“Kamu di mana?” teriakku.
Ini kesekian kalinya aku mencari sosok itu. Namun, bagaimana mungkin aku tidak menemukannya? Di mana dia yang selalu menemaniku dikala sedih? Di mana dia yang selalu mendengarkanku saat bercerita soal Bapak?
“Jangan becanda!” Aku hampir frustrasi, hingga duduk di atas tanah.
Aku harus mencari dia ke mana lagi? Ini tanah lapang. Tidak ada jalan yang bisa kutelusuri. Semua hal yang kulihat semacam ruangan luas yang sama sekali tidak berpenghuni. “Apa kamu nggak sayang aku lagi?”
Masih tidak ada jawaban. Hanya gema suara sendiri yang berhasil kudengar. Sementara suara lembut itu, senyum lebar yang menenangkan itu, semuanya lenyap. Aku jadi ingat pertemuan kemarin. Apakah dia memang benar-benar pergi? Kupikir dia becanda, tapi semua yang diucapkan benar adanya.
Sekarang, aku tidak bisa melakukan apa pun selain menangis kencang. Tangisan itu membuat aku membuka mata. Lebar. Dan, ah ... aku mimpi lagi. Kali ini, mimpiku tidak semanis mimpi yang sudah-sudah. Dia benar-benar pergi.
Saat membuka mata lebar-lebar, aku terkejut luar biasa. Mas Gala sedang berdiri di depan meja. Dia seperti patung. Apa yang dia lakukan? Tadinya, aku akan bertanya. Namun setelah dipikir-pikir, rasanya aku harus diam dulu. Aku tidak boleh bersuara sebelum tahu tujuannya. Kamu ingat kejadian saat Mas Gala tertubruk pintu tadi siang? Kejadian itu yang membuatku curiga saat ini.
Aku melihat Mas Gala dari belakang. Jelas saja, aku tidak bisa melihat bagaimana mimik wajahnya. Yang kutahu, tangan Mas Gala mulai bergerak. Tangan itu mengarah ke .... peti! Hei, apa yang akan dia lakukan terhadap peti itu?
Melihat aktivitas Mas Gala, jantungku berdetak lebih kencang. Aku merasakan aura yang begitu buruk. Udara di ruanganku mendadak seperti es. Aku merasa jika angin yang biasanya masuk melalui celah-celah, kini lebih ganas.
Hingga, tangan Mas Gala menempel di atas peti. Kamu tahu apa yang terjadi? Mas Gala tidak bergerak setelah itu. Dia seperti Malin Kundang yang dikutuk oleh Ibunya. Dia mirip batu. Jelas saja hal tersebut membuat aku penasaran.
“Mas ....,” desahku sambil turun dari ranjang. “Kamu ngapain?”
Tidak ada jawaban. Mas Gala masih tetap berdiri dengan badan tegak tanpa bergerak. Aku sendiri memilih maju dengan gerakkan pelan. Jujur, aku takut. Mas Gala terlihat aneh dan berbeda dari biasanya.
Aku menepuk pundak Mas Gala. Namun saat tepukan itu mendarat, tiba-tiba Mas Gala jatuh. Suara badannya yang jatuh membuat aku syok dan mundur. Kulihat Mas Gala mulai bergerak. Namun gerakkannya berbeda. Dia mengigil!
“Mas!” Aku berjongkok. “Mas, kamu kenapa?”
Tidak ada jawaban. Mas Gala hanya memeluk badan dengan kedua tangan. Gigi Mas Gala bergemeletuk. Wajahnya juga terlihat pucat. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa dia kedinginan karena udara di sini? Atau karena .... peti itu?
Tapi itu semua tidak penting! Aku harus menolong Mas Gala.
“Mas, jangan bikin aku cemas!” teriakku.
Aku membantu Mas Gala bangun dari lantai. Meski menggigil, dia masih bisa berdiri. Aku memilih memindahkan Mas Gala ke atas ranjang.
Kamu masih ingat dengan harapanku sebelum tidur? Aku berharap jika Mas Gala kedinginan, lantas meminta untuk tidur seranjang denganku. Kini, permintaan itu terwujud. Namun di situasi sekarang, aku malah gelisah. Benar-benar gelisah.
