Aku tidak menginap di rumah Gala. Sejam lalu, aku pulang. Alasannya sih, mau membereskan rumah, maklum, baru pindahan. Padahal alasan yang sebenarnya bukan itu. Aku pulang untuk menghargai hatiku sendiri. Makin sering aku melihat kemesraan Nara dan Gala, makin sering pula aku menuntut diri untuk segera menemukan pasangan hidup. Padahal mencari pasangan tidak semudah itu, bukan?
Aku menjatuhkan badan di kasur. Berniat untuk tidur lebih awal. Namun saat hampir terlelap, ponselku berdering. Ada notifikasi masuk. Jelas aku menggeram. Siapa yang ganggu malam-malam. Apakah orang-orang dari aplikasi pencari jodoh? Malas sekali jika harus mendapatkan chat tidak senonoh.
Saat kulihat, ternyata ada pesan masuk ke salah satu aplikasi chat. Kamu tahu isi chat-nya?
Selamat malam, Melica. Perkenalkan, saya Hadi. Karyawan Pak Gala di kantor. Saya dapat nomor Melica dari pak Gala. Salam kenal ya ....
Chat pertama itu kontan membuat aku melotot. Aku yang awalnya
Lemas. Benar-benar lemas. Sepanjang jalan setelah selesai makan bersama Hadi, aku terus berpikir. Antara menerimanya atau tidak. Jika aku menerimanya, mungkin aku akan memiliki pasangan yang bisa menemaniku. Lagipula, Hadi lelaki yang dewasa, ganteng, juga mapan. Bukankah itu yang selama ini aku inginkan?Namun, kriteria itu pada akhirnya tergerus saat prinsip Hadi dan prinsipku bersebrangan. Ya, saat sampai di depan rumah kontrakkan, hati ini benar-benar tidak bisa bohong. Aku akan menolaknya. Tentu saja dengan segala pertimbangan.Aku mengambil ponsel di dalam tas, lantas aku mencari nomor Gala. Aku meneleponnya.“Wih, baru ketemu Hadi ya?” Gala berkata lebih ceria.“Iya,” jawabku pelan.“Gimana-gimana? Cocok dong, pasti? Orangnya nggak ngecewain. Kalau dibawa ke mana-mana, dijamin nggak bikin malu. Sesuai dengan selera kamu kan?”“Jelas,” jawabku singkat. “Semua kriteria yang berhubung
Aku membaringkan lelaki itu di sofa ruang depan. Selain itu, aku juga membu jas, serta sepatunya. Jujur, pada awalnya aku akan membiarkannya begitu saja. Tapi setelah dipikir-pikir, dia seperti kegerahan. Aku tidak mungkin pura-pura tidak melihat, meskipun ada rasa canggung saat membuka pakaian luarnya. Bayangkan saja, aku tidak kenal siapa lelaki itu.Setelah itu, aku mengambil kompresan dan air dingin. Aku membersihkan luka memar di ujung bibir terlebih dahulu sebelum diberi obat. Namun saat aku duduk di sisinya, dan bermaksud untuk mengusap bibir itu, aku terdiam. Bibir itu ..... ah, bibir itu mengingatkanku kepada Cakra. Aku seperti melihat sosok Cakra di orang yang berbeda.Apa aku sedang halusinasi? Tapi memang begitu kenyataannya. Melihat bibir lelaki ini malah mengingatkanku kepada Cakra.“Uh ....” Lelaki itu melenguh.“Sakit ya?” Aku mengusap ujung bibirnya dengan kain basah tadi. “Tahan ya. Aku harus bersihin dulu d
Aku kembali ke hadapan Candra dengan sedikit memanipulasi mimik wajah. Ya, aku berusaha tenang, layaknya tidak ada apa-apa. “Kamu marah ya?” tanya Candra. Sekarang, lelaki itu sudah duduk di sofa. “Enggak ...” Aku berucap. Bukan marah, lebih tepatnya syok. Aku seperti orang yang dikirimi bom dalam waktu beberapa detik. “Kamu nggak harus jawab sekarang, kok,” ucapnya. “Kita masih bisa saling mengenal kedepannya.” Aku mendongak. “Jadi perkataanmu tadi beneran?” Tawa Candra menggema. “Kamu pikir saya becanda?” Aku membereskan rambut yang berantakkan. Ah, dia benar-benar membuatku gelisah. “Mel, barusan aku sudah menelepon supir untuk menjemputku,” kata Candra. “makasih banyak ya atas bantuannya. Jujur, aku sama sekali nggak nyangka kalau masih ada orang baik seperti kamu. Aku bahagia bisa bertemu denganmu. Meskipun diawali dengan hal yang kurang menyenangkan dan juga .... merepotkanmu.” “never mind,” ucapku pelan.
