“Aaaaaa!”
Aku mundur dengan badan menegang saat mendengar teriakkan itu. Rupanya, ada Bi Marni yang berada di depan toilet. Apa yang dia lakukan?
“Aduh Neng, maaf ya ....” Bi Marni gelagapan. Sementara, aku mengusap dada.
“Ada yang Bibi lakuin di sini?” tanyaku.
Bibi mesem-mesem saat aku lontarkan pertanyaan itu. Selanjutnya, dia berbisik pelan. “Semalem gimana, Neng? Seru?”
Mendapati pertanyaan itu, aku langsung melotot.
Benar kan dugaanku? Pagi ini, sudah ada Bi Marni yang kepo. Kenapa sih, orang-orang selalu ingin tahu urusan ranjang pengantin baru? Apa menariknya membahas aktivitas privat yang tidak semua orang bisa menjelaskan? Lagipula, aku tidak punya pengalaman menarik soal semalam, bukan?
“Pasti seru!” Bi Marni menjawab pertanyaannya sendiri. “Habisnya, Neng Nara juga mandinya lama.”
“Apa hubungannya seru dan lama?”
“Nggak tahu sih, hehe ....”
Dasar nggak jelas! Aku memilih keluar dari kamar mandi sambil menggosok kepala dengan handuk. “Lho ini kok ...”
“Kenapa, Neng?” Bi Marni mendekat.
“Koperku siapa yang bawa?”
Aku masih ingat jika koper itu berada di atas lemari kosan. Bagaimana mungkin detik ini ada di hadapanku? Apa Mas Gala yang mengambil kopernya? Kunci kosan memang aku simpan di atas meja semalam.
“Itu isinya baju-baju Neng Nara,” jelas Bi Marni. “Tujuan Bibi ke sini juga mau kasih tahu soal itu. Tadi Pak Gala bilang, katanya seluruh baju sudah diambil di kosan Neng Nara.”
Mendengar penjelasan itu, aku merasa terharu. Pagi-pagi begini, Mas Gala rela mengambilkan barang-barangku di kosan. Sweet nggak sih? Biasa aja ya? Huhu. Okelah. Yang jelas, aku bahagia.
“Kok bisa Mas Gala ngambil pakaianku, Bi?” Aku berharap Bibi menjawab jika itu disebabkan karena rasa sayang Mas Gala kepadaku. Atau minimal, dia khawatir denganku yang tak punya pakaian ganti.
“Bukan Pak Gala yang ambil. Dia nyuruh supir keluarga, Neng.”
Mendapati jawaban itu, aku langsung cemberut. Huh, baru saja aku merasa bahagia. Eh, udah dibikin jatuh lagi? Sakit hati ini, Bang. Sakit. Lagian, gimana ceritanya Mas Gala nyuruh orang lain? Laki-laki pula? Mana di lemariku banyak pakaian dalam.
Aku berkacak pinggang. “Sekarang Mas Gala di mana?”
“Nunggu di bawah, Neng. Mau Bibi panggilin?” tanya Bi Marni.
“Panggilin, Bi, maaf,” desahku. “Bilang kalau Nyonya Gala ada keperluan.”
Bukannya pergi, Bi Marni malah ketawa.
“Kenapa ketawa?”
“Nggak terasa ya, Neng. Pak Gala akhirnya punya Nyonya juga.”
Bi Marni tidak tahu saja kalau itu cuma khayalanku. Kupikir, Mas Gala juga tidak begitu senang dengan kehadiran Nyonya Nara di sini. Ya, kalian bisa menilai sendiri sikap Mas Gala. Dia mirip kucing kelaparan kalau berhadapan denganku.
Bibi berlari kecil dengan wajah ceria saat keluar dari kamar. Sementara sekitar lima menit selanjutnya, Mas Gala datang. Tunggu! Bagaimana mungkin Mas Gala mau disuruh-suruh? Kukira dia bakal diam saja di lantai bawah. Eh, kok sekarang malah muncul?
“Mau apa?”
Bukan hanya wajah yang datar, ternyata perkataan Mas Gala juga mirip jalan tol.
Aku menatapnya tajam. “Ngapain nyuruh orang lain buat ngambil pakaianku?”
“Terserah saya!”
Ucapakan Mas Gala mirip jawaban ulangan semasa aku sekolah. Singkat. Selain singkat, perkataannya pedas. Mirip banget dengan cabe bubuk level 30 yang sering kubeli di minimarket.
