“Tujuan saya datang ke Jakarta memang untuk mencari keberadan Bapakmu, Nara.” Mas Gala tersenyum penuh arti. “Dengan polosnya, saya berpikir kalau Bapakmu akan gampang saya temukan. Ternyata? Tidak semudah itu. Saya yang pada awalnya begitu percaya diri sempat putus asa. Hingga saya bisa bertahan selama dua tahun, lalu merintis usaha di Bandung.”
“Jadi ini alasanmu menolak beasiswa kuliah di Yogyakarta?” Melica menyambung. “Kamu menolak beasiswa demi membalas dendam?”
Jadi ternyata, Mas Gala seharusnya bisa sekolah lebih tinggi? Dan kesempatan itu tidak diambil gara-gara dendam. Ini yang sepertinya Tuhan takdirkan. Jika Mas Gala memilih kuliah, mungkin tidak akan ada aku yang datang ke kantor Mas Gala. Mungkin tidak akan ada aku di rumah ini.
“Beberapa tahun pertama di Bandung, saya tidak bisa menemukan jejak orang bernama Wira Darmajati. Saya sudah melakukan berbagai cara, bahkan saya menghubungi bebeberapa
Mas Gala melotot saat peti itu sudah terbuka. Dia melirikku dengan tatapan ragu. “Isinya batu.”“Batu?”Sekarang, Mas Gala mengambil batu itu. Sementara, aku mengamati benda yang sedang ditunjukkan di tengah-tengah kami. Aku langsung menutup mulut karena ada sesuatu yang aneh. Apakah aku tidak salah lihat? Itu adalah batu yang sama dengan batu pemberian Bapak.“Luar biasa,” desahku.“Kenapa?” Melica langsung menimpali.“Kalian percaya? Batu punya Mas Gala mirip dengan batu punyaku.”Mendengar ucapan itu, mereka langsung melotot.Untuk mengobati rasa penasaran, aku buru-buru membuka peti pemberian Bapak. Aku mengangkat bongkahan batu seukuran kepalan tangan bayi. “Mirip kan?”Mas Gala melihat batu yang kupegang. Lantas, dia juga menilik batu yang ada di tangannya. “Bukan hanya mirip, Nara! Ini batu yang sama. Batumu adalah potongan dari batu ini!&rdquo
Aku mengamati lelaki yang menyebut bahwa dirinya adalah tetua dari atas sampai bawah. Aku seperti melihat dirinya sebagai warga kerajaan yang ada di film-film kolosal. Jubah berwarna keemasan, rambut panjang sebahu, ikat kepala, juga jenggot panjang.“Ikutlah!” tegasnya.Aku saling pandang dengan Melica dan Mas Gala. Namun pada akhirnya, aku berdiri. Tidak ada cara lain selain mengikuti Bapak Tua itu.Kami dibawa ke sebuah ruangan yang cukup luas. Ruangan itu diisi meja yang tingginya hanya sekitar 20 sentimeter. Di sana, kami disuruh untuk duduk di lantai dengan posisi melingkari meja. Sungguh, suasana di sini mirip sekali seperti padepokan, atau rumah-rumah zaman dahulu yang ada di perkampungan.“Kalian apa kabar?” Lelaki itu tersenyum ramah.“Kami tidak baik-baik saja!” tegas Mas Gala. “Anda siapa?”Ucapan Mas Gala disambut tawa dengan suara bass dari lelaki itu. Lelaki seumuran Bapak terlih
“Pada zaman dahulu, negeri bayangan adalah negeri yang begitu makmur. Negeri dengan teknologi yang cukup maju, juga menyerupai bumi. Ada kendaraan, alat elektronik, media-media informasi, media cetak, semua ada. Hal ini terjadi karena negeri ini memiliki raja yang begitu baik. Raja yang mendapatkan simpati dan empati dari seluruh warga. Raja ini memimpin selama puluhan tahun, tetapi negeri ini tidak pernah mundur. Apalagi, raja kami memegang sebuah kunci. Batu biru itu!” Tetua mengarahkan pandangan ke batu yang tergeletak di atas meja.“Batu ini?” tanya Mas Gala sambil menunjuknya.“Ya.” Tetua mengembuskan napas. “Sayang, ketika semua sudah merasa makmur, ada salah satu orang yang berkhianat. Orang ini iri terhadap sang raja. Dia ingin merebut tahta.“Di belakang raja, orang ini membentuk tim khusus untuk memberontak. Dia menghasut orang-orang supaya mau bergabung. Mereka diiming-imingi harta dan jabatan tinggi.&rd
Lama sekali kami mengobrol. Tetua membicarakan keadaan negeri bayangan yang ada di ambang kehancuran. Sistem kerajaan tidak bisa berjalan dengan baik setelah direbut oleh Raja Fatah. Banyak warga memilih mengasingkan diri di tempat-tempat terpencil. Sama seperti Tetua yang membuat rumah kayu di pegunungan. Alasannya? Tentu saja karena raja yang kejam. Semua orang sakti diharuskan untuk menyerahkan diri dan dipenjara di ruang bawah tanah kerajaan. Mereka dianggap akan memberontak jika terus dibiarkan.Di balik itu, semua kemajuan yang telah didapatkan di negeri bayangan mundur perlahan. Teknologi mendadak macet. Signal-signal ponsel tidak tertangkap. Bahkan gedung-gedung di pusat kota negeri bayangan ambruk dan hancur. Padahal tidak ada yang sengaja menghancurkan itu semua. Dan yang membuat syok, hal itu disebabkan karena jantung negeri bayangan yang barupa batu biru telah menghilang. Ya, batu milik aku dan Mas Gala ternyata berfungsi sebagai penggerak dunia bayangan.S