Dengan gerakkan cepat, aku melilitkan selimut di tubuh Mas Gala. Aku juga membiarkan kepalanya berada di pahaku. Dia sama sekali tidak berbicara. Aku hanya melihat jika matanya terbuka dan tertutup. Begitu terus. Hingga membuat aku menangis.
“Mas,” aku mengusap dahinya. Aku mencium wajahnya yang pucat. “Kamu kenapa? Apa yang terjadi, Mas?”
“Na-nara ......”
Suara itu!
Ah, Mas Gala memanggilku. Aku yang awalnya tidak mendengar suaranya, kini tersenyum sambil menyeka mata. “Mas, ini aku, Nara. Kamu kenapa?”
“A-aku dingin .....”
Aku memeluk Mas Gala di pangkuan. Aku tidak bisa melakukan apa pun selain itu. Aku juga tidak bisa membangunkan Ibu tengah malam begini. Aku tidak mau membuatnya cemas.
Ajaib, ucapan tadi mengakhiri gigilan di tubuh Mas Gala. Gerakkan mengigil makin lama makin lambat, lalu menghilang.
Huh! Akhirnya Mas Gala diam. Kulihat napasnya kembali teratur dengan mata terpejam. Apa mungkin dia bermimpi? Mungkin dia melindur hingga tidur sambil jalan? Entahlah.
Sekarang, aku menggeserkan kepala Mas Gala dari pangkuan. Aku meletakkan kepala itu di bantal sebelah. Hati-hati, aku juga menyelimutinya. Barangkali, Mas Gala memang benar-benar kedinginan karena udara di sini.
“Mas, kapan kamu bisa membuatku tenang?” Aku berbicara sendiri sambil mengusap wajahnya. “Baru dua hari kita menikah. Tapi, bagaimana mungkin kamu malah membuatku penasaran seperti ini? Kamu misterius Mas!”
Aku memilih menggeserkan badan dari sisi Mas Gala. Mas Gala sudah tenang. Aku juga tidak mungkin diam begini. Aku harus tidur. Besok pagi, kita akan pulang ke Bandung. Mas Gala pernah bilang bahwa ada meeting siang hari. Jadi ya, kami harus sampai ke Bandung sebelum jam sebelas.
Mas, Mas. Dirimu baru menikah lho. Apakah tidak ada waktu cuti dari pekerjaan? Sepertinya cuti itu memang mustahil bagi Mas Gala. Toh, aku tidak penting di mata Mas Gala. Jika biasanya pasangan pengantin baru menghabiskan waktu berdua untuk berbulan madu, maka aku dan Mas Gala sebaliknya. Aku mirip sekali seperti orang asing yang tiba-tiba masuk ke kehidupannya.
Ini adalah kali pertama kami tidur seranjang. Tapi aku tidak bahagia. Aku tahu, Mas Gala tidak akan melakukan ini jika dalam keadaan sadar.
***
“Aaaaaaa!”
Aku terperanjat saat mendengar suara itu. Mataku mendadak terbuka dan mendapati Mas Gala memepet ke dinding dengan mata melotot. Napasnya terengah-engah. Dia melihatku dengan penuh curiga.
“Apa yang kamu lakuin sama saya?”
“Mas .....” Aku menggisik mata. Aku masih santai menanggapi pertanyaan itu. “Kamu ngomong apa sih?”
“Kenapa saya tiba-tiba ada di sini?” Sekarang, Mas Gala turun dari ranjang. Dia berdiri dan membelakangiku.
“Mas, makasih ya buat semalem. Kamu udah bikin aku bahagia. Akhirnya, kita melakukannya.”
Mas Gal balik kanan dengan wajah keras. Sementara, aku menahan tawa di dalam hati. Ya ampun Mas, segitunya kamu menjaga kehormatan? Bagaimana kalau aku dan kamu benar-benar melakukannya? Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?
“Kamu jangan macam-macam ya!” tegasnya.
“Siapa yang macam-macam? Semalam, kamu memang ngelakuin itu kok sama aku. Ternyata, kamu kuat juga ya kalau ....”
Mas Gala tiba-tiba membekam mulutku. Dia terlihat geram.
