“Pada zaman dahulu, negeri bayangan adalah negeri yang begitu makmur. Negeri dengan teknologi yang cukup maju, juga menyerupai bumi. Ada kendaraan, alat elektronik, media-media informasi, media cetak, semua ada. Hal ini terjadi karena negeri ini memiliki raja yang begitu baik. Raja yang mendapatkan simpati dan empati dari seluruh warga. Raja ini memimpin selama puluhan tahun, tetapi negeri ini tidak pernah mundur. Apalagi, raja kami memegang sebuah kunci. Batu biru itu!” Tetua mengarahkan pandangan ke batu yang tergeletak di atas meja.
“Batu ini?” tanya Mas Gala sambil menunjuknya.
“Ya.” Tetua mengembuskan napas. “Sayang, ketika semua sudah merasa makmur, ada salah satu orang yang berkhianat. Orang ini iri terhadap sang raja. Dia ingin merebut tahta.
“Di belakang raja, orang ini membentuk tim khusus untuk memberontak. Dia menghasut orang-orang supaya mau bergabung. Mereka diiming-imingi harta dan jabatan tinggi.&rd
Lama sekali kami mengobrol. Tetua membicarakan keadaan negeri bayangan yang ada di ambang kehancuran. Sistem kerajaan tidak bisa berjalan dengan baik setelah direbut oleh Raja Fatah. Banyak warga memilih mengasingkan diri di tempat-tempat terpencil. Sama seperti Tetua yang membuat rumah kayu di pegunungan. Alasannya? Tentu saja karena raja yang kejam. Semua orang sakti diharuskan untuk menyerahkan diri dan dipenjara di ruang bawah tanah kerajaan. Mereka dianggap akan memberontak jika terus dibiarkan.Di balik itu, semua kemajuan yang telah didapatkan di negeri bayangan mundur perlahan. Teknologi mendadak macet. Signal-signal ponsel tidak tertangkap. Bahkan gedung-gedung di pusat kota negeri bayangan ambruk dan hancur. Padahal tidak ada yang sengaja menghancurkan itu semua. Dan yang membuat syok, hal itu disebabkan karena jantung negeri bayangan yang barupa batu biru telah menghilang. Ya, batu milik aku dan Mas Gala ternyata berfungsi sebagai penggerak dunia bayangan.S
Aku mengerjap saat mendengar suara seseorang mengucapkan kata ‘aduh’. Ah, aku lagi enak tidur. Kenapa masih ada yang ganggu sih? Sumpah. Ini adalah tidur ternyaman yang pernah kurasakan. Padahal, alas yang digunakan untuk tidur adalah kayu tipis yang dilapisi kain. Apa karena aku kecapean?Sekarang, mataku benar-benar terbuka. Aku baru sadar kalau yang mengaduh adalah Mas Gala.“Kamu sakit, Mas?” tanyaku.Kontan, aku bangun dari tempat tidur, kemudian mengecek suhu badannya dengan cara menempelkan tangan di dahi. Tapi suhunya normal. Tidak ada panas yang berlebihan.“Badan saya sakit-sakit, Nara,” desahnya.Sebenarnya, aku juga merasakan pegal di sekitaran bokong. Apalagi, kamu tahu sendiri kan, kalau semalam aku harus terjun dari pohon yang tingginya belasan meter. Namun sepertinya, sakit yang dirasakan Mas Gala lebih parah ketimbang sakit yang kurasakan.Aku membantu Mas Gala untuk bangun dari tempat tid
Aku dan Melica menjerit saat lidah ular menyentuh kepala Mas Gala. Namun sepersekian detik setelah itu, ada sesuatu yang melesat, membuat ular mundur dan terjengkang ke belakang. Berbarengan dengan itu, Mas Gala langsung lari ke sekitaran kami.Aku langsung memeluk Mas Gala. Aku tidak bisa membayangkan jika Mas Gala-ku benar-benar dilahap ular. Apa yang harus kulakukan jika begitu? Bagaimana jadinya aku tanpa Mas Gala? Untung saja ada lelaki berjubah. Apa itu Tetua? Waktu pertama kali datang ke negeri bayangan, Tetua yang membawa kami ke rumah. Sepertinya, dia juga yang menolong kami saat ini.Aku melihat pertarungan yang cukup dahsyat antara lelaki berjubah dan ular itu. Beberapa kali, aku melihat lelaki itu melayang, melesat, menendang si ular, dan menonjok badan si ular. Aku tidak menyangka, ternyata di dunia ini masih ada orang-orang sakti seperti itu. Kupikir ular raksasa dan orang sakti hanya ada di film kolosal yang sering ditonton olehku dan Bapak. Nayatanya, a
