“Mas Gala!” teriakku.
Sial! Apa yang salah dengan makam Bapak? Kenapa Mas Gala pergi begitu saja? Dia seperti ketakutan. Di sisi lain, dia juga terlihat emosi. Seolah-olah, pernah ada hubungan antara Bapak dan Mas Gala sebelumnya. Tapi apa?
“Mas tunggu!” teriakku makin kencang. “Jangan gini dong!”
Mas Gala pikir, mungkin aku adalah seorang perempuan lemah yang tidak bisa berlari untuk menyusulnya. Hei, kamu tidak tahu Mas. Gini-gini, aku adalah juara atlit lari antar anak-anak kampung semasa SD. Kamu menyepelekanku, Mas?
Aku berlari begitu kencang. Bahkan aku sudah bisa melihat tubuh Mas Gala yang semakin dekat denganku. Kira-kira 15 meter dari posisiku sekarang. Namun, aku terkejut luar biasa saat ada gonggongan anjing dari belakang! Otomatis, aku menengok. Ada satu anjing yang seperti kesetanan mengejar kami berdua.
Kampungku tidak pernah berubah dengan keberadaan anjing-anjing milik warga. Di sini, anjing dijadikan penjaga rumah karena masih rawan maling. Sekarang, mungkin anjing itu mengira bahwa aku dan Mas Gala adalah maling yang akan mengeruk harta kekayaan di rumah majikan mereka. Menyebalkan!
“Mas!” Aku ketakutan.
Ya, aku pernah digigit anjing saat SMP. Sampai-sampai, aku hampir mogok sekolah karena takut dikejar anjing lagi. Waktu itu, Bapak turun tangan dan mengantar jemput sekolah selama sebulan lebih. Sekarang, aku dikejar anjing lagi? Apakah kakiku akan berdarah seperti dulu?
Guk! Guk!
Anjing itu semakin dekat. Hingga aku ....
“Argh!”
Aku terjatuh di tengah jalan. Kakiku terkilir. Mas, Mas. Ini hari kedua kita menjadi suami istri. Tapi kenapa kamu sudah membuatku seperti ini? Aku dikejar anjing gara-gara kamu yang pergi begitu saja dari makam.
“Mas tolong!” teriakku.
Anjing berwarna hitam putih dengan badan besar dan lidah menjulur semakin dekat. Pemilik anjing ini ke mana? Ah, aku lupa. Orang-orang di sini kebanyakan bekerja sebagai petani. Mereka pasti pergi ke kebun masing-masing. Sementara siang-siang begini, pasti anak-anak mereka sedang sekolah.
Aku pasrah!
Aku tidak bisa bergerak lebih jauh karena kakiku sakit. Mungkin aku akan digigit anjing untuk kedua kalinya.
Saat aku benar-benar diam dengan kedua tangan menutup wajah, tiba-tiba ada yang menggebrak tanah.
“Anjing lo!” teriak Mas Gala.
“Ya itu emang anjing, Mas,” jelasku. Meski kesakitan, aku tetap bisa menggodanya.
“Jangan becanda terus napa?” Mas Gala melotot.
Ah, Mas, romantis banget sih kamu. Untung kamu datang.
Aku bisa bernapas lebih lega. Anjing itu sudah berlari jauh. Mungkin dia takut terhadap wajah keras Mas Gala.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Mas Gala. Dia berjongkok dan mengusap wajahku.
Aku menggeleng sambil menyeka mata. “Aku ....”
“Lagian, kenapa sih lari-lari?” ketusnya.
“Ya gara-gara kamu!” tegasku. “Aku lari karena ngejar kamu. Nggak nyadar banget sih jadi orang!”
Mas Gala terdiam sejenak. Dia mengatur napasnya dengan tatapan iba. Setelahnya, dia berdiri. “Ya sudah ayok. Anjingnya sudah pergi!”
Heh? Apa dia tidak melihat kalau kakiku terkilir? Sakit Kakang Gala, sakit! Apakah sebagai seorang lelaki kamu tidak bisa melihat istrimu kesakitan?
“Ayo ....”
“Mas ....,” desahku. “Apa kamu nggak lihat kalau aku kesakitan? Tadi kakiku terkilir. Makannya jatuh. Kamu kok nggak peka banget jadi orang!”
Mas Gala masih berdiri dengan wajah datar. Sekarang, dia mengembuskan napas kasar. Mungkin kesal karena aku terlalu banyak berbicara. Sampai kemudian, dia membopongku tanpa bicara sepatah kata pun.
“Mas, aku ....”
“Diem!” tegasnya. “Kamu mau saya tinggal di sini?”
Ya ampun, Mas Gala. Kupikir, kamu akan bantu aku bangun, kemudian akan memapah perlahan-lahan. Ini dibopong? Bukannya tidak senang, cuman berasa aneh saja. Bagaimana kalau ada tetangga yang lihat? Mungkin kesannya, kami sedang pamer kemesraan.
