Entah kapan aku bisa bertemu dengan Ibu mertua. Sampai selama ini, Mas Candra tidak pernah membawaku ke Singapura. Aku malah bosen memohon kepadanya. Bukan apa-apa, sebagai menantu, aku juga ingin mendukung mertuaku yang sedang sakit. Tidak hanya itu, selama beberapa bulan pernikahan, aku juga tidak pernah melihat Mas Candra menengok ke Singapura. Atau, dia pergi diam-diam tanpa memberitahuku?
Aku yang saat ini sedang memasak bersama Bibi, mendadak ingin mencari tahu dari asisten rumah tangga yang sudah bekerja lama di sini.
“Bi, Bibi pernah bertemu dengan Ibunya Mas Candra?” tanyaku pelan. Aku memilih bertanya santai sambil memotong wortel.
“Ibunya Pak Candra?” Dia mengerutkan kening. “Mmmm, belum, Bu.”
“Eh, serius?” tanyaku.
Bibi yang sekarang sedang memotong kol, menatapku dalam. “Beneran, Bu. Saat saya ke sini, Bapak tinggal sendiri. Jadi Bibi tidak pernah bertemu dengan Ibunya beliau.&rdquo
Aku yang sedang melamun terperanjat mendengar telepon berbunyi. Gala. Kebetulan sekali dia menelepon. Baru saja aku berpikir untuk menanyakan kabar terbaru soal Nara. Sepertinya hatiku dan hati Gala ada ikatan sehingga langsung ada signal untuk dia meneleponku.“Iya, Gal,” tanyaku cepat.“Belum ada perkembangan,” kata Gala.Aku mendengar suara yang lemah, pelan, juga .... hilang harapan.“Sabar ya, Gal.” Aku akhirnya berucap seperti itu. “Nara pasti ketemu. Aku yakin!”Terdengar tawa getir. “Gimana mau ketemu, Mel? Semuanya sudah dikerahkan. Sampai sekarang, polisi pun tidak bisa menemukan Nara. Penculikkan ini rapi sekali. Bahkan saat penyisiran di rumah, tidak ditemukan satu pun hal yang bisa menjadi bukti. Termasuk jejak atau sidik jari. Semua bersih.”“Aku tahu .....” Aku mengembuskan napas. “Tapi kita harus yakin kalau semuanya pasti akan ada jalan. Mung
Saat ke rumah Gala, aku hanya melihat Mamanya Nara sedang duduk dengan jari-jari tangan melingkari gelas berisi air. Matanya kelihatan redup, bibirnya juga pucat.“Tan ....” Aku menyalaminya. “Tante kenapa sendirian?”Dia hanya tersenyum, tanpa menjawab.Aku yang tahu perasaan beliau memilih memeluknya. Tanpa diduga, dia pun merekatkan tangan begitu erat. Tangisannya pecah di pundakku.“Kenapa harus Nara?” tanyanya. “Sudah cukup saya kehilangan Bapaknya. Saya tidak sanggup.”“Tante ....” Aku ikut bergetar. “Aku tahu perasaan Tante. Aku sangat tahu. Tapi Tante harus optimis. Nara dan juga Aga pasti ketemu. Tante doakan saja. Aku yakin. Aku merasa jika mereka baik-baik saja.”“Semoga .....”Aku memeluk Ibunya Nara untuk kesekian kali, hingga aku mulai menyadari bahwa Gala tidak ada di rumah. “Gala ke mana, Tan?”“Di belakang ruma
Mengingat semua keanehan dari Mas Candra, tiba-tiba aku mengingat suatu obrolan yang kami bahas tentang masa lalu kami masing-masing. Sebagai seorang calon istri, waktu itu aku bertanya banyak hal pada pertemuan di suatu café di Bandung.“Mas, aku nggak bermaksud untuk mengungkit masa lalu kamu, tapi aku perlu tahu tempat masa kecil kamu. Kamu itu bukan asli Bandung kan?”Mas Candra yang sedang menyeruput Red Valvet, mendongak. Senyumnya lebar. “Boleh dong, masa calon istriku nggak boleh tahu?”“So?” Salah satu alisku terangkat.“Aku itu hidup di Makasar waktu itu,” ucapnya. “Aku hidup berdua dengan Mama di salah satu desa di sana. Desa yang masih tergolong asri. Kami hidup di perkampungan yang memang jarang banyak orang.” Mas Candra mengeluarkan foto dari tasnya. “Ini foto, Mama .....”Aku melihat foto itu secara saksama. Foto yang terlihat sederhana dengan nuansa pedes
Cincin itu seperti menarikku lagi ke Negeri Bayangan. Wajah Cakra, lingkungan kerajaan, tempat-tempat yang pernah kami singgahi, semuanya terasa nyata. Bahkan aku ingin memangis mengingat itu. Tak kusangka, aku pernah ada di suatu negeri yang mungkin jika diumumkan ke orang-orang, mereka akan menganggapku gila. Aku mengambil cincin itu perlahan-lahan, lantas meniliknya cukup lama. Andai Mas Candra tahu kalau cincin ini dari orang yang pernah ada di hatiku, apa yang akan terjadi? Apa nanti dia akan cemburu? Atau malah, dia biasa-biasa saja? “Cakra,” desahku. “Cincin ini masih sama aku. Aku lepas kemarin-kemarin karena aku merasa sudah seharusnya melepas kenangan itu. Tapi setelah dipikir-pikir, kenangan hadir bukan untuk dilepas. Kenangan hadir untuk diingat. Aku nggak pernah nyesel kenal kamu.” Air mataku kebas. Aku ingin sekali menangis saat berucap seperti itu. Terutama saat ingat kalau aku telah mengorbankan perasaan cinta demi kembali ke bumi. Bagaimana d
