Mengingat semua keanehan dari Mas Candra, tiba-tiba aku mengingat suatu obrolan yang kami bahas tentang masa lalu kami masing-masing. Sebagai seorang calon istri, waktu itu aku bertanya banyak hal pada pertemuan di suatu café di Bandung.
“Mas, aku nggak bermaksud untuk mengungkit masa lalu kamu, tapi aku perlu tahu tempat masa kecil kamu. Kamu itu bukan asli Bandung kan?”
Mas Candra yang sedang menyeruput Red Valvet, mendongak. Senyumnya lebar. “Boleh dong, masa calon istriku nggak boleh tahu?”
“So?” Salah satu alisku terangkat.
“Aku itu hidup di Makasar waktu itu,” ucapnya. “Aku hidup berdua dengan Mama di salah satu desa di sana. Desa yang masih tergolong asri. Kami hidup di perkampungan yang memang jarang banyak orang.” Mas Candra mengeluarkan foto dari tasnya. “Ini foto, Mama .....”
Aku melihat foto itu secara saksama. Foto yang terlihat sederhana dengan nuansa pedes
Cincin itu seperti menarikku lagi ke Negeri Bayangan. Wajah Cakra, lingkungan kerajaan, tempat-tempat yang pernah kami singgahi, semuanya terasa nyata. Bahkan aku ingin memangis mengingat itu. Tak kusangka, aku pernah ada di suatu negeri yang mungkin jika diumumkan ke orang-orang, mereka akan menganggapku gila. Aku mengambil cincin itu perlahan-lahan, lantas meniliknya cukup lama. Andai Mas Candra tahu kalau cincin ini dari orang yang pernah ada di hatiku, apa yang akan terjadi? Apa nanti dia akan cemburu? Atau malah, dia biasa-biasa saja? “Cakra,” desahku. “Cincin ini masih sama aku. Aku lepas kemarin-kemarin karena aku merasa sudah seharusnya melepas kenangan itu. Tapi setelah dipikir-pikir, kenangan hadir bukan untuk dilepas. Kenangan hadir untuk diingat. Aku nggak pernah nyesel kenal kamu.” Air mataku kebas. Aku ingin sekali menangis saat berucap seperti itu. Terutama saat ingat kalau aku telah mengorbankan perasaan cinta demi kembali ke bumi. Bagaimana d
Tubuhku terpental di atas kasur. Luar biasa. Aku seperti diajak kembali ke Negeri Bayangan. Bedanya, kali ini aku masih ada di tempat yang sama. Bumi.Huh!Aku mengusap dahi, basah. Tandanya, energi di tubuhku memang terkuras habis barusan. Tentu saja, aku tidak habis pikir karena ternyata cincin perak ini memiliki kekuatan. Cincin perak ini memberikan petunjuk disaat aku dan Gala sedang kehilangan harapan.Tanpa banyak pikir, aku buru-buru mengambil ponsel. Siang ini juga, aku harus menghubungi Gala. Dia harus tahu tentang apa yang kudapatkan.“Gala!” tegasku.Masih seperti pagi tadi, suara Gala terdengar lemas.“Semangat dong!” Aku berteriak.“Iya!” Nada bicaranya terdengar kencang. “Ada apa?”“Kamu sudah nemu info soal Nara?” tanyaku.“Belum!” Dia terdengar jengkel. “Baru tadi pagi lho kamu dari sini. Sekarang, kamu tanya begitu lagi ke saya
“Gal, kamu sudah tahu Cikoja itu di mana?” tanyaku pelan.Kami yang sudah berada di dalam mobil, serta sudah jalan lebih dari sepuluh menit, baru bisa berbincang.“Di Garut,” desahnya.“Garut?” Aku langsung melotot.Kukira, Cikoja itu masih di daerah Bandung. Ternyata Garut?Jangan bilang, kamu berpikir hal yang sama denganku! Ya, Mas Candra. Bukannya Mas Candra juga sedang di Garut? Kamu tahu kan kalau dia sedang ada acara? Ah, kenapa aku berpikiran negatif melulu. Aku merasa jika menghilangnya Nara ada hubungannya dengan Mas Candra.“Ibu tahu Cikoja di daerah mana,” ucap Mamanya Nara. “Dekat dengan kampung Ibu.”Gala menengok ke arah mertuanya yang ada di sisi kemudi. “Serius, Bu?”“Benar, Gal.” Kata Tante. “Apa lebih baik kita ke makam Bapak dulu?”Gala mengangguk-angguk. “Iya, Bu. Sudah lama juga kita tidak ke makam
Setelah selesai dari perkampungan Nara, mobil Gala melaju ke selatan kota Garut. Menuju tempat yang dari tadi kami perbincangkan. Tentu saja, saat ini perasaanku tak keruan. Campur aduk. Aku tidak yakin bisa menemukan Nara hanya bermodal nama sebuah tempat.Aku melihat cincin perak yang sudah kupakai lagi. Tadi, cincin itu yang membantuku untuk bisa datang ke tempat Nara disekap. Saat ini, apakah cincin itu bisa membantu lagi?Jelas aku berharap agar datang petunjuk. Lantas aku mencoba untuk mengusap cincin itu.“Cakra, kalau kamu mengizinkanku untuk tahu lokasi Nara lebih detail, aku akan sangat berterima kasih.”Jelas aku menyebut Cakra. Bukankah cincin itu milik Cakra? Barangkali, cincin tersebut memang hadir sebagai penolong.Tidak ada reaksi. Cincin itu tetap diam. Aku juga diam, lebih tepatnya, badanku bergetar-getar sesekali saat mobil melaju lebih cepat. Selebihnya, tidak ada reaksi.Ternyata tidak bisa. Sepertinya aku be
