?” Aku bertanya dengan bibir bergetar. “Aku ini manusia. Aku punya perasaan. Kupikir, kamu akan menjadi pengganti Bapak. Kamu akan menjadi lelaki yang bisa melindungiku dari berbagai bahaya. Tapi ternyata?”
Mas Gala tertawa. Tawa yang mengingatkanku kepada keputusan yang kuambil saat bertemu dengannya di lobi kantor.
“Kamu mau jadi istriku?” bisik Mas Gala pada saat itu.
Dan bodohnya, aku mengangguk.
Manusia mana yang mau diajak menikah oleh seorang lelaki tanpa mengenal terlebih dahulu? Tidak ada yang mau, kecuali aku, karena aku bodoh! Bahkan, aku langsung menerima ajakan Mas Gala di hari pertama pertemuan itu. Gila kan? Ya, aku memang gila!
Mas Gala membuyarkan lamunan saat dia menarik selimut dari atas ranjang. Dia juga membawa satu bantal dari sisiku. Kini, lelaki itu turun dari ranjang dan menyimpan bantal di sofa. Dia kemudian menjatuhkan badan dan melingkarkan selimut di seluruh badan.
Aku mengembuskan napas saat Mas Gala sudah terbaring di sofa yang ada di depan ranjang. Ternyata, ini balasan bagi perempuan sepertiku. Perempuan murahan yang mau begitu saja diajak menikah oleh seorang Gala Bahuwirya.
Aku yang awalnya menyender di dinding ranjang, kini menggelosorkan badan. Aku menggigit bibir karena mendapati kenyataan ini. Seorang Nara Candrakara harus melihat kenyataan pahit, bahwa suaminya berubah setelah dua belas jam mengucapkan ijab kabul. Dan itu menyakitkan.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus bertahan? Baru tadi siang aku berkhayal akan hidup bahagia bersama Mas Gala. Aku yakin jika kami akan saling menyelami satu sama lain. Aku akan berada di bawah kendali Mas Gala, tetapi ditangani dengan lembut. Mas Gala akan membuat aku memiliki pengalaman baru, tetapi dibimbing dengan penuh perasaan cinta. Tapi ternyata semuanya tidak seperti yang kubayangkan.
Sial!
Kukira hanya air mata yang mendesak keluar. Namun, darah juga melesat begitu cepat dari dalam hidung. Aku mimisan.
“Mas,” desahku.
Aku tidak punya pilihan selain meminta tolong kepada Mas Gala.
Jika ada darah yang keluar dari dalam hidung, tandanya tubuhku sedang tidak baik-baik saja. Sudah sejak kecil aku mengalami masalah seperti ini. Mimisan yang terjadi ini biasanya disebabkan oleh tekanan atau kecemasan yang berlebih. Ya, detik ini, aku memang sedang cemas luar biasa!
“Mas!”
“Apa?” jawab Mas Gala singkat. “Tidur! Besok kita harus ketemu keluargamu!”
Aku terisak. “Mas, tolong aku. Aku mimisan.”
Ucapanku tidak ditanggapi secara langsung. Mas Gala hanya menggeliat. Dia menyingkap selimut, lantas melangkah ke sisiku. Aku yakin, Mas Gala baru mau masuk ke alam mimpi. Namun dia harus kembali bangun gara-gara aku.
“Kamu .....” Wajah Mas Gala berubah keras. “Ini hari pertama kita menikah. Bagaimana mungkin kamu sudah membuat saya susah?”
Aku sedang berusaha menghentikan darah yang keluar dari dalam hidung dengan tangan. Baju tidurku, juga ranjang yang kutiduri ternoda oleh darah yang cukup banyak.
Mas Gala berjalan ke luar kamar sambil mengomel. Setelahnya, dia kembali dan membawa kotak P3K. Dia mengeluarkan kapas dari dalam kotak itu.
“Tegak!”
Ucapannya membuat ulu hatiku sedikit ngilu. Selama hidup, Bapak atau Ibu belum pernah membentakku seperti itu. Sekarang, Mas Gala memberikan pengalaman pertama yang jelas membuat dadaku sesak.
“Tegak!” tegasnya sekali lagi. “Kamu mau mimisan terus?”
Akhirnya, aku bangun dari ranjang, badanku tegak sesuai permintaan.
Aku merasa jika Mas Gala canggung berhadapan denganku. Buktinya, dia diam dengan wajah merah. Ya .... meskipun pada akhirnya, dia mengusapkan kapas di sekitar hidung, lantas menyumbatkan benda lembut itu.
