Saat sudah sampai di kamar Melica, aku memeluknya lagi. Makin erat. Entah, Melica seperti orang yang membelaku disaat semua fakta terbongkar. Padahal, bukankah seharusnya Melica membela Gala? Secara, Gala adalah teman masa kecilnya.
“Udah, Nar,” Melica melepas peluk. Dia menarik koperku, kemudian menyimpannya di pojok. “Kamu yang tenang ya di sini. Jangan banyak pikiran dulu.”
Aku tersenyum sambil menyeka mata. “Makasih ya, Mel. Aku nggak tahu kalau seandainya semua ini terjadi tanpa ada kamu. Mungkin aku nggak bisa cerita ke siapa-siapa.”
“My pleasure, Nar.” Melica duduk di tepi ranjang, tepat di sisiku. “Tapi Nar, apa kamu bakalan nyaman tidur sama aku? Kalau kamu butuh privasi, aku bisa kok siapin kamar lain buat kamu.”
“Nggak usah.” Aku mengembuskan napas keras. “Sekarang, aku butuh teman cerita Mel. bahkan aku masih butuh penjelasanmu soal Mas Gala.”
Saat aku b
Aku mengerjap saat Melica membuka gorden. Sudah pagi. Dan ini hari kedua aku di panti. Tentu saja, hari ini adalah hari yang bikin galau. Ingin rasanya menjerit, tapi aku tidak bisa menangis kencang jika ada di lingkungan panti asuhan. Bisa-bisa, aku diprotes anak-anak.“Gimana? Nyenyak?” tanya Melica.“Lumayan,” jawabku pelan.Kamu buhong Nara!Ya, aku bohong. Faktanya, aku dua kali terbangun pada dini hari. Aku tidak tenang. Pikiranku terus-terusan melayang membayangkan Mas Gala. Detik ini pun, orang pertama yang ada di otakku adalah Mas Gala.Apakah dia tidur nyenyak? Apa Mas Gala bisa tidur tanpaku?Nara, Nara, bukankah selama ini dia tidur tanpamu? Meskipun sekamar, bukannya kalian tidur di tempat berbeda?Ya, ya, ya. Tapi tetap saja, Mas Gala selalu muncul di dalam otak.“Nar, ke kebun belakang, yuk ....” Melica yang sudah mengenakan baju santai, mengajakku. “Kita metik bayam buat
Aku sedikit bersenandung sesaat setelah selesai memetik bayam. Saat aku ke dapur, sudah ada Ibu Panti. Dia sedang membersihkan areal dapur. Ah, aku kira, Bu Panti sudah tidak memasak untuk anak-anak. Ternyata, masih dia yang mengatur kebutuhan makanan.“Pagi, Bu.” Aku menyapanya dengan semangat tinggi.Ibu menengok ke arahku. Namun dia sedikit melotot saat Mas Gala muncul di belakang. Mas Gala yang sedang menenteng keranjang, otomatis tersenyum lebar saat bertemu Ibu Panti.“Nara?” ucap Ibu Panti. “Kalian ....” Ibu Panti terlihat ragu dengan apa yang kami bawa. “Kalian yang metik bayam?”“Iya, Bu,” jawabku. “Tadi Melica yang ngajak aku.”“Makasih ya ....” Ibu Panti mengangguk-angguk. “Tapi, ini pertama kalinya lho, Ibu lihat Gala mau ke kebun. Waktu dulu mana mau dia ke belakang? Disuruh ngambil cabai aja nggak mau.”Saat Ibu Panti berbicara seper
Aku sedang terbaring di atas kasur Melica. Seharian ini, aku cukup banyak melakukan kegiatan. Membantu Ibu panti masak, melihat anak-anak membuat rajutan, bahkan sorenya, aku juga kembali membantu Ibu Panti di dapur. Rasanya, hal itu membuat pikiranku bisa teralihkan dari Mas Gala. Sayang, detik ini, Mas Gala muncul lagi dipikiran. Terutama karena aku mengingat ucapan Ibu Panti tadi pagi.Mas Gala tidak pernah menyakiti orang lain?Secara kebiasaan dan sifat, Mas Gala adalah orang yang baik menurut Ibu Panti. Bahkan, mas Gala tidak pernah menyakiti perempuan.Penjelasan Ibu Panti justru membuatku berpikir panjang. Kalau memang Mas Gala baik, kenapa dia tidak bisa membuatku percaya? Kenapa seluruh fakta itu mengarah kepadanya, yang dalam hal ini adalah orang yang keji.Nara, kamu kan belum tahu fakta yang keluar dari mulut Mas Gala. Bagaimana mungkin kamu langsung menitikberatkan penemuanmu itu kepadanya?Ya, aku memang belum menerima penjelasan sec