Aku mengerjap saat mendengar suara seseorang mengucapkan kata ‘aduh’. Ah, aku lagi enak tidur. Kenapa masih ada yang ganggu sih? Sumpah. Ini adalah tidur ternyaman yang pernah kurasakan. Padahal, alas yang digunakan untuk tidur adalah kayu tipis yang dilapisi kain. Apa karena aku kecapean?Sekarang, mataku benar-benar terbuka. Aku baru sadar kalau yang mengaduh adalah Mas Gala.“Kamu sakit, Mas?” tanyaku.Kontan, aku bangun dari tempat tidur, kemudian mengecek suhu badannya dengan cara menempelkan tangan di dahi. Tapi suhunya normal. Tidak ada panas yang berlebihan.“Badan saya sakit-sakit, Nara,” desahnya.Sebenarnya, aku juga merasakan pegal di sekitaran bokong. Apalagi, kamu tahu sendiri kan, kalau semalam aku harus terjun dari pohon yang tingginya belasan meter. Namun sepertinya, sakit yang dirasakan Mas Gala lebih parah ketimbang sakit yang kurasakan.Aku membantu Mas Gala untuk bangun dari tempat tid
Aku dan Melica menjerit saat lidah ular menyentuh kepala Mas Gala. Namun sepersekian detik setelah itu, ada sesuatu yang melesat, membuat ular mundur dan terjengkang ke belakang. Berbarengan dengan itu, Mas Gala langsung lari ke sekitaran kami.Aku langsung memeluk Mas Gala. Aku tidak bisa membayangkan jika Mas Gala-ku benar-benar dilahap ular. Apa yang harus kulakukan jika begitu? Bagaimana jadinya aku tanpa Mas Gala? Untung saja ada lelaki berjubah. Apa itu Tetua? Waktu pertama kali datang ke negeri bayangan, Tetua yang membawa kami ke rumah. Sepertinya, dia juga yang menolong kami saat ini.Aku melihat pertarungan yang cukup dahsyat antara lelaki berjubah dan ular itu. Beberapa kali, aku melihat lelaki itu melayang, melesat, menendang si ular, dan menonjok badan si ular. Aku tidak menyangka, ternyata di dunia ini masih ada orang-orang sakti seperti itu. Kupikir ular raksasa dan orang sakti hanya ada di film kolosal yang sering ditonton olehku dan Bapak. Nayatanya, a
Ini adalah hari ke tujuh kami berada di negeri bayangan. Selama beberapa hari itu, kami dilatih untuk bisa membela diri. Setidaknya, kami mampu melawan jika ada apa-apa. Perkembangan bela diriku cukup bagus, bahkan sekarang, aku bisa menendang dengan kaki terangkat ke depan. Ternyata, gerakkan itu cukup menyenangkan.“Hari ini adalah waktunya,” desah Tetua. Kami memang dikumpulkan di ruangan yang biasanya dijadikan tempat untuk mengobrol. “Kalian harus pergi pagi ini. Tujuh hari ke depan, siklus batu merah akan muncul.”“Tujuh hari?” Aku melotot. “Apakah kami bisa mendapatkan batu itu dalam waktu singkat?”“Itu waktu yang cukup lama jika kalian mengoptimalkannya.” Tetua menjawab enteng. “Sebenarnya, kalian bisa saja berangkat minggu lalu, saat pertama kali kalian ke sini. Tapi berangkat tanpa bekal sama saja bohong. Kalian akan banyak mendapatkan tekanan. Enam hari berlatih di sini cukup membantu
“Mel, tau nggak gambar terbaik itu kayak apa?” tanya Mas Gala saat melangkah ke areal pemukiman.“Nggak tau,” Melica menjawab pelan.“Gambar terbaik itu yang mirip tikus!” tegasnya sambil tergelak.Aku yang dari tadi diam, kini mendengkus. Hei, ternyata dia masih menertawakan gambarku yang dikatai mirip tikus. Mentang-mentang gambarnya menarik perhatian penjaga. Dasar Mas Gala. Dia adalah orang paling menyebalkan yang pernah kukenal.Tadinya, aku ingin menimpali ucapan Mas Gala. Namun pada akhirnya, aku harus diam saat di depan kami ada dua penjaga yang berdiri di rumah paling besar. Ah, rumah di sini tidak jauh berbeda dengan rumah semi permanen di kampungku. Hanya saja, warna-warna rumah di sini lebih mencolok dari biasanya.“Selamat datang di Dunia Kertas,” ucap salah satu dari mereka. “Ada yang bisa kami bantu?”Mas Gala langsung angkat bicara. “Saya mau ketemu Tetua di si