Dalam bekaman itu, aku tertawa terbahak-bahak. Hingga Mas Gala melepaskan bekaman dengan wajah aneh. Mungkin dia heran melihatku tertawa begitu.
“Mas, Mas, kamu itu lucu banget ya?” Aku menatapnya. “Secemas itukah kamu sama istrimu sendiri? Apa selama ini kamu nggak pernah tidur dengan perempuan lain di luar sana?”
Mas Gala terdiam.
“Asal kamu tahu Mas, semua yang kukatakan barusan cuma bohong. Puas?”
Mas Gala mengembuskan napas kasar saat mendengar pengakuanku.
“Sampai kapan sih kamu begini? Sampai kapan kamu mencampakkanku? Kita sudah sah menjadi suami istri. Kamu juga berkewajiban untuk ....”
“Diam!” Sekarang, dia menatapku. “Jelaskan, kenapa saya bisa ada di ranjang!”
Aku mengangguk-angguk. Di sini, aku sadar jika Mas Gala memang tidak mencintaiku.
“Semalam, kamu berdiri di depan peti itu. Tapi tiba-tiba, kamu jatuh ke lantai dengan badan menggigil. Dan itulah yang membuatku memindahkanmu ke atas ranjang. Memang kamu pikir, apa yang kulakukan Mas? Kamu pikir, aku memperkosamu?”
Mata Mas Gala membulat mendengarkan penjelasanku, terutama saat mendengar kalimat terakhir.
“Lagian, kamu ngapain nyentuh-nyentuh peti itu, Mas?” tanyaku.
Mas Gala terlihat seperti orang linglung. Dia melihat ke arah peti, kemudian melihat lagi ke arahku.
“Saya nggak ingat apa-apa.”
“Oke .....” Aku duduk lagi di pinggir ranjang. “Berarti, semalam kamu ngigau. Kamu tidur sampai berjalan ke arah peti itu, dan ... ya, itulah yang menyebabkan kamu ada di ranjang.” Aku membereskan selimut yang berantakkan. “Sudahlah, Mas. Aku ngerti kalau kamu memang nggak mau tidur sama aku. Aku faham. Dan seharusnya, semalam aku membiarkanmu tergeletak di lantai. Toh kamu juga nggak peduli!”
Sungguh, aku merasa seperti perempuan murahan yang membuat lelaki tak berdaya, kemudian diam-diam, aku mencari kesempatan di balik kesempitan. Ah, Nara. Kamu lupa? Kamu memang murahan. Perempuan mana yang mau menikahi dengan lelaki yang baru dikenal? Hanya kamu yang melakukannya Nara.
“Maaf!” desah Mas Gala.
Aku tidak menanggapi ucapan Mas Gala. Aku hanya merasa jika perkataan maaf tak lagi penting. Yang penting sekarang adalah dicintai. Dan aku tidak tahu, kapan itu semua bisa terjadi.
Selamat Mas! Di hari kedua menikah, kamu berhasil membuat hatiku berantakkan.
