Tenggorokanku tercekat. Kamu bisa membayangkan kan, jika batu itu harus jatuh ke tangan Raja Fatah? Bukannya aman, bisa-bisa negeri ini malah semakin hancur. Raja akan bertindak semena-mena. Tidak menutup kemungkinan, kami juga akan terkurung selamanya di sini. Menjadi budak bagi raja yang keji.
Badanku jatuh. Air mataku juga jatuh. Melica berusaha membangunkanku, tetapi aku tidak bisa. Hingga kemudian, aku melihat suatu lesatan yang menarik badan Mas Gala. Kontan, alam ini kembali cerah. Langit berwarna orange itu tampak. Aku yang sedang terduduk di atas tanah menggeleng. Apakah ini keajaiban?
Mas Gala berdiri di hadapanku bersama .... Tetua?
“Ayah?” Melica angkat suara.
“Kenapa Tetua menarik saya?” Mas Gala bertanya dengan nada keras. “Orangtua saya dalam bahaya!”
Tetua menggeleng. “Mereka bukan orangtuamu. Mereka orang sakti, suruhan Raja untuk mengelabui. Dari tadi, Tetua melihat aktivitas itu!
Punggungku sakit, hati juga. Perjuangan yang sudah lama kami lakukan harus berakhir seperti ini. Cakra memegang batu kembar itu, dia sedang berjalan menghampiri Raja Fatah.Di sisi kiri, Mas Gala terlihat frustrasi dan lemas. Sama sepertiku, sepertinya badannya benar-benar remuk. Pentalan itu membuat kami benar-benar tidak bisa apa-apa. Apalagi Melica? Dia masih fokus mengguncang-guncang ayahnya dengan air mata mengucur.“Kalian kalah!” tawa itu menggema.Aku yang sedang menangis, mengusap air mata.Itu adalah suara Raja Fatah. Ternyata, dia mendadak kembali sombong saat Cakra menghampirinya.“Saya mengirimkan Cakra untuk menjadi penjaga kalian, hingga bisa mengantarkan batu itu!” ucapnya. Dia kembali berdiri dengan gerakkan pelan. “Cakra, cepatlah, Nak!”Cakra yang sedang berjalan terlihat begitu percaya diri. Sementara aku melempem. Kenapa gerakkannya lambat sekali? Hal tersebut hanya membuat aku semakin
Hatiku tersayat saat melihat Mas Gala meraung-raung di depan dua makam orang yang paling dia kasihi. Dia memang tidak bertemu kedua orangtuanya setelah belasan tahun, tetapi aku yakin, ikatan batin pasti ada, bahkan kuat. Mas Gala selalu melukis wajah kedua orangtuanya saat di panti. Menurutku, aktivitas tersebut adalah proses pendekatan dirinya dan kedua orangtuanya.“Ayo, Mas, waktunya tidak banyak,” ucapku. Aku mungkin seperti orang paling menyebalkan di dunia ini. Disaat orang lain sedang berduka, aku malah menarik tangannya. “Upacara itu akan dilakukan. Setelah prosesi itu, kamu bebas untuk datang ke sini lagi.”Mas Gala mengusap nisan yang diberi nama Panji Anggareksa. Setelah mengusap nisan ayahnya, dia berpindah ke makam di sisi lain. Nama di makam itu tertulis Amani Raharta. Itukah nama orangtua Mas Gala?“Saya pergi ya,” desah Mas Gala. “Pasti saya ke sini lagi ….”Sebelum benar-benar pergi,
Setelah berbicara seperti itu, Mas Gala melangkah ke arah Cakra. Aku tidak pernah melihat tatapan peduli dari mata Mas Gala sebelumnya. Bukankah kadang-kadang Mas Gala terlihat iri dengan segala kekuatan yang Cakra miliki? Nah sekarang, aku tidak melihat kilatan itu. Aku justru melihat ketulusan dari sorot mata Mas Gala.Mas Gala mengusap bahu Cakra. Kedua lelaki ini memang luar biasa. Saat mereka saling berhadapan, aku menyadari sesuatu bahwa ada kemiripan di antara keduanya. Aura. Aura itu memancar begitu kuat. Kalau aku belum mencintai Mas Gala, mungkin aku akan susah memilih.“Cakra,” ucap Mas Gala. “Saya bukan apa-apa di sini. Kamulah orang yang paling tepat menjadi raja. Kamu adalah ksatria hebat yang bisa memimpin negeri ini menjadi lebih baik.”Cakra tidak menjawab. Dia hanya melihat Mas Gala dengan tatapan tidak percaya.“Saya bisa saja menerima tawaran untuk menjadi seorang raja, tapi apa mau kamu melihat Negara ini