Tubuhku terpental di atas kasur. Luar biasa. Aku seperti diajak kembali ke Negeri Bayangan. Bedanya, kali ini aku masih ada di tempat yang sama. Bumi.Huh!Aku mengusap dahi, basah. Tandanya, energi di tubuhku memang terkuras habis barusan. Tentu saja, aku tidak habis pikir karena ternyata cincin perak ini memiliki kekuatan. Cincin perak ini memberikan petunjuk disaat aku dan Gala sedang kehilangan harapan.Tanpa banyak pikir, aku buru-buru mengambil ponsel. Siang ini juga, aku harus menghubungi Gala. Dia harus tahu tentang apa yang kudapatkan.“Gala!” tegasku.Masih seperti pagi tadi, suara Gala terdengar lemas.“Semangat dong!” Aku berteriak.“Iya!” Nada bicaranya terdengar kencang. “Ada apa?”“Kamu sudah nemu info soal Nara?” tanyaku.“Belum!” Dia terdengar jengkel. “Baru tadi pagi lho kamu dari sini. Sekarang, kamu tanya begitu lagi ke saya
“Gal, kamu sudah tahu Cikoja itu di mana?” tanyaku pelan.Kami yang sudah berada di dalam mobil, serta sudah jalan lebih dari sepuluh menit, baru bisa berbincang.“Di Garut,” desahnya.“Garut?” Aku langsung melotot.Kukira, Cikoja itu masih di daerah Bandung. Ternyata Garut?Jangan bilang, kamu berpikir hal yang sama denganku! Ya, Mas Candra. Bukannya Mas Candra juga sedang di Garut? Kamu tahu kan kalau dia sedang ada acara? Ah, kenapa aku berpikiran negatif melulu. Aku merasa jika menghilangnya Nara ada hubungannya dengan Mas Candra.“Ibu tahu Cikoja di daerah mana,” ucap Mamanya Nara. “Dekat dengan kampung Ibu.”Gala menengok ke arah mertuanya yang ada di sisi kemudi. “Serius, Bu?”“Benar, Gal.” Kata Tante. “Apa lebih baik kita ke makam Bapak dulu?”Gala mengangguk-angguk. “Iya, Bu. Sudah lama juga kita tidak ke makam
Setelah selesai dari perkampungan Nara, mobil Gala melaju ke selatan kota Garut. Menuju tempat yang dari tadi kami perbincangkan. Tentu saja, saat ini perasaanku tak keruan. Campur aduk. Aku tidak yakin bisa menemukan Nara hanya bermodal nama sebuah tempat.Aku melihat cincin perak yang sudah kupakai lagi. Tadi, cincin itu yang membantuku untuk bisa datang ke tempat Nara disekap. Saat ini, apakah cincin itu bisa membantu lagi?Jelas aku berharap agar datang petunjuk. Lantas aku mencoba untuk mengusap cincin itu.“Cakra, kalau kamu mengizinkanku untuk tahu lokasi Nara lebih detail, aku akan sangat berterima kasih.”Jelas aku menyebut Cakra. Bukankah cincin itu milik Cakra? Barangkali, cincin tersebut memang hadir sebagai penolong.Tidak ada reaksi. Cincin itu tetap diam. Aku juga diam, lebih tepatnya, badanku bergetar-getar sesekali saat mobil melaju lebih cepat. Selebihnya, tidak ada reaksi.Ternyata tidak bisa. Sepertinya aku be
Dari jalan raya, kami masuk ke jalan lebar, tetapi tidak sebagus jalan raya. Aku melihat mulai ada suasana perkampungan yang kental dengan anak-anak yang berlarian, juga anak-anak yang sedang bermain layang-layang. Andai aku ke sini datang untuk liburan, mungkin aku akan senang karena bisa bertemu dengan anak-anak pedesaaan. Sayang, kami datang untuk mencari Nara.“Apa ini desa yang dimaksud?” tanyaku kepada Gala.“Ya, itu si Akang masih jadi penunjuk jalan,” jawab Gala.‘Si Akang’ di sini adalah lelaki yang merupakan suami dari Teteh penjaga warung tadi. Kami memang menunggu sekitar setengah jam, hingga dia bersedia mengantar. Ya, apalagi Gala menjanjikan ongkos yang cukup besar. Bagi ukuran tukang ojek, ini sama saja seperti sedang menarik barang-barang.“Kenapa Nara di bawa ke tempat begini ya?” tanyaku lagi.Jujur, aku bingung dengan keputusan ‘si penculik’. Masih banyak tempat selain