Aku menempelkan saputangan di dahi Mas Gala. Saat sepuluh menit lalu menemukannya di depan pintu, aku langsung mengangkat badan Mas Gala ke atas ranjang, lantas buru-buru membeli keperluan ke warung depan. Dan saat ini, Mas Gala masih belum sadar. Sementara aku sedang bolak-balik mencelupkan, memeras, dan mengompreskan saputangan di dahinya.
Kenapa sih Mas, kamu ngeyel banget? Kenapa kamu nekat untuk ngajak aku pulang? Pakek tidur di depan kosan lagi! Ini nggak masuk akal bagi orang sepertimu, Mas. Kamu yang bisa melakukan apa pun yang kamu mau dengan semua otoritas itu malah melakukan hal konyol seperti ini.
Aku melihat badan Mas Gala bergerak setelah aku mengompresnya selama lima belas menit. Jelas aku lega. Hal yang paling menakutkan bagiku salah satunya saat lihat orang pingsan, kemudian tidak sadar-sadar. Dan inilah jawaban dari doaku. Mas Gala mengerjapkan mata.
“Syukurlah, Mas .....” Aku membereskan rambutnya yang berantakan.
Saat aku m
Mobil yang terparkir di pinggir jalan akhirnya melaju. Aku tenang. Setidaknya aku sudah punya tujuan untuk kedepannya. Niatku bukan hanya soal membuat Mas Gala luluh, tetapi juga niat untuk terus membersamai, bagaimana pun keadaannya. Aku akan selalu ingat bahwa wujud cinta bukan hanya soal kata, tetapi juga didukung rasa dan karsa.Aku melirik Mas Gala yang sedang menyetir. masih ada sedikit sisa pucat di sekitaran bibir, tetapi secara keseluruhan, dia sudah pulih. Bahkan badannya terlihat lebih segar daripada sebelumnya.“Mas, tadi kamu simpen mobil di pinggir jalan lho,” ucapku. “Nggak takut digondol maling?”“Kalau mobilnya digondol maling, saya akan salahkan kamu.”Tuh kan, baru saja aku bahagia bisa dijemput Mas Gala dengan segala perjuangannya. Sekarang, ucapannya sudah membuatku kesal. Pelan, tetapi nyelekit. Tidak ada lelaki menyebalkan selain Mas Gala-ku ini.Tenang Nara, kamu tidak boleh terpengaruh.
Untuk pertama kalinya selama hidup, aku pergi ke luar pulau. Dulu, aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk keluar dari pulau Jawa, khususnya Bandung. Namun sekarang, aku sudah menginjakkan kaki di depan salah satu panti asuhan di Pekanbaru. Aku bersama seorang lelaki yang kini telah menjadi suamiku.Kedatangan kami disambut oleh beberapa pengurus panti yang kontan membantu membawakan barang-barang dari taksi. Belasan anak yang diurus di sini juga berkerumun. Ada yang malu-malu. Ada pula yang menyalami Mas Gala. Umumnya, anak-anak yang menyalami Mas Gala adalah anak-anak yang sudah menginjak SMA. Mungkin mereka pernah diajak main oleh Mas Gala ketika masih di sini.Ada seorang wanita berkerudung yang melambaikan tangan dari teras rumah. Wajahnya terlihat teduh. Aku melihat matanya yang basah. Ah, sepertinya, Ibu tersebut sangat merindukan Mas Gala. Apakah dia Ibu Panti yang mengurusi segala kebutuhan Mas Gala saat masih tinggal di sini?Melica berlari ke arah
Apa benar kalau kamu menikahiku hanya karena dendam, Mas? Apa ini juga ada hubungannya dengan Bapak? Ah, aku jadi ingat dengan perkataan Ibu soal masa lalu Bapak. Ibu pernah bilang jika pernah ada konflik berdarah-darah yang terjadi, hingga Bapak pergi ke Garut dan bertemu Ibu. Kemungkinannya, Mas Gala menikahiku karena aku adalah anak Bapak!Dadaku sesak. Aku merasa seperti boneka yang hanya dijadikan tumbal demi memuaskan hasrat seseorang. Hasrat untuk membuat diri orang tersebut menjadi lebih bahagia. Sementara aku, aku tersiksa. Tapi, apa benar Mas Gala akan bahagia jika dendamnya terpenuhi? Apa pula yang akan dia lakukan setelah dirinya menikahiku?Aku menyender di dinding luar kamar Melica. Hingga aku mendengar suara Mas Gala lagi.“Saya kecewa sama kamu, Mel,” ucapnya. “Kamu seperti menelanjangi saya di hadapan semua orang. Kamu tidak bisa menjaga privasi saya!”Tidak ada tanggapan dari Melica. Hingga kemudian, pintu terbuka
