Kami diizinkan untuk masuk ke perkampungan itu. Ya, Melica berhasil membujuk Nana. Anak itu bisa kembali ceria, setidaknya tidak semurung sebelumnya. Padahal kata Ibu Kasmi, anak itu selalu menghabiskan waktu di depan danau beberapa bulan belakangan. Dia akan kembali jika menjelang malam. Pernah beberapa kali Nana diawasi, tetapi dia malah marah. Bahkan mengancam akan meloncat ke danau. Sampai kemudian, Bu Kasmi membiarkan anak itu untuk melakukan apa yang dia mau.
Setelah dibujuk Melica, anak itu juga sudah mulai tersenyum saat melihat laki-laki. Ternyata dia trauma dengan pesuruh kerajaan yang menangkap orangtuanya. Dia merasa benci jika melihat laki-laki asing. berkat Melica, anak itu bisa sedikit lebih terbuka.
Dan di sinilah kami sekarang. Dunia Kesedihan. Ini adalah pemukiman khusus anak-anak yang orangtuanya ditangkap oleh kerajaan. Mereka yang memiliki kekuatan dipenjara di ruang bawah tanah. Kenapa mereka tidak bisa melawan? Kebanyakan dari mereka pasrah denga
Aku melihat Nana merengkuh Melica dengan begitu erat. Pedih, Nana baru menemukan orang yang cocok untuknya, tetapi orang itu harus segera pergi. Ya, pagi ini, kami harus segera melakukan perjalanan.“Kamu kenapa tinggalin Nana?” tanya anak perempuan itu.Melica berjongkok, mengacak rambut Nana, lantas mencium keningnya. “Saya kan sudah janji mau nyelamatin orangtua kamu. Kamu doain saya ya?”Nana mengangguk. Dia merengkuh Melica.Selain Nana, satu per satu dari anak-anak lain juga memeluk dan menyalami kami. Mereka terlihat sedih karena harus berpisah dengan kami. Sama denganku. Aku yang mulai nyaman karena dikelilingi anak-anak harus menerima kenyataan, bahwa kami memang harus segera pergi.“Ini untuk kalian,” Nana menyodorkan sebuah foto tua. “Ini foto orangtua Nana. Kalau kalian bertemu dengan mereka, sampaikan salam Nana kepada mereka.”Melica menerima foto itu. “Saya janji, saya akan berusaha un
Melica mendekat ke arah singa dengan langkah pelan. Langkah itu membuat dadaku berdegup kencang. Hei, apa yang akan Melica lakukan? Dia mau menyerahkan diri kepada singa itu? Bagaimana mungkin dia malah mendekati kematian? Aku tidak bisa membayangkan jika mulut singa merobek tubuh Melica.“Melica!” Mas Gala berteriak. “Kamu jangan nekat!”“Dia bahaya!” Cakra ikut bersuara meski napasnya tak beraturan. “Kamu mundur!”Melica tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengcungkan tangan ke belakang. Tanda jika kami semua harus diam. Ya ampun, suhu di tanah lapang ini mendadak panas. Apa yang akan terjadi? Aku tidak yakin Melica bisa menangani hewan itu.Aku menggigit bibir ketika tangan Melica mengacung. Tangan itu menyentuh kepala singa. Hampir saja aku berteriak karena tidak menyangka dengan semua yang Melica lakukan. Namun aku hanya bisa membekam mulut menggunakan kedua tangan.“Kau tenang,” desa
Entah kenapa, energiku seperti bertambah menjadi dua kali lipat. Energi itu membuat badanku terasa ringan. Aku juga merasa begitu lincah dari biasanya. Ah, tidak sia-sia aku menjadi seorang perempuan dengan lari tercepat semasa SD. Ternyata, itu semua bisa memberikan manfaat.Aku mengejar makhluk yang tadi menarik tubuh Melica. Awalnya, aku merasa ragu bisa menyusulnya. Namun ternyata, semua tidak ada yang mustahil. Aku bisa mengejarnya dari belakang. Terbukti, aku melihat tubuh mereka berdua yang semakin sini semakin terlihat jelas.“Hei, tunggu!” teriakku.Aku terus berusaha untuk bisa menyusul dan mencegah makhluk itu. Sampai kemudian, aku sedikit terkejut. Mereka berdua menghilang di depan sana. Mereka seperti menembus bumi. Dan kamu tahu? Aku tidak menyangka karena aku juga menembus ke sebuah ruang berbeda. Tubuhku muncul di pemukiman warga.Sejenak, aku berhenti. Aku masih pusing dengan ini semua. Baru saja aku berada di tengah hutan. Se
