Pernikahan sudah berjalan delapan bulan. Aku diboyong ke rumah besar milik Mas Candra. Yes, sekarang aku mulai terbiasa menyebut Candra dengan sebutan ‘Mas’. Lagi pula, dia selalu marah besar jika disebut nama. Kadang dia selalu merajuk jika aku becandai dengan menyebut nama lengkapnya. Oh iya, rumahku yang ngontrak itu terpaksa ditinggal. Tahu begitu, dulu tidak usah membayar kontrakkan sampai 6 bulan.
“Nggak ada apa-apanya kalau uang segitu,” kata Mas Candra waktu aku berbicara soal uang sewa.
“Sayang aja, Mas. Kalau uang itu aku pakai buat modal produksi usaha anak-anak panti, bisa dapet untung.”
Mas Candra tertawa. Dia mengacak rambutku. “Kamu sekarang sudah menikah dengan seorang pengusaha muda, Sayang. Jadi, nggak usah ragu. Kalau perlu, aku juga bisa jadi donatur di pantimu itu.”
Ucapan itu membuatku makin bangga sama dia. Bayangkan, aku yang awalnya hanya merasa sayang dengan uang sewa malah mendapat
Saat masuk ke kamar Nara, dia sedang mengamati bayi yang disimpan di sisinya, dengan wajah sumringah. Kulihat, dia bukan seperti seorang Ibu yang baru meliharkan. Dia terlihat segar. Padahal menurut Gala, baru sekitar jam 4 subuh Nara melahirkan.“Yeah, akhirnya aku punya keponakan.” Aku berucap antusias.“Tuh, ada Ateu Caca.” Nara mengajak bayi yang masih merah berbicara. “Nanti kamu main sama Ateu dan Om ya ....”Ucapan itu membuatku buru-buru mendekat, kemudian mengamati wajah si bayi. Garis-garis wajahnya mirip sekali seperti Gala. Sementara mata bulatnya lebih mirip Nara.“Mas, dia imut ya?” Aku menyenggol Mas Candra yang daritadi tak bersuara. “Kamu kok gugup gitu? Kenapa? Pertama kali lihat bayi baru lahir ya?”Mas Candra tersenyum kaku. “Ganteng.”“Kamu pengen?” Aku menggodanya.Pertanyaan itu malah dijawab dengan gelengan. Tidak biasanya Mas C
“Kembalikan bayiku!”Itu adalah teriakkan kesekian. Teriakkan yang aku lontarkan terhadap lelaki berjubah yang merebut anak pertamaku dengan Mas Candra. Bagaimana mungkin dia bisa masuk ke dalam kamar anakku? Siapa yang mengizinkannya ke sini?Lelaki itu ada di hadapanku. Dia tengah menggendong bayiku dengan gerakkan pelan. Di depannya, aku sedang berancang-ancang untuk merebut anakku. Dia dalam bahaya.“Siapa kamu? Kenapa kamu menggendong anakku?” tanyaku sambil mendekat.Dia mendongak, tetapi aku sama sekali tidak melihat wajahnya. Selain memakai jubah, dia juga memakai penutup kepala yang jelas menutupi wajah selain mata dan mulut.“Kamu tidak perlu tahu!” tegasnya.“Aku Ibunya! Aku harus tahu!” Aku maju beberapa langkah. “Kembalikan! Kamu tidak bisa seenaknya mengambil bayiku. Aku bisa melaporkanmu kepada polisi!”Ucapan itu disambut tawa keras. Dia sama sekali tidak taku
Cukup lama Mas Candra menenangkanku di ruang depan. Hingga kemudian, pak Satpam datang. Dia datang dengan wajah datar tanpa ada ekspresi takut sedikit pun.“Saya sudah cek setiap sudut, Pak. Tidak ada siapa-siapa,” ucapnya.“Bapak nggak bohong kan?” tanyaku dengan mata menyelidik.“Tidak, Bu. Saya benar-benar sudah mengeceknya.” Dia terlihat yakin. “Ibu dan Bapak tenang saja, saya bisa menjamin bahwa rumah ini aman. Daritadi saya berjaga di depan. Tidak ada yang masuk.”Ucapan pak Satpam membuat aku lega, sekaligus merasa tertuduh. Jelas-jelas tadi aku melihat lelaki berjubah itu. Tapi ya sudahlah. Mungkin saja itu effek mimpi. Manusia berjubah yang muncul di dalam mimpi terus menghantui pikiranku.“Mel,” Mas Candra mengusap rambutku. “Lagian, kenapa sih kamu keluar? Mau apa?”“Mau apa?” Aku sedikit melotot. “Aku nyari kamu! Lagian, barusan kamu dari ma
