“Aw!” Aku menjerit saat badan terjatuh di lantai.
“Kita sudah ada di rumah?” Melica angkat bicara setelah beberapa saat.
Ucapan itu membuatku diam sejenak. Mengamati sekeliling tempat yang sekarang aku duduki. Dan … ah, ranjang itu? Kami sudah benar-benar ada di rumah ini.
“Mas, kita sudah pulang!” teriakku. “Aku sudah rindu ruangan ini ….”
Dua minggu lebih kami ada di dunia bayangan. Dan saat bisa merasakan kembali dinginnya AC rumah, tentu saja hal tersebut membuatku bahagia. Tidak akan ada lagi hal-hal yang berhubungan dengan keringat yang mengucur sepanjang hari. Tidak ada pula gangguan makhluk-makhluk aneh seperti di negeri bayangan.
Prak!
Itu suara pintu terbuka. Otomatis, aku merbalik ke arah pintu. Kamu tahu? Ada Ibu di sana. Ibu menatap kami satu persatu. Mungkin tidak percaya. Hingga kemudian, ibu benar-benar masuk, lantas memelukku.
“Kamu sudah pulang, Nak?
SATU TAHUN KEMUDIAN .... Ada satu hal yang juga tak kalah menyakitkan setelah Bapak meninggal di negeri bayangan, yaitu saat mengetahui jika aku tidak berjodoh dengan Cakra. Ya, Bapak bilang, jodohku ada di negeri bayangan. Jodohku menunggu di sana. Kenyataannya, takdir berkata lain bukan? Aku tidak mungkin menghancurkan amanat yang diberikan masyarakat sana kepada Cakra, sang raja masa depan. Huh. Aku lelah. Sangat lelah. Senyum itu mungkin selalu terlihat lebar di permukaan, tetapi dadaku selalu sesak. Aku seperti seekor naga yang terlihat menawan di luar, tetapi di dalamnya menyimpan bara api yang begitu membahayakan. Aku capek berpura-pura bahagia. Faktanya, aku membutuhkan seseorang. “Melica, kamu yakin mau pindah ke Bandung?” tanya Ibu panti seminggu lalu, saat aku mengobrolkan niatku kepadanya. “Iya, Bu,” ucapku pelan. “Aku pergi karena aku juga merasa jika semua program yang kita bangun sudah bisa berjalan tanpa ada aku. Perke
Aku disambut ramah oleh satpam rumah Gala. Dia berseri-seri, berbeda seperti saat aku datang pertama kali beberapa bulan lalu. Apa mungkin sekarang tidak ada tekanan? Mungkin sikap Gala sudah lebih lembut dan membuat para pekerjanya tenang. Syukurlah. “Melica?” Nara berteriak. Aku berjalan cepat ke arahnya. “Hei, ini masih pagi. Kamu ngapain sudah ada di halaman rumah?” Sebenarnya, aku tahu dia sedang menyiram bunga, tetapi aku ingin mendengarkan jawabannya secara langsung. “Nggak tahu, sejak sebulan lalu, aku jadi semangat banget buat berkebun. Mungkin karena .....” “Nara! Sudah saya bilang, kamu masuk! Kamu nggak boleh panas-panasan gini. Kasihan nanti anak kita. Lagipula, kehamilanmu baru terhitung enam minggu, masih sangat rentan jika kegiatanmu terlalu berat!” “Mas Gala!” Nara berkata tegas. “Kebiasaan deh, kamu! Lebayyyy! Aku Cuma nyiram taneman doang ini. Nggak ada berat-beratnya. Kalau aku jadi kuli bangunan, baru kamu boleh la
Aku tidak menginap di rumah Gala. Sejam lalu, aku pulang. Alasannya sih, mau membereskan rumah, maklum, baru pindahan. Padahal alasan yang sebenarnya bukan itu. Aku pulang untuk menghargai hatiku sendiri. Makin sering aku melihat kemesraan Nara dan Gala, makin sering pula aku menuntut diri untuk segera menemukan pasangan hidup. Padahal mencari pasangan tidak semudah itu, bukan?Aku menjatuhkan badan di kasur. Berniat untuk tidur lebih awal. Namun saat hampir terlelap, ponselku berdering. Ada notifikasi masuk. Jelas aku menggeram. Siapa yang ganggu malam-malam. Apakah orang-orang dari aplikasi pencari jodoh? Malas sekali jika harus mendapatkan chat tidak senonoh.Saat kulihat, ternyata ada pesan masuk ke salah satu aplikasi chat. Kamu tahu isi chat-nya?Selamat malam, Melica. Perkenalkan, saya Hadi. Karyawan Pak Gala di kantor. Saya dapat nomor Melica dari pak Gala. Salam kenal ya ....Chat pertama itu kontan membuat aku melotot. Aku yang awalnya
