Aku menyimpan koper di pojok kamar. Rencana pergiku batal. Kamar juga dikunci. Sementara Mas Gala sudah terbaring di atas sofa. Huh, dia benar-benar cuek. Setelah memelukku tadi, tidak ada lagi perhatian lain yang dia berikan.
Aku naik ke atas ranjang perlahan-lahan. Lantas, aku melilit badan dengan selimut. Agak lega sebenarnya. Mas Gala tidak lagi marah. Pelukan itu sudah membuktikan kalau dia khawatir aku pergi. Tapi tetap saja aku kesal. Kesal karena adegan yang kuimpikan tidak berlanjut. Mas Gala pura-pura lupa dan memilih tidur.
Blukbuk ...
Duh, perutku sakit lagi. Ini gara-gara aku belum makan. Dari tadi siang, napsu makan itu memang menghilang, tapi kenapa sekarang malah muncul ya? Ini tandanya kalau aku sudah pulih. Pulih dari rasa sedih dan gelisah.
Tapi malas juga untuk makan. Apalagi kalau ada Mas Gala begini. Nanti dikiranya, aku ini terlalu jaim hingga baru makan sekarang. Ujung-ujungnya, pasti dia ngomel dan bilang, “Makannya, jangan
“Keras, Mas!” ucapku.Aku masih berusaha untuk membuka peti tersebut. Ah, sepertinya ini terjadi karena petinya sudah terlalu tua. Kuncinya pun susah untuk dibuka.“Kamu aja yang buka, Mas,” ucapku. Aku menggeserkan bagian peti, sehingga bagian gembok yang harus dibuka ada di depannya. Kuncinya pun sudah menempel di gembok itu. “Tenagamu sepertinya sudah lebih besar.”Ragu-ragu, Mas Gala memegang peti itu. Dia mencoba untuk membuka kunci dengan tangan. Namun tiba-tiba saja, badannya beku. Dia diam seperti patung. Kejadian ini sama seperti kejadian malam itu saat kami menginap di rumah Ibu.Otomatis, aku melotot. “Mas, kamu kenapa?”Dia tidak menjawab. Hingga kemudian, badannya terjatuh ke belakang. Untung saja ini di atas kasur, kalau di lantai, mungkin kepalanya akan terbentur. Kamu tahu? Kejadian malam itu terjadi lagi sekarang. Badannya menggigil.Aku meloncat dari kasur dan kembali menyimpa
Satu minggu aku diam. Ya, aku menahan diri untuk tidak mencari tahu soal Mas Gala. Aku membiarkan diri untuk tenang. Dalam hal ini, aku tidak boleh gegabah. Kalau aku mengambil keputusan yang salah, bisa saja Mas Gala kembali marah.Namun setelah kejadian itu, aku selalu cemburu. Di rumah ini tidak hanya ada aku, tetapi juga ada Melica. Ketika di meja makan, kadang-kadang aku dicuekin. Mereka seru becanda dan saling suap. Sementara aku? Ah, aku hanya mampu menelan ludah. Ternyata begitu rasanya cemburu?Hal itu terus berlanjut, sama halnya seperti detik ini. Mas Gala sedang mengobrol seru, hingga aku ikut nyeletuk.“Mel, ternyata udah seminggu aja ya kamu di sini. Gimana pelatihannya? Lancar?” Ucapan itu memotong percakapan mereka yang dari tadi menggema.Mas Gala mendeham. Dia mungkin terganggu karena aku telah memecah keseruan mereka. Dia lantas meneguk air putih yang bertengger di atas meja. Sementara aku masih menunggu jawaban Melica sambi
“Bibi!” teriakku. “Sini, Bi!”Sambil berteriak panik, aku mengguncang-guncang tubuh Mas Gala. Namun badannya tetap saja menggigil.“Iya, Neng, ken .....”Bibi melotot di depan pintu saat melihat Mas Gala tergeletak.“Bi, panggilin satpam dan supir buat bantu angkat mas Gala.”“Pak Gala kenapa?” Bi Marni terlihat panik. “Apa dia ...”“Udah buruan, Bi! Nanti aku jelasin.”Bibi berlari dari hadapan pintu. Sementara aku masih panik dengan Mas Gala. Untuk ketiga kalinya, aku melihat Mas Gala seperti ini. Dan yang ketiga ini lebih lama. Jika kejadian di kamar berlangsung beberapa detik, maka sekarang lebih dari itu. Mata Mas Gala juga menyeramkan. Warna hitamnya menghilang, dia seperti kerasukan setan.Kedua lelaki yang bekerja sebagai satpam dan supir datang tergopoh. Dengan cekatan, mereka mengangkat Mas Gala untuk dibawa ke kamar. Sementara setelah