Kamu tahu? Gerak-gerik Mas Gala, napas segar Mas Gala, juga harum parfum dari badannya membuat jantungku berdetak lebih kencang. Mungkin ini perlakukan terbaik dari Mas Gala setelah kami menikah. Perlakuan yang mungkin biasa saja bagi perempuan lain, namun terasa istimewa bagi perempuan sepertiku.
“Sudah!” ucapnya. Dia menjauh sambil membawa kotak P3K.
“Mas ....,”
Mas Gala menoleh.
“Makasih karena telah membantuku,” kataku tulus.
Mas Gala berlalu begitu saja dengan wajah datar.
Sekarang, aku mendapati pakaian dan juga seprai yang ternoda. Apa yang harus aku katakan kepada asisten rumah tangga Mas Gala jika dia bertanya? Sepertinya, aku sendiri yang harus mencuci seprai itu sebelum ketahuan. Aku tidak mungkin berkata jika aku tertekan oleh Mas Gala hingga menyebabkan mimisan. Aku juga tidak mungkin membuatnya khawatir. Meski hanya asisten rumah tangga, aku tahu jika dia begitu menanti kehadiranku.
“Ganti baju!” Itu ucapan Mas Gala.
Aku mendongak. “Kamu kan tahu kalau semua bajuku ada di kosan. Aku nggak bawa baju lain selain baju yang ini. Lagian, kamu sendiri yang melarangku ke kosan. Kamu ....”
“Diam! Dasar cerewet!”
Mas Gala berjalan ke arah lemari yang menempel di sisi kanan. Dia membukanya, lantas mengeluarkan kaus putih berlegan panjang dan celana training berwarna biru. Tanpa ampun, dia melemparkannya kepadaku.
“Pakek!”
Huh! Kenapa sih, dia galak banget? Apa Mas Gala tidak bisa berkata lebih lembut?
“Kamu nggak mau pakek?” Mas Gala mendekat. “Ya udah!” Dia mengambil lagi pakaian itu.
“Eh ....” Dengan gerakkan cepat, aku menarik pakaian di tangan Mas Gala, hingga dia terjatuh ke atas kasur. Hampir saja wajah kami beradu.
“Kamu jangan cari-cari kesempatan ya!” tegas Mas Gala.
Mendengar ucapan itu, aku langsung mendorong tubuhnya. “Siapa yang cari kesempatan, Mas? Aku bukan perempuan murahan.”
Seharusnya, ucapan itu tidak keluar dari mulutnya. Toh, aku memang istrinya kan? Bahkan seharusnya, aku dan Mas Gala bisa lebih mesra dari sekadar bersentuhan seperti barusan.
Mas Gala kembali membaringkan badan di atas sofa. Sementara aku, aku mengembuskan napas kasar. Aku berpikir begitu panjang soal kami berdua. Apa aku harus tetap ada di rumah ini setelah apa yang dia lakukan? Atau, aku pergi dan meminta cerai?
Berat! Ini sungguh berat.
Aku jadi ingat Bapak. Saat masih hidup, Bapak sering berkata bahwa hal yang paling baik untuk dilakukan adalah berusaha. Ya, berusaha. Dia selalu meyakinkanku jika berusaha akan membuat manusia lebih tenang ketimbang mundur begitu saja.
Berarti, aku harus berusaha mendapatkan Mas Gala? Aku harus mengejar cinta lelaki jutek yang menyebalkan itu? Ah, aku memang harus menanggung risiko. Apalagi jika aku masih punya impian. Bukankah aku ingin mewujudkan kemesraan yang sering kami lakukan di alam lain?
Mungkin kamu bingung saat aku berkata tentang ‘alam lain’. Bahkan alam lain itulah yang kemudian mendorongku untuk menyetujui ajakan menikah dari Mas Gala. Besok, aku akan ceritakan soal alam yang kumaksud. Sementara untuk sekarang, aku harus tidur. Aku harus mengisi tenaga sebelum kembali bertarung. Bisa jadi Mas Gala akan mengajakku bergulat tengah malam nanti.
Ah, sudahlah, Aku tidak boleh banyak berharap ....
