Saat ke rumah Gala, aku hanya melihat Mamanya Nara sedang duduk dengan jari-jari tangan melingkari gelas berisi air. Matanya kelihatan redup, bibirnya juga pucat.
“Tan ....” Aku menyalaminya. “Tante kenapa sendirian?”
Dia hanya tersenyum, tanpa menjawab.
Aku yang tahu perasaan beliau memilih memeluknya. Tanpa diduga, dia pun merekatkan tangan begitu erat. Tangisannya pecah di pundakku.
“Kenapa harus Nara?” tanyanya. “Sudah cukup saya kehilangan Bapaknya. Saya tidak sanggup.”
“Tante ....” Aku ikut bergetar. “Aku tahu perasaan Tante. Aku sangat tahu. Tapi Tante harus optimis. Nara dan juga Aga pasti ketemu. Tante doakan saja. Aku yakin. Aku merasa jika mereka baik-baik saja.”
“Semoga .....”
Aku memeluk Ibunya Nara untuk kesekian kali, hingga aku mulai menyadari bahwa Gala tidak ada di rumah. “Gala ke mana, Tan?”
“Di belakang ruma
Mengingat semua keanehan dari Mas Candra, tiba-tiba aku mengingat suatu obrolan yang kami bahas tentang masa lalu kami masing-masing. Sebagai seorang calon istri, waktu itu aku bertanya banyak hal pada pertemuan di suatu café di Bandung.“Mas, aku nggak bermaksud untuk mengungkit masa lalu kamu, tapi aku perlu tahu tempat masa kecil kamu. Kamu itu bukan asli Bandung kan?”Mas Candra yang sedang menyeruput Red Valvet, mendongak. Senyumnya lebar. “Boleh dong, masa calon istriku nggak boleh tahu?”“So?” Salah satu alisku terangkat.“Aku itu hidup di Makasar waktu itu,” ucapnya. “Aku hidup berdua dengan Mama di salah satu desa di sana. Desa yang masih tergolong asri. Kami hidup di perkampungan yang memang jarang banyak orang.” Mas Candra mengeluarkan foto dari tasnya. “Ini foto, Mama .....”Aku melihat foto itu secara saksama. Foto yang terlihat sederhana dengan nuansa pedes
Cincin itu seperti menarikku lagi ke Negeri Bayangan. Wajah Cakra, lingkungan kerajaan, tempat-tempat yang pernah kami singgahi, semuanya terasa nyata. Bahkan aku ingin memangis mengingat itu. Tak kusangka, aku pernah ada di suatu negeri yang mungkin jika diumumkan ke orang-orang, mereka akan menganggapku gila. Aku mengambil cincin itu perlahan-lahan, lantas meniliknya cukup lama. Andai Mas Candra tahu kalau cincin ini dari orang yang pernah ada di hatiku, apa yang akan terjadi? Apa nanti dia akan cemburu? Atau malah, dia biasa-biasa saja? “Cakra,” desahku. “Cincin ini masih sama aku. Aku lepas kemarin-kemarin karena aku merasa sudah seharusnya melepas kenangan itu. Tapi setelah dipikir-pikir, kenangan hadir bukan untuk dilepas. Kenangan hadir untuk diingat. Aku nggak pernah nyesel kenal kamu.” Air mataku kebas. Aku ingin sekali menangis saat berucap seperti itu. Terutama saat ingat kalau aku telah mengorbankan perasaan cinta demi kembali ke bumi. Bagaimana d
Tubuhku terpental di atas kasur. Luar biasa. Aku seperti diajak kembali ke Negeri Bayangan. Bedanya, kali ini aku masih ada di tempat yang sama. Bumi.Huh!Aku mengusap dahi, basah. Tandanya, energi di tubuhku memang terkuras habis barusan. Tentu saja, aku tidak habis pikir karena ternyata cincin perak ini memiliki kekuatan. Cincin perak ini memberikan petunjuk disaat aku dan Gala sedang kehilangan harapan.Tanpa banyak pikir, aku buru-buru mengambil ponsel. Siang ini juga, aku harus menghubungi Gala. Dia harus tahu tentang apa yang kudapatkan.“Gala!” tegasku.Masih seperti pagi tadi, suara Gala terdengar lemas.“Semangat dong!” Aku berteriak.“Iya!” Nada bicaranya terdengar kencang. “Ada apa?”“Kamu sudah nemu info soal Nara?” tanyaku.“Belum!” Dia terdengar jengkel. “Baru tadi pagi lho kamu dari sini. Sekarang, kamu tanya begitu lagi ke saya
