“Nara!” teriak Gala lagi.
Kali ini teriakkannya dibarengi dengan emosi.
Kami bertiga tidak tahu harus berbuat apa, sebab Nara dan Mas Candra sudah menghilang. Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Kukira, hal-hal yang berhubungan dengan Negeri Bayangan itu sudah berakhir. Ternyata belum. Bahkan Mas Candra membawa Nara ke sana.
Saat kami merasa sudah tidak memiliki harapan, tiba-tiba cincin perak di tanganku bercahaya begitu dahsyat. Aku yang sedang menangis mendadak beku. Ada apa?
“Mel!” Gala terlihat antusias. “Cincin itu ngasih jalan!”
Aku baru sadar jika ternyata terbentuk bulatan dari cahaya itu. Bulatan itu berwarna putih.
“Ayo!” ucap Gala.
“Mau ke mana?” tanya Tante yang dari tadi terbengong-bengong.
“Kita ke Negeri Bayangan,” ucapku. “Tapi Tante nggak perlu ikut. Ini berbahaya, Tan. Sebentar lagi polisi akan datang. Tante akan ditolong oleh merek
“Woy!”Gala yang sedang melamun di depan rumah, terperanjat.“Ngapain sih ngelamun pagi-pagi?” aku bertanya ceria. “Hari ini, harusnya kamu semangat. Ini akan menjadi hari pertama kita untuk mencari Nara.”Gala mengembuskan napas. “Saya sedang khawatir sama Nara, Mel. Apa dia baik-baik saja?”“Nggak ada gunannya menghawatirkan dia Gal. Yang berguna itu mencari strategi untuk memulai pencarian. Sekarang, kita ada di pegunungan. Sementara, kita nggak tahu Nara di mana.”Gala yang awalnya tidak semangat, kini menegakkan badan. “Satu-satunya cara, kita harus ke kota. Kita ke kerajaan untuk meminta bantuan. Tapi saat menuju sana, tentu saja kita harus bertualang seperti dulu. Kita akan melewati berbagai dunia. Kamu masih ingat kan, dunia yang saya maksud?“Dunia kertas, dunia kesedihan, dunia pelarian?” Aku bertanya.“Ya ...” Gala tersenyum. “Se
Butuh waktu lebih dari empat jam untuk kami sampai di gerbang Dunia Kertas. Tentu saja kami celingukkan. Faktanya, tempat ini jadi lebih ramai ketimbang tiga tahun lalu. Dan ya, hal ini membuat aku sedikit lega. Sepertinya keadaan sosial di Negeri Bayangan sudah stabil.“Tuan ….” Gala menunduk untuk memberi hormat kepada penjaga gerbang. “Apa kau masih ingat saya?”Pertanyaan itu disambut dengan senyum oleh penjaga gerbang. Dia lelaki yang waktu itu menjaga dan memberikan tugas kepada Gala, Nara, dan aku untuk menggambar wajah pimpinan mereka. Dan sepertinya, dia tidak lupa. Aku bisa melihat dari raut wajahnya.“Anda …. Gala?” tanyanya.Gala mengangguk dan tersenyum. “Kami pernah singgah di sini tiga tahun lalu.”“Dan kalian yang membantu menyelamatkan Negeri Bayangan dari marabahaya. Benar kan?”“Kau masih begitu ingat, Tuan.” Aku tertawa. “Bagaimana
Kuda yang kutunggangi melaju kencang. Beberapa kali, aku sedikit meringis karena kecepatan itu. Tentu saja, aku terus-terusan memegang pinggang si penunggang kuda dengan kencang. Bahkan aku menyuruhnya lebih lambat.“Kalau kita lambat, kita tidak akan bisa sampai kota dengan cepat,” ucap lelaki itu.“Nggak masalah!” tegasku. “Daripada celaka?”Akhirnya, dia mendengarkanku. Satu kawannya yang bersama Gala juga mendapatkan kode dari si pengendali kuda ini. Akhirnya, kuda berjalan pelan.“Nah, gini dong. Kudanya juga kasihan kalau terlalu cepat!” ucapku lagi.Sebenarnya, mungkin kuda-kuda di sini sudah terlatih. Atau bahkan mereka memiliki kekuatan yang membuat tubuh mereka tetap sehat. Tapi karena aku tipe orang yang mudah kasihan, aku benar-benar tidak tega untuk membiarkan kuda itu berlari begitu kencang.“Ngomong-ngomong, siapa namamu?” tanyaku kepada pengendali kuda.&ldquo
Seorang wanita dengan rambut disanggul tengah duduk dengan wajah murung. Terdapat lipatan di dahi sesaat setelah mendengar keributan di luar. Dia mendapati suara anaknya yang sudah lebih dari setahun pergi untuk menunggu sebuah misi.“Apa itu Candra?” tanyanya.Dia yang sedang duduk, buru-buru berdiri. Awalnya, dia sedang memikirkan banyak hal. Apakah Candra baik-baik saja di bumi sana? Apakah dia sudah bertemu dengan orang-orang yang ada kaitannya dengan misi?Dan sekarang, dia mendengar kembali kehadiran dari anak sematawayangnya.Raras membuka pintu. Hingga dia terkejut saat dirinya melihat Candra sedang memaksa satu wanita yang sedang menggendong bayi untuk masuk.“Mbak, saya mohon, Mbak masuk dulu. Istirahat di dalam. Saya janji, saya tidak akan membahayakan kalian berdua!” tegas Candra.“Aku mau pulang!” tegas Nara. “Aku nggak mau ada di sini. Mas Gala dan Melica pasti mencariku! L
