“Apaan sih!”
Mas Gala melepaskan tanganku yang melingkar di badannya.
“Gerah tauk!”
Ududu, Mas. Kamu nggak lihat kalau istrimu lagi bahagia? Bukankah kamu selalu berusaha untuk mendekatiku? Ya ampun, gengsi banget sih jadi orang. Kenapa kamu nggak balik meluk aja biar aku seneng?
“Kamu nggak mau aku peluk?” tanyaku dengan bibir manyun. “Jahat!”
“Bukan gitu!” Dia menatapku dalam. “Ibu sudah nunggu sayuran. Saya nunggu kamu buat metik sayur-sayuran di kebun. Kok malah lama? Ayo buruan!”
Tanpa banyak omong, Mas Gala menarik tanganku. Kini, dia menautkan jari jemarinya dengan jari-jari tanganku. Tidak ada paksaaan atau suruhan. Dan itu? Itu membuatku semakin bahagia.
Apa rasa cinta memang sudah tumbuh di hatinya?
“Mas, makasih ya .....”
Langkah Mas Gala terhenti. Dia menatapku yang sedang tersenyum.
“Apalagi sih, Nar? Kamu bisa n
Saat Mas Gala membuka pintu hotel, ada harum yang menguar dari dalam. hal itu membuatku menghela napas panjang. Aku merasa damai ketika bisa masuk ke dalam kamar hotel. Norak? Iya. Karena aku memang belum pernah menyewa hotel sebelumnya. Untuk pertama kali, aku masuk ke dalam hotel berbintang, bersama suamiku sendiri.“Wanginya enak,” ucapku. “Wangi hotel.”Mas Gala mengernyit. “Wangi hotel itu gimana emangnya, Nar?”“Ya, begitu ....” Aku terkekeh saat Mas Gala menggeleng.Nara, Mas Gala sampai jijik melihatmu senorak itu.Aku memilih menjatuhkan badan di kasur. Akhirnya, aku bisa menghirup udara segar setelah dua hari berseteru dengan Mas Gala. Siapa sangka, pertengkaran berubah menjadi pergerakan. Ya, semoga menjadi pergerakan ke arah yang lebih baik.Bapak, akhirnya aku bisa merasakan tidur di kasur empuk. Meskipun sebenarnya, rumah Mas Gala juga tidak kalah keren.“Mas, aku bol
Saat napas sudah berada di ujung kerongkongan, tiba-tiba wajah Bapak berkelebat. Penglihatanku memang buram, tetapi aku melihat jika Bapak berdiri tegap. Dia berdiri di depanku yang sedang berjuang lepas. Dia berdiri tepat di belakang Mas Gala yang masih melakukan misi. Sepertinya, Mas Gala memang ingin membunuh.“Nak, Tuhan selalu ada untukmu. Berdoalah. Mintalah.”Ucapan itu seperti penyejuk untukku. Aku memejamkan mata meski tak tahan. Dalam hati, aku menjerit. Aku meminta. Aku berusaha untuk bisa bertahan dari tekanan kedua tangan Mas Gala yang setiap detik malah semakin kencang.“Tuhan, tolong aku!”Saat meminta tolong kepada Tuhan, pikiranku terbang ke hari-H pernikahan kami. Aku mengingat janji Mas Gala yang akan menjaga sepenuh hati. Aku juga mengingat senyum lebar Mas Gala yang membuatku begitu yakin bahwa dia memang telah menjadi pendamping hidup.“M-mas,” ucapanku setengah tercekat. “Ka-kamu haru
Mataku mengerjap pelan. Sudah pagi ternyata. Saking nyenyaknya, aku tidak sadar jika Mas Gala juga sudah bangun. Dia sedang duduk di sisi ranjang, dan membelakangiku.Sejenak, aku diam. Ini adalah malam kedua kami tidur seranjang tanpa paksaan. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Meskipun masalah itu belum selesai. Bahkan masih menyisakan teka-teki.Sekarang, aku bangun dari tempat tidur, lalu mengusap punggung Mas Gala. “Kamu kenapa?”Tidak ada jawaban. Aku hanya mendengar deru napas yang cukup kencang. Apa dia mimpi buruk lagi?Sesaat setelah aku bertanya seperti itu, Mas Gala berbalik. Kini, dia menatapku dengan tatapan tajam. Yang kutahu, itu seperti tatapan kegelisahan. Tatapan yang hampir hilang harapan.“Saya takut,” jelasnya.“Takut kenapa?” Aku mengusap tangannya yang kekar. “Ada aku.”“Saya takut tidak bisa menjagamu,” jawabnya. “Saya sudah berusaha untuk
“Tujuan saya datang ke Jakarta memang untuk mencari keberadan Bapakmu, Nara.” Mas Gala tersenyum penuh arti. “Dengan polosnya, saya berpikir kalau Bapakmu akan gampang saya temukan. Ternyata? Tidak semudah itu. Saya yang pada awalnya begitu percaya diri sempat putus asa. Hingga saya bisa bertahan selama dua tahun, lalu merintis usaha di Bandung.”“Jadi ini alasanmu menolak beasiswa kuliah di Yogyakarta?” Melica menyambung. “Kamu menolak beasiswa demi membalas dendam?”Jadi ternyata, Mas Gala seharusnya bisa sekolah lebih tinggi? Dan kesempatan itu tidak diambil gara-gara dendam. Ini yang sepertinya Tuhan takdirkan. Jika Mas Gala memilih kuliah, mungkin tidak akan ada aku yang datang ke kantor Mas Gala. Mungkin tidak akan ada aku di rumah ini.“Beberapa tahun pertama di Bandung, saya tidak bisa menemukan jejak orang bernama Wira Darmajati. Saya sudah melakukan berbagai cara, bahkan saya menghubungi bebeberapa