“Gal, kamu sudah tahu Cikoja itu di mana?” tanyaku pelan.Kami yang sudah berada di dalam mobil, serta sudah jalan lebih dari sepuluh menit, baru bisa berbincang.“Di Garut,” desahnya.“Garut?” Aku langsung melotot.Kukira, Cikoja itu masih di daerah Bandung. Ternyata Garut?Jangan bilang, kamu berpikir hal yang sama denganku! Ya, Mas Candra. Bukannya Mas Candra juga sedang di Garut? Kamu tahu kan kalau dia sedang ada acara? Ah, kenapa aku berpikiran negatif melulu. Aku merasa jika menghilangnya Nara ada hubungannya dengan Mas Candra.“Ibu tahu Cikoja di daerah mana,” ucap Mamanya Nara. “Dekat dengan kampung Ibu.”Gala menengok ke arah mertuanya yang ada di sisi kemudi. “Serius, Bu?”“Benar, Gal.” Kata Tante. “Apa lebih baik kita ke makam Bapak dulu?”Gala mengangguk-angguk. “Iya, Bu. Sudah lama juga kita tidak ke makam
Setelah selesai dari perkampungan Nara, mobil Gala melaju ke selatan kota Garut. Menuju tempat yang dari tadi kami perbincangkan. Tentu saja, saat ini perasaanku tak keruan. Campur aduk. Aku tidak yakin bisa menemukan Nara hanya bermodal nama sebuah tempat.Aku melihat cincin perak yang sudah kupakai lagi. Tadi, cincin itu yang membantuku untuk bisa datang ke tempat Nara disekap. Saat ini, apakah cincin itu bisa membantu lagi?Jelas aku berharap agar datang petunjuk. Lantas aku mencoba untuk mengusap cincin itu.“Cakra, kalau kamu mengizinkanku untuk tahu lokasi Nara lebih detail, aku akan sangat berterima kasih.”Jelas aku menyebut Cakra. Bukankah cincin itu milik Cakra? Barangkali, cincin tersebut memang hadir sebagai penolong.Tidak ada reaksi. Cincin itu tetap diam. Aku juga diam, lebih tepatnya, badanku bergetar-getar sesekali saat mobil melaju lebih cepat. Selebihnya, tidak ada reaksi.Ternyata tidak bisa. Sepertinya aku be
Dari jalan raya, kami masuk ke jalan lebar, tetapi tidak sebagus jalan raya. Aku melihat mulai ada suasana perkampungan yang kental dengan anak-anak yang berlarian, juga anak-anak yang sedang bermain layang-layang. Andai aku ke sini datang untuk liburan, mungkin aku akan senang karena bisa bertemu dengan anak-anak pedesaaan. Sayang, kami datang untuk mencari Nara.“Apa ini desa yang dimaksud?” tanyaku kepada Gala.“Ya, itu si Akang masih jadi penunjuk jalan,” jawab Gala.‘Si Akang’ di sini adalah lelaki yang merupakan suami dari Teteh penjaga warung tadi. Kami memang menunggu sekitar setengah jam, hingga dia bersedia mengantar. Ya, apalagi Gala menjanjikan ongkos yang cukup besar. Bagi ukuran tukang ojek, ini sama saja seperti sedang menarik barang-barang.“Kenapa Nara di bawa ke tempat begini ya?” tanyaku lagi.Jujur, aku bingung dengan keputusan ‘si penculik’. Masih banyak tempat selain
