Setelah sekian lama menjadi istri durhaka, yang jarang sekali menyiapkan pakaian suami, maka detik ini, aku bangun paling pagi. Aku menyiapkan kemeja, celana, serta mengelap sepatu. Ah, senang sekali rasanya. Aku bisa merasakan jadi istri normal pada umumnya.
“Pagi ....” Mas Candra berucap dengan suara khas baru bangun tidur.
“Hai ....” Aku yang sedang menyetrika di sudut kamar menengoknya sebentar. “Tidurnya nyenyak?”
Mas Candra mengangguk. “Tumben bangunnya pagi?”
“Aku malu sama kamu. Bukannya aku yang nyiapin bajumu setiap hari, selama ini aku malah lebih sering bangun terakhir.”
“Padahal nggak apa-apa, Yang.” Dia menyingkap selimut. “Aku mencari ratu di kehidupanku, bukan tukang nyetrika baju.”
“Tapi ratu yang baik adalah ratu yang bisa menyetrika.”
Ucapanku itu dibalas tawa Mas Candra.
“Eh, Yang, aku kepikiran keluarga Mas
Aku menghela napas panjang saat Aga sudah berada di pangkuan Mas Candra. Pelan, suamiku mengayun-ayun anak Gala. Jelas aku bahagia. Tidak ada tingkah aneh seperti yang terjadi di rumah sakit. Justru, aku melihat tatapan mata yang tersorot tajam. Seperti ada rasa bangga yang suamiku rasakan.“Sudah cocok jadi ayah itu,” ucap Gala. “Iya nggak Mel?”Aku mengangguk, tidak berbica panjang lebar.“Maka dari itu, aku harus banyak-banyak latihan, Mas.” Mas Candra menanggapi ucapan Gala. “Ya, saya harus belajar gendong dulu supaya nanti nggak syok kalau punya anak.”“Emang harus gitu Can.” Nara tersenyum lebar. “Biar kamu makin fokus ngurus anak bareng Melica nanti. Jangan kayak Mas Gala. Istrinya malem-malem bangun karena Aga nangis. Dia malah tidur.”Ucapan lucu Nara ditanggapi dengan tatapan tajam Gala. Jelas tanggapan itu membuat aku dan Mas Candra ikut tertawa.“Kalau
Setelah mengerahkan orang-orang suruhan Mas Candra, aku dan Mas Candra memilih datang ke rumah Gala. Aku mendapati Ibunya Nara sedang duduk termenung dengan air mata bercucuran. Buru-buru aku memeluknya.“Tante nggak apa-apa?” Aku bertanya pelan.Dia menggeleng. “Tapi Nara dan Aga. Mereka .....”Sebelum melanjutkan ucapan itu, aku memilih memeluk Ibunya Nara lagi. Aku tidak mau dia kembali bersedih. Aku tidak mau jika dia harus menceritakan lagi soal hilangnya Nara. Sebagai seorang ibu sekaligus nenek buat Aga, jelas ini suatu hal yang menyakitkan.“Mas, apakah sudah ada informasi?” Mas Candra yang sudah berhadapan dengan Gala, bertanya cepat. “Apa saya perlu melapor polisi?”“Belum ada informasi!” tegasnya. “Masalah polisi, kita lapor kalau memang Nara tidak bisa ditemukan sampai besok. Malam ini, kita fokus menyisir Bandung. Orang-orang suruhanmu suda
Saat keluar dari kamar, aku sama sekali tidak melihat Mas Candra. Sepertinya dia berpacu dengan waktu, terbukti kalau langkahnya cepat dan jejaknya tidak kulihat. Apa dia ke dapur?Aku memilih melangkah ke lantai bawah, masih dengan gerakkan yang pelan. Sebagai seorang detektif baru, jelas aku harus lebih berhati-hati.Sekarang, aku berada di depan pintu dapur. Pintu itu tertutup, tetapi aku mendengar suara-suara tertentu dari dalam sana. Tidak salah lagi, Mas Candra ada di sana. Mungkin dia kelaparan tengah malam? Ah, tebakkanku itu membuat diriku sendiri ragu.Aku menunggu selama beberapa menit, tetapi dia tidak kunjung keluar dari dapur. Apa dia masih ada di sana? Pasalnya, tidak ada lagi suara-suara yang tadi kudengar.“Aku harus masuk,” desahku pelan.Aku bicara dengan diriku sendiri saking tegangnya.Saat menggerakkan knop pintu, jantungku berdetak kencang. Tidak ada reaksi apa-apa dari dalam. Hingga aku benar-benar memutus
