Aku turun dari lantai dua kamar untuk menemui Bibi yang sedang menyiapkan sarapan. Aku melihatnya seperti Bu Panti di Pekanbaru. Dia lembut, baik, juga sangat keibuan. Keberadaannya di sini kadang-kadang jadi pengobat rindu buat orangtuaku.
“Eh, Ibu teh enggak ada kegiatan?” tanyanya.
Aku menarik kursi, lantas duduk di hadapannya yang masih menata makanan. “Meliburkan diri, Bi.”
“Lah? Memangnya bisa meliburkan diri?” Dia terlihat heran.
Aku mencawil roti, mengulasinya dengan selai stroberi. “Aku itu relawan, Bi. Aku ikutan komunitas sosial untuk mengisi waktu luang. Ya, jadi nggak ada kewajiban untuk selalu hadir di sekretariat setiap hari. Dan hari ini, aku mau santai di rumah.”
Bibi mengangguk-angguk. Dia yang sekarang sedang mengupas buah-buahan untukku, terlihat serius.
Sebenarnya, aku tidak pernah absen datang ke sekretariat tempat komunitasku berada. Aku bahkan selalu mengikuti kegiatan a
Aku bersyukur bisa menikah dengan Mas Candra. Sangat bersyukur. Selama sembilan bulan ada di tali pernikahan ini, Mas Candra tidak pernah membentakku sedikit pun. Jika aku sedang marah, dia tahu cara mengatasinya. Hal itu pula yang membuatku begitu percaya kepadanya seratus persen.Namun akhir-akhir ini, aku mulai merasakan sesuatu yang tak masuk akal. Kepercayaan itu perlahan-lahan runtuh. Terutama saat mendapati Mas Candra membohongiku soal tanaman.Aku dan Mas Candra ada di kamar. Dia sedang mengubek-ubek laci. Mengambil dokumen yang katanya ketinggalan. Berbarengan dengan kegiatan itu, aku mendekatinya, kemudian memeluknya dari belakang.“Mel, aku lagi ribet nih. Bukannya bantuin cari dokumennya. Kok malah meluk?”“Entah kenapa, aku merasa sangat rindu sama kamu, Mas.” Aku berucap dengan pelan.“Rindu? Tiap hari kita sama-sama lho.” Dia menanggapi cepat.“Bukan soal itu, Mas. Aku merindukan keper
Sampai malam, rasa curiga itu tidak pernah ada habisnya. Bahkan aku selalu melihat gerak-gerik Mas Candra saat memainkan ponsel. Apa dia sedang chatting dengan seorang perempuan? Pertanyaan buruk semacam itu seolah-olah menguasai pikiranku. Hingga aku punya ide untuk mengecek ponsel Mas Candra secara diam-diam. Ya, itu ide konyol.Sebenarnya, dari dulu aku tidak pernah berminat mengotak-atik HP miliknya. Pun sebaliknya. Dia sangat menghargaiku. Dia tidak pernah curiga dan mengecek HP-ku. Kadang-kadang, aku bisa menggeletakkan ponsel di mana saja, tetapi dia tidak pernah dengan lancang membukanya. Ya, meskipun dia membukanya, aku tidak akan marah. Toh tidak ada apa-apa kan?“Mas, nggak bisa ya, megang Hp-nya besok aja?” Aku mulai bersikap sok manja. “Kamu sudah di rumah. Aku pengin mesra-mesraan sama kamu.”Mas Candra menengok dengan alis terangkat. “Bukannya setiap malam aku biasa duduk di sisi kamu sambil cek HP? Biasanya kamu fine
Setelah sekian lama menjadi istri durhaka, yang jarang sekali menyiapkan pakaian suami, maka detik ini, aku bangun paling pagi. Aku menyiapkan kemeja, celana, serta mengelap sepatu. Ah, senang sekali rasanya. Aku bisa merasakan jadi istri normal pada umumnya.“Pagi ....” Mas Candra berucap dengan suara khas baru bangun tidur.“Hai ....” Aku yang sedang menyetrika di sudut kamar menengoknya sebentar. “Tidurnya nyenyak?”Mas Candra mengangguk. “Tumben bangunnya pagi?”“Aku malu sama kamu. Bukannya aku yang nyiapin bajumu setiap hari, selama ini aku malah lebih sering bangun terakhir.”“Padahal nggak apa-apa, Yang.” Dia menyingkap selimut. “Aku mencari ratu di kehidupanku, bukan tukang nyetrika baju.”“Tapi ratu yang baik adalah ratu yang bisa menyetrika.”Ucapanku itu dibalas tawa Mas Candra.“Eh, Yang, aku kepikiran keluarga Mas