Lelaki lokal ini sepertinya memang sengaja dipilih oleh mereka untuk menjaga tempat ini. Buktinya, dia memang jago bela diri. Sepertinya, dia benar-benar salah satu orang yang cukup kuat untuk dikalahkan. Aku melihat beberapa kali Gala mundur, terpental, bahkan berhasil ditendang. Apa Gala bisa melawannya?“Anda masih bisa melawan?” Lelaki berambut cepak itu bertanya percaya diri.“Saya belum kalah!” tegas Gala.“Hahahaha. Dari tadi, beberapa kali Anda mundur. Apa itu bukan kekalahan?”Gala terdiam. Pertanyaan itu sepertinya menyinggung Gala. Hingga aku melihat tatapan mata yang tajam dari Gala. Dia yang awalnya terlihat kehabisan tenaga, kini seperti terisi energi lagi. Super. Seseorang kadang bisa kembali bersemangat setelah dipancing. Lawan Gala benar-benar bodoh! Di sini, dia membangunkan harimau yang sedang tidur.Aku melihat Gala memasang kuda-kuda sebelum benar-benar menerjang orang di depannya. Sampai kem
Kali ini, Gala tidak sehebat sebelumnya. Dua orang ini sepertinya memang master di dunia beladiri. Gerakkan-gerakkannya terlihat cepat. Terampil. Gesit. Sangat-sangat berbeda dengan Gala yang semakin sini semakin lemah.“Gal, bertahan!” teriakku. “kamu bisa!”Saat aku berteriak seperti itu, Gala sedang ditekan oleh dua orang itu. Kedua tangan, bahkan kaki juga ikut bergerak. Menakis, menghalau, melawan. Tetapi pergerakkan itu seperti tak berguna sama sekali. Dia tetap terpojok hingga terjatuh di atas tanah.Lututku lemas. Ini benar-benar di luar dugaan. Kukira, Gala akan mengalahkan dua orang itu. Tapi ternyata? Oh, sangat-sangat menghawatirkan.“Gala!” Aku berteriak sekaligus bermaksud untuk membangunkannya.Namun, tentu saja aku dan Tante dihalau oleh dua orang itu. Mereka maju, sehingga malah membuat kami berdua mundur. Benar-benar mundur.“Tante, ini gimana?” Desahku.Bodoh sekali. A
Dua tahun kemudianHarum bawang goreng menguar dari dapur. Terlihat Nara dengan bahagia membolak-balikkan nasi di atas wajan. Rupanya, dia sedang memasak nasi goreng. Ya, nasi goreng adalah salah satu menu makan siang dirinya dengan Gala. Sekarang, Gala menjadi seorang Papa yang tidak pernah absen datang ke rumah di jam istirahat. Meski posisi kantor ke rumah lumayan jauh, tetapi dia selalu menyempatkan diri untuk datang.Sekarang, Nara mengamati nasi goreng di atas piring. Irisan tomat yang terlihat segar, sayur, juga beberapa potong sosis goreng berjejer di pinggir-pinggirnya. Dia membuat dua piring nasi goreng, khusus buat dirinya dan Gala. Tentu ini makanan sederhana, tetapi makanan sederhana akan sangat istimewa bukan? Apalagi jika yang dimasaki merasa bahagia.Saat tengah menatap makanan di atas meja, tiba-tiba ponsel Nara berbunyi. Tentu, itu dari Gala. Dia lantas mengangkatnya dengan wajah cerita.“Hallo, Mas,” ucap Na
Entah kenapa, mendengar ucapan Mas Candra seperti itu membuat hatiku terenyuh. Aku merasakan betul detak jantungnya yang menempel di badanku. Sampai akhirnya, aku melepaskan peluk untuk kesekian kalinya.“Kira-kira, apa yang membuat aku harus menerimamu kembali?” tanyaku. Aku mencari keyakinan lagi.Mas Candra menghela napas. “Karena aku mau berubah. Dan yang paling penting .... aku benar-benar cinta sama kamu. Aku merasa bahwa kebahagiaanku ada bersamamu. Bukan lagi di kerajaan.”Aku menatapnya. Mencari celah, apakah dia berbohong? Tetapi dilihat dari gerak-geriknya, aku melihat jika tidak ada kebohongan.“Apa kamu bisa menjaminnya?” tanyaku lagi.“Apa yang kamu mau dariku? Ucapkan. Apa pun, akan kulakukan jika bisa mempersatukan kita.”Pertanyaan itu malah membuatku beku. Itu hanya bentuk dari pengetesan yang kulakukan. Kamu tahu? Sejujurnya, keberadannya di sini saja sudah membuatku senang.