Baru kali ini aku merasa begitu pusing. Ya, aku pusing memilih pakaian yang mau dikenakan. Saat bertemu Hadi waktu itu, aku tidak seperfeksionis ini. Namun saat akan bertemu Candra sekitar sejam lagi, aku mendadak harus sempurna. Entahlah, aku merasa jika aku tidak boleh main-main bertemu dengannya. Aku harus berpenampilan sebaik mungkin.Pada akhirnya, pilihanku jatuh terhadap blus berwarna biru dengan bawahan celana hitam. Tidak begitu buruk. Pakaian ini terlihat sederhana sekaligus elegan. Tidak terlalu heboh untuk sekadar makan malam di salah satu resto.Oh, satu lagi. Aku tidak boleh terlambat. Aku akan pergi sekarang juga.Butuh waktu sekitar setengah jam untuk bisa datang ke salah resto yang cukup terkenal di Bandung. Namun, aku terheran-heran saat melihat jika resto itu begitu sepi. Apa Candra tidak salah memberikan alamat?“Mbak .....”Aku mendongak ke sebelah kiri. Ada seorang lelaki, pegawai res
Jika saat ke resto aku bisa berangkat sendiri, maka setelah selesai, Candra menolak jika aku harus pulang sendiri. Dia ngotot untuk mengantarku pulang. Katanya, dia ingin memastikan jika aku selamat sampai rumah. Dia tidak mau terjadi apa-apa kepadaku. Apalagi setelah makan malam bersamanya.Jujur, aku tipe orang yang tidak bisa dibantah. Kalau mau pulang sendiri, ya harus sendiri. Tapi oleh Candra, aku tidak bisa. Seolah semua kemandirian itu melempem saat aku dapat perhatian. Sisi lain dari aku yang ingin diperhatikan dan manja seolah-olah keluar begitu saja.“Good night,” ucapnya beberapa menit lalu, sebelum aku masuk rumah.“Good night.” Aku tersenyum. “Makasih buat semuanya.”“Kalau aku jadi suamimu, aku bakal ngelakuin hal yang lebih dari sekadar makan di resto kayak tadi.” Dia menyipitkan sebelah matanya, lantas berlalu.Sampai di kamar seperti saat ini, aku masih terbayang ucapannya tadi. Dia
Saat datang ke rumah Gala, aku sedang melihat Nara menyiram tanaman di depan rumah. Ya ampun, ngidam itu memang aneh-aneh ya? Menurut cerita Nara, ngidam ala dia itu jadi lebih cinta tanaman. Sama tanaman sudah seperti anak yang diurus tiap hari. Bagus sih, cuman dengan kegiatan itu, kadang-kadang Gala akan berubah jadi cowok paling over prtektif se-Bandung raya.“Nara?” Aku berteriak sambil melambaikan tangan.“Hei .....” Nara tertawa riang. Selalu seperti itu, dia memang sangat ceria.“Nggak bosen ngurusin tanaman?” tanyaku. Nara menyimpan alat siram, lantas merengkuh dan menciumku. “Mau denger curhatan aku?”“Kata Mas Gala, cowok kamu mau ke sini ya?” Nara langsung berbicara to the poin.“Itu juga yang pengen aku ceritain ke kamu .....”“Oh ya udah. Ayooo .....”Aku dan Nara bergandengan untuk segera masuk ke dalam rumah. Tentu saja Gala tidak ada d
Pada saat bertemu dengan Gala, Candra berkata akan melamarku satu minggu setelahnya. Dia bahkan membawaku dan Gala ke kantor dan pabriknya yang ada di kawasan industri Bandung. Dia menunjukkan bahwa dirinya bukan penipu. Perusahaan yang bernama PT Candra Rakarsa itu benar-benar miliknya. Sampai sana, Gala percaya. Selain ke kantornya, aku juga diajak ke rumah besarnya di pusat kota Bandung. Aku dipertemukan dengan beberapa asisten rumah tangga. Tentu saja tidak ada sang Mama. Dia masih di Singapura, dan Candra belum bisa mempertemukan kami. Hari H lamaran, Candra hanya membawa beberapa orang penting yang dia tunjuk. Tidak ada sanak keluarga, sebab Candra bilang, dia hidup terombang-ambing bersama Mamanya sejak dulu. Tidak ada keluarga yang peduli. Hingga Candra melupakan bahwa dirinya tidak punya keluarga sama sekali. Dan saat ini, hari H pernikahan! Ya. Dadaku sesak luar biasa sejak tadi. Aku yang sedang dirias oleh make up artist pi
Pernikahan sudah berjalan delapan bulan. Aku diboyong ke rumah besar milik Mas Candra. Yes, sekarang aku mulai terbiasa menyebut Candra dengan sebutan ‘Mas’. Lagi pula, dia selalu marah besar jika disebut nama. Kadang dia selalu merajuk jika aku becandai dengan menyebut nama lengkapnya. Oh iya, rumahku yang ngontrak itu terpaksa ditinggal. Tahu begitu, dulu tidak usah membayar kontrakkan sampai 6 bulan.“Nggak ada apa-apanya kalau uang segitu,” kata Mas Candra waktu aku berbicara soal uang sewa.“Sayang aja, Mas. Kalau uang itu aku pakai buat modal produksi usaha anak-anak panti, bisa dapet untung.”Mas Candra tertawa. Dia mengacak rambutku. “Kamu sekarang sudah menikah dengan seorang pengusaha muda, Sayang. Jadi, nggak usah ragu. Kalau perlu, aku juga bisa jadi donatur di pantimu itu.”Ucapan itu membuatku makin bangga sama dia. Bayangkan, aku yang awalnya hanya merasa sayang dengan uang sewa malah mendapat