Saat sudah sampai di kamar Melica, aku memeluknya lagi. Makin erat. Entah, Melica seperti orang yang membelaku disaat semua fakta terbongkar. Padahal, bukankah seharusnya Melica membela Gala? Secara, Gala adalah teman masa kecilnya.“Udah, Nar,” Melica melepas peluk. Dia menarik koperku, kemudian menyimpannya di pojok. “Kamu yang tenang ya di sini. Jangan banyak pikiran dulu.”Aku tersenyum sambil menyeka mata. “Makasih ya, Mel. Aku nggak tahu kalau seandainya semua ini terjadi tanpa ada kamu. Mungkin aku nggak bisa cerita ke siapa-siapa.”“My pleasure, Nar.” Melica duduk di tepi ranjang, tepat di sisiku. “Tapi Nar, apa kamu bakalan nyaman tidur sama aku? Kalau kamu butuh privasi, aku bisa kok siapin kamar lain buat kamu.”“Nggak usah.” Aku mengembuskan napas keras. “Sekarang, aku butuh teman cerita Mel. bahkan aku masih butuh penjelasanmu soal Mas Gala.”Saat aku b
Aku mengerjap saat Melica membuka gorden. Sudah pagi. Dan ini hari kedua aku di panti. Tentu saja, hari ini adalah hari yang bikin galau. Ingin rasanya menjerit, tapi aku tidak bisa menangis kencang jika ada di lingkungan panti asuhan. Bisa-bisa, aku diprotes anak-anak.“Gimana? Nyenyak?” tanya Melica.“Lumayan,” jawabku pelan.Kamu buhong Nara!Ya, aku bohong. Faktanya, aku dua kali terbangun pada dini hari. Aku tidak tenang. Pikiranku terus-terusan melayang membayangkan Mas Gala. Detik ini pun, orang pertama yang ada di otakku adalah Mas Gala.Apakah dia tidur nyenyak? Apa Mas Gala bisa tidur tanpaku?Nara, Nara, bukankah selama ini dia tidur tanpamu? Meskipun sekamar, bukannya kalian tidur di tempat berbeda?Ya, ya, ya. Tapi tetap saja, Mas Gala selalu muncul di dalam otak.“Nar, ke kebun belakang, yuk ....” Melica yang sudah mengenakan baju santai, mengajakku. “Kita metik bayam buat
Aku sedikit bersenandung sesaat setelah selesai memetik bayam. Saat aku ke dapur, sudah ada Ibu Panti. Dia sedang membersihkan areal dapur. Ah, aku kira, Bu Panti sudah tidak memasak untuk anak-anak. Ternyata, masih dia yang mengatur kebutuhan makanan.“Pagi, Bu.” Aku menyapanya dengan semangat tinggi.Ibu menengok ke arahku. Namun dia sedikit melotot saat Mas Gala muncul di belakang. Mas Gala yang sedang menenteng keranjang, otomatis tersenyum lebar saat bertemu Ibu Panti.“Nara?” ucap Ibu Panti. “Kalian ....” Ibu Panti terlihat ragu dengan apa yang kami bawa. “Kalian yang metik bayam?”“Iya, Bu,” jawabku. “Tadi Melica yang ngajak aku.”“Makasih ya ....” Ibu Panti mengangguk-angguk. “Tapi, ini pertama kalinya lho, Ibu lihat Gala mau ke kebun. Waktu dulu mana mau dia ke belakang? Disuruh ngambil cabai aja nggak mau.”Saat Ibu Panti berbicara seper
Aku sedang terbaring di atas kasur Melica. Seharian ini, aku cukup banyak melakukan kegiatan. Membantu Ibu panti masak, melihat anak-anak membuat rajutan, bahkan sorenya, aku juga kembali membantu Ibu Panti di dapur. Rasanya, hal itu membuat pikiranku bisa teralihkan dari Mas Gala. Sayang, detik ini, Mas Gala muncul lagi dipikiran. Terutama karena aku mengingat ucapan Ibu Panti tadi pagi.Mas Gala tidak pernah menyakiti orang lain?Secara kebiasaan dan sifat, Mas Gala adalah orang yang baik menurut Ibu Panti. Bahkan, mas Gala tidak pernah menyakiti perempuan.Penjelasan Ibu Panti justru membuatku berpikir panjang. Kalau memang Mas Gala baik, kenapa dia tidak bisa membuatku percaya? Kenapa seluruh fakta itu mengarah kepadanya, yang dalam hal ini adalah orang yang keji.Nara, kamu kan belum tahu fakta yang keluar dari mulut Mas Gala. Bagaimana mungkin kamu langsung menitikberatkan penemuanmu itu kepadanya?Ya, aku memang belum menerima penjelasan sec
Aku mengangkat peti dari bawah ranjang ke atas kasur. Kemudian, aku mengambil seluruh isi surat dan menghitungnya. Ada 16 surat. Tidak lebih. Dan sedikitnya, fakta itu membuat aku deg-degan. Apa isi dari surat-surat itu? Kenapa Melica memiliki peti berisi surat?Aku mengambil satu surat, lantas membacanya.‘Nak, maafkan Bapak. Bapak harus mengantarkanmu ke tempat asing. Kau akan menjadi jalan bagi kita nanti.’Aku mengerutkan dahi. Sepertinya, ini adalah surat dari orangtua Melica. Ah, aku jadi terharu.Setelah membuka surat pertama, aku membuka surat kedua yang diambil secara random.‘Di sana, kau harus mengawasi Gala. Kau jangan biarkan dia menjadi orang jahat.’Aku melotot. Melica dikirimkan untuk mengawasi Gala? Berarti, orangtua Melica dan orangtua Gala saling mengenal? Kemudian, kenapa Mas Gala harus diawasi? Apa yang salah dengan Mas Gala?Baru membaca surat kedua saja, aku sudah bertanya-tanya. Sepertin