Aku turun dari lantai dua kamar untuk menemui Bibi yang sedang menyiapkan sarapan. Aku melihatnya seperti Bu Panti di Pekanbaru. Dia lembut, baik, juga sangat keibuan. Keberadaannya di sini kadang-kadang jadi pengobat rindu buat orangtuaku.“Eh, Ibu teh enggak ada kegiatan?” tanyanya.Aku menarik kursi, lantas duduk di hadapannya yang masih menata makanan. “Meliburkan diri, Bi.”“Lah? Memangnya bisa meliburkan diri?” Dia terlihat heran.Aku mencawil roti, mengulasinya dengan selai stroberi. “Aku itu relawan, Bi. Aku ikutan komunitas sosial untuk mengisi waktu luang. Ya, jadi nggak ada kewajiban untuk selalu hadir di sekretariat setiap hari. Dan hari ini, aku mau santai di rumah.”Bibi mengangguk-angguk. Dia yang sekarang sedang mengupas buah-buahan untukku, terlihat serius.Sebenarnya, aku tidak pernah absen datang ke sekretariat tempat komunitasku berada. Aku bahkan selalu mengikuti kegiatan a
Aku bersyukur bisa menikah dengan Mas Candra. Sangat bersyukur. Selama sembilan bulan ada di tali pernikahan ini, Mas Candra tidak pernah membentakku sedikit pun. Jika aku sedang marah, dia tahu cara mengatasinya. Hal itu pula yang membuatku begitu percaya kepadanya seratus persen.Namun akhir-akhir ini, aku mulai merasakan sesuatu yang tak masuk akal. Kepercayaan itu perlahan-lahan runtuh. Terutama saat mendapati Mas Candra membohongiku soal tanaman.Aku dan Mas Candra ada di kamar. Dia sedang mengubek-ubek laci. Mengambil dokumen yang katanya ketinggalan. Berbarengan dengan kegiatan itu, aku mendekatinya, kemudian memeluknya dari belakang.“Mel, aku lagi ribet nih. Bukannya bantuin cari dokumennya. Kok malah meluk?”“Entah kenapa, aku merasa sangat rindu sama kamu, Mas.” Aku berucap dengan pelan.“Rindu? Tiap hari kita sama-sama lho.” Dia menanggapi cepat.“Bukan soal itu, Mas. Aku merindukan keper
Sampai malam, rasa curiga itu tidak pernah ada habisnya. Bahkan aku selalu melihat gerak-gerik Mas Candra saat memainkan ponsel. Apa dia sedang chatting dengan seorang perempuan? Pertanyaan buruk semacam itu seolah-olah menguasai pikiranku. Hingga aku punya ide untuk mengecek ponsel Mas Candra secara diam-diam. Ya, itu ide konyol.Sebenarnya, dari dulu aku tidak pernah berminat mengotak-atik HP miliknya. Pun sebaliknya. Dia sangat menghargaiku. Dia tidak pernah curiga dan mengecek HP-ku. Kadang-kadang, aku bisa menggeletakkan ponsel di mana saja, tetapi dia tidak pernah dengan lancang membukanya. Ya, meskipun dia membukanya, aku tidak akan marah. Toh tidak ada apa-apa kan?“Mas, nggak bisa ya, megang Hp-nya besok aja?” Aku mulai bersikap sok manja. “Kamu sudah di rumah. Aku pengin mesra-mesraan sama kamu.”Mas Candra menengok dengan alis terangkat. “Bukannya setiap malam aku biasa duduk di sisi kamu sambil cek HP? Biasanya kamu fine