“Aw!” Aku menjerit saat badan terjatuh di lantai.“Kita sudah ada di rumah?” Melica angkat bicara setelah beberapa saat.Ucapan itu membuatku diam sejenak. Mengamati sekeliling tempat yang sekarang aku duduki. Dan … ah, ranjang itu? Kami sudah benar-benar ada di rumah ini.“Mas, kita sudah pulang!” teriakku. “Aku sudah rindu ruangan ini ….”Dua minggu lebih kami ada di dunia bayangan. Dan saat bisa merasakan kembali dinginnya AC rumah, tentu saja hal tersebut membuatku bahagia. Tidak akan ada lagi hal-hal yang berhubungan dengan keringat yang mengucur sepanjang hari. Tidak ada pula gangguan makhluk-makhluk aneh seperti di negeri bayangan.Prak!Itu suara pintu terbuka. Otomatis, aku merbalik ke arah pintu. Kamu tahu? Ada Ibu di sana. Ibu menatap kami satu persatu. Mungkin tidak percaya. Hingga kemudian, ibu benar-benar masuk, lantas memelukku.“Kamu sudah pulang, Nak?
SATU TAHUN KEMUDIAN .... Ada satu hal yang juga tak kalah menyakitkan setelah Bapak meninggal di negeri bayangan, yaitu saat mengetahui jika aku tidak berjodoh dengan Cakra. Ya, Bapak bilang, jodohku ada di negeri bayangan. Jodohku menunggu di sana. Kenyataannya, takdir berkata lain bukan? Aku tidak mungkin menghancurkan amanat yang diberikan masyarakat sana kepada Cakra, sang raja masa depan. Huh. Aku lelah. Sangat lelah. Senyum itu mungkin selalu terlihat lebar di permukaan, tetapi dadaku selalu sesak. Aku seperti seekor naga yang terlihat menawan di luar, tetapi di dalamnya menyimpan bara api yang begitu membahayakan. Aku capek berpura-pura bahagia. Faktanya, aku membutuhkan seseorang. “Melica, kamu yakin mau pindah ke Bandung?” tanya Ibu panti seminggu lalu, saat aku mengobrolkan niatku kepadanya. “Iya, Bu,” ucapku pelan. “Aku pergi karena aku juga merasa jika semua program yang kita bangun sudah bisa berjalan tanpa ada aku. Perke
Aku disambut ramah oleh satpam rumah Gala. Dia berseri-seri, berbeda seperti saat aku datang pertama kali beberapa bulan lalu. Apa mungkin sekarang tidak ada tekanan? Mungkin sikap Gala sudah lebih lembut dan membuat para pekerjanya tenang. Syukurlah. “Melica?” Nara berteriak. Aku berjalan cepat ke arahnya. “Hei, ini masih pagi. Kamu ngapain sudah ada di halaman rumah?” Sebenarnya, aku tahu dia sedang menyiram bunga, tetapi aku ingin mendengarkan jawabannya secara langsung. “Nggak tahu, sejak sebulan lalu, aku jadi semangat banget buat berkebun. Mungkin karena .....” “Nara! Sudah saya bilang, kamu masuk! Kamu nggak boleh panas-panasan gini. Kasihan nanti anak kita. Lagipula, kehamilanmu baru terhitung enam minggu, masih sangat rentan jika kegiatanmu terlalu berat!” “Mas Gala!” Nara berkata tegas. “Kebiasaan deh, kamu! Lebayyyy! Aku Cuma nyiram taneman doang ini. Nggak ada berat-beratnya. Kalau aku jadi kuli bangunan, baru kamu boleh la
