Aku sedang terbaring di atas kasur Melica. Seharian ini, aku cukup banyak melakukan kegiatan. Membantu Ibu panti masak, melihat anak-anak membuat rajutan, bahkan sorenya, aku juga kembali membantu Ibu Panti di dapur. Rasanya, hal itu membuat pikiranku bisa teralihkan dari Mas Gala. Sayang, detik ini, Mas Gala muncul lagi dipikiran. Terutama karena aku mengingat ucapan Ibu Panti tadi pagi.
Mas Gala tidak pernah menyakiti orang lain?
Secara kebiasaan dan sifat, Mas Gala adalah orang yang baik menurut Ibu Panti. Bahkan, mas Gala tidak pernah menyakiti perempuan.
Penjelasan Ibu Panti justru membuatku berpikir panjang. Kalau memang Mas Gala baik, kenapa dia tidak bisa membuatku percaya? Kenapa seluruh fakta itu mengarah kepadanya, yang dalam hal ini adalah orang yang keji.
Nara, kamu kan belum tahu fakta yang keluar dari mulut Mas Gala. Bagaimana mungkin kamu langsung menitikberatkan penemuanmu itu kepadanya?
Ya, aku memang belum menerima penjelasan sec
Aku mengangkat peti dari bawah ranjang ke atas kasur. Kemudian, aku mengambil seluruh isi surat dan menghitungnya. Ada 16 surat. Tidak lebih. Dan sedikitnya, fakta itu membuat aku deg-degan. Apa isi dari surat-surat itu? Kenapa Melica memiliki peti berisi surat?Aku mengambil satu surat, lantas membacanya.‘Nak, maafkan Bapak. Bapak harus mengantarkanmu ke tempat asing. Kau akan menjadi jalan bagi kita nanti.’Aku mengerutkan dahi. Sepertinya, ini adalah surat dari orangtua Melica. Ah, aku jadi terharu.Setelah membuka surat pertama, aku membuka surat kedua yang diambil secara random.‘Di sana, kau harus mengawasi Gala. Kau jangan biarkan dia menjadi orang jahat.’Aku melotot. Melica dikirimkan untuk mengawasi Gala? Berarti, orangtua Melica dan orangtua Gala saling mengenal? Kemudian, kenapa Mas Gala harus diawasi? Apa yang salah dengan Mas Gala?Baru membaca surat kedua saja, aku sudah bertanya-tanya. Sepertin
“Apaan sih!”Mas Gala melepaskan tanganku yang melingkar di badannya.“Gerah tauk!”Ududu, Mas. Kamu nggak lihat kalau istrimu lagi bahagia? Bukankah kamu selalu berusaha untuk mendekatiku? Ya ampun, gengsi banget sih jadi orang. Kenapa kamu nggak balik meluk aja biar aku seneng?“Kamu nggak mau aku peluk?” tanyaku dengan bibir manyun. “Jahat!”“Bukan gitu!” Dia menatapku dalam. “Ibu sudah nunggu sayuran. Saya nunggu kamu buat metik sayur-sayuran di kebun. Kok malah lama? Ayo buruan!”Tanpa banyak omong, Mas Gala menarik tanganku. Kini, dia menautkan jari jemarinya dengan jari-jari tanganku. Tidak ada paksaaan atau suruhan. Dan itu? Itu membuatku semakin bahagia.Apa rasa cinta memang sudah tumbuh di hatinya?“Mas, makasih ya .....”Langkah Mas Gala terhenti. Dia menatapku yang sedang tersenyum.“Apalagi sih, Nar? Kamu bisa n
Saat Mas Gala membuka pintu hotel, ada harum yang menguar dari dalam. hal itu membuatku menghela napas panjang. Aku merasa damai ketika bisa masuk ke dalam kamar hotel. Norak? Iya. Karena aku memang belum pernah menyewa hotel sebelumnya. Untuk pertama kali, aku masuk ke dalam hotel berbintang, bersama suamiku sendiri.“Wanginya enak,” ucapku. “Wangi hotel.”Mas Gala mengernyit. “Wangi hotel itu gimana emangnya, Nar?”“Ya, begitu ....” Aku terkekeh saat Mas Gala menggeleng.Nara, Mas Gala sampai jijik melihatmu senorak itu.Aku memilih menjatuhkan badan di kasur. Akhirnya, aku bisa menghirup udara segar setelah dua hari berseteru dengan Mas Gala. Siapa sangka, pertengkaran berubah menjadi pergerakan. Ya, semoga menjadi pergerakan ke arah yang lebih baik.Bapak, akhirnya aku bisa merasakan tidur di kasur empuk. Meskipun sebenarnya, rumah Mas Gala juga tidak kalah keren.“Mas, aku bol