Setelah sekian lama menjadi istri durhaka, yang jarang sekali menyiapkan pakaian suami, maka detik ini, aku bangun paling pagi. Aku menyiapkan kemeja, celana, serta mengelap sepatu. Ah, senang sekali rasanya. Aku bisa merasakan jadi istri normal pada umumnya.“Pagi ....” Mas Candra berucap dengan suara khas baru bangun tidur.“Hai ....” Aku yang sedang menyetrika di sudut kamar menengoknya sebentar. “Tidurnya nyenyak?”Mas Candra mengangguk. “Tumben bangunnya pagi?”“Aku malu sama kamu. Bukannya aku yang nyiapin bajumu setiap hari, selama ini aku malah lebih sering bangun terakhir.”“Padahal nggak apa-apa, Yang.” Dia menyingkap selimut. “Aku mencari ratu di kehidupanku, bukan tukang nyetrika baju.”“Tapi ratu yang baik adalah ratu yang bisa menyetrika.”Ucapanku itu dibalas tawa Mas Candra.“Eh, Yang, aku kepikiran keluarga Mas
Aku menghela napas panjang saat Aga sudah berada di pangkuan Mas Candra. Pelan, suamiku mengayun-ayun anak Gala. Jelas aku bahagia. Tidak ada tingkah aneh seperti yang terjadi di rumah sakit. Justru, aku melihat tatapan mata yang tersorot tajam. Seperti ada rasa bangga yang suamiku rasakan.“Sudah cocok jadi ayah itu,” ucap Gala. “Iya nggak Mel?”Aku mengangguk, tidak berbica panjang lebar.“Maka dari itu, aku harus banyak-banyak latihan, Mas.” Mas Candra menanggapi ucapan Gala. “Ya, saya harus belajar gendong dulu supaya nanti nggak syok kalau punya anak.”“Emang harus gitu Can.” Nara tersenyum lebar. “Biar kamu makin fokus ngurus anak bareng Melica nanti. Jangan kayak Mas Gala. Istrinya malem-malem bangun karena Aga nangis. Dia malah tidur.”Ucapan lucu Nara ditanggapi dengan tatapan tajam Gala. Jelas tanggapan itu membuat aku dan Mas Candra ikut tertawa.“Kalau
Dua tahun kemudianHarum bawang goreng menguar dari dapur. Terlihat Nara dengan bahagia membolak-balikkan nasi di atas wajan. Rupanya, dia sedang memasak nasi goreng. Ya, nasi goreng adalah salah satu menu makan siang dirinya dengan Gala. Sekarang, Gala menjadi seorang Papa yang tidak pernah absen datang ke rumah di jam istirahat. Meski posisi kantor ke rumah lumayan jauh, tetapi dia selalu menyempatkan diri untuk datang.Sekarang, Nara mengamati nasi goreng di atas piring. Irisan tomat yang terlihat segar, sayur, juga beberapa potong sosis goreng berjejer di pinggir-pinggirnya. Dia membuat dua piring nasi goreng, khusus buat dirinya dan Gala. Tentu ini makanan sederhana, tetapi makanan sederhana akan sangat istimewa bukan? Apalagi jika yang dimasaki merasa bahagia.Saat tengah menatap makanan di atas meja, tiba-tiba ponsel Nara berbunyi. Tentu, itu dari Gala. Dia lantas mengangkatnya dengan wajah cerita.“Hallo, Mas,” ucap Na
Entah kenapa, mendengar ucapan Mas Candra seperti itu membuat hatiku terenyuh. Aku merasakan betul detak jantungnya yang menempel di badanku. Sampai akhirnya, aku melepaskan peluk untuk kesekian kalinya.“Kira-kira, apa yang membuat aku harus menerimamu kembali?” tanyaku. Aku mencari keyakinan lagi.Mas Candra menghela napas. “Karena aku mau berubah. Dan yang paling penting .... aku benar-benar cinta sama kamu. Aku merasa bahwa kebahagiaanku ada bersamamu. Bukan lagi di kerajaan.”Aku menatapnya. Mencari celah, apakah dia berbohong? Tetapi dilihat dari gerak-geriknya, aku melihat jika tidak ada kebohongan.“Apa kamu bisa menjaminnya?” tanyaku lagi.“Apa yang kamu mau dariku? Ucapkan. Apa pun, akan kulakukan jika bisa mempersatukan kita.”Pertanyaan itu malah membuatku beku. Itu hanya bentuk dari pengetesan yang kulakukan. Kamu tahu? Sejujurnya, keberadannya di sini saja sudah membuatku senang.