Aku tidak menginap di rumah Gala. Sejam lalu, aku pulang. Alasannya sih, mau membereskan rumah, maklum, baru pindahan. Padahal alasan yang sebenarnya bukan itu. Aku pulang untuk menghargai hatiku sendiri. Makin sering aku melihat kemesraan Nara dan Gala, makin sering pula aku menuntut diri untuk segera menemukan pasangan hidup. Padahal mencari pasangan tidak semudah itu, bukan?Aku menjatuhkan badan di kasur. Berniat untuk tidur lebih awal. Namun saat hampir terlelap, ponselku berdering. Ada notifikasi masuk. Jelas aku menggeram. Siapa yang ganggu malam-malam. Apakah orang-orang dari aplikasi pencari jodoh? Malas sekali jika harus mendapatkan chat tidak senonoh.Saat kulihat, ternyata ada pesan masuk ke salah satu aplikasi chat. Kamu tahu isi chat-nya?Selamat malam, Melica. Perkenalkan, saya Hadi. Karyawan Pak Gala di kantor. Saya dapat nomor Melica dari pak Gala. Salam kenal ya ....Chat pertama itu kontan membuat aku melotot. Aku yang awalnya
Lemas. Benar-benar lemas. Sepanjang jalan setelah selesai makan bersama Hadi, aku terus berpikir. Antara menerimanya atau tidak. Jika aku menerimanya, mungkin aku akan memiliki pasangan yang bisa menemaniku. Lagipula, Hadi lelaki yang dewasa, ganteng, juga mapan. Bukankah itu yang selama ini aku inginkan?Namun, kriteria itu pada akhirnya tergerus saat prinsip Hadi dan prinsipku bersebrangan. Ya, saat sampai di depan rumah kontrakkan, hati ini benar-benar tidak bisa bohong. Aku akan menolaknya. Tentu saja dengan segala pertimbangan.Aku mengambil ponsel di dalam tas, lantas aku mencari nomor Gala. Aku meneleponnya.“Wih, baru ketemu Hadi ya?” Gala berkata lebih ceria.“Iya,” jawabku pelan.“Gimana-gimana? Cocok dong, pasti? Orangnya nggak ngecewain. Kalau dibawa ke mana-mana, dijamin nggak bikin malu. Sesuai dengan selera kamu kan?”“Jelas,” jawabku singkat. “Semua kriteria yang berhubung
Dua tahun kemudianHarum bawang goreng menguar dari dapur. Terlihat Nara dengan bahagia membolak-balikkan nasi di atas wajan. Rupanya, dia sedang memasak nasi goreng. Ya, nasi goreng adalah salah satu menu makan siang dirinya dengan Gala. Sekarang, Gala menjadi seorang Papa yang tidak pernah absen datang ke rumah di jam istirahat. Meski posisi kantor ke rumah lumayan jauh, tetapi dia selalu menyempatkan diri untuk datang.Sekarang, Nara mengamati nasi goreng di atas piring. Irisan tomat yang terlihat segar, sayur, juga beberapa potong sosis goreng berjejer di pinggir-pinggirnya. Dia membuat dua piring nasi goreng, khusus buat dirinya dan Gala. Tentu ini makanan sederhana, tetapi makanan sederhana akan sangat istimewa bukan? Apalagi jika yang dimasaki merasa bahagia.Saat tengah menatap makanan di atas meja, tiba-tiba ponsel Nara berbunyi. Tentu, itu dari Gala. Dia lantas mengangkatnya dengan wajah cerita.“Hallo, Mas,” ucap Na
Entah kenapa, mendengar ucapan Mas Candra seperti itu membuat hatiku terenyuh. Aku merasakan betul detak jantungnya yang menempel di badanku. Sampai akhirnya, aku melepaskan peluk untuk kesekian kalinya.“Kira-kira, apa yang membuat aku harus menerimamu kembali?” tanyaku. Aku mencari keyakinan lagi.Mas Candra menghela napas. “Karena aku mau berubah. Dan yang paling penting .... aku benar-benar cinta sama kamu. Aku merasa bahwa kebahagiaanku ada bersamamu. Bukan lagi di kerajaan.”Aku menatapnya. Mencari celah, apakah dia berbohong? Tetapi dilihat dari gerak-geriknya, aku melihat jika tidak ada kebohongan.“Apa kamu bisa menjaminnya?” tanyaku lagi.“Apa yang kamu mau dariku? Ucapkan. Apa pun, akan kulakukan jika bisa mempersatukan kita.”Pertanyaan itu malah membuatku beku. Itu hanya bentuk dari pengetesan yang kulakukan. Kamu tahu? Sejujurnya, keberadannya di sini saja sudah membuatku senang.
