Cup!
Mataku terpejam saat lelaki itu memberikan kecupan hangat di areal kening. Oh, ini yang kuinginkan.
“Saya pergi,” desahnya pelan.
Aku yang sedang berdiri kaku langsung menarik napas. Pergi? Pergi ke mana?
“Kamu sudah menemukannya, Nara,” katanya dengan senyum begitu lebar. “Tugasku sudah selesai.”
Aku masih bingung. Lima tahun dia menemaniku. Bagaimana mungkin dia berkata ingin pergi?
Sejenak, bibirku bergetar. Aku tidak bisa melupakan begitu saja kenangan yang sudah kami lewati. Kami bermain bersama. Kami berkelana di dunia antah berantah. Kami berlarian di pinggir sungai yang tak pernah kutemukan di kampung halamanku. Sekarang, dia akan pergi?
“Saya benar-benar harus pergi .....” Dia berbalik.
Sebelum menjauh, aku menarik tangannya. Aku memeluknya begitu erat. Kalau memang dia harus pergi, aku rela. Tapi izinkan aku untuk bisa menikmati aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Setidaknya untuk yang terakhir kali.
Dan saat dalam pelukan, dia menghilang. Melebur. Mirip sekali seperti angin yang menyejukkan, kemudian harus terbang jauh. Dia seperti berlari ke berbagai arah dan membuatku bingung. Hingga aku terguncang .....
“Bangun!”
Suara itu?
“Bangun!” Suara itu makin keras.
Aku membuka mata perlahan-lahan. Kamu tahu? Mas Gala sudah ada di depanku. Seperti biasa, wajahnya kaku dan datar. Aku tidak bisa menggambarkan wajahnya yang lebih buruk dibanding cucian kotor.
Mataku mengarah ke jam dinding. “Ini masih jam lima, lho, Mas ....”
“Kita mau ke Garut pagi ini!” tegasnya. “Jadi cepetan bangun!”
Mau tidak mau, aku menggeliat dan bangun dari tempat tidur. Kini, aku dan Mas Gala berhadap-hadapan.
“Kamu keramas ya. Yang basah!” kata Mas Gala.
Heh? Perintah macam apa itu? Aku harus keramas pagi-pagi begini? Terus maksudnya ‘yang basah’ itu apa?
“Tunggu-tunggu ....” Alisku terangkat. “Kamu nyuruh aku keramas? Bukannya semalam kita nggak ngapa-ngapain?”
Pertanyaan polosku membuat Mas Gala langsung melotot. “Emang kalau mau keramas, harus ngapa-ngapain dulu?”
“Jangan-jangan ....” Aku tidak bisa menahan tawa, “diam-diam kamu melakukan itu ya sama aku?”
Mendapati ucapan sok tahu dari mulutku, Mas Gala langsung berdiri dari hadapanku. “Baru kemarin kamu jadi istri saya, tapi kamu sudah membuat saya naik darah!”
“Terus, kenapa kamu nyuruh aku keramas segala?”
“Ya supaya kelihatan sama orang-orang, kalau .....”
Tawaku pecah saat Mas Gala memberi alasan. Hei, aku sudah tahu arah dari ucapan Mas Gala. Dia ingin mereka tahu kalau kami seolah-olah sudah bertualang malam tadi. Mas Gala ingin mereka tahu, bahwa kami melakukan apa yang selayaknya pasangan suami istri lakukan.
“Diam!” tegasnya.
Dasar galak! Ketawa begitu saja sudah langsung disemprot.
“Buruan mandi!” teriaknya.
“Iya, iya, Mas Gala-ku sayang.” Aku bangkit dari atas ranjang. “Kamu udah mandi juga?”
“Bukan urusanmu!”
“Ya urusankulah, Mas. Kalau kamu bau, kan aku juga yang malu sama Ibu.”
Mas Gala diam tanpa kata.
“Kalau belum, kita mandi bareng aja yuk?”
“Jangan kurang ajar ya kamu!”
Tawaku pecah lagi saat melihat mimik Mas Gala yang mirip dengan angry bird. Ya ampun, Nara. Kamu senang sekali menggoda Mas Gala.
Sebelum Mas Gala benar-benar marah, aku beranjak ke toilet kamar. Tidak mungkin aku terus-terusan menggoda suamiku itu. Ya, suami yang sama sekali tidak menyentuhku di malam pertama.
Beralih dari hadapan Mas Gala, aku malah ingat dengan mimpiku sebelum dibangunkan oleh Mas Gala. Bagi kamu yang bertanya-tanya soal ‘alam lain’ yang aku bilang kemarin, jawabannya tentu saja adalah alam mimpi. Bukan alam maya, apalagi alam jadi-jadian.