Saat aku tanya soal hubungan kedua peti, Mas Gala tidak menjawab. Dia memilih mengganti pakaian, lantas pergi ke kantor. Kukira, dia akan instirahat seharian ini. Ternyata jiwa pekerja kerasnya kembali muncul. Mungkin dia juga akan meluruskan masalah meeting yang tidak jadi. Kini, aku sendirian di kamar. Berharap bisa mendapatkan informasi penting dari surat yang telah kuambil.Sebelum membuka surat itu, aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku tidak mau gegabah. Aku pernah ketahuan Mas Gala dan dia marah besar. Maka saat ini, aku tidak boleh ketahuan.Aku mengeluarkan surat dari dalam saku. Surat yang kuambil dari paling bawah peti. Mungkin kamu bertanya-tanya, memangnya ada berapa surat di peti itu? Aku juga kurang tahu persisnya berapa, namun yang kutahu, surat itu lebih dari dua puluh jika dilihat dari ketebalan tumpukannya. Banyak sekali kan? Dan sekarang, aku sudah membawa dua surat lain.Saat membuka surat pertama, aku menarik napas panjang. Hingga akhirny
Hal sederhana yang membuatku bahagia selain bisa menyiapkan makanan untuk suami, tentu saja ketika suamiku juga menyukai makanan itu. Sederhana sih makanannya. Namun akyang kulihat, dia lahap sekali menyantap makanan. Tadinya aku berpikir bahwa Mas Gala tidak mau makan. Bisa jadi, dia sudah makan malam di luar. Tapi kebetulannya, dia belum makan sama sekali. Dan ya, akhirnya mahakarya seorang Nara yang dibantu oleh Bi Marni bisa dihargai.Sekarang, kami berdua sudah ada di kamar. Tentu saja, aku tidak pernah berhenti tersenyum. Makan malam sudah selesai dari tadi, tetapi kebahagiaan itu masih ada hingga sekarang. Bahkan, kebahagiaan tersebut malah semakin memuncak.“Makasih ya, Mas,” ucapku pelan.Kulihat Mas Gala sedang melepas pakaian kantor. Sesekali, dia curi-curi pandang saat aku mengamatinya.“Jangan lihatin saya terus!” tegasnya tanpa membalas ucapan terima kasihku.“Emangnya kenapa?” tanyaku dengan mata t
Dari tadi, aku gelisah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah mengetahui fakta ini. Fakta kalau Mas Gala menyimpan berita kematian Bapak satu tahun lalu. Ada apa sebenarnya? Kenapa pernikahanku dengan Mas Gala terlihat begitu rumit. Apa yang harus kulakukan?Aku harus telepon Ibu. Aku harus menanyakan banyak hal kepadanya. Meski Bapak orang yang tertutup, aku yakin kalau Ibu tahu bagaimana kehidupan Bapak. Bisa jadi, Mas Gala dan Bapak memang ada hubungan di masa lalu.“Ibu!” Aku yang sudah tidak sabar menekan-nekan dada. “Nara mau tanya sesuatu.”“Lho?” Sepertinya, Ibu terkejut. “Kita baru tadi pagi teleponan lho, Nar.”“Aku tahu,” desahku. “Sebenarnya, Nara nggak mau nanyain hal ini Bu. Cuman semakin ditunda, Nara semakin resah.”“Tenang,” ucap Ibu. “Ceritakan ke Ibu. Apa yang mau kamu tanyakan?”“Ini soal Bapak!” Aku yang