Aku kembali seperti Melica yang dulu. Dari dua hari lalu, aku kembali melihat aktivitas anak-anak. Melihat kerajinan yang dibuat, melihat proses paking barang-barang untuk dikirim ke luar daerah dan luar negeri, serta melihat perkebunan yang semakin sini semakin luas. Seperti keinginanku dulu, warga-warga sini hampir 80 mendominasi sebagai pegawai di panti.Pada hari ini, aku sedikit bernostalgia dengan perkebunan. Kebetulan, ada kegiatan pemetikkan beberapa sayuran seperti bonteng, bayam, sawi, dan beberapa sayur lain. Nah, aku ikut berkumpul dengan para petani yang sedang memetik sayuran.“Wah, Melica turun juga,” ucap salah satu pegawai yang sudah dari lama mengetahui aku.“Iya, Nih, Pak. Suntuk diam di kamar terus. Sekalian nostalgia,” ucapku.“Kabarnya, Melica itu kemarin hilang ya? Kenapa bisa hilang? Ada masalah apa?” pertanyaan itu tampaknya hanya basa-basi, padahal semua orang tahu jika kami diisukan menghilang
Gerbang panti terlihat di ujung mata. Aku melihat pohon-pohon yang masih sama, lebat. Aku melihat rumput-rumput hias yang ada di pinggir-pinggir pagar, yang juga terurus, lantas, aku mengembuskan napas. Tidak terasa, aku sudah ada di sini. Di rumahku sendiri.Saat membuka gerbang, penjaga panti terbelalak. Dia buru-buru menyalamiku. Tentu, aku juga menyalaminya dengan begitu bahagia.“Kok Melica tidak bilang kalau mau ke sini? Kan bisa dijemput sama anak-anak yang lain.” Ucap Pak Satpam.Dia adalah penjaga yang sudah lama ada di sini. Bahkan sejak aku kecil. Makannya, dia menyebut lebih akrab dengan sebutan nama.“Memangnya saya itu tamu, Pak?” Aku terkekeh. “Saya anak panti lho. Jadi ya, nggak usah dispesialkan juga.”Ucapan itu dijawab gelengan. Tentu, kami mengobrol sejenak. Menanyakan berbagai hal dan situasi di panti. Menurut Pak Satpam, panti mengalami banyak perkembangan. Terutama mengenai usaha-usaha yang
Kedatanganku ke kantor membuat para karyawan terbelalak. Mereka tidak menyangka, orang hilang yang selama ini diberitakan ternyata sudah kembali. Lantas, aku langsung dikerubuti oleh para karyawan.“Bu, Ibu ke mana saja? Pak Candra juga. Apa kalian baik-baik saja?” tanya salah satu dari mereka.Jelas aku tersenyum sejanak, kemudian mengangguk. “Selama ini, saya tersesat di hutan. Dan saya ... masuk ke alam ghaib.”Ucapan itu membuat mereka terlihat semakin penasaran.“Alam ghaib?” karyawan Senior yang umurnya lebih tua dari Mas Candra mengerutkan kening.“Ya. Kalau kalian tidak percaya, tidak apa-apa. Yang jelas, selama beberapa minggu, kami tersesat, sampai akhirnya saya bisa kembali. Tapi Mas Candra .....”“Pak Candra kenapa?”“Sampai sekarang tidak ada jejak. Saya tidak tahu apakah dia selamat atau tidak.”Aku mengobrol panjang lebar dengan para karyawan
Suara air yang jatuh dari atas membuat Ibu memejamkan mata. Air itu terasa mendamaikan. Dia juga merasakan kesejukkan yang luar biasa bisa berdiri di depan air terjun yang sangat mengagumkan. Sampai kemudian, dia yang tengah merasa senang, kini melotot. Dia mendapati seseorang yang tengah duduk di batu besar, juga menghadap ke air terjun. Tentu, dia tahu orang tersebut.Ibu melangkah cepat, ingin memastikan orang yang dia lihat.“Bapak ....”Ucapan itu mengudara begitu saja. Padahal, Ibu belum lihat wajahnya sama sekali.Lelaki itu menengok. Dia tersenyum lebar saat mendapati istrinya. Lantas, dia berdiri.“Kenapa Ibu ada di sini?” tanya Bapak.Ibu diam sejenak. Dia mengamati wajah teduh suaminya. Lantas, tangan kanannya mengusap wajah itu perlahan-lahan. Wajah yang begitu dia rindukan, terutama saat bapak pergi untuk selama-lamanya. Hingga, mendaratlah pelukkan yang begitu erat.“Ibu rindu Bapak,”