“Kamu tahu nggak lemariku isinya apa aja?”
Pertanyaanku dijawab dengan gerakkan alis. Sepertinya, dia sudah malas berbicara denganku.
“Mas, kamu rela pakaian pamungkas istrimu dipegang-pegang orang lain?” Aku bertanya tegas. “Aku ngerasa kotor Mas! Aku kotor!” Sekalian saja aku drama mirip adegan sinetron! Apakah dia akan merasa bersalah?
Mendengar ocehanku, wajah Mas Gala berubah merah. Dia terlihat panik. “Pakaian pamungkas?”
“Kamu masih nggak ngerti, Mas?” Aku menggeleng. “Ya ampun, Mas .... Apa kerjaanmu sesibuk itu sehingga kamu nggak tahu pakaian pamungkas? Apa aku perlu tunjukkin?” Aku berjalan ke arah koper, membuka resletingnya dengan cepat. Kemudian, aku mencabut satu kutang dan mengacungkannya. “Ini salah satu barang pamungkas, Mas!”
Wajah Mas Gala terlihat jijik melihat barang yang kuacungkan.
Ya ampun, Mas. Ini cuma kutang! Kalau ke pasar, kamu bakal lihat barang-barang ini bergelantungan di toko. Gimana mungkin barang ini terlihat menakutkan di mata kamu?
“Apa ini masih kurang?” Sekarang, aku mencari barang pamungkas lain. Namun saat aku akan mengacungkannya ke hadapan Mas Gala, dia langsung berteriak.
“Stop!” Mas Gala memberikan isyarat dengan kedua tangan. “Kamu apa-apaan ngeluarin semua pakaian dalam?”
“Ya habis, kamu nggak ngerti perasaan aku sih. Kamu ....”
“Oke, maaf!”
“Maafnya nggak tulus banget.” Aku memasukkan kembali pakaian dalam ke koper. “Harga diriku jatuh di hadapan supir kamu saat dia ngambilin semua pakaianku, Mas. Terus kamu cuman bilang,” aku memeragakan cara dia berbicara, “Oke, maaf!”
“Terus maumu apa?”
“Aku cuma mau kalau kamu harus lebih peka sama aku, Mas. Aku istrimu!”
Mas Gala tidak menjawab. Dia malah ngeluyur pergi dari hadapanku dengan wajah penuh emosi. Melihat sikap Mas Gala, aku malah tertawa. Ya ampun, akhirnya aku bisa membuatnya kesal. Hem, sepertinya, aku memang harus melakukan perlawanan kecil untuk bisa menaklukkannya. Dia bukan tipe orang yang bisa berubah jika dihadapi dengan lemah lembut.
Baiklah, Nara, mari bertarung dengan Mas Gala. Kamu harus kuat di sini. Ini risikomu jika Mas Gala seperti orang asing. Toh kamu dan Mas Gala tidak ada masa penjajakan, bukan? Maka dari itu, tugasmu saat ini adalah membuat Mas Gala bertekuk lutut.
Saat aku sedang memikirkan Mas Gala, tiba-tiba Bi Marni datang lagi. Kali ini, dia kembali dengan tangan menutup mulut. Kemudian berbisik lagi, “Neng Nara hebat banget!”
“Hebat kenapa, Bi?”
“Bisa marahin Pak Gala.” Dia menahan tawa. “Selama Bibi kerja di sini, tidak ada yang bisa membantah Pak Gala. Eh, sama Neng Nara langsung diam. Cinta memang membutakan semuanya. Ucapan pedas dari Pak Gala seolah-olah lenyap begitu saja. Cucok meong, Neng.”
Sumpah, Nara! Kamu harus tahan tinggal di sini. Selain harus menghadapi Mas Gala yang kaku dan jutek, kamu juga harus menghadapi asisten rumah tangga yang akan selalu menemani hari-harimu. Kamu akan dihantui oleh Bi Marni setiap saat. Dia mirip sekali seperti jin yang tiba-tiba nongol di setiap tempat.
“Bi Mirna sendiri mau ngapain ke sini lagi?”
“Itu ....” Mata Bi Mirna langsung beralih ke seprai di atas ranjang. “Bibi disuruh nyuci seprai sama Mas Gala. Katanya banyak darah ya?”
