Aku mengerjap saat mendengar suara seseorang mengucapkan kata ‘aduh’. Ah, aku lagi enak tidur. Kenapa masih ada yang ganggu sih? Sumpah. Ini adalah tidur ternyaman yang pernah kurasakan. Padahal, alas yang digunakan untuk tidur adalah kayu tipis yang dilapisi kain. Apa karena aku kecapean?
Sekarang, mataku benar-benar terbuka. Aku baru sadar kalau yang mengaduh adalah Mas Gala.
“Kamu sakit, Mas?” tanyaku.
Kontan, aku bangun dari tempat tidur, kemudian mengecek suhu badannya dengan cara menempelkan tangan di dahi. Tapi suhunya normal. Tidak ada panas yang berlebihan.
“Badan saya sakit-sakit, Nara,” desahnya.
Sebenarnya, aku juga merasakan pegal di sekitaran bokong. Apalagi, kamu tahu sendiri kan, kalau semalam aku harus terjun dari pohon yang tingginya belasan meter. Namun sepertinya, sakit yang dirasakan Mas Gala lebih parah ketimbang sakit yang kurasakan.
Aku membantu Mas Gala untuk bangun dari tempat tid
Aku dan Melica menjerit saat lidah ular menyentuh kepala Mas Gala. Namun sepersekian detik setelah itu, ada sesuatu yang melesat, membuat ular mundur dan terjengkang ke belakang. Berbarengan dengan itu, Mas Gala langsung lari ke sekitaran kami.Aku langsung memeluk Mas Gala. Aku tidak bisa membayangkan jika Mas Gala-ku benar-benar dilahap ular. Apa yang harus kulakukan jika begitu? Bagaimana jadinya aku tanpa Mas Gala? Untung saja ada lelaki berjubah. Apa itu Tetua? Waktu pertama kali datang ke negeri bayangan, Tetua yang membawa kami ke rumah. Sepertinya, dia juga yang menolong kami saat ini.Aku melihat pertarungan yang cukup dahsyat antara lelaki berjubah dan ular itu. Beberapa kali, aku melihat lelaki itu melayang, melesat, menendang si ular, dan menonjok badan si ular. Aku tidak menyangka, ternyata di dunia ini masih ada orang-orang sakti seperti itu. Kupikir ular raksasa dan orang sakti hanya ada di film kolosal yang sering ditonton olehku dan Bapak. Nayatanya, a
Ini adalah hari ke tujuh kami berada di negeri bayangan. Selama beberapa hari itu, kami dilatih untuk bisa membela diri. Setidaknya, kami mampu melawan jika ada apa-apa. Perkembangan bela diriku cukup bagus, bahkan sekarang, aku bisa menendang dengan kaki terangkat ke depan. Ternyata, gerakkan itu cukup menyenangkan.“Hari ini adalah waktunya,” desah Tetua. Kami memang dikumpulkan di ruangan yang biasanya dijadikan tempat untuk mengobrol. “Kalian harus pergi pagi ini. Tujuh hari ke depan, siklus batu merah akan muncul.”“Tujuh hari?” Aku melotot. “Apakah kami bisa mendapatkan batu itu dalam waktu singkat?”“Itu waktu yang cukup lama jika kalian mengoptimalkannya.” Tetua menjawab enteng. “Sebenarnya, kalian bisa saja berangkat minggu lalu, saat pertama kali kalian ke sini. Tapi berangkat tanpa bekal sama saja bohong. Kalian akan banyak mendapatkan tekanan. Enam hari berlatih di sini cukup membantu
“Mel, tau nggak gambar terbaik itu kayak apa?” tanya Mas Gala saat melangkah ke areal pemukiman.“Nggak tau,” Melica menjawab pelan.“Gambar terbaik itu yang mirip tikus!” tegasnya sambil tergelak.Aku yang dari tadi diam, kini mendengkus. Hei, ternyata dia masih menertawakan gambarku yang dikatai mirip tikus. Mentang-mentang gambarnya menarik perhatian penjaga. Dasar Mas Gala. Dia adalah orang paling menyebalkan yang pernah kukenal.Tadinya, aku ingin menimpali ucapan Mas Gala. Namun pada akhirnya, aku harus diam saat di depan kami ada dua penjaga yang berdiri di rumah paling besar. Ah, rumah di sini tidak jauh berbeda dengan rumah semi permanen di kampungku. Hanya saja, warna-warna rumah di sini lebih mencolok dari biasanya.“Selamat datang di Dunia Kertas,” ucap salah satu dari mereka. “Ada yang bisa kami bantu?”Mas Gala langsung angkat bicara. “Saya mau ketemu Tetua di si