Sudah sepuluh menit aku menutup badan dengan selimut. Bukan hanya itu, napasku memburu tak beraturan. Bayangkan, tiba-tiba aku harus mengetahui fakta bahwa di rumah ini ada pintu rahasia. Lebih tepatnya, pintu yang dibuat semirip mungkin dengan tembok, serta bisa digeser.Lebih jauh dari itu, aku melihat sosok berjubah hitam yang ada di dalam mimpi. Jika di dalam mimpi aku tidak bisa sepenuhnya melihat wajah lelaki itu, maka di dunia nyata, aku hampir menyaksikannya. Di dalam mimpi, semuanya terlihat samar-samar, sementara di dunia nyata? Lebih jelas meskipun aku belum sempat mengetahuinya.Sekarang, aku mendengar pintu kamar yang berkerit, rupanya, Mas Candra sudah kembali. Tenang Mel. Kamu harus berpikir seolah-olah tidak ada apa-apa. Kamu harus cerdas supaya bisa memecahkan misteri ini.Perlahan, aku menyingkap selimut dan menggisik mata. “M-mas, kamu dari mana?”Aku pura-pura seperti seseorang yang baru bangun tidur.“Lho, Mel
Sore hari, Mas Candra sudah kembali pulang dengan wajah kusut. Aku yang sedang memasak bareng Bibi di dapur mendadak mengerutkan dahi. Sepertinya ada hal yang kurang baik. Apa ada hubungannya sama Nara?Mas Candra masuk ke dapur tanpa berbicara. Dia memilih menuangkan air ke gelas, lantas meneguknya.“Ada perkembangan, Mas?” tanyaku sambil melepas celemek.“Kita semua sudah mengerahkan pasukan untuk mencari ke setiap sudut di kota Bandung. Tapi belum ada informasi. Ada kemungkinan kalau Nara dan Naga dibawa ke luar kota.”“Luar kota?” Aku melotot.“Iya ....”Huh! Kukira, hari ini akan ada informasi membahagiakan, tetapi malah sebaliknya. Nara justru semakin jauh dari Bandung.“Lalu, apa tindakan selanjutnya, Mas?” tanyaku lagi dengan nada penasaran.“Sekarang semuanya diserahkan ke polisi. Mungkin akan dicari sampai beberapa hari ke depan.”Aku menga
Entah kapan aku bisa bertemu dengan Ibu mertua. Sampai selama ini, Mas Candra tidak pernah membawaku ke Singapura. Aku malah bosen memohon kepadanya. Bukan apa-apa, sebagai menantu, aku juga ingin mendukung mertuaku yang sedang sakit. Tidak hanya itu, selama beberapa bulan pernikahan, aku juga tidak pernah melihat Mas Candra menengok ke Singapura. Atau, dia pergi diam-diam tanpa memberitahuku?Aku yang saat ini sedang memasak bersama Bibi, mendadak ingin mencari tahu dari asisten rumah tangga yang sudah bekerja lama di sini.“Bi, Bibi pernah bertemu dengan Ibunya Mas Candra?” tanyaku pelan. Aku memilih bertanya santai sambil memotong wortel.“Ibunya Pak Candra?” Dia mengerutkan kening. “Mmmm, belum, Bu.”“Eh, serius?” tanyaku.Bibi yang sekarang sedang memotong kol, menatapku dalam. “Beneran, Bu. Saat saya ke sini, Bapak tinggal sendiri. Jadi Bibi tidak pernah bertemu dengan Ibunya beliau.&rdquo
Aku yang sedang melamun terperanjat mendengar telepon berbunyi. Gala. Kebetulan sekali dia menelepon. Baru saja aku berpikir untuk menanyakan kabar terbaru soal Nara. Sepertinya hatiku dan hati Gala ada ikatan sehingga langsung ada signal untuk dia meneleponku.“Iya, Gal,” tanyaku cepat.“Belum ada perkembangan,” kata Gala.Aku mendengar suara yang lemah, pelan, juga .... hilang harapan.“Sabar ya, Gal.” Aku akhirnya berucap seperti itu. “Nara pasti ketemu. Aku yakin!”Terdengar tawa getir. “Gimana mau ketemu, Mel? Semuanya sudah dikerahkan. Sampai sekarang, polisi pun tidak bisa menemukan Nara. Penculikkan ini rapi sekali. Bahkan saat penyisiran di rumah, tidak ditemukan satu pun hal yang bisa menjadi bukti. Termasuk jejak atau sidik jari. Semua bersih.”“Aku tahu .....” Aku mengembuskan napas. “Tapi kita harus yakin kalau semuanya pasti akan ada jalan. Mung
Saat ke rumah Gala, aku hanya melihat Mamanya Nara sedang duduk dengan jari-jari tangan melingkari gelas berisi air. Matanya kelihatan redup, bibirnya juga pucat.“Tan ....” Aku menyalaminya. “Tante kenapa sendirian?”Dia hanya tersenyum, tanpa menjawab.Aku yang tahu perasaan beliau memilih memeluknya. Tanpa diduga, dia pun merekatkan tangan begitu erat. Tangisannya pecah di pundakku.“Kenapa harus Nara?” tanyanya. “Sudah cukup saya kehilangan Bapaknya. Saya tidak sanggup.”“Tante ....” Aku ikut bergetar. “Aku tahu perasaan Tante. Aku sangat tahu. Tapi Tante harus optimis. Nara dan juga Aga pasti ketemu. Tante doakan saja. Aku yakin. Aku merasa jika mereka baik-baik saja.”“Semoga .....”Aku memeluk Ibunya Nara untuk kesekian kali, hingga aku mulai menyadari bahwa Gala tidak ada di rumah. “Gala ke mana, Tan?”“Di belakang ruma