Sejak SMA, aku bertemu sosok itu di mimpi-mimpiku. Wajah itu, senyum itu, tawa itu, semuanya melekat di dalam otak. Pada awalnya, aku sempat ingin menghilangkannya dari dalam diri. Apa boleh buat? Semua hal telah kulakukan. Bahkan aku dan Ibu sempat pergi ke orang pintar supaya bisa melupakan sosok imajiner tersebut. Ada sebagian orang yang bilang, bahwa sosok yang muncul di mimpiku adalah jin yang menyukaiku. Ngeri juga kalau memang ada sosok beda dimensi yang suka sama aku. Aku tidak bisa membayangkan jika harus memiliki hubungan khusus dengan makhluk astral. Nanti aku jadi ratu siluman lagi. Uh ngeri.
Namun, semua dugaan itu terpatahkan sejak aku bertemu Mas Gala di lobi kantor. Niatku ke PT Galamang Abadi adalah melamar pekerjaan sebagai staf administrasi. Aku yang baru resign dari perusahaan terdahulu mencari peruntungan di perusahaan percetakan. Tidak tanggung-tanggung, PT Galamang Abadi adalah percetakan terbesar di Bandung, bahkan di area Jawa Barat. Dengar-dengar, cabangnya pun sudah tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
Kamu tahu apa yang kulakukan saat pertama kali bertemu Mas Gala? Aku meronta supaya bisa memeluknya seperti yang sering kulakukan di dalam mimpi. Sosok itu mirip sekali dengan Mas Gala. Bukan hanya mirip, tapi aku yakin jika itu memang Mas Gala. Sayang, lelaki itu tidak pernah sekali pun menyebutkan nama saat kami bertemu di alam mimpi. Dia hanya menemaniku melakukan berbagai hal.
Itu pula yang membuatku menerima ajakan Mas Gala. Dulu, aku sama sekali tidak tahu, apakah ajakan menikah dari Mas Gala cuma becandaan? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab detik ini, sebulan dari ajakan Mas Gala, aku benar-benar menjadi istrinya. Alih-alih jadi karyawan di PT Galamang, aku malah menjadi istri CEO. Kejutan, bukan? Persiapan pernikahan kami yang dilakukan di gedung mewah pun dilakukan dalam sekejap. Mas Gala hanya dua kali ke rumah Ibu untuk melamarku serta menentukan tanggal pernikahan. Garcep sekali Mas Gala ini.
Namun, masih banyak hal yang ingin aku tanyakan ke Mas Gala. Apa yang membuatnya mengajakku menikah di hari pertama kami bertemu? Apa dia juga sudah memiliki firasat tentang jodohnya? Atau mungkin, dia memiliki sosok imajiner di dalam mimpi seperti yang kualami?
Mungkin bagi kamu, ini semua terasa tidak masuk akal. Tapi aku mengalaminya. Aku memiliki sosok teman, sahabat, juga kesayangan di dalam mimpi.
“Aku pergi .....”
Aku masih ingat ucapan sosok itu sebelum Mas Gala membangunkanku. Apa ini pertanda kalau dia tidak akan muncul di mimpi-mimpiku lagi? Dia berkata kalau aku sudah menemukan seseorang. Apakah seseorang yang dia maksud adalah Mas Gala? Jika benar begitu, berarti sosok itu disiapkan untuk menemaniku, sebelum aku bertemu dengan Mas Gala.
“Buruan!” teriak Mas Gala dari luar.
Mati aku! Aku belum sempat melakukan apa pun dari tadi. Aku malah memikirkan sosok imajiner yang ada di dalam mimpi.
“Iya, Mas. Bentar lagi.”
“Jangan lama ya. Saya tunggu di ruang keluarga.”
Huh, aku mulai mengerti pola dari seorang Gala Bahuwirya. Sesuai dengan jabatannya di kantor. Dia adalah lelaki yang gemar memerintah. Nara, apa kamu akan tahan hidup di sisinya? Apa kamu bisa melakukan fungsimu sebagai istri? Sedangkan, kamu sudah tahu kan, jika Mas Gala-mu itu bahkan tidak menyentuhmu sama sekali?
Lucunya, Mas Gala hanya menyuruhku untuk keramas ‘yang basah’ agar terlihat jika kami telah melakukan ‘celap-celup’. Aduh, maaf kalau aku terkesan ceplas-ceplos. Tapi sungguh, ini beru pertama kalinya aku menemukan sosok seperti Mas Gala. Di luar sana, banyak lelaki yang mencari sosok perempuan untuk sekadar menikmatinya. Nah Mas Gala, dia bahkan tidak menyentuhku sesenti pun. Ajaib, kan?