Lemas. Benar-benar lemas. Sepanjang jalan setelah selesai makan bersama Hadi, aku terus berpikir. Antara menerimanya atau tidak. Jika aku menerimanya, mungkin aku akan memiliki pasangan yang bisa menemaniku. Lagipula, Hadi lelaki yang dewasa, ganteng, juga mapan. Bukankah itu yang selama ini aku inginkan?Namun, kriteria itu pada akhirnya tergerus saat prinsip Hadi dan prinsipku bersebrangan. Ya, saat sampai di depan rumah kontrakkan, hati ini benar-benar tidak bisa bohong. Aku akan menolaknya. Tentu saja dengan segala pertimbangan.Aku mengambil ponsel di dalam tas, lantas aku mencari nomor Gala. Aku meneleponnya.“Wih, baru ketemu Hadi ya?” Gala berkata lebih ceria.“Iya,” jawabku pelan.“Gimana-gimana? Cocok dong, pasti? Orangnya nggak ngecewain. Kalau dibawa ke mana-mana, dijamin nggak bikin malu. Sesuai dengan selera kamu kan?”“Jelas,” jawabku singkat. “Semua kriteria yang berhubung
Aku membaringkan lelaki itu di sofa ruang depan. Selain itu, aku juga membu jas, serta sepatunya. Jujur, pada awalnya aku akan membiarkannya begitu saja. Tapi setelah dipikir-pikir, dia seperti kegerahan. Aku tidak mungkin pura-pura tidak melihat, meskipun ada rasa canggung saat membuka pakaian luarnya. Bayangkan saja, aku tidak kenal siapa lelaki itu.Setelah itu, aku mengambil kompresan dan air dingin. Aku membersihkan luka memar di ujung bibir terlebih dahulu sebelum diberi obat. Namun saat aku duduk di sisinya, dan bermaksud untuk mengusap bibir itu, aku terdiam. Bibir itu ..... ah, bibir itu mengingatkanku kepada Cakra. Aku seperti melihat sosok Cakra di orang yang berbeda.Apa aku sedang halusinasi? Tapi memang begitu kenyataannya. Melihat bibir lelaki ini malah mengingatkanku kepada Cakra.“Uh ....” Lelaki itu melenguh.“Sakit ya?” Aku mengusap ujung bibirnya dengan kain basah tadi. “Tahan ya. Aku harus bersihin dulu d
Aku kembali ke hadapan Candra dengan sedikit memanipulasi mimik wajah. Ya, aku berusaha tenang, layaknya tidak ada apa-apa. “Kamu marah ya?” tanya Candra. Sekarang, lelaki itu sudah duduk di sofa. “Enggak ...” Aku berucap. Bukan marah, lebih tepatnya syok. Aku seperti orang yang dikirimi bom dalam waktu beberapa detik. “Kamu nggak harus jawab sekarang, kok,” ucapnya. “Kita masih bisa saling mengenal kedepannya.” Aku mendongak. “Jadi perkataanmu tadi beneran?” Tawa Candra menggema. “Kamu pikir saya becanda?” Aku membereskan rambut yang berantakkan. Ah, dia benar-benar membuatku gelisah. “Mel, barusan aku sudah menelepon supir untuk menjemputku,” kata Candra. “makasih banyak ya atas bantuannya. Jujur, aku sama sekali nggak nyangka kalau masih ada orang baik seperti kamu. Aku bahagia bisa bertemu denganmu. Meskipun diawali dengan hal yang kurang menyenangkan dan juga .... merepotkanmu.” “never mind,” ucapku pelan.
Baru kali ini aku merasa begitu pusing. Ya, aku pusing memilih pakaian yang mau dikenakan. Saat bertemu Hadi waktu itu, aku tidak seperfeksionis ini. Namun saat akan bertemu Candra sekitar sejam lagi, aku mendadak harus sempurna. Entahlah, aku merasa jika aku tidak boleh main-main bertemu dengannya. Aku harus berpenampilan sebaik mungkin.Pada akhirnya, pilihanku jatuh terhadap blus berwarna biru dengan bawahan celana hitam. Tidak begitu buruk. Pakaian ini terlihat sederhana sekaligus elegan. Tidak terlalu heboh untuk sekadar makan malam di salah satu resto.Oh, satu lagi. Aku tidak boleh terlambat. Aku akan pergi sekarang juga.Butuh waktu sekitar setengah jam untuk bisa datang ke salah resto yang cukup terkenal di Bandung. Namun, aku terheran-heran saat melihat jika resto itu begitu sepi. Apa Candra tidak salah memberikan alamat?“Mbak .....”Aku mendongak ke sebelah kiri. Ada seorang lelaki, pegawai res
Jika saat ke resto aku bisa berangkat sendiri, maka setelah selesai, Candra menolak jika aku harus pulang sendiri. Dia ngotot untuk mengantarku pulang. Katanya, dia ingin memastikan jika aku selamat sampai rumah. Dia tidak mau terjadi apa-apa kepadaku. Apalagi setelah makan malam bersamanya.Jujur, aku tipe orang yang tidak bisa dibantah. Kalau mau pulang sendiri, ya harus sendiri. Tapi oleh Candra, aku tidak bisa. Seolah semua kemandirian itu melempem saat aku dapat perhatian. Sisi lain dari aku yang ingin diperhatikan dan manja seolah-olah keluar begitu saja.“Good night,” ucapnya beberapa menit lalu, sebelum aku masuk rumah.“Good night.” Aku tersenyum. “Makasih buat semuanya.”“Kalau aku jadi suamimu, aku bakal ngelakuin hal yang lebih dari sekadar makan di resto kayak tadi.” Dia menyipitkan sebelah matanya, lantas berlalu.Sampai di kamar seperti saat ini, aku masih terbayang ucapannya tadi. Dia