Titik nggak pakek koma, pokoknya aku benar-benar marah. Mas Gala sudah keterlaluan tadi pagi. Dia membuat hatiku sakit. Dia semakin menunjukkan bahwa keberadaanku tidak ada penting-pentingnya.Sekarang, aku masuk ke dalam mobil dengan bibir cemberut. Aku juga memasang pengaman tanpa ba bi bu. Sementara dengan cueknya, Mas Gala tetap melajukan mobil tanpa bertanya apa-apa. See? Dia itu benar-benar menyebalkan.Saat mobil melaju, aku sempat melihat makam Bapak dari kejauhan. Kemarin, aku benar-benar menyesal karena tidak bisa berlama-lama di makam itu. Dan sekarang, aku malah pulang ke Bandung tanpa menemuinya lagi.Bapak nggak marah kan? Semoga tidak. Aku yakin, Bapak mengerti perasaan Mas Gala. Sebagai seorang istri, aku harus menghargai Mas Gala yang tidak bisa melihat makam dalam waktu yang lama. Dia begitu terpukul jika ingat orangtuanya.“Peti itu sudah dibawa?” tanya Mas Gala tiba-tiba.Aku tidak menjawab. Kamu pikir, kamu doang ya
Kami sudah sampai di Bandung. Syukurlah. Aku ingin segera masuk ke rumah, kemudian menangis sejadi-jadinya selama Mas Gala kerja. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan berbagai kejadian yang terjadi hanya dalam beberapa jam saja. Kamu tahu rasanya ditikam batu besar dari atas? Begitulah kira-kira diriku sekarang. Sakit. Remuk.Kulihat Mas Gala mengambil ponsel dari dasboard. Dia menyetir menggunakan satu tangan, sementara satu tangan lainnya sibuk menggulirkan layar ponsel. Setelah itu, kulihat dia menempelkan ponsel di telinga.“Atur ulang jadwal meeting siang ini ya!” tegasnya. “Saya ada keperluan!”Mas Gala menurunkan ponsel. Sekarang, dia sibuk lagi menggulir layar ponsel, kemudian, dia menelepon seseorang.“Mel, kita ketemu siang ini ya. Saya sudah di Bandung. Mungkin dua puluh menitan lagi, saya sampai di tempat biasa.”Mas Gala mengakhiri telepon, menyimpan benda itu di dasboard, lalu kembali fokus meny
Aku masuk ke dalam mobil dengan senyum sumringah. Aku merasa begitu bahagia saat tahu bahwa suamiku bertanggungjawab penuh untuk memberikan bukti. Dia mengajakku bertemu langsung dengan Melica supaya aku tidak salah faham. Ah, Mas, kamu selalu berusaha meyakinkanku, tetapi di sisi lain, kamu juga keras, kaku, datar, dan kadang-kadang menyakitkan. Kenapa bisa begitu, Mas?Aku melirik Mas Gala yang sedang membolak-balikkan setiran mobil. Setelahnya, dia melajukan kendaraan dari café yang sudah kami datangi. Aku yang ada di sisinya terus menatapnya dengan senyuman lebar. Kalau dilihat-lihat, Mas Gala begitu mempesona. Aku mencintai bentuk rahang yang begitu tajam.“Ngapain lihat-lihat?” tanya Mas Gala. Matanya masih fokus ke depan.“Heh?” Aku langsung nyengir. “Kukira kamu nggak nyadar, Mas.”“Kamu lihatin gitu kayak mau ngelahap saya tau nggak!”Aku tertawa mendengar ucapan itu. Kenapa sih Mas, k
Saat ucapan itu meluncur dari mulutku, bibi langsung melotot. Dia terlihat syok karena aku berniat masuk ke dalam ruangan itu.“Jangan masuk, Neng. Nanti Pak Gala marah. Dia tidak pernah suka dibantah,” jelas Bi Marni.Mas Gala akan marah jika dia tahu kalau aku masuk ke dalam sana. Tapi kalau dia tidak tahu? Tidak mungkin dia marah. Aku bukan perempuan lemah yang jika sudah dilarang bisa diam. Semakin banyak hal aneh di sini, aku semakin penasaran.“Aku sama sekali nggak nanyain pendapat Bibi soal Mas Gala,” jelasku. “Aku hanya tanya, apa Bibi punya kunci ruangan itu?”Sekarang, Bibi menunduk. Dia seperti sedang memikirkan banyak hal. Sejenak, dia menatapku dengan tatapan ragu.“Bibi takut sama Mas Gala?” Aku bertanya dengan nada yang lebih tegas. “Aku janji, ini rahasia kita berdua. Aku nggak akan bocorin apa pun ke Mas Gala. Aku hanya penasaran dengan ruangan itu. Aku janji, aku nggak akan ma
