Setelah selesai dari perkampungan Nara, mobil Gala melaju ke selatan kota Garut. Menuju tempat yang dari tadi kami perbincangkan. Tentu saja, saat ini perasaanku tak keruan. Campur aduk. Aku tidak yakin bisa menemukan Nara hanya bermodal nama sebuah tempat.
Aku melihat cincin perak yang sudah kupakai lagi. Tadi, cincin itu yang membantuku untuk bisa datang ke tempat Nara disekap. Saat ini, apakah cincin itu bisa membantu lagi?
Jelas aku berharap agar datang petunjuk. Lantas aku mencoba untuk mengusap cincin itu.
“Cakra, kalau kamu mengizinkanku untuk tahu lokasi Nara lebih detail, aku akan sangat berterima kasih.”
Jelas aku menyebut Cakra. Bukankah cincin itu milik Cakra? Barangkali, cincin tersebut memang hadir sebagai penolong.
Tidak ada reaksi. Cincin itu tetap diam. Aku juga diam, lebih tepatnya, badanku bergetar-getar sesekali saat mobil melaju lebih cepat. Selebihnya, tidak ada reaksi.
Ternyata tidak bisa. Sepertinya aku be
Dari jalan raya, kami masuk ke jalan lebar, tetapi tidak sebagus jalan raya. Aku melihat mulai ada suasana perkampungan yang kental dengan anak-anak yang berlarian, juga anak-anak yang sedang bermain layang-layang. Andai aku ke sini datang untuk liburan, mungkin aku akan senang karena bisa bertemu dengan anak-anak pedesaaan. Sayang, kami datang untuk mencari Nara.“Apa ini desa yang dimaksud?” tanyaku kepada Gala.“Ya, itu si Akang masih jadi penunjuk jalan,” jawab Gala.‘Si Akang’ di sini adalah lelaki yang merupakan suami dari Teteh penjaga warung tadi. Kami memang menunggu sekitar setengah jam, hingga dia bersedia mengantar. Ya, apalagi Gala menjanjikan ongkos yang cukup besar. Bagi ukuran tukang ojek, ini sama saja seperti sedang menarik barang-barang.“Kenapa Nara di bawa ke tempat begini ya?” tanyaku lagi.Jujur, aku bingung dengan keputusan ‘si penculik’. Masih banyak tempat selain
Lelaki lokal ini sepertinya memang sengaja dipilih oleh mereka untuk menjaga tempat ini. Buktinya, dia memang jago bela diri. Sepertinya, dia benar-benar salah satu orang yang cukup kuat untuk dikalahkan. Aku melihat beberapa kali Gala mundur, terpental, bahkan berhasil ditendang. Apa Gala bisa melawannya?“Anda masih bisa melawan?” Lelaki berambut cepak itu bertanya percaya diri.“Saya belum kalah!” tegas Gala.“Hahahaha. Dari tadi, beberapa kali Anda mundur. Apa itu bukan kekalahan?”Gala terdiam. Pertanyaan itu sepertinya menyinggung Gala. Hingga aku melihat tatapan mata yang tajam dari Gala. Dia yang awalnya terlihat kehabisan tenaga, kini seperti terisi energi lagi. Super. Seseorang kadang bisa kembali bersemangat setelah dipancing. Lawan Gala benar-benar bodoh! Di sini, dia membangunkan harimau yang sedang tidur.Aku melihat Gala memasang kuda-kuda sebelum benar-benar menerjang orang di depannya. Sampai kem
Kali ini, Gala tidak sehebat sebelumnya. Dua orang ini sepertinya memang master di dunia beladiri. Gerakkan-gerakkannya terlihat cepat. Terampil. Gesit. Sangat-sangat berbeda dengan Gala yang semakin sini semakin lemah.“Gal, bertahan!” teriakku. “kamu bisa!”Saat aku berteriak seperti itu, Gala sedang ditekan oleh dua orang itu. Kedua tangan, bahkan kaki juga ikut bergerak. Menakis, menghalau, melawan. Tetapi pergerakkan itu seperti tak berguna sama sekali. Dia tetap terpojok hingga terjatuh di atas tanah.Lututku lemas. Ini benar-benar di luar dugaan. Kukira, Gala akan mengalahkan dua orang itu. Tapi ternyata? Oh, sangat-sangat menghawatirkan.“Gala!” Aku berteriak sekaligus bermaksud untuk membangunkannya.Namun, tentu saja aku dan Tante dihalau oleh dua orang itu. Mereka maju, sehingga malah membuat kami berdua mundur. Benar-benar mundur.“Tante, ini gimana?” Desahku.Bodoh sekali. A