Aku mengangkat peti dari bawah ranjang ke atas kasur. Kemudian, aku mengambil seluruh isi surat dan menghitungnya. Ada 16 surat. Tidak lebih. Dan sedikitnya, fakta itu membuat aku deg-degan. Apa isi dari surat-surat itu? Kenapa Melica memiliki peti berisi surat?Aku mengambil satu surat, lantas membacanya.‘Nak, maafkan Bapak. Bapak harus mengantarkanmu ke tempat asing. Kau akan menjadi jalan bagi kita nanti.’Aku mengerutkan dahi. Sepertinya, ini adalah surat dari orangtua Melica. Ah, aku jadi terharu.Setelah membuka surat pertama, aku membuka surat kedua yang diambil secara random.‘Di sana, kau harus mengawasi Gala. Kau jangan biarkan dia menjadi orang jahat.’Aku melotot. Melica dikirimkan untuk mengawasi Gala? Berarti, orangtua Melica dan orangtua Gala saling mengenal? Kemudian, kenapa Mas Gala harus diawasi? Apa yang salah dengan Mas Gala?Baru membaca surat kedua saja, aku sudah bertanya-tanya. Sepertin
“Apaan sih!”Mas Gala melepaskan tanganku yang melingkar di badannya.“Gerah tauk!”Ududu, Mas. Kamu nggak lihat kalau istrimu lagi bahagia? Bukankah kamu selalu berusaha untuk mendekatiku? Ya ampun, gengsi banget sih jadi orang. Kenapa kamu nggak balik meluk aja biar aku seneng?“Kamu nggak mau aku peluk?” tanyaku dengan bibir manyun. “Jahat!”“Bukan gitu!” Dia menatapku dalam. “Ibu sudah nunggu sayuran. Saya nunggu kamu buat metik sayur-sayuran di kebun. Kok malah lama? Ayo buruan!”Tanpa banyak omong, Mas Gala menarik tanganku. Kini, dia menautkan jari jemarinya dengan jari-jari tanganku. Tidak ada paksaaan atau suruhan. Dan itu? Itu membuatku semakin bahagia.Apa rasa cinta memang sudah tumbuh di hatinya?“Mas, makasih ya .....”Langkah Mas Gala terhenti. Dia menatapku yang sedang tersenyum.“Apalagi sih, Nar? Kamu bisa n
Saat Mas Gala membuka pintu hotel, ada harum yang menguar dari dalam. hal itu membuatku menghela napas panjang. Aku merasa damai ketika bisa masuk ke dalam kamar hotel. Norak? Iya. Karena aku memang belum pernah menyewa hotel sebelumnya. Untuk pertama kali, aku masuk ke dalam hotel berbintang, bersama suamiku sendiri.“Wanginya enak,” ucapku. “Wangi hotel.”Mas Gala mengernyit. “Wangi hotel itu gimana emangnya, Nar?”“Ya, begitu ....” Aku terkekeh saat Mas Gala menggeleng.Nara, Mas Gala sampai jijik melihatmu senorak itu.Aku memilih menjatuhkan badan di kasur. Akhirnya, aku bisa menghirup udara segar setelah dua hari berseteru dengan Mas Gala. Siapa sangka, pertengkaran berubah menjadi pergerakan. Ya, semoga menjadi pergerakan ke arah yang lebih baik.Bapak, akhirnya aku bisa merasakan tidur di kasur empuk. Meskipun sebenarnya, rumah Mas Gala juga tidak kalah keren.“Mas, aku bol
Saat napas sudah berada di ujung kerongkongan, tiba-tiba wajah Bapak berkelebat. Penglihatanku memang buram, tetapi aku melihat jika Bapak berdiri tegap. Dia berdiri di depanku yang sedang berjuang lepas. Dia berdiri tepat di belakang Mas Gala yang masih melakukan misi. Sepertinya, Mas Gala memang ingin membunuh.“Nak, Tuhan selalu ada untukmu. Berdoalah. Mintalah.”Ucapan itu seperti penyejuk untukku. Aku memejamkan mata meski tak tahan. Dalam hati, aku menjerit. Aku meminta. Aku berusaha untuk bisa bertahan dari tekanan kedua tangan Mas Gala yang setiap detik malah semakin kencang.“Tuhan, tolong aku!”Saat meminta tolong kepada Tuhan, pikiranku terbang ke hari-H pernikahan kami. Aku mengingat janji Mas Gala yang akan menjaga sepenuh hati. Aku juga mengingat senyum lebar Mas Gala yang membuatku begitu yakin bahwa dia memang telah menjadi pendamping hidup.“M-mas,” ucapanku setengah tercekat. “Ka-kamu haru
Mataku mengerjap pelan. Sudah pagi ternyata. Saking nyenyaknya, aku tidak sadar jika Mas Gala juga sudah bangun. Dia sedang duduk di sisi ranjang, dan membelakangiku.Sejenak, aku diam. Ini adalah malam kedua kami tidur seranjang tanpa paksaan. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Meskipun masalah itu belum selesai. Bahkan masih menyisakan teka-teki.Sekarang, aku bangun dari tempat tidur, lalu mengusap punggung Mas Gala. “Kamu kenapa?”Tidak ada jawaban. Aku hanya mendengar deru napas yang cukup kencang. Apa dia mimpi buruk lagi?Sesaat setelah aku bertanya seperti itu, Mas Gala berbalik. Kini, dia menatapku dengan tatapan tajam. Yang kutahu, itu seperti tatapan kegelisahan. Tatapan yang hampir hilang harapan.“Saya takut,” jelasnya.“Takut kenapa?” Aku mengusap tangannya yang kekar. “Ada aku.”“Saya takut tidak bisa menjagamu,” jawabnya. “Saya sudah berusaha untuk