Sekarang, Mas Gala berjalan. Dia terlihat enteng mengangkat tubuhku. Padahal terakhir menimbang badan, beratku sekitar 60 kilo. Besar? Menurutku tidak. Sebab sebelum ini, aku pernah memiliki berat badan 70 kilogram.
“Kamu kenapa lari gitu aja sih, Mas? Dia itu Bapak aku. Seharusnya kamu hormat sama dia. Kamu malah ....”
“Bisa diem nggak?” jawabnya. “Kamu mau saya turunin?”
Huh! Mas Gala benar-benar keterlaluan. Dia sama sekali tidak membuatku menjadi lebih tenang. Yowis, aku diam saja kalau begitu. Aku tidak mau kalau dia mengamuk. Dan lagi, aku akan ngambek hari ini. Lihat saja. Aku tidak akan mengajaknya bicara setelah sampai rumah!
***
Aku menjinjing peti dari kamar Ibu ke kamarku. Saat masuk ke kamar, Mas Gala sudah duduk di atas ranjang. Namun dia terlihat terkejut ketika melihat peti kecil yang kubawa. Wajahnya lebih dari biasanya.
“Jadi itu benda peninggalan Bapak kamu?” tanya Mas Gala.
Aku melangkah ke arah meja kayu, kemudian menyimpannya di atas meja. “Ya, dan ini rahasia.”
Mas Gala mendelik. Sepertinya, dia tersinggung dengan ucapanku yang menyebutkan soal rahasia. Ya memang rahasia kan?
“Kita tidur seranjang nih, Mas?” Aku membuka pembicaraan lain. “Hem, menarik .....”
Mas Gala langsung meloncat dari atas ranjang. “Saya tidur di sofa saja.”
Aku mendekat ke arahnya. “Ini bukan rumah kamu yang kamarnya luas Mas. Di kamar kamu, ada sofa empuk yang bisa ditiduri kapan pun. Di sini, hanya ada satu sofa, yaitu di ruang tamu. Kamu mau tidur di sana? Nanti ketahuan Ibu lho.”
Puas banget karena aku bisa membuat Mas Gala kebingungan seperti itu. Hingga kemudian, dia mendongak dengan tatapan belum menyerah. “Ya sudah, saya tidur di bawah saja.”
Aku hampir tertawa mendengar ucapannya. Hei, di kampungku ini dinginnya luar biasa. Rumah ini berada di bawah Kaki Gunung Papandayan. Bisa dipastikan jika seseorang yang baru ke sini tidak bisa tidur dengan nyenyak. Angin di sini mirip sekali seperti jarum yang menusuk-nusuk badan.
“Kamu yakin?” Alisku tertaut. “Dingin lho di sini.”
“Yakin!” jawabnya buru-buru. “Saya nggak keberatan.”
“Okey ....” Aku angkat bahu. “Kalau tengah malem kedinginan, jangan bangunin aku ya.”
Mas Gala tidak menjawab. Dia justru menarik selimut di atas ranjang dan satu bantal. Dia memilih tidur di atas karpet. Sementara, aku mengambil satu selimut lagi dari lemari. Untung saja Ibu sudah menyediakan lebih dari satu selimut. Sehingga aku tidak perlu susah payah memberikan banyak alasan kepada Ibu saat meminta selimut baru.
Ngomong-ngomong, tadinya aku mau ngambek ke Mas Gala. Tapi tadi siang, dia sudah menjelaskan alasannya pergi begitu saja. Dia pergi dari makam karena ingat orangtuanya. Jika melihat makam seseorang, Mas Gala selalu merasa sedih, sebab kedua orangtuanya juga meninggal sejak lama.
Masuk akal. Ketika rasa sedih menyelimuti hati, kadang-kadang kecewa bisa datang dan menubruk nalar. Dan rasanya itu menyebalkan. Aku pernah benci dengan makam Bapak. Aku merasa jika kepergian Bapak disebabkan olehku.
Mas, Mas, malang sekali nasibmu. Kamu kaya, sukses, ganteng, tapi ya, kamu harus ditinggalkan kedua orangtuamu sejak kecil.
Aku yang ada di atas ranjang melongok ke bawah. Mata Mas Gala sudah terpejam. “Good night, Mas.”
Aku berharap kalau tengah malam nanti, Mas Gala terbangun. Kemudian dia meminta untuk tidur di atas ranjang. Lihat saja, seberapa kuat dia menahan dingin yang menusuk-nusuk? Ah, aku jadi tidak sabar untuk menunggu tengah malam. Kalau seandainya rasa dingin itu berhasil membuatnya menyerah, mungkin NAGA kecil akan segera hadir di antara kami.
