Saat datang ke rumah Gala, aku sedang melihat Nara menyiram tanaman di depan rumah. Ya ampun, ngidam itu memang aneh-aneh ya? Menurut cerita Nara, ngidam ala dia itu jadi lebih cinta tanaman. Sama tanaman sudah seperti anak yang diurus tiap hari. Bagus sih, cuman dengan kegiatan itu, kadang-kadang Gala akan berubah jadi cowok paling over prtektif se-Bandung raya.
“Nara?” Aku berteriak sambil melambaikan tangan.
“Hei .....” Nara tertawa riang. Selalu seperti itu, dia memang sangat ceria.
“Nggak bosen ngurusin tanaman?” tanyaku. Nara menyimpan alat siram, lantas merengkuh dan menciumku. “Mau denger curhatan aku?”
“Kata Mas Gala, cowok kamu mau ke sini ya?” Nara langsung berbicara to the poin.
“Itu juga yang pengen aku ceritain ke kamu .....”
“Oh ya udah. Ayooo .....”
Aku dan Nara bergandengan untuk segera masuk ke dalam rumah. Tentu saja Gala tidak ada d
Pada saat bertemu dengan Gala, Candra berkata akan melamarku satu minggu setelahnya. Dia bahkan membawaku dan Gala ke kantor dan pabriknya yang ada di kawasan industri Bandung. Dia menunjukkan bahwa dirinya bukan penipu. Perusahaan yang bernama PT Candra Rakarsa itu benar-benar miliknya. Sampai sana, Gala percaya. Selain ke kantornya, aku juga diajak ke rumah besarnya di pusat kota Bandung. Aku dipertemukan dengan beberapa asisten rumah tangga. Tentu saja tidak ada sang Mama. Dia masih di Singapura, dan Candra belum bisa mempertemukan kami. Hari H lamaran, Candra hanya membawa beberapa orang penting yang dia tunjuk. Tidak ada sanak keluarga, sebab Candra bilang, dia hidup terombang-ambing bersama Mamanya sejak dulu. Tidak ada keluarga yang peduli. Hingga Candra melupakan bahwa dirinya tidak punya keluarga sama sekali. Dan saat ini, hari H pernikahan! Ya. Dadaku sesak luar biasa sejak tadi. Aku yang sedang dirias oleh make up artist pi
Pernikahan sudah berjalan delapan bulan. Aku diboyong ke rumah besar milik Mas Candra. Yes, sekarang aku mulai terbiasa menyebut Candra dengan sebutan ‘Mas’. Lagi pula, dia selalu marah besar jika disebut nama. Kadang dia selalu merajuk jika aku becandai dengan menyebut nama lengkapnya. Oh iya, rumahku yang ngontrak itu terpaksa ditinggal. Tahu begitu, dulu tidak usah membayar kontrakkan sampai 6 bulan.“Nggak ada apa-apanya kalau uang segitu,” kata Mas Candra waktu aku berbicara soal uang sewa.“Sayang aja, Mas. Kalau uang itu aku pakai buat modal produksi usaha anak-anak panti, bisa dapet untung.”Mas Candra tertawa. Dia mengacak rambutku. “Kamu sekarang sudah menikah dengan seorang pengusaha muda, Sayang. Jadi, nggak usah ragu. Kalau perlu, aku juga bisa jadi donatur di pantimu itu.”Ucapan itu membuatku makin bangga sama dia. Bayangkan, aku yang awalnya hanya merasa sayang dengan uang sewa malah mendapat
Saat masuk ke kamar Nara, dia sedang mengamati bayi yang disimpan di sisinya, dengan wajah sumringah. Kulihat, dia bukan seperti seorang Ibu yang baru meliharkan. Dia terlihat segar. Padahal menurut Gala, baru sekitar jam 4 subuh Nara melahirkan.“Yeah, akhirnya aku punya keponakan.” Aku berucap antusias.“Tuh, ada Ateu Caca.” Nara mengajak bayi yang masih merah berbicara. “Nanti kamu main sama Ateu dan Om ya ....”Ucapan itu membuatku buru-buru mendekat, kemudian mengamati wajah si bayi. Garis-garis wajahnya mirip sekali seperti Gala. Sementara mata bulatnya lebih mirip Nara.“Mas, dia imut ya?” Aku menyenggol Mas Candra yang daritadi tak bersuara. “Kamu kok gugup gitu? Kenapa? Pertama kali lihat bayi baru lahir ya?”Mas Candra tersenyum kaku. “Ganteng.”“Kamu pengen?” Aku menggodanya.Pertanyaan itu malah dijawab dengan gelengan. Tidak biasanya Mas C
“Kembalikan bayiku!”Itu adalah teriakkan kesekian. Teriakkan yang aku lontarkan terhadap lelaki berjubah yang merebut anak pertamaku dengan Mas Candra. Bagaimana mungkin dia bisa masuk ke dalam kamar anakku? Siapa yang mengizinkannya ke sini?Lelaki itu ada di hadapanku. Dia tengah menggendong bayiku dengan gerakkan pelan. Di depannya, aku sedang berancang-ancang untuk merebut anakku. Dia dalam bahaya.“Siapa kamu? Kenapa kamu menggendong anakku?” tanyaku sambil mendekat.Dia mendongak, tetapi aku sama sekali tidak melihat wajahnya. Selain memakai jubah, dia juga memakai penutup kepala yang jelas menutupi wajah selain mata dan mulut.“Kamu tidak perlu tahu!” tegasnya.“Aku Ibunya! Aku harus tahu!” Aku maju beberapa langkah. “Kembalikan! Kamu tidak bisa seenaknya mengambil bayiku. Aku bisa melaporkanmu kepada polisi!”Ucapan itu disambut tawa keras. Dia sama sekali tidak taku