Aku kembali seperti Melica yang dulu. Dari dua hari lalu, aku kembali melihat aktivitas anak-anak. Melihat kerajinan yang dibuat, melihat proses paking barang-barang untuk dikirim ke luar daerah dan luar negeri, serta melihat perkebunan yang semakin sini semakin luas. Seperti keinginanku dulu, warga-warga sini hampir 80 mendominasi sebagai pegawai di panti.Pada hari ini, aku sedikit bernostalgia dengan perkebunan. Kebetulan, ada kegiatan pemetikkan beberapa sayuran seperti bonteng, bayam, sawi, dan beberapa sayur lain. Nah, aku ikut berkumpul dengan para petani yang sedang memetik sayuran.“Wah, Melica turun juga,” ucap salah satu pegawai yang sudah dari lama mengetahui aku.“Iya, Nih, Pak. Suntuk diam di kamar terus. Sekalian nostalgia,” ucapku.“Kabarnya, Melica itu kemarin hilang ya? Kenapa bisa hilang? Ada masalah apa?” pertanyaan itu tampaknya hanya basa-basi, padahal semua orang tahu jika kami diisukan menghilang
Gerbang panti terlihat di ujung mata. Aku melihat pohon-pohon yang masih sama, lebat. Aku melihat rumput-rumput hias yang ada di pinggir-pinggir pagar, yang juga terurus, lantas, aku mengembuskan napas. Tidak terasa, aku sudah ada di sini. Di rumahku sendiri.Saat membuka gerbang, penjaga panti terbelalak. Dia buru-buru menyalamiku. Tentu, aku juga menyalaminya dengan begitu bahagia.“Kok Melica tidak bilang kalau mau ke sini? Kan bisa dijemput sama anak-anak yang lain.” Ucap Pak Satpam.Dia adalah penjaga yang sudah lama ada di sini. Bahkan sejak aku kecil. Makannya, dia menyebut lebih akrab dengan sebutan nama.“Memangnya saya itu tamu, Pak?” Aku terkekeh. “Saya anak panti lho. Jadi ya, nggak usah dispesialkan juga.”Ucapan itu dijawab gelengan. Tentu, kami mengobrol sejenak. Menanyakan berbagai hal dan situasi di panti. Menurut Pak Satpam, panti mengalami banyak perkembangan. Terutama mengenai usaha-usaha yang
Kedatanganku ke kantor membuat para karyawan terbelalak. Mereka tidak menyangka, orang hilang yang selama ini diberitakan ternyata sudah kembali. Lantas, aku langsung dikerubuti oleh para karyawan.“Bu, Ibu ke mana saja? Pak Candra juga. Apa kalian baik-baik saja?” tanya salah satu dari mereka.Jelas aku tersenyum sejanak, kemudian mengangguk. “Selama ini, saya tersesat di hutan. Dan saya ... masuk ke alam ghaib.”Ucapan itu membuat mereka terlihat semakin penasaran.“Alam ghaib?” karyawan Senior yang umurnya lebih tua dari Mas Candra mengerutkan kening.“Ya. Kalau kalian tidak percaya, tidak apa-apa. Yang jelas, selama beberapa minggu, kami tersesat, sampai akhirnya saya bisa kembali. Tapi Mas Candra .....”“Pak Candra kenapa?”“Sampai sekarang tidak ada jejak. Saya tidak tahu apakah dia selamat atau tidak.”Aku mengobrol panjang lebar dengan para karyawan
Suara air yang jatuh dari atas membuat Ibu memejamkan mata. Air itu terasa mendamaikan. Dia juga merasakan kesejukkan yang luar biasa bisa berdiri di depan air terjun yang sangat mengagumkan. Sampai kemudian, dia yang tengah merasa senang, kini melotot. Dia mendapati seseorang yang tengah duduk di batu besar, juga menghadap ke air terjun. Tentu, dia tahu orang tersebut.Ibu melangkah cepat, ingin memastikan orang yang dia lihat.“Bapak ....”Ucapan itu mengudara begitu saja. Padahal, Ibu belum lihat wajahnya sama sekali.Lelaki itu menengok. Dia tersenyum lebar saat mendapati istrinya. Lantas, dia berdiri.“Kenapa Ibu ada di sini?” tanya Bapak.Ibu diam sejenak. Dia mengamati wajah teduh suaminya. Lantas, tangan kanannya mengusap wajah itu perlahan-lahan. Wajah yang begitu dia rindukan, terutama saat bapak pergi untuk selama-lamanya. Hingga, mendaratlah pelukkan yang begitu erat.“Ibu rindu Bapak,”