***
“Kamu di mana?” teriakku.Ini kesekian kalinya aku mencari sosok itu. Namun, bagaimana mungkin aku tidak menemukannya? Di mana dia yang selalu menemaniku dikala sedih? Di mana dia yang selalu mendengarkanku saat bercerita soal Bapak?“Jangan becanda!” Aku hampir frustrasi, hingga duduk di atas tanah.Aku harus mencari dia ke mana lagi? Ini tanah lapang. Tidak ada jalan yang bisa kutelusuri. Semua hal yang kulihat semacam ruangan luas yang sama sekali tidak berpenghuni. “Apa kamu nggak sayang aku lagi?”Masih tidak ada jawaban. Hanya gema suara sendiri yang berhasil kudengar. Sementara suara lembut itu, senyum lebar yang menenangkan itu, semuanya lenyap. Aku jadi ingat pertemuan kemarin. Apakah dia memang benar-benar pergi? Kupikir dia becanda, tapi semua yang diucapkan benar adanya.Sekarang, aku tidak bisa melakukan apa pun selain menangis kencang. Tangisan itu membuat aku membuka mata. Lebar. Dan, ah ... aku mi
Titik nggak pakek koma, pokoknya aku benar-benar marah. Mas Gala sudah keterlaluan tadi pagi. Dia membuat hatiku sakit. Dia semakin menunjukkan bahwa keberadaanku tidak ada penting-pentingnya.Sekarang, aku masuk ke dalam mobil dengan bibir cemberut. Aku juga memasang pengaman tanpa ba bi bu. Sementara dengan cueknya, Mas Gala tetap melajukan mobil tanpa bertanya apa-apa. See? Dia itu benar-benar menyebalkan.Saat mobil melaju, aku sempat melihat makam Bapak dari kejauhan. Kemarin, aku benar-benar menyesal karena tidak bisa berlama-lama di makam itu. Dan sekarang, aku malah pulang ke Bandung tanpa menemuinya lagi.Bapak nggak marah kan? Semoga tidak. Aku yakin, Bapak mengerti perasaan Mas Gala. Sebagai seorang istri, aku harus menghargai Mas Gala yang tidak bisa melihat makam dalam waktu yang lama. Dia begitu terpukul jika ingat orangtuanya.“Peti itu sudah dibawa?” tanya Mas Gala tiba-tiba.Aku tidak menjawab. Kamu pikir, kamu doang ya
Kami sudah sampai di Bandung. Syukurlah. Aku ingin segera masuk ke rumah, kemudian menangis sejadi-jadinya selama Mas Gala kerja. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan berbagai kejadian yang terjadi hanya dalam beberapa jam saja. Kamu tahu rasanya ditikam batu besar dari atas? Begitulah kira-kira diriku sekarang. Sakit. Remuk.Kulihat Mas Gala mengambil ponsel dari dasboard. Dia menyetir menggunakan satu tangan, sementara satu tangan lainnya sibuk menggulirkan layar ponsel. Setelah itu, kulihat dia menempelkan ponsel di telinga.“Atur ulang jadwal meeting siang ini ya!” tegasnya. “Saya ada keperluan!”Mas Gala menurunkan ponsel. Sekarang, dia sibuk lagi menggulir layar ponsel, kemudian, dia menelepon seseorang.“Mel, kita ketemu siang ini ya. Saya sudah di Bandung. Mungkin dua puluh menitan lagi, saya sampai di tempat biasa.”Mas Gala mengakhiri telepon, menyimpan benda itu di dasboard, lalu kembali fokus meny
Aku masuk ke dalam mobil dengan senyum sumringah. Aku merasa begitu bahagia saat tahu bahwa suamiku bertanggungjawab penuh untuk memberikan bukti. Dia mengajakku bertemu langsung dengan Melica supaya aku tidak salah faham. Ah, Mas, kamu selalu berusaha meyakinkanku, tetapi di sisi lain, kamu juga keras, kaku, datar, dan kadang-kadang menyakitkan. Kenapa bisa begitu, Mas?Aku melirik Mas Gala yang sedang membolak-balikkan setiran mobil. Setelahnya, dia melajukan kendaraan dari café yang sudah kami datangi. Aku yang ada di sisinya terus menatapnya dengan senyuman lebar. Kalau dilihat-lihat, Mas Gala begitu mempesona. Aku mencintai bentuk rahang yang begitu tajam.“Ngapain lihat-lihat?” tanya Mas Gala. Matanya masih fokus ke depan.“Heh?” Aku langsung nyengir. “Kukira kamu nggak nyadar, Mas.”“Kamu lihatin gitu kayak mau ngelahap saya tau nggak!”Aku tertawa mendengar ucapan itu. Kenapa sih Mas, k