Aku mengangguk.
“Ahem .....” Bi Marni kembali berulah. Sekarang, alisnya naik turun. “Rasanya sakit ya, Neng?”
“Heh? Maksudnya?”
Bi Marni mendorong tanganku dengan mimik gemas. “Jangan pura-pura toh, Neng. Bibi juga pernah jadi pengantin baru kok. Saat pertama kali ngelakuin itu, pasti ....”
“Bi, stop!” Aku menyimpan telunjuk di bibir Bi Marni. “Tolong ya, ini masih pagi. Semalam, Nara mimisan, dan darahnya jatuh ke seprai. Jadi mohon, jangan mikir yang enggak-enggak!”
Bi Marni ngeloyor dan langsung menarik seprai. “Haduh, Neng, masih malu-malu aja. Padahal Bibi tahu kok kalau ....”
“Lanjut ngomong, atau aku tampol?”
“Eh, enggak....” Dia tertawa. “Maaf-maaf, pasti Neng Nara nggak nyaman ya.”
Sebenarnya obrolan semacam itu tidak jadi masalah buat aku, tapi yang jadi masalah adalah sebuah ‘kenyataan’. Bahwa kenyataannya, aku dan Mas Gala tidak melakukan apa-apa. Dan seluruh asumsi dari Bi Marni malah membuat aku cemburu. Disaat pasangan lain mendapatkan kebahagiaan, maka aku sebaliknya. Aku nelangsa. Boro-boro bisa ngelakuin hal aneh-aneh, tidur sekasur saja enggak.
Sudahlah. Sekarang, aku harus mengenakan pakaian paling keren. Aku akan pergi ke Garut bersama Mas Gala. Setidaknya, harus ada keseimbangan antara aku dengan Mas Gala. Aku sama sekali keberatan jika saat pergi berdua, diriku malah dianggap pembokat.
Butuh waktu sekitar setengah jam hingga aku bisa berpakaian dengan rapi. Aku menyusuri lantai dua rumah Mas Gala setelah selesai berdandan. Gila sih ini rumah. Gila banget. Rumahku di Garut mungkin lima kali lipat lebih kecil dari rumah ini. Aku tidak menyangka jika pada akhirnya, aku bisa menghuni salah satu rumah terbesar di Bandung.
Eh, tapi tunggu ....
Itu ruangan apa?
Semua ruangan yang ada di sini memiliki pintu berwarna coklat. Hanya ruangan yang ada di ujung lantai dua ini yang memiliki pintu berwarna orange. Apa Mas Gala sengaja membedakan warna pintu itu? Atau, itu hanya gudang sehingga kesesuaian warna tidak terlalu diperhatikan?
Aku jadi penasaran dengan ruangan itu. Apa mungkin aku cek dulu? Lagipula, aku masih punya sedikit waktu sebelum benar-benar menemui Mas Gala di ruang keluarga.
“Jangan melakukan apa pun tanpa perintah saya!”
Aku yang hampir membuka pintu, mematung. Tanganku ditahan dari belakang. Ah, Mas Gala, apa cita-citamu ingin menjadi ibu tiri? Genggamanmu itu membuat tangan sakit!
“Aku cuma ....”
“Turun!” Mas Gala menarik tanganku. “Kamu bukan siapa-siapa di sini. Kamu tidak bisa melakukan semuanya semau kamu!”
“Aku istrimu, Mas!” tegasku.
Mas Gala tidak menanggapi ucapanku. Dia malah makin keras menarik lengan kanan. Hingga kemudian, aku sadar bahwa keberadaanku di sini tidaklah penting. Aku mirip sekali seperti manusia yang tersesat di sarang harimau. Sarangnya besar, tetapi dalamnya berbahaya.