Aku berjalan, tetapi kaki ini seperti tak menapak di atas lantai. Aku merasa panas dingin saat harus menemui perempuan yang Bibi maksud. Sampai kemudian, aku mendapati seorang perempuan yang membelakangiku di ruang tamu. Terdapat koper kecil yang bertengger di sisinya.Aku mendeham. Hingga dia berbalik dan tersenyum lebar.“Melica?” Terkejut, aku mendekatinya. “Jadi kamu yang ....”“Sorry Nara.” Dia langsung memelukku. “Aku bikin kamu panik ya? Mungkin kamu akan ngira yang enggak-enggak soal kedatangan seorang perempuan. Mana bawa-bawa koper lagi.” Melica terkekeh.Aku mengembuskan napas. Meskipun yang datang ke rumah adalah Melica, tetap saja aku merasa was-was. Mas Gala menyuruh Melica tinggal di sini?“Tadinya, aku akan tinggal di hotel selama dua minggu ini. Tapi Gala maksa aku buat tinggal di rumahnya. Khawatir katanya. Lagian, biaya hotel selama dua minggu itu mahal banget. Mana aku juga p
Air mataku belum reda juga. Ini adalah tangisan terpanjang selama aku hidup. Nyaris tujuh jam lebih aku ada di kamar ini. Mengunci diri. Menutup seluruh badan menggunakan selimut. Aku benar-benar tidak habis pikir Mas Gala berbicara sekasar itu. Dia menyesal karena telah menikahiku?Pak, Bapak lihat perlakuan Mas Gala kan? Aku benar-benar tidak tahu harus mengadu ke siapa. Tapi jujur, Pak, Nara sakit hati. Di sini, Nara seperti manusia paling menjijikan yang pernah ada. Mas Gala berbicara dengan begitu enteng.Apa Nara harus menyerah?Pasti Bapak bilang bahwa ini semua tidak lucu.“Nara, pernikahanmu dengan Gala baru berjalan tiga hari. Bagaimana mungkin kamu memutuskan untuk menyerah?”Mungkin itu yang akan Bapak katakan. Aku tidak yakin Bapak akan mendukungku penuh. Tapi Pak, aku tidak bisa diam saja diperlakukan seperti ini. Aku masih punya harga diri. Bayangkan Pak, bagaimana jika Mas Gala melakukan hal yang lebih ekstrem dari sekad
Aku menyimpan koper di pojok kamar. Rencana pergiku batal. Kamar juga dikunci. Sementara Mas Gala sudah terbaring di atas sofa. Huh, dia benar-benar cuek. Setelah memelukku tadi, tidak ada lagi perhatian lain yang dia berikan.Aku naik ke atas ranjang perlahan-lahan. Lantas, aku melilit badan dengan selimut. Agak lega sebenarnya. Mas Gala tidak lagi marah. Pelukan itu sudah membuktikan kalau dia khawatir aku pergi. Tapi tetap saja aku kesal. Kesal karena adegan yang kuimpikan tidak berlanjut. Mas Gala pura-pura lupa dan memilih tidur.Blukbuk ...Duh, perutku sakit lagi. Ini gara-gara aku belum makan. Dari tadi siang, napsu makan itu memang menghilang, tapi kenapa sekarang malah muncul ya? Ini tandanya kalau aku sudah pulih. Pulih dari rasa sedih dan gelisah.Tapi malas juga untuk makan. Apalagi kalau ada Mas Gala begini. Nanti dikiranya, aku ini terlalu jaim hingga baru makan sekarang. Ujung-ujungnya, pasti dia ngomel dan bilang, “Makannya, jangan
“Keras, Mas!” ucapku.Aku masih berusaha untuk membuka peti tersebut. Ah, sepertinya ini terjadi karena petinya sudah terlalu tua. Kuncinya pun susah untuk dibuka.“Kamu aja yang buka, Mas,” ucapku. Aku menggeserkan bagian peti, sehingga bagian gembok yang harus dibuka ada di depannya. Kuncinya pun sudah menempel di gembok itu. “Tenagamu sepertinya sudah lebih besar.”Ragu-ragu, Mas Gala memegang peti itu. Dia mencoba untuk membuka kunci dengan tangan. Namun tiba-tiba saja, badannya beku. Dia diam seperti patung. Kejadian ini sama seperti kejadian malam itu saat kami menginap di rumah Ibu.Otomatis, aku melotot. “Mas, kamu kenapa?”Dia tidak menjawab. Hingga kemudian, badannya terjatuh ke belakang. Untung saja ini di atas kasur, kalau di lantai, mungkin kepalanya akan terbentur. Kamu tahu? Kejadian malam itu terjadi lagi sekarang. Badannya menggigil.Aku meloncat dari kasur dan kembali menyimpa