Aku menghela napas panjang saat Aga sudah berada di pangkuan Mas Candra. Pelan, suamiku mengayun-ayun anak Gala. Jelas aku bahagia. Tidak ada tingkah aneh seperti yang terjadi di rumah sakit. Justru, aku melihat tatapan mata yang tersorot tajam. Seperti ada rasa bangga yang suamiku rasakan.“Sudah cocok jadi ayah itu,” ucap Gala. “Iya nggak Mel?”Aku mengangguk, tidak berbica panjang lebar.“Maka dari itu, aku harus banyak-banyak latihan, Mas.” Mas Candra menanggapi ucapan Gala. “Ya, saya harus belajar gendong dulu supaya nanti nggak syok kalau punya anak.”“Emang harus gitu Can.” Nara tersenyum lebar. “Biar kamu makin fokus ngurus anak bareng Melica nanti. Jangan kayak Mas Gala. Istrinya malem-malem bangun karena Aga nangis. Dia malah tidur.”Ucapan lucu Nara ditanggapi dengan tatapan tajam Gala. Jelas tanggapan itu membuat aku dan Mas Candra ikut tertawa.“Kalau
Setelah mengerahkan orang-orang suruhan Mas Candra, aku dan Mas Candra memilih datang ke rumah Gala. Aku mendapati Ibunya Nara sedang duduk termenung dengan air mata bercucuran. Buru-buru aku memeluknya.“Tante nggak apa-apa?” Aku bertanya pelan.Dia menggeleng. “Tapi Nara dan Aga. Mereka .....”Sebelum melanjutkan ucapan itu, aku memilih memeluk Ibunya Nara lagi. Aku tidak mau dia kembali bersedih. Aku tidak mau jika dia harus menceritakan lagi soal hilangnya Nara. Sebagai seorang ibu sekaligus nenek buat Aga, jelas ini suatu hal yang menyakitkan.“Mas, apakah sudah ada informasi?” Mas Candra yang sudah berhadapan dengan Gala, bertanya cepat. “Apa saya perlu melapor polisi?”“Belum ada informasi!” tegasnya. “Masalah polisi, kita lapor kalau memang Nara tidak bisa ditemukan sampai besok. Malam ini, kita fokus menyisir Bandung. Orang-orang suruhanmu suda
Saat keluar dari kamar, aku sama sekali tidak melihat Mas Candra. Sepertinya dia berpacu dengan waktu, terbukti kalau langkahnya cepat dan jejaknya tidak kulihat. Apa dia ke dapur?Aku memilih melangkah ke lantai bawah, masih dengan gerakkan yang pelan. Sebagai seorang detektif baru, jelas aku harus lebih berhati-hati.Sekarang, aku berada di depan pintu dapur. Pintu itu tertutup, tetapi aku mendengar suara-suara tertentu dari dalam sana. Tidak salah lagi, Mas Candra ada di sana. Mungkin dia kelaparan tengah malam? Ah, tebakkanku itu membuat diriku sendiri ragu.Aku menunggu selama beberapa menit, tetapi dia tidak kunjung keluar dari dapur. Apa dia masih ada di sana? Pasalnya, tidak ada lagi suara-suara yang tadi kudengar.“Aku harus masuk,” desahku pelan.Aku bicara dengan diriku sendiri saking tegangnya.Saat menggerakkan knop pintu, jantungku berdetak kencang. Tidak ada reaksi apa-apa dari dalam. Hingga aku benar-benar memutus
Sudah sepuluh menit aku menutup badan dengan selimut. Bukan hanya itu, napasku memburu tak beraturan. Bayangkan, tiba-tiba aku harus mengetahui fakta bahwa di rumah ini ada pintu rahasia. Lebih tepatnya, pintu yang dibuat semirip mungkin dengan tembok, serta bisa digeser.Lebih jauh dari itu, aku melihat sosok berjubah hitam yang ada di dalam mimpi. Jika di dalam mimpi aku tidak bisa sepenuhnya melihat wajah lelaki itu, maka di dunia nyata, aku hampir menyaksikannya. Di dalam mimpi, semuanya terlihat samar-samar, sementara di dunia nyata? Lebih jelas meskipun aku belum sempat mengetahuinya.Sekarang, aku mendengar pintu kamar yang berkerit, rupanya, Mas Candra sudah kembali. Tenang Mel. Kamu harus berpikir seolah-olah tidak ada apa-apa. Kamu harus cerdas supaya bisa memecahkan misteri ini.Perlahan, aku menyingkap selimut dan menggisik mata. “M-mas, kamu dari mana?”Aku pura-pura seperti seseorang yang baru bangun tidur.“Lho, Mel
Sore hari, Mas Candra sudah kembali pulang dengan wajah kusut. Aku yang sedang memasak bareng Bibi di dapur mendadak mengerutkan dahi. Sepertinya ada hal yang kurang baik. Apa ada hubungannya sama Nara?Mas Candra masuk ke dapur tanpa berbicara. Dia memilih menuangkan air ke gelas, lantas meneguknya.“Ada perkembangan, Mas?” tanyaku sambil melepas celemek.“Kita semua sudah mengerahkan pasukan untuk mencari ke setiap sudut di kota Bandung. Tapi belum ada informasi. Ada kemungkinan kalau Nara dan Naga dibawa ke luar kota.”“Luar kota?” Aku melotot.“Iya ....”Huh! Kukira, hari ini akan ada informasi membahagiakan, tetapi malah sebaliknya. Nara justru semakin jauh dari Bandung.“Lalu, apa tindakan selanjutnya, Mas?” tanyaku lagi dengan nada penasaran.“Sekarang semuanya diserahkan ke polisi. Mungkin akan dicari sampai beberapa hari ke depan.”Aku menga