Aku membuka kamar kos dengan gerakkan lambat. Saat pintunya terbuka, ruangan itu begitu sumpek. Ah, mungkin aku telancur hidup enak di rumah Mas Gala. Aku hidup di rumah besar dan ber-AC. Sementara di sini? Hanya ada kipas angin kecil yang sudah berdebu.Untung saja masa sewa kosan ini belum habis. Saat memutuskan untuk pergi dari kosan, aku belum sempat pamit kepada pemilik kos. Secara otomatis, pemilik kos menganggap jika kamar ini masih diisi olehku. Hal tersebut menguntungkanku saat ini. Aku masih bisa hidup tanpa harus tinggal di rumah Mas Gala.Kenapa aku nggak pulang ke rumah Ibu?kamu pasti sudah tahu jawabannya. Tinggal di rumah Ibu hanya akan membuatnya terbebani. Sudah kubilang, beban Ibu terlalu banyak. Ditinggalkan Bapak membuat mentalnya down. Bagaimana jika aku malah menyusahkannya? Dengan kembali ke rumah, aku hanya akan membuatnya bersedih.Sekarang, aku masuk ke dalam kamar kos. Aku mengunci pintu, menyimpan koper dipojokan kamar, menghi
Aku menempelkan saputangan di dahi Mas Gala. Saat sepuluh menit lalu menemukannya di depan pintu, aku langsung mengangkat badan Mas Gala ke atas ranjang, lantas buru-buru membeli keperluan ke warung depan. Dan saat ini, Mas Gala masih belum sadar. Sementara aku sedang bolak-balik mencelupkan, memeras, dan mengompreskan saputangan di dahinya.Kenapa sih Mas, kamu ngeyel banget? Kenapa kamu nekat untuk ngajak aku pulang? Pakek tidur di depan kosan lagi! Ini nggak masuk akal bagi orang sepertimu, Mas. Kamu yang bisa melakukan apa pun yang kamu mau dengan semua otoritas itu malah melakukan hal konyol seperti ini.Aku melihat badan Mas Gala bergerak setelah aku mengompresnya selama lima belas menit. Jelas aku lega. Hal yang paling menakutkan bagiku salah satunya saat lihat orang pingsan, kemudian tidak sadar-sadar. Dan inilah jawaban dari doaku. Mas Gala mengerjapkan mata.“Syukurlah, Mas .....” Aku membereskan rambutnya yang berantakan.Saat aku m
Dua tahun kemudianHarum bawang goreng menguar dari dapur. Terlihat Nara dengan bahagia membolak-balikkan nasi di atas wajan. Rupanya, dia sedang memasak nasi goreng. Ya, nasi goreng adalah salah satu menu makan siang dirinya dengan Gala. Sekarang, Gala menjadi seorang Papa yang tidak pernah absen datang ke rumah di jam istirahat. Meski posisi kantor ke rumah lumayan jauh, tetapi dia selalu menyempatkan diri untuk datang.Sekarang, Nara mengamati nasi goreng di atas piring. Irisan tomat yang terlihat segar, sayur, juga beberapa potong sosis goreng berjejer di pinggir-pinggirnya. Dia membuat dua piring nasi goreng, khusus buat dirinya dan Gala. Tentu ini makanan sederhana, tetapi makanan sederhana akan sangat istimewa bukan? Apalagi jika yang dimasaki merasa bahagia.Saat tengah menatap makanan di atas meja, tiba-tiba ponsel Nara berbunyi. Tentu, itu dari Gala. Dia lantas mengangkatnya dengan wajah cerita.“Hallo, Mas,” ucap Na
Entah kenapa, mendengar ucapan Mas Candra seperti itu membuat hatiku terenyuh. Aku merasakan betul detak jantungnya yang menempel di badanku. Sampai akhirnya, aku melepaskan peluk untuk kesekian kalinya.“Kira-kira, apa yang membuat aku harus menerimamu kembali?” tanyaku. Aku mencari keyakinan lagi.Mas Candra menghela napas. “Karena aku mau berubah. Dan yang paling penting .... aku benar-benar cinta sama kamu. Aku merasa bahwa kebahagiaanku ada bersamamu. Bukan lagi di kerajaan.”Aku menatapnya. Mencari celah, apakah dia berbohong? Tetapi dilihat dari gerak-geriknya, aku melihat jika tidak ada kebohongan.“Apa kamu bisa menjaminnya?” tanyaku lagi.“Apa yang kamu mau dariku? Ucapkan. Apa pun, akan kulakukan jika bisa mempersatukan kita.”Pertanyaan itu malah membuatku beku. Itu hanya bentuk dari pengetesan yang kulakukan. Kamu tahu? Sejujurnya, keberadannya di sini saja sudah membuatku senang.