Empat orang lelaki itu kini terbagi ke dua kubu. Dua orang melawan aku, dua orang lagi melawan Gala. Kali ini, aku kembali menjadi wanita perkasa. Untung saja aku mengenakan celana panjang yang bisa bergerak selincah yang kubisa.Aku bertarung sambil mengingat-ingat jurus dua tahun lalu, saat diajari Ayah. Tentu saja nggak langsung diingat. Aku berusaha sebisa mungkin untuk menerapkan beberapa gerakkan, juga teknik. Gerakkan dasar seperti menonjok, menendang, atau menakis, sekarang aku pergunakan lagi.“Menyerah sekarang juga! Bagaimana pun, kamu akan kalah!” tegas salah satu dari mereka. Kali ini si gondrong yang bersuara.“Masa?” Aku tertawa, padahal meringis di dalam hati, tenagaku sudah hampir habis soalnya.“Kamu belum tahu kami! Kami sengaja tidak terlalu menekanmu karena kamu perempuan. Lebih baik kamu menyerah supaya tidak kami habisi!”Aku langsung menegakkan badan, mengatu
“Nara!” teriak Gala lagi.Kali ini teriakkannya dibarengi dengan emosi.Kami bertiga tidak tahu harus berbuat apa, sebab Nara dan Mas Candra sudah menghilang. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Kukira, hal-hal yang berhubungan dengan Negeri Bayangan itu sudah berakhir. Ternyata belum. Bahkan Mas Candra membawa Nara ke sana.Saat kami merasa sudah tidak memiliki harapan, tiba-tiba cincin perak di tanganku bercahaya begitu dahsyat. Aku yang sedang menangis mendadak beku. Ada apa?“Mel!” Gala terlihat antusias. “Cincin itu ngasih jalan!”Aku baru sadar jika ternyata terbentuk bulatan dari cahaya itu. Bulatan itu berwarna putih.“Ayo!” ucap Gala.“Mau ke mana?” tanya Tante yang dari tadi terbengong-bengong.“Kita ke Negeri Bayangan,” ucapku. “Tapi Tante nggak perlu ikut. Ini berbahaya, Tan. Sebentar lagi polisi akan datang. Tante akan ditolong oleh merek
“Woy!”Gala yang sedang melamun di depan rumah, terperanjat.“Ngapain sih ngelamun pagi-pagi?” aku bertanya ceria. “Hari ini, harusnya kamu semangat. Ini akan menjadi hari pertama kita untuk mencari Nara.”Gala mengembuskan napas. “Saya sedang khawatir sama Nara, Mel. Apa dia baik-baik saja?”“Nggak ada gunannya menghawatirkan dia Gal. Yang berguna itu mencari strategi untuk memulai pencarian. Sekarang, kita ada di pegunungan. Sementara, kita nggak tahu Nara di mana.”Gala yang awalnya tidak semangat, kini menegakkan badan. “Satu-satunya cara, kita harus ke kota. Kita ke kerajaan untuk meminta bantuan. Tapi saat menuju sana, tentu saja kita harus bertualang seperti dulu. Kita akan melewati berbagai dunia. Kamu masih ingat kan, dunia yang saya maksud?“Dunia kertas, dunia kesedihan, dunia pelarian?” Aku bertanya.“Ya ...” Gala tersenyum. “Se
Butuh waktu lebih dari empat jam untuk kami sampai di gerbang Dunia Kertas. Tentu saja kami celingukkan. Faktanya, tempat ini jadi lebih ramai ketimbang tiga tahun lalu. Dan ya, hal ini membuat aku sedikit lega. Sepertinya keadaan sosial di Negeri Bayangan sudah stabil.“Tuan ….” Gala menunduk untuk memberi hormat kepada penjaga gerbang. “Apa kau masih ingat saya?”Pertanyaan itu disambut dengan senyum oleh penjaga gerbang. Dia lelaki yang waktu itu menjaga dan memberikan tugas kepada Gala, Nara, dan aku untuk menggambar wajah pimpinan mereka. Dan sepertinya, dia tidak lupa. Aku bisa melihat dari raut wajahnya.“Anda …. Gala?” tanyanya.Gala mengangguk dan tersenyum. “Kami pernah singgah di sini tiga tahun lalu.”“Dan kalian yang membantu menyelamatkan Negeri Bayangan dari marabahaya. Benar kan?”“Kau masih begitu ingat, Tuan.” Aku tertawa. “Bagaimana
Kuda yang kutunggangi melaju kencang. Beberapa kali, aku sedikit meringis karena kecepatan itu. Tentu saja, aku terus-terusan memegang pinggang si penunggang kuda dengan kencang. Bahkan aku menyuruhnya lebih lambat.“Kalau kita lambat, kita tidak akan bisa sampai kota dengan cepat,” ucap lelaki itu.“Nggak masalah!” tegasku. “Daripada celaka?”Akhirnya, dia mendengarkanku. Satu kawannya yang bersama Gala juga mendapatkan kode dari si pengendali kuda ini. Akhirnya, kuda berjalan pelan.“Nah, gini dong. Kudanya juga kasihan kalau terlalu cepat!” ucapku lagi.Sebenarnya, mungkin kuda-kuda di sini sudah terlatih. Atau bahkan mereka memiliki kekuatan yang membuat tubuh mereka tetap sehat. Tapi karena aku tipe orang yang mudah kasihan, aku benar-benar tidak tega untuk membiarkan kuda itu berlari begitu kencang.“Ngomong-ngomong, siapa namamu?” tanyaku kepada pengendali kuda.&ldquo