Dari jalan raya, kami masuk ke jalan lebar, tetapi tidak sebagus jalan raya. Aku melihat mulai ada suasana perkampungan yang kental dengan anak-anak yang berlarian, juga anak-anak yang sedang bermain layang-layang. Andai aku ke sini datang untuk liburan, mungkin aku akan senang karena bisa bertemu dengan anak-anak pedesaaan. Sayang, kami datang untuk mencari Nara.“Apa ini desa yang dimaksud?” tanyaku kepada Gala.“Ya, itu si Akang masih jadi penunjuk jalan,” jawab Gala.‘Si Akang’ di sini adalah lelaki yang merupakan suami dari Teteh penjaga warung tadi. Kami memang menunggu sekitar setengah jam, hingga dia bersedia mengantar. Ya, apalagi Gala menjanjikan ongkos yang cukup besar. Bagi ukuran tukang ojek, ini sama saja seperti sedang menarik barang-barang.“Kenapa Nara di bawa ke tempat begini ya?” tanyaku lagi.Jujur, aku bingung dengan keputusan ‘si penculik’. Masih banyak tempat selain
Lelaki lokal ini sepertinya memang sengaja dipilih oleh mereka untuk menjaga tempat ini. Buktinya, dia memang jago bela diri. Sepertinya, dia benar-benar salah satu orang yang cukup kuat untuk dikalahkan. Aku melihat beberapa kali Gala mundur, terpental, bahkan berhasil ditendang. Apa Gala bisa melawannya?“Anda masih bisa melawan?” Lelaki berambut cepak itu bertanya percaya diri.“Saya belum kalah!” tegas Gala.“Hahahaha. Dari tadi, beberapa kali Anda mundur. Apa itu bukan kekalahan?”Gala terdiam. Pertanyaan itu sepertinya menyinggung Gala. Hingga aku melihat tatapan mata yang tajam dari Gala. Dia yang awalnya terlihat kehabisan tenaga, kini seperti terisi energi lagi. Super. Seseorang kadang bisa kembali bersemangat setelah dipancing. Lawan Gala benar-benar bodoh! Di sini, dia membangunkan harimau yang sedang tidur.Aku melihat Gala memasang kuda-kuda sebelum benar-benar menerjang orang di depannya. Sampai kem
Kali ini, Gala tidak sehebat sebelumnya. Dua orang ini sepertinya memang master di dunia beladiri. Gerakkan-gerakkannya terlihat cepat. Terampil. Gesit. Sangat-sangat berbeda dengan Gala yang semakin sini semakin lemah.“Gal, bertahan!” teriakku. “kamu bisa!”Saat aku berteriak seperti itu, Gala sedang ditekan oleh dua orang itu. Kedua tangan, bahkan kaki juga ikut bergerak. Menakis, menghalau, melawan. Tetapi pergerakkan itu seperti tak berguna sama sekali. Dia tetap terpojok hingga terjatuh di atas tanah.Lututku lemas. Ini benar-benar di luar dugaan. Kukira, Gala akan mengalahkan dua orang itu. Tapi ternyata? Oh, sangat-sangat menghawatirkan.“Gala!” Aku berteriak sekaligus bermaksud untuk membangunkannya.Namun, tentu saja aku dan Tante dihalau oleh dua orang itu. Mereka maju, sehingga malah membuat kami berdua mundur. Benar-benar mundur.“Tante, ini gimana?” Desahku.Bodoh sekali. A
Empat orang lelaki itu kini terbagi ke dua kubu. Dua orang melawan aku, dua orang lagi melawan Gala. Kali ini, aku kembali menjadi wanita perkasa. Untung saja aku mengenakan celana panjang yang bisa bergerak selincah yang kubisa.Aku bertarung sambil mengingat-ingat jurus dua tahun lalu, saat diajari Ayah. Tentu saja nggak langsung diingat. Aku berusaha sebisa mungkin untuk menerapkan beberapa gerakkan, juga teknik. Gerakkan dasar seperti menonjok, menendang, atau menakis, sekarang aku pergunakan lagi.“Menyerah sekarang juga! Bagaimana pun, kamu akan kalah!” tegas salah satu dari mereka. Kali ini si gondrong yang bersuara.“Masa?” Aku tertawa, padahal meringis di dalam hati, tenagaku sudah hampir habis soalnya.“Kamu belum tahu kami! Kami sengaja tidak terlalu menekanmu karena kamu perempuan. Lebih baik kamu menyerah supaya tidak kami habisi!”Aku langsung menegakkan badan, mengatu