Sudahlah Nara. Kamu harus segera mandi. Seperti kata Mas Gala, kamu harus ‘basah’. Lagipula, pagi ini akan banyak orang yang menanyakan pengalaman malam pertama. Kamu juga harus menyiapkan berbagai karangan menyenangkan yang mungkin akan membuat mereka termehek-mehek mendengarnya.
Yok, Nara. Semangat, Nara ....
***
“Aaaaaa!”Aku mundur dengan badan menegang saat mendengar teriakkan itu. Rupanya, ada Bi Marni yang berada di depan toilet. Apa yang dia lakukan?“Aduh Neng, maaf ya ....” Bi Marni gelagapan. Sementara, aku mengusap dada.“Ada yang Bibi lakuin di sini?” tanyaku.Bibi mesem-mesem saat aku lontarkan pertanyaan itu. Selanjutnya, dia berbisik pelan. “Semalem gimana, Neng? Seru?”Mendapati pertanyaan itu, aku langsung melotot.Benar kan dugaanku? Pagi ini, sudah ada Bi Marni yang kepo. Kenapa sih, orang-orang selalu ingin tahu urusan ranjang pengantin baru? Apa menariknya membahas aktivitas privat yang tidak semua orang bisa menjelaskan? Lagipula, aku tidak punya pengalaman menarik soal semalam, bukan?“Pasti seru!” Bi Marni menjawab pertanyaannya sendiri. “Habisnya, Neng Nara juga mandinya lama.”“Apa hubungannya seru dan lama?”“Nggak
“Duduk!” tegas Mas Gala.Seumur-umur, aku tidak pernah diperintah oleh siapa pun. Aku orang yang bebas dengan segala argumen dan juga keberanianku. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa kalah dengan Mas Gala? Bagaimana mungkin, aku bisa menjadi suruhannya Mas Gala?Aku duduk sesuai perintah. Dan aku tidak bisa membantah.“Makan!” Ucapannya masih sama. Pendek, tapi nyelekit di hati.Aku melihat sekeliling meja makan. Nasi goreng bertengger di atasnya. Ayam goreng, sop, sayur segar, dan ikan seukuran tangan menjadi salah satu pelengkap. Sumpah, mungkin ini makanan yang biasa saja bagi Mas Gala. Aku yakin jika Bi Marni memasak bahan-bahan sisa karena sibuk membantu nikahan kemarin. Namun bagiku, ini adalah makanan yang cukup mewah. Saat dikosan, makananku itu-itu saja. Kalau tidak nasi telur, paling banter nasi ayam, itu juga seminggu sekali.Aku masih ingat ucapan Bapak. Hidup itu harus hemat. Sebab jika hemat, seseorang akan meras
Aku mendengar beberapa teriakkan, hingga ada satu hal yang membuatku beku. Kendaraan Mas Gala berhenti. Sementara jeritan dari luar seolah menggambarkan chaos-nya keadaan. Jeritan itu panjang, namun aku masih menutup wajah dengan dada naik turun. Kejadian ini mengingatkanku kepada Bapak. Bapak meninggal gara-gara tambrakan sehabis pulang mengantarku wisuda.“Kamu nggak apa-apa?”Suara itu? Ah, suara itu benar-benar menenangkanku. Bagaimana mungkin Mas Gala bisa membuat seluruh tubuhku menghangat? Perlahan-lahan, aku membuka mata. Kamu tahu? Kedua tangan Mas Gala melingkar di kepalaku. Ternyata, dia memelukku dengan begitu erat.“Mas .....”Sekarang, Mas Gala mengusap wajahku yang berkeringat. Dia terlihat begitu cemas. “Ada yang sakit?”Aku menggeleng. “Aku cuma .....”“Bilang kalau kamu merasa sakit!” tegasnya.“Aku cuma ....” Aku mengembuskan napas dengan diirin
Ibu mengangguk dengan tatapan nanar. Aku tahu, Ibu sangat sedih jika harus mengungkit hal-hal yang berhubungan dengan Bapak. Tapi apa boleh buat? Bukankah Bapak memberikan amanat itu kepada Ibu? Sebagai anak, tentu saja aku hanya bisa menguatkan.“Jang Kasep tunggu saja di ruang tamu ya,” desah Ibu. “Bukannya nggak boleh ikut ke kamar, tapi ....”“Tidak masalah, Bu,” jawab Mas Gala. “Saya mengerti.”Ibu tersenyum lebar mendengar tanggapan sopan dari Mas Gala.Kami bertiga bangkit dari ruang makan. Mas Gala melangkah ke ruang tamu, sementara aku dan Ibu melangkah ke kamar Ibu. Kamar yang sudah lama tidak aku injak. Aku masih ingat, terakhir kali masuk ke kamar itu saat aku kelas lima SD. Sebelum pindah ke kamar berbeda.Saat masuk ke kamar, aku masih mencium aroma tubuh Bapak. Aroma yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Harum khas yang membuat badanku seperti tersuntik energi. Ah, Bapak memang h
“Kalau ada tragedi kayak gini, siapa yang nolongin kamu, Mas?” Aku bertanya sambil mengompres dahi Mas Gala dengan air hangat. Dulu, sering sekali aku menghayal untuk bisa memberikan perhatian semacam ini kepada seorang lelaki. Sekarang, semua jadi kenyataan. “Apa kamu sendiri yang ngobatin?”“Bawel!” tegasnya.Aku menekan kompresan di dahinya hingga dia mengaduh. Rasain! Lagian, judes banget sih jadi orang?“Kamu nggak berprikemanusiaan banget sih?” tanyanya dengan mata melotot.“Kamu yang enggak berprikesuamian. Ditanya kayak gitu aja kok ngambek!”Aku tidak akan kalah begitu saja Mas. Kamu lihat kan, kalau aku bisa melawan? Hahaha. Mas Gala sangat menggemaskan jika digoda seperti ini.“Aku tahu kok siapa yang layanin kamu kalau ada tragedi kayak gini.” Aku terkikik.“Sok tahu!” Mas Gala pura-pura melihat ke arah lain. “Emang siapa?”