Aku kembali seperti Melica yang dulu. Dari dua hari lalu, aku kembali melihat aktivitas anak-anak. Melihat kerajinan yang dibuat, melihat proses paking barang-barang untuk dikirim ke luar daerah dan luar negeri, serta melihat perkebunan yang semakin sini semakin luas. Seperti keinginanku dulu, warga-warga sini hampir 80 mendominasi sebagai pegawai di panti.Pada hari ini, aku sedikit bernostalgia dengan perkebunan. Kebetulan, ada kegiatan pemetikkan beberapa sayuran seperti bonteng, bayam, sawi, dan beberapa sayur lain. Nah, aku ikut berkumpul dengan para petani yang sedang memetik sayuran.“Wah, Melica turun juga,” ucap salah satu pegawai yang sudah dari lama mengetahui aku.“Iya, Nih, Pak. Suntuk diam di kamar terus. Sekalian nostalgia,” ucapku.“Kabarnya, Melica itu kemarin hilang ya? Kenapa bisa hilang? Ada masalah apa?” pertanyaan itu tampaknya hanya basa-basi, padahal semua orang tahu jika kami diisukan menghilang
Gerbang panti terlihat di ujung mata. Aku melihat pohon-pohon yang masih sama, lebat. Aku melihat rumput-rumput hias yang ada di pinggir-pinggir pagar, yang juga terurus, lantas, aku mengembuskan napas. Tidak terasa, aku sudah ada di sini. Di rumahku sendiri.Saat membuka gerbang, penjaga panti terbelalak. Dia buru-buru menyalamiku. Tentu, aku juga menyalaminya dengan begitu bahagia.“Kok Melica tidak bilang kalau mau ke sini? Kan bisa dijemput sama anak-anak yang lain.” Ucap Pak Satpam.Dia adalah penjaga yang sudah lama ada di sini. Bahkan sejak aku kecil. Makannya, dia menyebut lebih akrab dengan sebutan nama.“Memangnya saya itu tamu, Pak?” Aku terkekeh. “Saya anak panti lho. Jadi ya, nggak usah dispesialkan juga.”Ucapan itu dijawab gelengan. Tentu, kami mengobrol sejenak. Menanyakan berbagai hal dan situasi di panti. Menurut Pak Satpam, panti mengalami banyak perkembangan. Terutama mengenai usaha-usaha yang
Kedatanganku ke kantor membuat para karyawan terbelalak. Mereka tidak menyangka, orang hilang yang selama ini diberitakan ternyata sudah kembali. Lantas, aku langsung dikerubuti oleh para karyawan.“Bu, Ibu ke mana saja? Pak Candra juga. Apa kalian baik-baik saja?” tanya salah satu dari mereka.Jelas aku tersenyum sejanak, kemudian mengangguk. “Selama ini, saya tersesat di hutan. Dan saya ... masuk ke alam ghaib.”Ucapan itu membuat mereka terlihat semakin penasaran.“Alam ghaib?” karyawan Senior yang umurnya lebih tua dari Mas Candra mengerutkan kening.“Ya. Kalau kalian tidak percaya, tidak apa-apa. Yang jelas, selama beberapa minggu, kami tersesat, sampai akhirnya saya bisa kembali. Tapi Mas Candra .....”“Pak Candra kenapa?”“Sampai sekarang tidak ada jejak. Saya tidak tahu apakah dia selamat atau tidak.”Aku mengobrol panjang lebar dengan para karyawan
Suara air yang jatuh dari atas membuat Ibu memejamkan mata. Air itu terasa mendamaikan. Dia juga merasakan kesejukkan yang luar biasa bisa berdiri di depan air terjun yang sangat mengagumkan. Sampai kemudian, dia yang tengah merasa senang, kini melotot. Dia mendapati seseorang yang tengah duduk di batu besar, juga menghadap ke air terjun. Tentu, dia tahu orang tersebut.Ibu melangkah cepat, ingin memastikan orang yang dia lihat.“Bapak ....”Ucapan itu mengudara begitu saja. Padahal, Ibu belum lihat wajahnya sama sekali.Lelaki itu menengok. Dia tersenyum lebar saat mendapati istrinya. Lantas, dia berdiri.“Kenapa Ibu ada di sini?” tanya Bapak.Ibu diam sejenak. Dia mengamati wajah teduh suaminya. Lantas, tangan kanannya mengusap wajah itu perlahan-lahan. Wajah yang begitu dia rindukan, terutama saat bapak pergi untuk selama-lamanya. Hingga, mendaratlah pelukkan yang begitu erat.“Ibu rindu Bapak,”