Setelah melakukan perjalanan selama tiga jam lebih, aku baru sadar jika kami sudah menginjak dataran rendah. Tempat yang tak terlalu banyak pohon. Digantikan menjadi hamparan padang rumput yang luas. Mungkin setelah melewati tempat ini, aku bisa melihat kerajaan. Seluas apa kerajaan itu?“Cakra, apakah lokasinya sudah dekat?” tanyaku tidak sabar.Cakrak yang berjalan duluan, menengok ke belakang. “Mungkin sekitar empat jam lagi.”“Empat jam?” Aku melotot.Mendapati tanggapanku, Cakra terkekeh pelan. Entahlah, dia senang sekali menertawakan kecemasanku. Kukira, kami akan segera sampai di tempat yang menyimpan batu merah. Ternyata empat jam lagi.“Apa kamu capek?” tanya Cakra. “Mau istirahat dulu?”Pertanyaan Cakra belum berhasil kujawab, sebab Mas Gala langsung menanggapi. “Lagian, kamu kan pakai sepatu super. Seharusnya, kamu nggak capek. Kita saja yang pakai sepatu biasa bisa
Kami semua berbaring di atas tanah dengan mata melihat ke langit sore ini. Setelah Mas Gala sadar, kami merasa tenaga ini terkuras. Bagaimana tidak? Setelah keluar dari Dunia Pelarian, maka perjalanan terpanjang adalah hari ini. Mana ada drama tenggelam. Dan detik ini, kami masih ada di pinggir danau.Aku bangun setelah sekian lama menenangkan diri, lantas membuka ransel yang sudah kering. Aku ingin melihat peta yang diberikan Tetua. Apakah masih jauh?“Nggak akan ada tempat yang menunjukkan keberadaan batu merah, Nara,” ucap Cakra sambil bangun.Ucapan itu membuat Melica dan Mas Gala ikut bergerak.“Yang saya dengar, batu merah akan muncul di sekitaran tempat terakhir batu biru berada,” ucapnya.“Di istana?” tanyaku dengan mata melotot. “Yakin?”“Ya tidak di istana juga.” Cakra menjawab pelan. “Bisa di luar istana. Misal berjarak puluhan meter. Bisa pula memang benar-benar di
“Apa kabar, Gala?” tanya Raja Fatah.Aku melirik Mas Gala. Kulihat ada gejolak di matanya. Aku tahu, ada berbagai perasaan di hati Mas Gala. Terutama saat dia bertemu dengan seseorang yang telah membuangnya ke bumi.“Kau sudah tahu saya?” tanya penguasa negeri bayangan itu.“Kau adalah orang yang sudah menghancurkan keluarga saya, kan?” tanya Mas Gala. Ucapannya penuh penekanan.Aku, Melica, dan Cakra masih diam di tempat. Sesekali, aku mengamati beberapa prajurit yang menatap tajam. Takut sekali jika mereka mendekat, kemudian mengambil kedua batu yang ada di tangan Mas Gala.Ucapan Mas Gala membuat Raja Fatah mendekat dengan senyum lebar. Aku melihat ada raut kemenangan di sana.“Setelah saya menunggumu, akhirnya kau datang,” ucapnya. “Saya pamanmu.”Mas Gala mundur satu langkah. Aku melihat kilatan tajam dari matanya. “Saya tidak sudi punya paman sepertimu!”
Tenggorokanku tercekat. Kamu bisa membayangkan kan, jika batu itu harus jatuh ke tangan Raja Fatah? Bukannya aman, bisa-bisa negeri ini malah semakin hancur. Raja akan bertindak semena-mena. Tidak menutup kemungkinan, kami juga akan terkurung selamanya di sini. Menjadi budak bagi raja yang keji.Badanku jatuh. Air mataku juga jatuh. Melica berusaha membangunkanku, tetapi aku tidak bisa. Hingga kemudian, aku melihat suatu lesatan yang menarik badan Mas Gala. Kontan, alam ini kembali cerah. Langit berwarna orange itu tampak. Aku yang sedang terduduk di atas tanah menggeleng. Apakah ini keajaiban?Mas Gala berdiri di hadapanku bersama .... Tetua?“Ayah?” Melica angkat suara.“Kenapa Tetua menarik saya?” Mas Gala bertanya dengan nada keras. “Orangtua saya dalam bahaya!”Tetua menggeleng. “Mereka bukan orangtuamu. Mereka orang sakti, suruhan Raja untuk mengelabui. Dari tadi, Tetua melihat aktivitas itu!
Punggungku sakit, hati juga. Perjuangan yang sudah lama kami lakukan harus berakhir seperti ini. Cakra memegang batu kembar itu, dia sedang berjalan menghampiri Raja Fatah.Di sisi kiri, Mas Gala terlihat frustrasi dan lemas. Sama sepertiku, sepertinya badannya benar-benar remuk. Pentalan itu membuat kami benar-benar tidak bisa apa-apa. Apalagi Melica? Dia masih fokus mengguncang-guncang ayahnya dengan air mata mengucur.“Kalian kalah!” tawa itu menggema.Aku yang sedang menangis, mengusap air mata.Itu adalah suara Raja Fatah. Ternyata, dia mendadak kembali sombong saat Cakra menghampirinya.“Saya mengirimkan Cakra untuk menjadi penjaga kalian, hingga bisa mengantarkan batu itu!” ucapnya. Dia kembali berdiri dengan gerakkan pelan. “Cakra, cepatlah, Nak!”Cakra yang sedang berjalan terlihat begitu percaya diri. Sementara aku melempem. Kenapa gerakkannya lambat sekali? Hal tersebut hanya membuat aku semakin