Saat ucapan itu meluncur dari mulutku, bibi langsung melotot. Dia terlihat syok karena aku berniat masuk ke dalam ruangan itu.“Jangan masuk, Neng. Nanti Pak Gala marah. Dia tidak pernah suka dibantah,” jelas Bi Marni.Mas Gala akan marah jika dia tahu kalau aku masuk ke dalam sana. Tapi kalau dia tidak tahu? Tidak mungkin dia marah. Aku bukan perempuan lemah yang jika sudah dilarang bisa diam. Semakin banyak hal aneh di sini, aku semakin penasaran.“Aku sama sekali nggak nanyain pendapat Bibi soal Mas Gala,” jelasku. “Aku hanya tanya, apa Bibi punya kunci ruangan itu?”Sekarang, Bibi menunduk. Dia seperti sedang memikirkan banyak hal. Sejenak, dia menatapku dengan tatapan ragu.“Bibi takut sama Mas Gala?” Aku bertanya dengan nada yang lebih tegas. “Aku janji, ini rahasia kita berdua. Aku nggak akan bocorin apa pun ke Mas Gala. Aku hanya penasaran dengan ruangan itu. Aku janji, aku nggak akan ma
Aku berjalan, tetapi kaki ini seperti tak menapak di atas lantai. Aku merasa panas dingin saat harus menemui perempuan yang Bibi maksud. Sampai kemudian, aku mendapati seorang perempuan yang membelakangiku di ruang tamu. Terdapat koper kecil yang bertengger di sisinya.Aku mendeham. Hingga dia berbalik dan tersenyum lebar.“Melica?” Terkejut, aku mendekatinya. “Jadi kamu yang ....”“Sorry Nara.” Dia langsung memelukku. “Aku bikin kamu panik ya? Mungkin kamu akan ngira yang enggak-enggak soal kedatangan seorang perempuan. Mana bawa-bawa koper lagi.” Melica terkekeh.Aku mengembuskan napas. Meskipun yang datang ke rumah adalah Melica, tetap saja aku merasa was-was. Mas Gala menyuruh Melica tinggal di sini?“Tadinya, aku akan tinggal di hotel selama dua minggu ini. Tapi Gala maksa aku buat tinggal di rumahnya. Khawatir katanya. Lagian, biaya hotel selama dua minggu itu mahal banget. Mana aku juga p
Air mataku belum reda juga. Ini adalah tangisan terpanjang selama aku hidup. Nyaris tujuh jam lebih aku ada di kamar ini. Mengunci diri. Menutup seluruh badan menggunakan selimut. Aku benar-benar tidak habis pikir Mas Gala berbicara sekasar itu. Dia menyesal karena telah menikahiku?Pak, Bapak lihat perlakuan Mas Gala kan? Aku benar-benar tidak tahu harus mengadu ke siapa. Tapi jujur, Pak, Nara sakit hati. Di sini, Nara seperti manusia paling menjijikan yang pernah ada. Mas Gala berbicara dengan begitu enteng.Apa Nara harus menyerah?Pasti Bapak bilang bahwa ini semua tidak lucu.“Nara, pernikahanmu dengan Gala baru berjalan tiga hari. Bagaimana mungkin kamu memutuskan untuk menyerah?”Mungkin itu yang akan Bapak katakan. Aku tidak yakin Bapak akan mendukungku penuh. Tapi Pak, aku tidak bisa diam saja diperlakukan seperti ini. Aku masih punya harga diri. Bayangkan Pak, bagaimana jika Mas Gala melakukan hal yang lebih ekstrem dari sekad
Aku menyimpan koper di pojok kamar. Rencana pergiku batal. Kamar juga dikunci. Sementara Mas Gala sudah terbaring di atas sofa. Huh, dia benar-benar cuek. Setelah memelukku tadi, tidak ada lagi perhatian lain yang dia berikan.Aku naik ke atas ranjang perlahan-lahan. Lantas, aku melilit badan dengan selimut. Agak lega sebenarnya. Mas Gala tidak lagi marah. Pelukan itu sudah membuktikan kalau dia khawatir aku pergi. Tapi tetap saja aku kesal. Kesal karena adegan yang kuimpikan tidak berlanjut. Mas Gala pura-pura lupa dan memilih tidur.Blukbuk ...Duh, perutku sakit lagi. Ini gara-gara aku belum makan. Dari tadi siang, napsu makan itu memang menghilang, tapi kenapa sekarang malah muncul ya? Ini tandanya kalau aku sudah pulih. Pulih dari rasa sedih dan gelisah.Tapi malas juga untuk makan. Apalagi kalau ada Mas Gala begini. Nanti dikiranya, aku ini terlalu jaim hingga baru makan sekarang. Ujung-ujungnya, pasti dia ngomel dan bilang, “Makannya, jangan