Aku kembali seperti Melica yang dulu. Dari dua hari lalu, aku kembali melihat aktivitas anak-anak. Melihat kerajinan yang dibuat, melihat proses paking barang-barang untuk dikirim ke luar daerah dan luar negeri, serta melihat perkebunan yang semakin sini semakin luas. Seperti keinginanku dulu, warga-warga sini hampir 80 mendominasi sebagai pegawai di panti.Pada hari ini, aku sedikit bernostalgia dengan perkebunan. Kebetulan, ada kegiatan pemetikkan beberapa sayuran seperti bonteng, bayam, sawi, dan beberapa sayur lain. Nah, aku ikut berkumpul dengan para petani yang sedang memetik sayuran.“Wah, Melica turun juga,” ucap salah satu pegawai yang sudah dari lama mengetahui aku.“Iya, Nih, Pak. Suntuk diam di kamar terus. Sekalian nostalgia,” ucapku.“Kabarnya, Melica itu kemarin hilang ya? Kenapa bisa hilang? Ada masalah apa?” pertanyaan itu tampaknya hanya basa-basi, padahal semua orang tahu jika kami diisukan menghilang
Gerbang panti terlihat di ujung mata. Aku melihat pohon-pohon yang masih sama, lebat. Aku melihat rumput-rumput hias yang ada di pinggir-pinggir pagar, yang juga terurus, lantas, aku mengembuskan napas. Tidak terasa, aku sudah ada di sini. Di rumahku sendiri.Saat membuka gerbang, penjaga panti terbelalak. Dia buru-buru menyalamiku. Tentu, aku juga menyalaminya dengan begitu bahagia.“Kok Melica tidak bilang kalau mau ke sini? Kan bisa dijemput sama anak-anak yang lain.” Ucap Pak Satpam.Dia adalah penjaga yang sudah lama ada di sini. Bahkan sejak aku kecil. Makannya, dia menyebut lebih akrab dengan sebutan nama.“Memangnya saya itu tamu, Pak?” Aku terkekeh. “Saya anak panti lho. Jadi ya, nggak usah dispesialkan juga.”Ucapan itu dijawab gelengan. Tentu, kami mengobrol sejenak. Menanyakan berbagai hal dan situasi di panti. Menurut Pak Satpam, panti mengalami banyak perkembangan. Terutama mengenai usaha-usaha yang
Kedatanganku ke kantor membuat para karyawan terbelalak. Mereka tidak menyangka, orang hilang yang selama ini diberitakan ternyata sudah kembali. Lantas, aku langsung dikerubuti oleh para karyawan.“Bu, Ibu ke mana saja? Pak Candra juga. Apa kalian baik-baik saja?” tanya salah satu dari mereka.Jelas aku tersenyum sejanak, kemudian mengangguk. “Selama ini, saya tersesat di hutan. Dan saya ... masuk ke alam ghaib.”Ucapan itu membuat mereka terlihat semakin penasaran.“Alam ghaib?” karyawan Senior yang umurnya lebih tua dari Mas Candra mengerutkan kening.“Ya. Kalau kalian tidak percaya, tidak apa-apa. Yang jelas, selama beberapa minggu, kami tersesat, sampai akhirnya saya bisa kembali. Tapi Mas Candra .....”“Pak Candra kenapa?”“Sampai sekarang tidak ada jejak. Saya tidak tahu apakah dia selamat atau tidak.”Aku mengobrol panjang lebar dengan para karyawan
Suara air yang jatuh dari atas membuat Ibu memejamkan mata. Air itu terasa mendamaikan. Dia juga merasakan kesejukkan yang luar biasa bisa berdiri di depan air terjun yang sangat mengagumkan. Sampai kemudian, dia yang tengah merasa senang, kini melotot. Dia mendapati seseorang yang tengah duduk di batu besar, juga menghadap ke air terjun. Tentu, dia tahu orang tersebut.Ibu melangkah cepat, ingin memastikan orang yang dia lihat.“Bapak ....”Ucapan itu mengudara begitu saja. Padahal, Ibu belum lihat wajahnya sama sekali.Lelaki itu menengok. Dia tersenyum lebar saat mendapati istrinya. Lantas, dia berdiri.“Kenapa Ibu ada di sini?” tanya Bapak.Ibu diam sejenak. Dia mengamati wajah teduh suaminya. Lantas, tangan kanannya mengusap wajah itu perlahan-lahan. Wajah yang begitu dia rindukan, terutama saat bapak pergi untuk selama-lamanya. Hingga, mendaratlah pelukkan yang begitu erat.“Ibu rindu Bapak,”