Setelah dari taman, aku melangkah lesu ke ruangan Mas Candra dan Ibunya. Saat masuk, ternyata mereka berdua belum sadarkan diri. Jujur, aku sedih. Ternyata effek dari kekuatan Ratu Kegelapan semalam itu membuat mereka benar-benar kritis.“Ada berbagai jaringan yang rusak,” ucap tabib. “Candra dan Ibunya harus dirawat intensif di sini.”Aku menggigit bibir. Sungguh, informasi ini benar-benar membuatku syok.“Tapi, mereka akan sembuh kan, Tetua?” tanyaku.“Setelah diteliti lebih dalam, ada kemungkinan besar jika mereka akan kembali. Terlebih, mereka itu punya kekuatan di dalam tubuhnya. Kekuatan itu membantu memulihkan kembali jaringan yang ada. Namun, tentu ini butuh waktu.”Aku mengembuskan napas lega. Itu adalah informasi yang menurutku cukup melegakan. Setidaknya, aku bisa pulang ke Bumi dalam keadaan tenang.“Saya keluar dulu ya. Saya harus melihat beberapa orang lainnya,” ucap t
Aku melihat seekor Singa melenggang masuk ke dalam kerajaan. Jelas aku langsung melotot. Aku mengingat saat kejadian di Selatan Negeri bayangan. Singa itu mengamuk. Dan sekarang, dia hadir di sini. Tentu, dia bukan singa biasa. Dia bisa mengerti ucapan-ucapan kami.Aku yang sedang ada di luar kerajaan, buru-buru menghampirinya. “Selamat datang. Akhirnya kamu bisa mewujudkan mimpimu untuk hadir di sini.”Singa itu terlihat berkaca-kaca. Sementara, aku mengelus wajahnya dengan pelan. “terima kasih ya, kamu sudah membiarkan kami lewat pada saat itu. Sekarang, kita semua sudah menang. Semua misi yang ingin kami lakukan sudah terlaksana hari ini. Benar-benar terlaksana.”Singa itu mengaum. Sepertinya itu tanda bahwa dia bahagia.Setelah aku mengobrol beberapa saat, ada salah satu penjaga kerajaan yang datang. Ternyata, dia yang akan mengantarkan Singa itu ke makam kedua orangtuanya yang telah gugur lama di wilayah kerajaan ini.S
Melica berlari dari satu ruangan ke ruangan lain. Setiap masuk ke dalam ruangan, Melica tidak mendapati sosok yang dia cari. Dia lebih banyak mendapati orang-orang yang tak sadarkan diri dengan kepala bocor, leher tersayat, dan berbagai luka lainnya.Tentu, sepanjang mencari orang yang dia harapkan itu, Melica menangis. Baru dia sadar. Bahwa sekecewa-kecewanya dia kepada Candra, dirinya tetap mengkhawatirkan sang suami. Bagi Melica, Candra tetap menjadi orang nomor satu yang selalu membuatnya cemas.“Kau cari siapa?” tanya salah satu tabib berpakaian putih. Lelaki berjanggut itu seperti berusaha menenangkan Melica dengan tatapan teduhnya.“Saya mencari suami saya dan ibunya,” jawab Melica.“Oh, dia lelaki tinggi yang mengenakan pakaian serba hitam?” tanya tabib itu.Jelas, orang yang menggunakan pakaian hitam hanya Candra dan ibunya. Jika pun para pengikut Ratu Kegelapan menggunakan pakaian-pakaian hitam barusan,