Share

My Husband's Secret
My Husband's Secret
Author: Jadi Penulis Muda

Dia Berubah

“Ini malam pertama, Mas!” teriakku.

Ya, aku berteriak kepada Mas Gala. Lelaki yang siang tadi mengucapkan ijab kabul di hadapan seluruh kerabatku. Ini benar-benar gila. Di luar dugaan. Bagaimana mungkin Mas Gala bisa berubah menjadi sosok yang begitu beringas? Kenapa pula perubahan itu harus terjadi di malam pertama kami menikah?

“Kamu jangan banyak omong,” kata Mas Gala. “Saya tidak peduli dengan malam pertama!”

Sekarang, aku mundur dari hadapannya. Aku memilih duduk di ranjang yang sudah dihias sedemikian rupa. Ranjang yang kemudian diduduki oleh dua angsa yang sedang berhadap-hadapan. Ranjang yang kurasa akan menjadi saksi kemesraan kami.

“Mas, aku butuh penjelasan!” desakku. “Kamu nggak bisa giniin aku!”

Mas Gala terdiam di hadapanku. Dia hanya menatapku dengan tatapan elang. Terlihat penuh emosi, tajam, kejam, bengis. Aku sempat merasa bahwa ini bukan Mas Gala-ku. Di mana Mas Gala yang tadi siang mengecup keningku sesaat setelah ijab kabul?

Detik ini, ada sedikit senyum misterius yang merekah. Senyum yang lantas membuatku bergetar. Oh, itu senyum yang menyeramkan. Aku belum pernah melihat Mas Gala tersenyum seperti itu.

“Mas, kamu mau ngapain?” Aku yang sudah berada di atas ranjang semakin mundur ke belakang. “Kamu itu suamiku, bagaimana mungkin kamu malah ingin menyakitiku, Mas?”

Tidak ada suara dari mulut Mas Gala. Lelaki yang sekarang sudah mengenakan baju tidur berwarna putih itu malah naik ke atas ranjang. Dia membuatku terdesak, hingga badanku menempel di dinding ranjang. Kami berhadap-hadapan dalam waktu yang lama.

“Jangan kira kalau saya akan menyentuhmu,” desahnya di telingaku.

Suara Mas Gala membuat bulu kudukku meremang.

“Jangan kira, saya akan mencintaimu seperti suami-suami lain!” tegasnya.

“Terus tujuanmu menikahiku apa, Mas?” Aku bertanya dengan bibir bergetar. “Aku ini manusia. Aku punya perasaan. Kupikir, kamu akan menjadi pengganti Bapak. Kamu akan menjadi lelaki yang bisa melindungiku dari berbagai bahaya. Tapi ternyata?”

Mas Gala tertawa. Tawa yang mengingatkanku kepada keputusan yang kuambil saat bertemu dengannya di lobi kantor.

“Kamu mau jadi istriku?” bisik Mas Gala pada saat itu.

Dan bodohnya, aku mengangguk.

Manusia mana yang mau diajak menikah oleh seorang lelaki tanpa mengenal terlebih dahulu? Tidak ada yang mau, kecuali aku, karena aku bodoh! Bahkan, aku langsung menerima ajakan Mas Gala di hari pertama pertemuan itu. Gila kan? Ya, aku memang gila!

Mas Gala membuyarkan lamunan saat dia menarik selimut dari atas ranjang. Dia juga membawa satu bantal dari sisiku. Kini, lelaki itu turun dari ranjang dan menyimpan bantal di sofa. Dia kemudian menjatuhkan badan dan melingkarkan selimut di seluruh badan.

Aku mengembuskan napas saat Mas Gala sudah terbaring di sofa yang ada di depan ranjang. Ternyata, ini balasan bagi perempuan sepertiku. Perempuan murahan yang mau begitu saja diajak menikah oleh seorang Gala Bahuwirya.

Aku yang awalnya menyender di dinding ranjang, kini menggelosorkan badan. Aku menggigit bibir karena mendapati kenyataan ini. Seorang Nara Candrakara harus melihat kenyataan pahit, bahwa suaminya berubah setelah dua belas jam mengucapkan ijab kabul. Dan itu menyakitkan.

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus bertahan? Baru tadi siang aku berkhayal akan hidup bahagia bersama Mas Gala. Aku yakin jika kami akan saling menyelami satu sama lain. Aku akan berada di bawah kendali Mas Gala, tetapi ditangani dengan lembut. Mas Gala akan membuat aku memiliki pengalaman baru, tetapi dibimbing dengan penuh perasaan cinta. Tapi ternyata semuanya tidak seperti yang kubayangkan.

Sial!

Kukira hanya air mata yang mendesak keluar. Namun, darah juga melesat begitu cepat dari dalam hidung. Aku mimisan.

“Mas,” desahku.

Aku tidak punya pilihan selain meminta tolong kepada Mas Gala.

Jika ada darah yang keluar dari dalam hidung, tandanya tubuhku sedang tidak baik-baik saja. Sudah sejak kecil aku mengalami masalah seperti ini. Mimisan yang terjadi ini biasanya disebabkan oleh tekanan atau kecemasan yang berlebih. Ya, detik ini, aku memang sedang cemas luar biasa!

“Mas!”

“Apa?” jawab Mas Gala singkat. “Tidur! Besok kita harus ketemu keluargamu!”

Aku terisak. “Mas, tolong aku. Aku mimisan.”