***
“Duduk!” tegas Mas Gala.Seumur-umur, aku tidak pernah diperintah oleh siapa pun. Aku orang yang bebas dengan segala argumen dan juga keberanianku. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa kalah dengan Mas Gala? Bagaimana mungkin, aku bisa menjadi suruhannya Mas Gala?Aku duduk sesuai perintah. Dan aku tidak bisa membantah.“Makan!” Ucapannya masih sama. Pendek, tapi nyelekit di hati.Aku melihat sekeliling meja makan. Nasi goreng bertengger di atasnya. Ayam goreng, sop, sayur segar, dan ikan seukuran tangan menjadi salah satu pelengkap. Sumpah, mungkin ini makanan yang biasa saja bagi Mas Gala. Aku yakin jika Bi Marni memasak bahan-bahan sisa karena sibuk membantu nikahan kemarin. Namun bagiku, ini adalah makanan yang cukup mewah. Saat dikosan, makananku itu-itu saja. Kalau tidak nasi telur, paling banter nasi ayam, itu juga seminggu sekali.Aku masih ingat ucapan Bapak. Hidup itu harus hemat. Sebab jika hemat, seseorang akan meras
Aku mendengar beberapa teriakkan, hingga ada satu hal yang membuatku beku. Kendaraan Mas Gala berhenti. Sementara jeritan dari luar seolah menggambarkan chaos-nya keadaan. Jeritan itu panjang, namun aku masih menutup wajah dengan dada naik turun. Kejadian ini mengingatkanku kepada Bapak. Bapak meninggal gara-gara tambrakan sehabis pulang mengantarku wisuda.“Kamu nggak apa-apa?”Suara itu? Ah, suara itu benar-benar menenangkanku. Bagaimana mungkin Mas Gala bisa membuat seluruh tubuhku menghangat? Perlahan-lahan, aku membuka mata. Kamu tahu? Kedua tangan Mas Gala melingkar di kepalaku. Ternyata, dia memelukku dengan begitu erat.“Mas .....”Sekarang, Mas Gala mengusap wajahku yang berkeringat. Dia terlihat begitu cemas. “Ada yang sakit?”Aku menggeleng. “Aku cuma .....”“Bilang kalau kamu merasa sakit!” tegasnya.“Aku cuma ....” Aku mengembuskan napas dengan diirin
Ibu mengangguk dengan tatapan nanar. Aku tahu, Ibu sangat sedih jika harus mengungkit hal-hal yang berhubungan dengan Bapak. Tapi apa boleh buat? Bukankah Bapak memberikan amanat itu kepada Ibu? Sebagai anak, tentu saja aku hanya bisa menguatkan.“Jang Kasep tunggu saja di ruang tamu ya,” desah Ibu. “Bukannya nggak boleh ikut ke kamar, tapi ....”“Tidak masalah, Bu,” jawab Mas Gala. “Saya mengerti.”Ibu tersenyum lebar mendengar tanggapan sopan dari Mas Gala.Kami bertiga bangkit dari ruang makan. Mas Gala melangkah ke ruang tamu, sementara aku dan Ibu melangkah ke kamar Ibu. Kamar yang sudah lama tidak aku injak. Aku masih ingat, terakhir kali masuk ke kamar itu saat aku kelas lima SD. Sebelum pindah ke kamar berbeda.Saat masuk ke kamar, aku masih mencium aroma tubuh Bapak. Aroma yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Harum khas yang membuat badanku seperti tersuntik energi. Ah, Bapak memang h
“Kalau ada tragedi kayak gini, siapa yang nolongin kamu, Mas?” Aku bertanya sambil mengompres dahi Mas Gala dengan air hangat. Dulu, sering sekali aku menghayal untuk bisa memberikan perhatian semacam ini kepada seorang lelaki. Sekarang, semua jadi kenyataan. “Apa kamu sendiri yang ngobatin?”“Bawel!” tegasnya.Aku menekan kompresan di dahinya hingga dia mengaduh. Rasain! Lagian, judes banget sih jadi orang?“Kamu nggak berprikemanusiaan banget sih?” tanyanya dengan mata melotot.“Kamu yang enggak berprikesuamian. Ditanya kayak gitu aja kok ngambek!”Aku tidak akan kalah begitu saja Mas. Kamu lihat kan, kalau aku bisa melawan? Hahaha. Mas Gala sangat menggemaskan jika digoda seperti ini.“Aku tahu kok siapa yang layanin kamu kalau ada tragedi kayak gini.” Aku terkikik.“Sok tahu!” Mas Gala pura-pura melihat ke arah lain. “Emang siapa?”