Setelah dari taman, aku melangkah lesu ke ruangan Mas Candra dan Ibunya. Saat masuk, ternyata mereka berdua belum sadarkan diri. Jujur, aku sedih. Ternyata effek dari kekuatan Ratu Kegelapan semalam itu membuat mereka benar-benar kritis.“Ada berbagai jaringan yang rusak,” ucap tabib. “Candra dan Ibunya harus dirawat intensif di sini.”Aku menggigit bibir. Sungguh, informasi ini benar-benar membuatku syok.“Tapi, mereka akan sembuh kan, Tetua?” tanyaku.“Setelah diteliti lebih dalam, ada kemungkinan besar jika mereka akan kembali. Terlebih, mereka itu punya kekuatan di dalam tubuhnya. Kekuatan itu membantu memulihkan kembali jaringan yang ada. Namun, tentu ini butuh waktu.”Aku mengembuskan napas lega. Itu adalah informasi yang menurutku cukup melegakan. Setidaknya, aku bisa pulang ke Bumi dalam keadaan tenang.“Saya keluar dulu ya. Saya harus melihat beberapa orang lainnya,” ucap t
Aku melihat seekor Singa melenggang masuk ke dalam kerajaan. Jelas aku langsung melotot. Aku mengingat saat kejadian di Selatan Negeri bayangan. Singa itu mengamuk. Dan sekarang, dia hadir di sini. Tentu, dia bukan singa biasa. Dia bisa mengerti ucapan-ucapan kami.Aku yang sedang ada di luar kerajaan, buru-buru menghampirinya. “Selamat datang. Akhirnya kamu bisa mewujudkan mimpimu untuk hadir di sini.”Singa itu terlihat berkaca-kaca. Sementara, aku mengelus wajahnya dengan pelan. “terima kasih ya, kamu sudah membiarkan kami lewat pada saat itu. Sekarang, kita semua sudah menang. Semua misi yang ingin kami lakukan sudah terlaksana hari ini. Benar-benar terlaksana.”Singa itu mengaum. Sepertinya itu tanda bahwa dia bahagia.Setelah aku mengobrol beberapa saat, ada salah satu penjaga kerajaan yang datang. Ternyata, dia yang akan mengantarkan Singa itu ke makam kedua orangtuanya yang telah gugur lama di wilayah kerajaan ini.S
Melica berlari dari satu ruangan ke ruangan lain. Setiap masuk ke dalam ruangan, Melica tidak mendapati sosok yang dia cari. Dia lebih banyak mendapati orang-orang yang tak sadarkan diri dengan kepala bocor, leher tersayat, dan berbagai luka lainnya.Tentu, sepanjang mencari orang yang dia harapkan itu, Melica menangis. Baru dia sadar. Bahwa sekecewa-kecewanya dia kepada Candra, dirinya tetap mengkhawatirkan sang suami. Bagi Melica, Candra tetap menjadi orang nomor satu yang selalu membuatnya cemas.“Kau cari siapa?” tanya salah satu tabib berpakaian putih. Lelaki berjanggut itu seperti berusaha menenangkan Melica dengan tatapan teduhnya.“Saya mencari suami saya dan ibunya,” jawab Melica.“Oh, dia lelaki tinggi yang mengenakan pakaian serba hitam?” tanya tabib itu.Jelas, orang yang menggunakan pakaian hitam hanya Candra dan ibunya. Jika pun para pengikut Ratu Kegelapan menggunakan pakaian-pakaian hitam barusan,