Setelah dari taman, aku melangkah lesu ke ruangan Mas Candra dan Ibunya. Saat masuk, ternyata mereka berdua belum sadarkan diri. Jujur, aku sedih. Ternyata effek dari kekuatan Ratu Kegelapan semalam itu membuat mereka benar-benar kritis.“Ada berbagai jaringan yang rusak,” ucap tabib. “Candra dan Ibunya harus dirawat intensif di sini.”Aku menggigit bibir. Sungguh, informasi ini benar-benar membuatku syok.“Tapi, mereka akan sembuh kan, Tetua?” tanyaku.“Setelah diteliti lebih dalam, ada kemungkinan besar jika mereka akan kembali. Terlebih, mereka itu punya kekuatan di dalam tubuhnya. Kekuatan itu membantu memulihkan kembali jaringan yang ada. Namun, tentu ini butuh waktu.”Aku mengembuskan napas lega. Itu adalah informasi yang menurutku cukup melegakan. Setidaknya, aku bisa pulang ke Bumi dalam keadaan tenang.“Saya keluar dulu ya. Saya harus melihat beberapa orang lainnya,” ucap t
Aku melihat seekor Singa melenggang masuk ke dalam kerajaan. Jelas aku langsung melotot. Aku mengingat saat kejadian di Selatan Negeri bayangan. Singa itu mengamuk. Dan sekarang, dia hadir di sini. Tentu, dia bukan singa biasa. Dia bisa mengerti ucapan-ucapan kami.Aku yang sedang ada di luar kerajaan, buru-buru menghampirinya. “Selamat datang. Akhirnya kamu bisa mewujudkan mimpimu untuk hadir di sini.”Singa itu terlihat berkaca-kaca. Sementara, aku mengelus wajahnya dengan pelan. “terima kasih ya, kamu sudah membiarkan kami lewat pada saat itu. Sekarang, kita semua sudah menang. Semua misi yang ingin kami lakukan sudah terlaksana hari ini. Benar-benar terlaksana.”Singa itu mengaum. Sepertinya itu tanda bahwa dia bahagia.Setelah aku mengobrol beberapa saat, ada salah satu penjaga kerajaan yang datang. Ternyata, dia yang akan mengantarkan Singa itu ke makam kedua orangtuanya yang telah gugur lama di wilayah kerajaan ini.S
Melica berlari dari satu ruangan ke ruangan lain. Setiap masuk ke dalam ruangan, Melica tidak mendapati sosok yang dia cari. Dia lebih banyak mendapati orang-orang yang tak sadarkan diri dengan kepala bocor, leher tersayat, dan berbagai luka lainnya.Tentu, sepanjang mencari orang yang dia harapkan itu, Melica menangis. Baru dia sadar. Bahwa sekecewa-kecewanya dia kepada Candra, dirinya tetap mengkhawatirkan sang suami. Bagi Melica, Candra tetap menjadi orang nomor satu yang selalu membuatnya cemas.“Kau cari siapa?” tanya salah satu tabib berpakaian putih. Lelaki berjanggut itu seperti berusaha menenangkan Melica dengan tatapan teduhnya.“Saya mencari suami saya dan ibunya,” jawab Melica.“Oh, dia lelaki tinggi yang mengenakan pakaian serba hitam?” tanya tabib itu.Jelas, orang yang menggunakan pakaian hitam hanya Candra dan ibunya. Jika pun para pengikut Ratu Kegelapan menggunakan pakaian-pakaian hitam barusan,