Ucapanku tidak ditanggapi secara langsung. Mas Gala hanya menggeliat. Dia menyingkap selimut, lantas melangkah ke sisiku. Aku yakin, Mas Gala baru mau masuk ke alam mimpi. Namun dia harus kembali bangun gara-gara aku.

“Kamu .....” Wajah Mas Gala berubah keras. “Ini hari pertama kita menikah. Bagaimana mungkin kamu sudah membuat saya susah?”

Aku sedang berusaha menghentikan darah yang keluar dari dalam hidung dengan tangan. Baju tidurku, juga ranjang yang kutiduri ternoda oleh darah yang cukup banyak.

Mas Gala berjalan ke luar kamar sambil mengomel. Setelahnya, dia kembali dan membawa kotak P3K. Dia mengeluarkan kapas dari dalam kotak itu.

“Tegak!”

Ucapannya membuat ulu hatiku sedikit ngilu. Selama hidup, Bapak atau Ibu belum pernah membentakku seperti itu. Sekarang, Mas Gala memberikan pengalaman pertama yang jelas membuat dadaku sesak.

“Tegak!” tegasnya sekali lagi. “Kamu mau mimisan terus?”

Akhirnya, aku bangun dari ranjang, badanku tegak sesuai permintaan.

Aku merasa jika Mas Gala canggung berhadapan denganku. Buktinya, dia diam dengan wajah merah. Ya .... meskipun pada akhirnya, dia mengusapkan kapas di sekitar hidung, lantas menyumbatkan benda lembut itu.

Kamu tahu? Gerak-gerik Mas Gala, napas segar Mas Gala, juga harum parfum dari badannya membuat jantungku berdetak lebih kencang. Mungkin ini perlakukan terbaik dari Mas Gala setelah kami menikah. Perlakuan yang mungkin biasa saja bagi perempuan lain, namun terasa istimewa bagi perempuan sepertiku.

“Sudah!” ucapnya. Dia menjauh sambil membawa kotak P3K.

“Mas ....,”

Mas Gala menoleh.

“Makasih karena telah membantuku,” kataku tulus.

Mas Gala berlalu begitu saja dengan wajah datar.

Sekarang, aku mendapati pakaian dan juga seprai yang ternoda. Apa yang harus aku katakan kepada asisten rumah tangga Mas Gala jika dia bertanya? Sepertinya, aku sendiri yang harus mencuci seprai itu sebelum ketahuan. Aku tidak mungkin berkata jika aku tertekan oleh Mas Gala hingga menyebabkan mimisan. Aku juga tidak mungkin membuatnya khawatir. Meski hanya asisten rumah tangga, aku tahu jika dia begitu menanti kehadiranku.

“Ganti baju!” Itu ucapan Mas Gala.

Aku mendongak. “Kamu kan tahu kalau semua bajuku ada di kosan. Aku nggak bawa baju lain selain baju yang ini. Lagian, kamu sendiri yang melarangku ke kosan. Kamu ....”

“Diam! Dasar cerewet!”

Mas Gala berjalan ke arah lemari yang menempel di sisi kanan. Dia membukanya, lantas mengeluarkan kaus putih berlegan panjang dan celana training berwarna biru. Tanpa ampun, dia melemparkannya kepadaku.

“Pakek!”

Huh! Kenapa sih, dia galak banget? Apa Mas Gala tidak bisa berkata lebih lembut?

“Kamu nggak mau pakek?” Mas Gala mendekat. “Ya udah!” Dia mengambil lagi pakaian itu.

“Eh ....” Dengan gerakkan cepat, aku menarik pakaian di tangan Mas Gala, hingga dia terjatuh ke atas kasur. Hampir saja wajah kami beradu.  

“Kamu jangan cari-cari kesempatan ya!” tegas Mas Gala.

Mendengar ucapan itu, aku langsung mendorong tubuhnya. “Siapa yang cari kesempatan, Mas? Aku bukan perempuan murahan.”

Seharusnya, ucapan itu tidak keluar dari mulutnya. Toh, aku memang istrinya kan? Bahkan seharusnya, aku dan Mas Gala bisa lebih mesra dari sekadar bersentuhan seperti barusan.

Mas Gala kembali membaringkan badan di atas sofa. Sementara aku, aku mengembuskan napas kasar. Aku berpikir begitu panjang soal kami berdua. Apa aku harus tetap ada di rumah ini setelah apa yang dia lakukan? Atau, aku pergi dan meminta cerai?

Berat! Ini sungguh berat.

Aku jadi ingat Bapak. Saat masih hidup, Bapak sering berkata bahwa hal yang paling baik untuk dilakukan adalah berusaha. Ya, berusaha. Dia selalu meyakinkanku jika berusaha akan membuat manusia lebih tenang ketimbang mundur begitu saja.

Berarti, aku harus berusaha mendapatkan Mas Gala? Aku harus mengejar cinta lelaki jutek yang menyebalkan itu? Ah, aku memang harus menanggung risiko. Apalagi jika aku masih punya impian. Bukankah aku ingin mewujudkan kemesraan yang sering kami lakukan di alam lain?

Mungkin kamu bingung saat aku berkata tentang ‘alam lain’. Bahkan alam lain itulah yang kemudian mendorongku untuk menyetujui ajakan menikah dari Mas Gala. Besok, aku akan ceritakan soal alam yang kumaksud. Sementara untuk sekarang, aku harus tidur. Aku harus mengisi tenaga sebelum kembali bertarung. Bisa jadi Mas Gala akan mengajakku bergulat tengah malam nanti.

Ah, sudahlah, Aku tidak boleh banyak berharap ....

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ochieng Modescar
translation
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status