***
Cup!Mataku terpejam saat lelaki itu memberikan kecupan hangat di areal kening. Oh, ini yang kuinginkan.“Saya pergi,” desahnya pelan.Aku yang sedang berdiri kaku langsung menarik napas. Pergi? Pergi ke mana?“Kamu sudah menemukannya, Nara,” katanya dengan senyum begitu lebar. “Tugasku sudah selesai.”Aku masih bingung. Lima tahun dia menemaniku. Bagaimana mungkin dia berkata ingin pergi?Sejenak, bibirku bergetar. Aku tidak bisa melupakan begitu saja kenangan yang sudah kami lewati. Kami bermain bersama. Kami berkelana di dunia antah berantah. Kami berlarian di pinggir sungai yang tak pernah kutemukan di kampung halamanku. Sekarang, dia akan pergi?“Saya benar-benar harus pergi .....” Dia berbalik.Sebelum menjauh, aku menarik tangannya. Aku memeluknya begitu erat. Kalau memang dia harus pergi, aku rela. Tapi izinkan aku untuk bisa menikmati aroma tubuhnya yang selalu membuatku
“Aaaaaa!”Aku mundur dengan badan menegang saat mendengar teriakkan itu. Rupanya, ada Bi Marni yang berada di depan toilet. Apa yang dia lakukan?“Aduh Neng, maaf ya ....” Bi Marni gelagapan. Sementara, aku mengusap dada.“Ada yang Bibi lakuin di sini?” tanyaku.Bibi mesem-mesem saat aku lontarkan pertanyaan itu. Selanjutnya, dia berbisik pelan. “Semalem gimana, Neng? Seru?”Mendapati pertanyaan itu, aku langsung melotot.Benar kan dugaanku? Pagi ini, sudah ada Bi Marni yang kepo. Kenapa sih, orang-orang selalu ingin tahu urusan ranjang pengantin baru? Apa menariknya membahas aktivitas privat yang tidak semua orang bisa menjelaskan? Lagipula, aku tidak punya pengalaman menarik soal semalam, bukan?“Pasti seru!” Bi Marni menjawab pertanyaannya sendiri. “Habisnya, Neng Nara juga mandinya lama.”“Apa hubungannya seru dan lama?”“Nggak
“Duduk!” tegas Mas Gala.Seumur-umur, aku tidak pernah diperintah oleh siapa pun. Aku orang yang bebas dengan segala argumen dan juga keberanianku. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa kalah dengan Mas Gala? Bagaimana mungkin, aku bisa menjadi suruhannya Mas Gala?Aku duduk sesuai perintah. Dan aku tidak bisa membantah.“Makan!” Ucapannya masih sama. Pendek, tapi nyelekit di hati.Aku melihat sekeliling meja makan. Nasi goreng bertengger di atasnya. Ayam goreng, sop, sayur segar, dan ikan seukuran tangan menjadi salah satu pelengkap. Sumpah, mungkin ini makanan yang biasa saja bagi Mas Gala. Aku yakin jika Bi Marni memasak bahan-bahan sisa karena sibuk membantu nikahan kemarin. Namun bagiku, ini adalah makanan yang cukup mewah. Saat dikosan, makananku itu-itu saja. Kalau tidak nasi telur, paling banter nasi ayam, itu juga seminggu sekali.Aku masih ingat ucapan Bapak. Hidup itu harus hemat. Sebab jika hemat, seseorang akan meras
Aku mendengar beberapa teriakkan, hingga ada satu hal yang membuatku beku. Kendaraan Mas Gala berhenti. Sementara jeritan dari luar seolah menggambarkan chaos-nya keadaan. Jeritan itu panjang, namun aku masih menutup wajah dengan dada naik turun. Kejadian ini mengingatkanku kepada Bapak. Bapak meninggal gara-gara tambrakan sehabis pulang mengantarku wisuda.“Kamu nggak apa-apa?”Suara itu? Ah, suara itu benar-benar menenangkanku. Bagaimana mungkin Mas Gala bisa membuat seluruh tubuhku menghangat? Perlahan-lahan, aku membuka mata. Kamu tahu? Kedua tangan Mas Gala melingkar di kepalaku. Ternyata, dia memelukku dengan begitu erat.“Mas .....”Sekarang, Mas Gala mengusap wajahku yang berkeringat. Dia terlihat begitu cemas. “Ada yang sakit?”Aku menggeleng. “Aku cuma .....”“Bilang kalau kamu merasa sakit!” tegasnya.“Aku cuma ....” Aku mengembuskan napas dengan diirin