Saat napas sudah berada di ujung kerongkongan, tiba-tiba wajah Bapak berkelebat. Penglihatanku memang buram, tetapi aku melihat jika Bapak berdiri tegap. Dia berdiri di depanku yang sedang berjuang lepas. Dia berdiri tepat di belakang Mas Gala yang masih melakukan misi. Sepertinya, Mas Gala memang ingin membunuh.“Nak, Tuhan selalu ada untukmu. Berdoalah. Mintalah.”Ucapan itu seperti penyejuk untukku. Aku memejamkan mata meski tak tahan. Dalam hati, aku menjerit. Aku meminta. Aku berusaha untuk bisa bertahan dari tekanan kedua tangan Mas Gala yang setiap detik malah semakin kencang.“Tuhan, tolong aku!”Saat meminta tolong kepada Tuhan, pikiranku terbang ke hari-H pernikahan kami. Aku mengingat janji Mas Gala yang akan menjaga sepenuh hati. Aku juga mengingat senyum lebar Mas Gala yang membuatku begitu yakin bahwa dia memang telah menjadi pendamping hidup.“M-mas,” ucapanku setengah tercekat. “Ka-kamu haru
Mataku mengerjap pelan. Sudah pagi ternyata. Saking nyenyaknya, aku tidak sadar jika Mas Gala juga sudah bangun. Dia sedang duduk di sisi ranjang, dan membelakangiku.Sejenak, aku diam. Ini adalah malam kedua kami tidur seranjang tanpa paksaan. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Meskipun masalah itu belum selesai. Bahkan masih menyisakan teka-teki.Sekarang, aku bangun dari tempat tidur, lalu mengusap punggung Mas Gala. “Kamu kenapa?”Tidak ada jawaban. Aku hanya mendengar deru napas yang cukup kencang. Apa dia mimpi buruk lagi?Sesaat setelah aku bertanya seperti itu, Mas Gala berbalik. Kini, dia menatapku dengan tatapan tajam. Yang kutahu, itu seperti tatapan kegelisahan. Tatapan yang hampir hilang harapan.“Saya takut,” jelasnya.“Takut kenapa?” Aku mengusap tangannya yang kekar. “Ada aku.”“Saya takut tidak bisa menjagamu,” jawabnya. “Saya sudah berusaha untuk
“Tujuan saya datang ke Jakarta memang untuk mencari keberadan Bapakmu, Nara.” Mas Gala tersenyum penuh arti. “Dengan polosnya, saya berpikir kalau Bapakmu akan gampang saya temukan. Ternyata? Tidak semudah itu. Saya yang pada awalnya begitu percaya diri sempat putus asa. Hingga saya bisa bertahan selama dua tahun, lalu merintis usaha di Bandung.”“Jadi ini alasanmu menolak beasiswa kuliah di Yogyakarta?” Melica menyambung. “Kamu menolak beasiswa demi membalas dendam?”Jadi ternyata, Mas Gala seharusnya bisa sekolah lebih tinggi? Dan kesempatan itu tidak diambil gara-gara dendam. Ini yang sepertinya Tuhan takdirkan. Jika Mas Gala memilih kuliah, mungkin tidak akan ada aku yang datang ke kantor Mas Gala. Mungkin tidak akan ada aku di rumah ini.“Beberapa tahun pertama di Bandung, saya tidak bisa menemukan jejak orang bernama Wira Darmajati. Saya sudah melakukan berbagai cara, bahkan saya menghubungi bebeberapa
Mas Gala melotot saat peti itu sudah terbuka. Dia melirikku dengan tatapan ragu. “Isinya batu.”“Batu?”Sekarang, Mas Gala mengambil batu itu. Sementara, aku mengamati benda yang sedang ditunjukkan di tengah-tengah kami. Aku langsung menutup mulut karena ada sesuatu yang aneh. Apakah aku tidak salah lihat? Itu adalah batu yang sama dengan batu pemberian Bapak.“Luar biasa,” desahku.“Kenapa?” Melica langsung menimpali.“Kalian percaya? Batu punya Mas Gala mirip dengan batu punyaku.”Mendengar ucapan itu, mereka langsung melotot.Untuk mengobati rasa penasaran, aku buru-buru membuka peti pemberian Bapak. Aku mengangkat bongkahan batu seukuran kepalan tangan bayi. “Mirip kan?”Mas Gala melihat batu yang kupegang. Lantas, dia juga menilik batu yang ada di tangannya. “Bukan hanya mirip, Nara! Ini batu yang sama. Batumu adalah potongan dari batu ini!&rdquo
Aku mengamati lelaki yang menyebut bahwa dirinya adalah tetua dari atas sampai bawah. Aku seperti melihat dirinya sebagai warga kerajaan yang ada di film-film kolosal. Jubah berwarna keemasan, rambut panjang sebahu, ikat kepala, juga jenggot panjang.“Ikutlah!” tegasnya.Aku saling pandang dengan Melica dan Mas Gala. Namun pada akhirnya, aku berdiri. Tidak ada cara lain selain mengikuti Bapak Tua itu.Kami dibawa ke sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu diisi meja yang tingginya hanya sekitar 20 sentimeter. Di sana, kami disuruh untuk duduk di lantai dengan posisi melingkari meja. Sungguh, suasana di sini mirip sekali seperti padepokan, atau rumah-rumah zaman dahulu yang ada di perkampungan.“Kalian apa kabar?” Lelaki itu tersenyum ramah.“Kami tidak baik-baik saja!” tegas Mas Gala. “Anda siapa?”Ucapan Mas Gala disambut tawa dengan suara bass dari lelaki itu. Lelaki seumuran Bapak terlih