“Mas Gala!” teriakku.Sial! Apa yang salah dengan makam Bapak? Kenapa Mas Gala pergi begitu saja? Dia seperti ketakutan. Di sisi lain, dia juga terlihat emosi. Seolah-olah, pernah ada hubungan antara Bapak dan Mas Gala sebelumnya. Tapi apa?“Mas tunggu!” teriakku makin kencang. “Jangan gini dong!”Mas Gala pikir, mungkin aku adalah seorang perempuan lemah yang tidak bisa berlari untuk menyusulnya. Hei, kamu tidak tahu Mas. Gini-gini, aku adalah juara atlit lari antar anak-anak kampung semasa SD. Kamu menyepelekanku, Mas?Aku berlari begitu kencang. Bahkan aku sudah bisa melihat tubuh Mas Gala yang semakin dekat denganku. Kira-kira 15 meter dari posisiku sekarang. Namun, aku terkejut luar biasa saat ada gonggongan anjing dari belakang! Otomatis, aku menengok. Ada satu anjing yang seperti kesetanan mengejar kami berdua.Kampungku tidak pernah berubah dengan keberadaan anjing-anjing milik warga. Di sini, anjing dija
“Kamu di mana?” teriakku.Ini kesekian kalinya aku mencari sosok itu. Namun, bagaimana mungkin aku tidak menemukannya? Di mana dia yang selalu menemaniku dikala sedih? Di mana dia yang selalu mendengarkanku saat bercerita soal Bapak?“Jangan becanda!” Aku hampir frustrasi, hingga duduk di atas tanah.Aku harus mencari dia ke mana lagi? Ini tanah lapang. Tidak ada jalan yang bisa kutelusuri. Semua hal yang kulihat semacam ruangan luas yang sama sekali tidak berpenghuni. “Apa kamu nggak sayang aku lagi?”Masih tidak ada jawaban. Hanya gema suara sendiri yang berhasil kudengar. Sementara suara lembut itu, senyum lebar yang menenangkan itu, semuanya lenyap. Aku jadi ingat pertemuan kemarin. Apakah dia memang benar-benar pergi? Kupikir dia becanda, tapi semua yang diucapkan benar adanya.Sekarang, aku tidak bisa melakukan apa pun selain menangis kencang. Tangisan itu membuat aku membuka mata. Lebar. Dan, ah ... aku mi
Titik nggak pakek koma, pokoknya aku benar-benar marah. Mas Gala sudah keterlaluan tadi pagi. Dia membuat hatiku sakit. Dia semakin menunjukkan bahwa keberadaanku tidak ada penting-pentingnya.Sekarang, aku masuk ke dalam mobil dengan bibir cemberut. Aku juga memasang pengaman tanpa ba bi bu. Sementara dengan cueknya, Mas Gala tetap melajukan mobil tanpa bertanya apa-apa. See? Dia itu benar-benar menyebalkan.Saat mobil melaju, aku sempat melihat makam Bapak dari kejauhan. Kemarin, aku benar-benar menyesal karena tidak bisa berlama-lama di makam itu. Dan sekarang, aku malah pulang ke Bandung tanpa menemuinya lagi.Bapak nggak marah kan? Semoga tidak. Aku yakin, Bapak mengerti perasaan Mas Gala. Sebagai seorang istri, aku harus menghargai Mas Gala yang tidak bisa melihat makam dalam waktu yang lama. Dia begitu terpukul jika ingat orangtuanya.“Peti itu sudah dibawa?” tanya Mas Gala tiba-tiba.Aku tidak menjawab. Kamu pikir, kamu doang ya