Hatiku tersayat saat melihat Mas Gala meraung-raung di depan dua makam orang yang paling dia kasihi. Dia memang tidak bertemu kedua orangtuanya setelah belasan tahun, tetapi aku yakin, ikatan batin pasti ada, bahkan kuat. Mas Gala selalu melukis wajah kedua orangtuanya saat di panti. Menurutku, aktivitas tersebut adalah proses pendekatan dirinya dan kedua orangtuanya.
“Ayo, Mas, waktunya tidak banyak,” ucapku. Aku mungkin seperti orang paling menyebalkan di dunia ini. Disaat orang lain sedang berduka, aku malah menarik tangannya. “Upacara itu akan dilakukan. Setelah prosesi itu, kamu bebas untuk datang ke sini lagi.”
Mas Gala mengusap nisan yang diberi nama Panji Anggareksa. Setelah mengusap nisan ayahnya, dia berpindah ke makam di sisi lain. Nama di makam itu tertulis Amani Raharta. Itukah nama orangtua Mas Gala?
“Saya pergi ya,” desah Mas Gala. “Pasti saya ke sini lagi ….”
Sebelum benar-benar pergi,
Setelah berbicara seperti itu, Mas Gala melangkah ke arah Cakra. Aku tidak pernah melihat tatapan peduli dari mata Mas Gala sebelumnya. Bukankah kadang-kadang Mas Gala terlihat iri dengan segala kekuatan yang Cakra miliki? Nah sekarang, aku tidak melihat kilatan itu. Aku justru melihat ketulusan dari sorot mata Mas Gala.Mas Gala mengusap bahu Cakra. Kedua lelaki ini memang luar biasa. Saat mereka saling berhadapan, aku menyadari sesuatu bahwa ada kemiripan di antara keduanya. Aura. Aura itu memancar begitu kuat. Kalau aku belum mencintai Mas Gala, mungkin aku akan susah memilih.“Cakra,” ucap Mas Gala. “Saya bukan apa-apa di sini. Kamulah orang yang paling tepat menjadi raja. Kamu adalah ksatria hebat yang bisa memimpin negeri ini menjadi lebih baik.”Cakra tidak menjawab. Dia hanya melihat Mas Gala dengan tatapan tidak percaya.“Saya bisa saja menerima tawaran untuk menjadi seorang raja, tapi apa mau kamu melihat Negara ini
“Aw!” Aku menjerit saat badan terjatuh di lantai.“Kita sudah ada di rumah?” Melica angkat bicara setelah beberapa saat.Ucapan itu membuatku diam sejenak. Mengamati sekeliling tempat yang sekarang aku duduki. Dan … ah, ranjang itu? Kami sudah benar-benar ada di rumah ini.“Mas, kita sudah pulang!” teriakku. “Aku sudah rindu ruangan ini ….”Dua minggu lebih kami ada di dunia bayangan. Dan saat bisa merasakan kembali dinginnya AC rumah, tentu saja hal tersebut membuatku bahagia. Tidak akan ada lagi hal-hal yang berhubungan dengan keringat yang mengucur sepanjang hari. Tidak ada pula gangguan makhluk-makhluk aneh seperti di negeri bayangan.Prak!Itu suara pintu terbuka. Otomatis, aku merbalik ke arah pintu. Kamu tahu? Ada Ibu di sana. Ibu menatap kami satu persatu. Mungkin tidak percaya. Hingga kemudian, ibu benar-benar masuk, lantas memelukku.“Kamu sudah pulang, Nak?
SATU TAHUN KEMUDIAN .... Ada satu hal yang juga tak kalah menyakitkan setelah Bapak meninggal di negeri bayangan, yaitu saat mengetahui jika aku tidak berjodoh dengan Cakra. Ya, Bapak bilang, jodohku ada di negeri bayangan. Jodohku menunggu di sana. Kenyataannya, takdir berkata lain bukan? Aku tidak mungkin menghancurkan amanat yang diberikan masyarakat sana kepada Cakra, sang raja masa depan. Huh. Aku lelah. Sangat lelah. Senyum itu mungkin selalu terlihat lebar di permukaan, tetapi dadaku selalu sesak. Aku seperti seekor naga yang terlihat menawan di luar, tetapi di dalamnya menyimpan bara api yang begitu membahayakan. Aku capek berpura-pura bahagia. Faktanya, aku membutuhkan seseorang. “Melica, kamu yakin mau pindah ke Bandung?” tanya Ibu panti seminggu lalu, saat aku mengobrolkan niatku kepadanya. “Iya, Bu,” ucapku pelan. “Aku pergi karena aku juga merasa jika semua program yang kita bangun sudah bisa berjalan tanpa ada aku. Perke
Aku disambut ramah oleh satpam rumah Gala. Dia berseri-seri, berbeda seperti saat aku datang pertama kali beberapa bulan lalu. Apa mungkin sekarang tidak ada tekanan? Mungkin sikap Gala sudah lebih lembut dan membuat para pekerjanya tenang. Syukurlah. “Melica?” Nara berteriak. Aku berjalan cepat ke arahnya. “Hei, ini masih pagi. Kamu ngapain sudah ada di halaman rumah?” Sebenarnya, aku tahu dia sedang menyiram bunga, tetapi aku ingin mendengarkan jawabannya secara langsung. “Nggak tahu, sejak sebulan lalu, aku jadi semangat banget buat berkebun. Mungkin karena .....” “Nara! Sudah saya bilang, kamu masuk! Kamu nggak boleh panas-panasan gini. Kasihan nanti anak kita. Lagipula, kehamilanmu baru terhitung enam minggu, masih sangat rentan jika kegiatanmu terlalu berat!” “Mas Gala!” Nara berkata tegas. “Kebiasaan deh, kamu! Lebayyyy! Aku Cuma nyiram taneman doang ini. Nggak ada berat-beratnya. Kalau aku jadi kuli bangunan, baru kamu boleh la