Ibu mengangguk dengan tatapan nanar. Aku tahu, Ibu sangat sedih jika harus mengungkit hal-hal yang berhubungan dengan Bapak. Tapi apa boleh buat? Bukankah Bapak memberikan amanat itu kepada Ibu? Sebagai anak, tentu saja aku hanya bisa menguatkan.“Jang Kasep tunggu saja di ruang tamu ya,” desah Ibu. “Bukannya nggak boleh ikut ke kamar, tapi ....”“Tidak masalah, Bu,” jawab Mas Gala. “Saya mengerti.”Ibu tersenyum lebar mendengar tanggapan sopan dari Mas Gala.Kami bertiga bangkit dari ruang makan. Mas Gala melangkah ke ruang tamu, sementara aku dan Ibu melangkah ke kamar Ibu. Kamar yang sudah lama tidak aku injak. Aku masih ingat, terakhir kali masuk ke kamar itu saat aku kelas lima SD. Sebelum pindah ke kamar berbeda.Saat masuk ke kamar, aku masih mencium aroma tubuh Bapak. Aroma yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Harum khas yang membuat badanku seperti tersuntik energi. Ah, Bapak memang h
“Kalau ada tragedi kayak gini, siapa yang nolongin kamu, Mas?” Aku bertanya sambil mengompres dahi Mas Gala dengan air hangat. Dulu, sering sekali aku menghayal untuk bisa memberikan perhatian semacam ini kepada seorang lelaki. Sekarang, semua jadi kenyataan. “Apa kamu sendiri yang ngobatin?”“Bawel!” tegasnya.Aku menekan kompresan di dahinya hingga dia mengaduh. Rasain! Lagian, judes banget sih jadi orang?“Kamu nggak berprikemanusiaan banget sih?” tanyanya dengan mata melotot.“Kamu yang enggak berprikesuamian. Ditanya kayak gitu aja kok ngambek!”Aku tidak akan kalah begitu saja Mas. Kamu lihat kan, kalau aku bisa melawan? Hahaha. Mas Gala sangat menggemaskan jika digoda seperti ini.“Aku tahu kok siapa yang layanin kamu kalau ada tragedi kayak gini.” Aku terkikik.“Sok tahu!” Mas Gala pura-pura melihat ke arah lain. “Emang siapa?”
“Mas Gala!” teriakku.Sial! Apa yang salah dengan makam Bapak? Kenapa Mas Gala pergi begitu saja? Dia seperti ketakutan. Di sisi lain, dia juga terlihat emosi. Seolah-olah, pernah ada hubungan antara Bapak dan Mas Gala sebelumnya. Tapi apa?“Mas tunggu!” teriakku makin kencang. “Jangan gini dong!”Mas Gala pikir, mungkin aku adalah seorang perempuan lemah yang tidak bisa berlari untuk menyusulnya. Hei, kamu tidak tahu Mas. Gini-gini, aku adalah juara atlit lari antar anak-anak kampung semasa SD. Kamu menyepelekanku, Mas?Aku berlari begitu kencang. Bahkan aku sudah bisa melihat tubuh Mas Gala yang semakin dekat denganku. Kira-kira 15 meter dari posisiku sekarang. Namun, aku terkejut luar biasa saat ada gonggongan anjing dari belakang! Otomatis, aku menengok. Ada satu anjing yang seperti kesetanan mengejar kami berdua.Kampungku tidak pernah berubah dengan keberadaan anjing-anjing milik warga. Di sini, anjing dija
“Kamu di mana?” teriakku.Ini kesekian kalinya aku mencari sosok itu. Namun, bagaimana mungkin aku tidak menemukannya? Di mana dia yang selalu menemaniku dikala sedih? Di mana dia yang selalu mendengarkanku saat bercerita soal Bapak?“Jangan becanda!” Aku hampir frustrasi, hingga duduk di atas tanah.Aku harus mencari dia ke mana lagi? Ini tanah lapang. Tidak ada jalan yang bisa kutelusuri. Semua hal yang kulihat semacam ruangan luas yang sama sekali tidak berpenghuni. “Apa kamu nggak sayang aku lagi?”Masih tidak ada jawaban. Hanya gema suara sendiri yang berhasil kudengar. Sementara suara lembut itu, senyum lebar yang menenangkan itu, semuanya lenyap. Aku jadi ingat pertemuan kemarin. Apakah dia memang benar-benar pergi? Kupikir dia becanda, tapi semua yang diucapkan benar adanya.Sekarang, aku tidak bisa melakukan apa pun selain menangis kencang. Tangisan itu membuat aku membuka mata. Lebar. Dan, ah ... aku mi