Aku dan Gala mengikuti langkah Nana yang cepat dengan gerakkan percaya diri. Nana, aku tidak menyangka jika dia bisa menjadi gadis yang tangguh. Dulu, dia adalah gadis pemurung yang kerjaannya duduk di depan danau. Sekarang, dia menjelma menjadi gadis kharismatik. Aku belum pernah melihat gadis cilik semenarik ini.“Mau ke mana?” tanyaku kepada Nana.“Ke danau depan, Kak,” jawabnya singkat.Aku melirik ke Gala. “Gal, kamu yakin akan mengikutsertakan Nana? Masih banyak orang yang mungkin lebih menarik ketimbang Nana. Maksudku, orang yang sudah professional.”“Tapi belum tentu mereka mau ikut,” jawab Gala. “Sementara, meski meragukan, Nana percaya diri untuk ikut kita.” Gala tersenyum lebar. “Kita lihat saja kemampuannya. Kira-kira, apakah kemampuan itu akan menguntungkan? Setidaknya menguntungkan dirinya sendiri supaya tidak membahayakan. Syukur-syukur bisa menguntungkan kita juga.Ak
Nana melangkah cepat melewati gerbang di Dunia Kertas. Dia lantas berbelok ke sebalah kanan. Kami berdua yang pada awalnya akan berangkat pagi ini juga, malah penasaran dengan Nana. Kami ingin tahu, seberapa mahir dia menunggangi kuda."Waw!" Aku sedikit bergidik melihat beberapa kandang kuda. "Udah kayak peternakan!""Semenjak negeri ini dipegang Raja Cakra, setiap perkampungan diberi kuda untuk kebutuhan. Baik transportasi, atau kebutuhan warga sini untuk keamanan." Nana menjelaskan.Saat kami menuju kandang yang berjejer, ada beberapa warga yang sedang mengurus kuda dan memberikan mereka makan. Kuda-kuda di sini benar-benar terurus. Terlihat dari bulu kuda yang halus."Kakak, saya mau memakai kuda untuk latihan. Bisa tolong bantu keluarkan Si Gilda?" tanya Nana kepada salah satu penjaga."Wah, sudah lama kamu tidak latihan, Na. Saya juga penasaran ingin melihatmu latihan." Penjaga itu terlihat antusias."Saya sudah lancar menunggangi kuda
Gala buru-buru membangunkanku dengan tawa masih menyelimuti. Dia terlihat puas melihatku jatuh. Dasar Gala, dia benar-benar tidak memikirkan perasaanku.“Jangan cengeng.” Dia membantuku bangun. “Nanti bisa lebih dari ini lho.”“Ya kamu enak ngomong begitu!” Aku nggak mau kalah. “Kamu sendiri kan belum nyoba susahnya naik ke atas kuda itu.”“Gampang!” Gala terlihat percaya diri. “Mau saya buktikan?”Aku dan Nana saling tatap. Lantas, mengangguk berbarengan. Kita lihat, bagaimana seorang Gala menaiki kuda itu.Gala berdiri dengan badan tegak. Lantas dia meloncat dan menempelkan perutnya di punggung Gilda. Namun saat perut Gala dan punggung Gilda sudah menempel, tiba-tiba ekor Gilda menggibas wajah Gala. Secara otomatis, cowok itu berteriak dan loncat lagi ke tanah.Sekarang, giliran aku dan Nana yang tertawa.“Kak Gala tadi pasti nggak sengaja nyubit badan Gil
Setelah Nara masuk ke dalam rumah, Candra memasang alas yang terbuat dari dedaunan besar. Lantas, Candra dan Raras duduk, disusul oleh Nara dengan wajah yang masih terlihat ragu.“Sebelumnya, saya mau mengenalkan Ibu saya dulu.” Candra melirik ke arah Mamanya.“Nama saya Raras, Nak.” perempuan yang memiliki wajah ayu itu tersenyum lebar. “Lebih dari dua puluh tahun lalu, saya adalah istri dari Raja Fatah …..”Ucapan itu membuat Nara melotot. “Raja … Fatah?”“Ya ….” Raras menggigit bibir, dia terlihat begitu lesu. Mungkin, dia juga sedang mengingat masa-masa itu yang tentu saja tidak baik. “Saya istri kedua dari Raja Fatah. Karena satu alasan, saya memilih pergi meninggalkannya, saya membiarkan Raja Fatah bersama istri pertamanya. Waktu itu, saya dalam keadaan mengandung Candra.”Pikiran Nara langsung berputar jauh kepada kejadian tiga tahunan lalu. Saat dir