Mas Gala melotot saat peti itu sudah terbuka. Dia melirikku dengan tatapan ragu. “Isinya batu.”“Batu?”Sekarang, Mas Gala mengambil batu itu. Sementara, aku mengamati benda yang sedang ditunjukkan di tengah-tengah kami. Aku langsung menutup mulut karena ada sesuatu yang aneh. Apakah aku tidak salah lihat? Itu adalah batu yang sama dengan batu pemberian Bapak.“Luar biasa,” desahku.“Kenapa?” Melica langsung menimpali.“Kalian percaya? Batu punya Mas Gala mirip dengan batu punyaku.”Mendengar ucapan itu, mereka langsung melotot.Untuk mengobati rasa penasaran, aku buru-buru membuka peti pemberian Bapak. Aku mengangkat bongkahan batu seukuran kepalan tangan bayi. “Mirip kan?”Mas Gala melihat batu yang kupegang. Lantas, dia juga menilik batu yang ada di tangannya. “Bukan hanya mirip, Nara! Ini batu yang sama. Batumu adalah potongan dari batu ini!&rdquo
Aku mengamati lelaki yang menyebut bahwa dirinya adalah tetua dari atas sampai bawah. Aku seperti melihat dirinya sebagai warga kerajaan yang ada di film-film kolosal. Jubah berwarna keemasan, rambut panjang sebahu, ikat kepala, juga jenggot panjang.“Ikutlah!” tegasnya.Aku saling pandang dengan Melica dan Mas Gala. Namun pada akhirnya, aku berdiri. Tidak ada cara lain selain mengikuti Bapak Tua itu.Kami dibawa ke sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu diisi meja yang tingginya hanya sekitar 20 sentimeter. Di sana, kami disuruh untuk duduk di lantai dengan posisi melingkari meja. Sungguh, suasana di sini mirip sekali seperti padepokan, atau rumah-rumah zaman dahulu yang ada di perkampungan.“Kalian apa kabar?” Lelaki itu tersenyum ramah.“Kami tidak baik-baik saja!” tegas Mas Gala. “Anda siapa?”Ucapan Mas Gala disambut tawa dengan suara bass dari lelaki itu. Lelaki seumuran Bapak terlih
“Pada zaman dahulu, negeri bayangan adalah negeri yang begitu makmur. Negeri dengan teknologi yang cukup maju, juga menyerupai bumi. Ada kendaraan, alat elektronik, media-media informasi, media cetak, semua ada. Hal ini terjadi karena negeri ini memiliki raja yang begitu baik. Raja yang mendapatkan simpati dan empati dari seluruh warga. Raja ini memimpin selama puluhan tahun, tetapi negeri ini tidak pernah mundur. Apalagi, raja kami memegang sebuah kunci. Batu biru itu!” Tetua mengarahkan pandangan ke batu yang tergeletak di atas meja.“Batu ini?” tanya Mas Gala sambil menunjuknya.“Ya.” Tetua mengembuskan napas. “Sayang, ketika semua sudah merasa makmur, ada salah satu orang yang berkhianat. Orang ini iri terhadap sang raja. Dia ingin merebut tahta.“Di belakang raja, orang ini membentuk tim khusus untuk memberontak. Dia menghasut orang-orang supaya mau bergabung. Mereka diiming-imingi harta dan jabatan tinggi.&rd
Lama sekali kami mengobrol. Tetua membicarakan keadaan negeri bayangan yang ada di ambang kehancuran. Sistem kerajaan tidak bisa berjalan dengan baik setelah direbut oleh Raja Fatah. Banyak warga memilih mengasingkan diri di tempat-tempat terpencil. Sama seperti Tetua yang membuat rumah kayu di pegunungan. Alasannya? Tentu saja karena raja yang kejam. Semua orang sakti diharuskan untuk menyerahkan diri dan dipenjara di ruang bawah tanah kerajaan. Mereka dianggap akan memberontak jika terus dibiarkan.Di balik itu, semua kemajuan yang telah didapatkan di negeri bayangan mundur perlahan. Teknologi mendadak macet. Signal-signal ponsel tidak tertangkap. Bahkan gedung-gedung di pusat kota negeri bayangan ambruk dan hancur. Padahal tidak ada yang sengaja menghancurkan itu semua. Dan yang membuat syok, hal itu disebabkan karena jantung negeri bayangan yang barupa batu biru telah menghilang. Ya, batu milik aku dan Mas Gala ternyata berfungsi sebagai penggerak dunia bayangan.S