Sinar mentari pagi ini membuat badanku menghangat. Hal itu membuatku sedikit lebih bersemangat daripada sebelumnya yang penuh ketakutan gara-gara mendengar soal ‘hewan buas’. Apalagi, jalan yang kami lewati menurun. Semakin sini, kami memang menuju dataran rendah dan perkotaan. Bisa ditebak jika rumah ayahnya Melica berada di dataran yang cukup tinggi.Aku masih tidak menyangka, seorang Nara Candrakara bisa berpetualang di sebuah negeri yang mirip bumi. Negeri yang kukira ada di dongeng-dongeng. Sebuah tempat yang memiliki sistem berbeda dengan bumi. Meski secara penghuni, sama saja. Mereka manusia. Mereka makan seperti kami. Bedanya mungkin dari kekuatan. Seperti kata Tetua, masyarakat di sini terbiasa memiliki kesaktian, meskipun lama-lamaan, orang yang memiliki kesaktian itu bersembunyi, mengasingkan diri, atau kalau tidak, mereka menyerahkan diri ke kerajaan.“Lari aja yuk, Mas!” ucapku antusias. Aku yang mulai bosan karena langkah mer
Aku berjalan di sebuah tempat yang terasa damai. Semua serba putih. Bajuku juga putih. Sesekali, aku berlari kecil sambil merasakan kesejukkan yang menimpa wajah. Anginnya benar-benar berbeda. Aku tidak pernah merasakan udara sesejuk ini.“Hei!”Aku yang sedang berjalan menuju cahaya putih di depan sana, menengok ke belakang.“Kamu mau ke mana?” tanyanya dengan tatapan sayu. “Jangan pergi!”Aku melihat ke arah depan. Cahaya itu semakin memancar. Aku merasa bahwa di depan sana, ketenangan itu hadir. Aku ingin ke sana. Sepertinya, hal tersebut akan membuatku lebih bahagia daripada saat ini.“Kenapa kamu diam?” tanyanya.Aku tersenyum tipis. Dia selalu ada dan menemani hari-hariku. Namun, aku tidak bisa menurutinya sekarang. Aku pasrah kepada Tuhan. Sepertinya, Tuhan memang menginginkanku untuk mengikuti cahaya yang memancar itu.“Aku mau pergi!” tegasku. “Aku ingin hidup
Aku mendengar suara napas Mas Gala yang tidak beraturan. Langkahnya juga tersendat-sendat. Sementara, Melica sudah berjalan di depan sana. Mungkin 10 meter dari kami. beberapa kali, Melica menunggu, tetapi mungkin, dia juga kesal karena langkah Mas Gala yang begitu lambat.“Makannya .....” Mas Gala menarik napas panjang, “Kalau disuruh sama suami itu nurut!”Tuh kan, Mas Gala mulai ngegas. Lagian, kenapa sih Nara, kamu nekat jalan sendirian? Kalau kamu nggak nekat, mungkin Mas Gala tidak akan kewalahan seperti ini. Perjalanan juga akan dilalui tanpa hambatan. Nah sekarang? Mas Gala harus menahan dua beban sekaligus. Beban badan sendiri, plus badan dirimu.“Kamu nggak berubah ya!” tegas Mas Gala lagi. “Dari awal nikah, kamu egois banget. Kamu nggak bisa dengerin saya. Cemburulah, kaburlah. Nah sekarang, kamu sok jago karena merasa bisa lari cepet!”Mas Gala bahkan membawa-bawa masalah rumah tangga. Lucu sekal
“Saya Cakra Bahuraksa!”Lelaki itu menyodorkan tangan kepada Mas Gala. Sementara Mas Gala diam sejenak. Dia seperti sedang meneliti orang di depannya.“Kamu tidak perlu khawatir, saya bukan orang jahat,” katanya. “Kalau saya jahat, buat apa saya nolong dia yang hampir mati?”Lelaki ini benar-benar berwibawa. Dulu, aku mengira jika hanya Mas Gala lelaki dengan segala kharismanya. Namun sekarang, ada orang baru yang kharismatik. Meskipun, Mas Gala nggak akan pernah tergantikan di hatiku.“Saya Gala Bahuwirya,” ucap Mas Gala sambil menerima uluran tangan itu.Giliran aku yang mendekat ke arah lelaki bernama Cakra. Lantas, aku ikut mengulurkan tangan. “Nara Candrakara.”“Nama yang bagus,” pujinya sambil tersenyum.Mendapat pujian itu, aku sedikit tersipu, meskipun Mas Gala melotot. Sepertinya, dia cemburu.“Kami mau ke Dunia Kesedihan,” ucap Melica.
Kami diizinkan untuk masuk ke perkampungan itu. Ya, Melica berhasil membujuk Nana. Anak itu bisa kembali ceria, setidaknya tidak semurung sebelumnya. Padahal kata Ibu Kasmi, anak itu selalu menghabiskan waktu di depan danau beberapa bulan belakangan. Dia akan kembali jika menjelang malam. Pernah beberapa kali Nana diawasi, tetapi dia malah marah. Bahkan mengancam akan meloncat ke danau. Sampai kemudian, Bu Kasmi membiarkan anak itu untuk melakukan apa yang dia mau.Setelah dibujuk Melica, anak itu juga sudah mulai tersenyum saat melihat laki-laki. Ternyata dia trauma dengan pesuruh kerajaan yang menangkap orangtuanya. Dia merasa benci jika melihat laki-laki asing. berkat Melica, anak itu bisa sedikit lebih terbuka.Dan di sinilah kami sekarang. Dunia Kesedihan. Ini adalah pemukiman khusus anak-anak yang orangtuanya ditangkap oleh kerajaan. Mereka yang memiliki kekuatan dipenjara di ruang bawah tanah. Kenapa mereka tidak bisa melawan? Kebanyakan dari mereka pasrah denga