Setelah dari taman, aku melangkah lesu ke ruangan Mas Candra dan Ibunya. Saat masuk, ternyata mereka berdua belum sadarkan diri. Jujur, aku sedih. Ternyata effek dari kekuatan Ratu Kegelapan semalam itu membuat mereka benar-benar kritis.“Ada berbagai jaringan yang rusak,” ucap tabib. “Candra dan Ibunya harus dirawat intensif di sini.”Aku menggigit bibir. Sungguh, informasi ini benar-benar membuatku syok.“Tapi, mereka akan sembuh kan, Tetua?” tanyaku.“Setelah diteliti lebih dalam, ada kemungkinan besar jika mereka akan kembali. Terlebih, mereka itu punya kekuatan di dalam tubuhnya. Kekuatan itu membantu memulihkan kembali jaringan yang ada. Namun, tentu ini butuh waktu.”Aku mengembuskan napas lega. Itu adalah informasi yang menurutku cukup melegakan. Setidaknya, aku bisa pulang ke Bumi dalam keadaan tenang.“Saya keluar dulu ya. Saya harus melihat beberapa orang lainnya,” ucap t
Aku melihat seekor Singa melenggang masuk ke dalam kerajaan. Jelas aku langsung melotot. Aku mengingat saat kejadian di Selatan Negeri bayangan. Singa itu mengamuk. Dan sekarang, dia hadir di sini. Tentu, dia bukan singa biasa. Dia bisa mengerti ucapan-ucapan kami.Aku yang sedang ada di luar kerajaan, buru-buru menghampirinya. “Selamat datang. Akhirnya kamu bisa mewujudkan mimpimu untuk hadir di sini.”Singa itu terlihat berkaca-kaca. Sementara, aku mengelus wajahnya dengan pelan. “terima kasih ya, kamu sudah membiarkan kami lewat pada saat itu. Sekarang, kita semua sudah menang. Semua misi yang ingin kami lakukan sudah terlaksana hari ini. Benar-benar terlaksana.”Singa itu mengaum. Sepertinya itu tanda bahwa dia bahagia.Setelah aku mengobrol beberapa saat, ada salah satu penjaga kerajaan yang datang. Ternyata, dia yang akan mengantarkan Singa itu ke makam kedua orangtuanya yang telah gugur lama di wilayah kerajaan ini.S
Melica berlari dari satu ruangan ke ruangan lain. Setiap masuk ke dalam ruangan, Melica tidak mendapati sosok yang dia cari. Dia lebih banyak mendapati orang-orang yang tak sadarkan diri dengan kepala bocor, leher tersayat, dan berbagai luka lainnya.Tentu, sepanjang mencari orang yang dia harapkan itu, Melica menangis. Baru dia sadar. Bahwa sekecewa-kecewanya dia kepada Candra, dirinya tetap mengkhawatirkan sang suami. Bagi Melica, Candra tetap menjadi orang nomor satu yang selalu membuatnya cemas.“Kau cari siapa?” tanya salah satu tabib berpakaian putih. Lelaki berjanggut itu seperti berusaha menenangkan Melica dengan tatapan teduhnya.“Saya mencari suami saya dan ibunya,” jawab Melica.“Oh, dia lelaki tinggi yang mengenakan pakaian serba hitam?” tanya tabib itu.Jelas, orang yang menggunakan pakaian hitam hanya Candra dan ibunya. Jika pun para pengikut Ratu Kegelapan menggunakan pakaian-pakaian hitam barusan,