Cukup lama Mas Candra menenangkanku di ruang depan. Hingga kemudian, pak Satpam datang. Dia datang dengan wajah datar tanpa ada ekspresi takut sedikit pun.“Saya sudah cek setiap sudut, Pak. Tidak ada siapa-siapa,” ucapnya.“Bapak nggak bohong kan?” tanyaku dengan mata menyelidik.“Tidak, Bu. Saya benar-benar sudah mengeceknya.” Dia terlihat yakin. “Ibu dan Bapak tenang saja, saya bisa menjamin bahwa rumah ini aman. Daritadi saya berjaga di depan. Tidak ada yang masuk.”Ucapan pak Satpam membuat aku lega, sekaligus merasa tertuduh. Jelas-jelas tadi aku melihat lelaki berjubah itu. Tapi ya sudahlah. Mungkin saja itu effek mimpi. Manusia berjubah yang muncul di dalam mimpi terus menghantui pikiranku.“Mel,” Mas Candra mengusap rambutku. “Lagian, kenapa sih kamu keluar? Mau apa?”“Mau apa?” Aku sedikit melotot. “Aku nyari kamu! Lagian, barusan kamu dari ma
Aku turun dari lantai dua kamar untuk menemui Bibi yang sedang menyiapkan sarapan. Aku melihatnya seperti Bu Panti di Pekanbaru. Dia lembut, baik, juga sangat keibuan. Keberadaannya di sini kadang-kadang jadi pengobat rindu buat orangtuaku.“Eh, Ibu teh enggak ada kegiatan?” tanyanya.Aku menarik kursi, lantas duduk di hadapannya yang masih menata makanan. “Meliburkan diri, Bi.”“Lah? Memangnya bisa meliburkan diri?” Dia terlihat heran.Aku mencawil roti, mengulasinya dengan selai stroberi. “Aku itu relawan, Bi. Aku ikutan komunitas sosial untuk mengisi waktu luang. Ya, jadi nggak ada kewajiban untuk selalu hadir di sekretariat setiap hari. Dan hari ini, aku mau santai di rumah.”Bibi mengangguk-angguk. Dia yang sekarang sedang mengupas buah-buahan untukku, terlihat serius.Sebenarnya, aku tidak pernah absen datang ke sekretariat tempat komunitasku berada. Aku bahkan selalu mengikuti kegiatan a
Aku bersyukur bisa menikah dengan Mas Candra. Sangat bersyukur. Selama sembilan bulan ada di tali pernikahan ini, Mas Candra tidak pernah membentakku sedikit pun. Jika aku sedang marah, dia tahu cara mengatasinya. Hal itu pula yang membuatku begitu percaya kepadanya seratus persen.Namun akhir-akhir ini, aku mulai merasakan sesuatu yang tak masuk akal. Kepercayaan itu perlahan-lahan runtuh. Terutama saat mendapati Mas Candra membohongiku soal tanaman.Aku dan Mas Candra ada di kamar. Dia sedang mengubek-ubek laci. Mengambil dokumen yang katanya ketinggalan. Berbarengan dengan kegiatan itu, aku mendekatinya, kemudian memeluknya dari belakang.“Mel, aku lagi ribet nih. Bukannya bantuin cari dokumennya. Kok malah meluk?”“Entah kenapa, aku merasa sangat rindu sama kamu, Mas.” Aku berucap dengan pelan.“Rindu? Tiap hari kita sama-sama lho.” Dia menanggapi cepat.“Bukan soal itu, Mas. Aku merindukan keper
Sampai malam, rasa curiga itu tidak pernah ada habisnya. Bahkan aku selalu melihat gerak-gerik Mas Candra saat memainkan ponsel. Apa dia sedang chatting dengan seorang perempuan? Pertanyaan buruk semacam itu seolah-olah menguasai pikiranku. Hingga aku punya ide untuk mengecek ponsel Mas Candra secara diam-diam. Ya, itu ide konyol.Sebenarnya, dari dulu aku tidak pernah berminat mengotak-atik HP miliknya. Pun sebaliknya. Dia sangat menghargaiku. Dia tidak pernah curiga dan mengecek HP-ku. Kadang-kadang, aku bisa menggeletakkan ponsel di mana saja, tetapi dia tidak pernah dengan lancang membukanya. Ya, meskipun dia membukanya, aku tidak akan marah. Toh tidak ada apa-apa kan?“Mas, nggak bisa ya, megang Hp-nya besok aja?” Aku mulai bersikap sok manja. “Kamu sudah di rumah. Aku pengin mesra-mesraan sama kamu.”Mas Candra menengok dengan alis terangkat. “Bukannya setiap malam aku biasa duduk di sisi kamu sambil cek HP? Biasanya kamu fine