Aku tidak menginap di rumah Gala. Sejam lalu, aku pulang. Alasannya sih, mau membereskan rumah, maklum, baru pindahan. Padahal alasan yang sebenarnya bukan itu. Aku pulang untuk menghargai hatiku sendiri. Makin sering aku melihat kemesraan Nara dan Gala, makin sering pula aku menuntut diri untuk segera menemukan pasangan hidup. Padahal mencari pasangan tidak semudah itu, bukan?Aku menjatuhkan badan di kasur. Berniat untuk tidur lebih awal. Namun saat hampir terlelap, ponselku berdering. Ada notifikasi masuk. Jelas aku menggeram. Siapa yang ganggu malam-malam. Apakah orang-orang dari aplikasi pencari jodoh? Malas sekali jika harus mendapatkan chat tidak senonoh.Saat kulihat, ternyata ada pesan masuk ke salah satu aplikasi chat. Kamu tahu isi chat-nya?Selamat malam, Melica. Perkenalkan, saya Hadi. Karyawan Pak Gala di kantor. Saya dapat nomor Melica dari pak Gala. Salam kenal ya ....Chat pertama itu kontan membuat aku melotot. Aku yang awalnya
Lemas. Benar-benar lemas. Sepanjang jalan setelah selesai makan bersama Hadi, aku terus berpikir. Antara menerimanya atau tidak. Jika aku menerimanya, mungkin aku akan memiliki pasangan yang bisa menemaniku. Lagipula, Hadi lelaki yang dewasa, ganteng, juga mapan. Bukankah itu yang selama ini aku inginkan?Namun, kriteria itu pada akhirnya tergerus saat prinsip Hadi dan prinsipku bersebrangan. Ya, saat sampai di depan rumah kontrakkan, hati ini benar-benar tidak bisa bohong. Aku akan menolaknya. Tentu saja dengan segala pertimbangan.Aku mengambil ponsel di dalam tas, lantas aku mencari nomor Gala. Aku meneleponnya.“Wih, baru ketemu Hadi ya?” Gala berkata lebih ceria.“Iya,” jawabku pelan.“Gimana-gimana? Cocok dong, pasti? Orangnya nggak ngecewain. Kalau dibawa ke mana-mana, dijamin nggak bikin malu. Sesuai dengan selera kamu kan?”“Jelas,” jawabku singkat. “Semua kriteria yang berhubung
Aku membaringkan lelaki itu di sofa ruang depan. Selain itu, aku juga membu jas, serta sepatunya. Jujur, pada awalnya aku akan membiarkannya begitu saja. Tapi setelah dipikir-pikir, dia seperti kegerahan. Aku tidak mungkin pura-pura tidak melihat, meskipun ada rasa canggung saat membuka pakaian luarnya. Bayangkan saja, aku tidak kenal siapa lelaki itu.Setelah itu, aku mengambil kompresan dan air dingin. Aku membersihkan luka memar di ujung bibir terlebih dahulu sebelum diberi obat. Namun saat aku duduk di sisinya, dan bermaksud untuk mengusap bibir itu, aku terdiam. Bibir itu ..... ah, bibir itu mengingatkanku kepada Cakra. Aku seperti melihat sosok Cakra di orang yang berbeda.Apa aku sedang halusinasi? Tapi memang begitu kenyataannya. Melihat bibir lelaki ini malah mengingatkanku kepada Cakra.“Uh ....” Lelaki itu melenguh.“Sakit ya?” Aku mengusap ujung bibirnya dengan kain basah tadi. “Tahan ya. Aku harus bersihin dulu d
Aku kembali ke hadapan Candra dengan sedikit memanipulasi mimik wajah. Ya, aku berusaha tenang, layaknya tidak ada apa-apa. “Kamu marah ya?” tanya Candra. Sekarang, lelaki itu sudah duduk di sofa. “Enggak ...” Aku berucap. Bukan marah, lebih tepatnya syok. Aku seperti orang yang dikirimi bom dalam waktu beberapa detik. “Kamu nggak harus jawab sekarang, kok,” ucapnya. “Kita masih bisa saling mengenal kedepannya.” Aku mendongak. “Jadi perkataanmu tadi beneran?” Tawa Candra menggema. “Kamu pikir saya becanda?” Aku membereskan rambut yang berantakkan. Ah, dia benar-benar membuatku gelisah. “Mel, barusan aku sudah menelepon supir untuk menjemputku,” kata Candra. “makasih banyak ya atas bantuannya. Jujur, aku sama sekali nggak nyangka kalau masih ada orang baik seperti kamu. Aku bahagia bisa bertemu denganmu. Meskipun diawali dengan hal yang kurang menyenangkan dan juga .... merepotkanmu.” “never mind,” ucapku pelan.