Ini adalah hari ke tujuh kami berada di negeri bayangan. Selama beberapa hari itu, kami dilatih untuk bisa membela diri. Setidaknya, kami mampu melawan jika ada apa-apa. Perkembangan bela diriku cukup bagus, bahkan sekarang, aku bisa menendang dengan kaki terangkat ke depan. Ternyata, gerakkan itu cukup menyenangkan.“Hari ini adalah waktunya,” desah Tetua. Kami memang dikumpulkan di ruangan yang biasanya dijadikan tempat untuk mengobrol. “Kalian harus pergi pagi ini. Tujuh hari ke depan, siklus batu merah akan muncul.”“Tujuh hari?” Aku melotot. “Apakah kami bisa mendapatkan batu itu dalam waktu singkat?”“Itu waktu yang cukup lama jika kalian mengoptimalkannya.” Tetua menjawab enteng. “Sebenarnya, kalian bisa saja berangkat minggu lalu, saat pertama kali kalian ke sini. Tapi berangkat tanpa bekal sama saja bohong. Kalian akan banyak mendapatkan tekanan. Enam hari berlatih di sini cukup membantu
“Mel, tau nggak gambar terbaik itu kayak apa?” tanya Mas Gala saat melangkah ke areal pemukiman.“Nggak tau,” Melica menjawab pelan.“Gambar terbaik itu yang mirip tikus!” tegasnya sambil tergelak.Aku yang dari tadi diam, kini mendengkus. Hei, ternyata dia masih menertawakan gambarku yang dikatai mirip tikus. Mentang-mentang gambarnya menarik perhatian penjaga. Dasar Mas Gala. Dia adalah orang paling menyebalkan yang pernah kukenal.Tadinya, aku ingin menimpali ucapan Mas Gala. Namun pada akhirnya, aku harus diam saat di depan kami ada dua penjaga yang berdiri di rumah paling besar. Ah, rumah di sini tidak jauh berbeda dengan rumah semi permanen di kampungku. Hanya saja, warna-warna rumah di sini lebih mencolok dari biasanya.“Selamat datang di Dunia Kertas,” ucap salah satu dari mereka. “Ada yang bisa kami bantu?”Mas Gala langsung angkat bicara. “Saya mau ketemu Tetua di si
Sinar mentari pagi ini membuat badanku menghangat. Hal itu membuatku sedikit lebih bersemangat daripada sebelumnya yang penuh ketakutan gara-gara mendengar soal ‘hewan buas’. Apalagi, jalan yang kami lewati menurun. Semakin sini, kami memang menuju dataran rendah dan perkotaan. Bisa ditebak jika rumah ayahnya Melica berada di dataran yang cukup tinggi.Aku masih tidak menyangka, seorang Nara Candrakara bisa berpetualang di sebuah negeri yang mirip bumi. Negeri yang kukira ada di dongeng-dongeng. Sebuah tempat yang memiliki sistem berbeda dengan bumi. Meski secara penghuni, sama saja. Mereka manusia. Mereka makan seperti kami. Bedanya mungkin dari kekuatan. Seperti kata Tetua, masyarakat di sini terbiasa memiliki kesaktian, meskipun lama-lamaan, orang yang memiliki kesaktian itu bersembunyi, mengasingkan diri, atau kalau tidak, mereka menyerahkan diri ke kerajaan.“Lari aja yuk, Mas!” ucapku antusias. Aku yang mulai bosan karena langkah mer
Aku berjalan di sebuah tempat yang terasa damai. Semua serba putih. Bajuku juga putih. Sesekali, aku berlari kecil sambil merasakan kesejukkan yang menimpa wajah. Anginnya benar-benar berbeda. Aku tidak pernah merasakan udara sesejuk ini.“Hei!”Aku yang sedang berjalan menuju cahaya putih di depan sana, menengok ke belakang.“Kamu mau ke mana?” tanyanya dengan tatapan sayu. “Jangan pergi!”Aku melihat ke arah depan. Cahaya itu semakin memancar. Aku merasa bahwa di depan sana, ketenangan itu hadir. Aku ingin ke sana. Sepertinya, hal tersebut akan membuatku lebih bahagia daripada saat ini.“Kenapa kamu diam?” tanyanya.Aku tersenyum tipis. Dia selalu ada dan menemani hari-hariku. Namun, aku tidak bisa menurutinya sekarang. Aku pasrah kepada Tuhan. Sepertinya, Tuhan memang menginginkanku untuk mengikuti cahaya yang memancar itu.“Aku mau pergi!” tegasku. “Aku ingin hidup
Aku mendengar suara napas Mas Gala yang tidak beraturan. Langkahnya juga tersendat-sendat. Sementara, Melica sudah berjalan di depan sana. Mungkin 10 meter dari kami. beberapa kali, Melica menunggu, tetapi mungkin, dia juga kesal karena langkah Mas Gala yang begitu lambat.“Makannya .....” Mas Gala menarik napas panjang, “Kalau disuruh sama suami itu nurut!”Tuh kan, Mas Gala mulai ngegas. Lagian, kenapa sih Nara, kamu nekat jalan sendirian? Kalau kamu nggak nekat, mungkin Mas Gala tidak akan kewalahan seperti ini. Perjalanan juga akan dilalui tanpa hambatan. Nah sekarang? Mas Gala harus menahan dua beban sekaligus. Beban badan sendiri, plus badan dirimu.“Kamu nggak berubah ya!” tegas Mas Gala lagi. “Dari awal nikah, kamu egois banget. Kamu nggak bisa dengerin saya. Cemburulah, kaburlah. Nah sekarang, kamu sok jago karena merasa bisa lari cepet!”Mas Gala bahkan membawa-bawa masalah rumah tangga. Lucu sekal