“Mas Gala!” teriakku.Sial! Apa yang salah dengan makam Bapak? Kenapa Mas Gala pergi begitu saja? Dia seperti ketakutan. Di sisi lain, dia juga terlihat emosi. Seolah-olah, pernah ada hubungan antara Bapak dan Mas Gala sebelumnya. Tapi apa?“Mas tunggu!” teriakku makin kencang. “Jangan gini dong!”Mas Gala pikir, mungkin aku adalah seorang perempuan lemah yang tidak bisa berlari untuk menyusulnya. Hei, kamu tidak tahu Mas. Gini-gini, aku adalah juara atlit lari antar anak-anak kampung semasa SD. Kamu menyepelekanku, Mas?Aku berlari begitu kencang. Bahkan aku sudah bisa melihat tubuh Mas Gala yang semakin dekat denganku. Kira-kira 15 meter dari posisiku sekarang. Namun, aku terkejut luar biasa saat ada gonggongan anjing dari belakang! Otomatis, aku menengok. Ada satu anjing yang seperti kesetanan mengejar kami berdua.Kampungku tidak pernah berubah dengan keberadaan anjing-anjing milik warga. Di sini, anjing dija
“Kamu di mana?” teriakku.Ini kesekian kalinya aku mencari sosok itu. Namun, bagaimana mungkin aku tidak menemukannya? Di mana dia yang selalu menemaniku dikala sedih? Di mana dia yang selalu mendengarkanku saat bercerita soal Bapak?“Jangan becanda!” Aku hampir frustrasi, hingga duduk di atas tanah.Aku harus mencari dia ke mana lagi? Ini tanah lapang. Tidak ada jalan yang bisa kutelusuri. Semua hal yang kulihat semacam ruangan luas yang sama sekali tidak berpenghuni. “Apa kamu nggak sayang aku lagi?”Masih tidak ada jawaban. Hanya gema suara sendiri yang berhasil kudengar. Sementara suara lembut itu, senyum lebar yang menenangkan itu, semuanya lenyap. Aku jadi ingat pertemuan kemarin. Apakah dia memang benar-benar pergi? Kupikir dia becanda, tapi semua yang diucapkan benar adanya.Sekarang, aku tidak bisa melakukan apa pun selain menangis kencang. Tangisan itu membuat aku membuka mata. Lebar. Dan, ah ... aku mi
Titik nggak pakek koma, pokoknya aku benar-benar marah. Mas Gala sudah keterlaluan tadi pagi. Dia membuat hatiku sakit. Dia semakin menunjukkan bahwa keberadaanku tidak ada penting-pentingnya.Sekarang, aku masuk ke dalam mobil dengan bibir cemberut. Aku juga memasang pengaman tanpa ba bi bu. Sementara dengan cueknya, Mas Gala tetap melajukan mobil tanpa bertanya apa-apa. See? Dia itu benar-benar menyebalkan.Saat mobil melaju, aku sempat melihat makam Bapak dari kejauhan. Kemarin, aku benar-benar menyesal karena tidak bisa berlama-lama di makam itu. Dan sekarang, aku malah pulang ke Bandung tanpa menemuinya lagi.Bapak nggak marah kan? Semoga tidak. Aku yakin, Bapak mengerti perasaan Mas Gala. Sebagai seorang istri, aku harus menghargai Mas Gala yang tidak bisa melihat makam dalam waktu yang lama. Dia begitu terpukul jika ingat orangtuanya.“Peti itu sudah dibawa?” tanya Mas Gala tiba-tiba.Aku tidak menjawab. Kamu pikir, kamu doang ya
Kami sudah sampai di Bandung. Syukurlah. Aku ingin segera masuk ke rumah, kemudian menangis sejadi-jadinya selama Mas Gala kerja. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan berbagai kejadian yang terjadi hanya dalam beberapa jam saja. Kamu tahu rasanya ditikam batu besar dari atas? Begitulah kira-kira diriku sekarang. Sakit. Remuk.Kulihat Mas Gala mengambil ponsel dari dasboard. Dia menyetir menggunakan satu tangan, sementara satu tangan lainnya sibuk menggulirkan layar ponsel. Setelah itu, kulihat dia menempelkan ponsel di telinga.“Atur ulang jadwal meeting siang ini ya!” tegasnya. “Saya ada keperluan!”Mas Gala menurunkan ponsel. Sekarang, dia sibuk lagi menggulir layar ponsel, kemudian, dia menelepon seseorang.“Mel, kita ketemu siang ini ya. Saya sudah di Bandung. Mungkin dua puluh menitan lagi, saya sampai di tempat biasa.”Mas Gala mengakhiri telepon, menyimpan benda itu di dasboard, lalu kembali fokus meny