Entah kenapa, energiku seperti bertambah menjadi dua kali lipat. Energi itu membuat badanku terasa ringan. Aku juga merasa begitu lincah dari biasanya. Ah, tidak sia-sia aku menjadi seorang perempuan dengan lari tercepat semasa SD. Ternyata, itu semua bisa memberikan manfaat.
Aku mengejar makhluk yang tadi menarik tubuh Melica. Awalnya, aku merasa ragu bisa menyusulnya. Namun ternyata, semua tidak ada yang mustahil. Aku bisa mengejarnya dari belakang. Terbukti, aku melihat tubuh mereka berdua yang semakin sini semakin terlihat jelas.
“Hei, tunggu!” teriakku.
Aku terus berusaha untuk bisa menyusul dan mencegah makhluk itu. Sampai kemudian, aku sedikit terkejut. Mereka berdua menghilang di depan sana. Mereka seperti menembus bumi. Dan kamu tahu? Aku tidak menyangka karena aku juga menembus ke sebuah ruang berbeda. Tubuhku muncul di pemukiman warga.
Sejenak, aku berhenti. Aku masih pusing dengan ini semua. Baru saja aku berada di tengah hutan. Se
Setelah melakukan perjalanan selama tiga jam lebih, aku baru sadar jika kami sudah menginjak dataran rendah. Tempat yang tak terlalu banyak pohon. Digantikan menjadi hamparan padang rumput yang luas. Mungkin setelah melewati tempat ini, aku bisa melihat kerajaan. Seluas apa kerajaan itu?“Cakra, apakah lokasinya sudah dekat?” tanyaku tidak sabar.Cakrak yang berjalan duluan, menengok ke belakang. “Mungkin sekitar empat jam lagi.”“Empat jam?” Aku melotot.Mendapati tanggapanku, Cakra terkekeh pelan. Entahlah, dia senang sekali menertawakan kecemasanku. Kukira, kami akan segera sampai di tempat yang menyimpan batu merah. Ternyata empat jam lagi.“Apa kamu capek?” tanya Cakra. “Mau istirahat dulu?”Pertanyaan Cakra belum berhasil kujawab, sebab Mas Gala langsung menanggapi. “Lagian, kamu kan pakai sepatu super. Seharusnya, kamu nggak capek. Kita saja yang pakai sepatu biasa bisa
Kami semua berbaring di atas tanah dengan mata melihat ke langit sore ini. Setelah Mas Gala sadar, kami merasa tenaga ini terkuras. Bagaimana tidak? Setelah keluar dari Dunia Pelarian, maka perjalanan terpanjang adalah hari ini. Mana ada drama tenggelam. Dan detik ini, kami masih ada di pinggir danau.Aku bangun setelah sekian lama menenangkan diri, lantas membuka ransel yang sudah kering. Aku ingin melihat peta yang diberikan Tetua. Apakah masih jauh?“Nggak akan ada tempat yang menunjukkan keberadaan batu merah, Nara,” ucap Cakra sambil bangun.Ucapan itu membuat Melica dan Mas Gala ikut bergerak.“Yang saya dengar, batu merah akan muncul di sekitaran tempat terakhir batu biru berada,” ucapnya.“Di istana?” tanyaku dengan mata melotot. “Yakin?”“Ya tidak di istana juga.” Cakra menjawab pelan. “Bisa di luar istana. Misal berjarak puluhan meter. Bisa pula memang benar-benar di
“Apa kabar, Gala?” tanya Raja Fatah.Aku melirik Mas Gala. Kulihat ada gejolak di matanya. Aku tahu, ada berbagai perasaan di hati Mas Gala. Terutama saat dia bertemu dengan seseorang yang telah membuangnya ke bumi.“Kau sudah tahu saya?” tanya penguasa negeri bayangan itu.“Kau adalah orang yang sudah menghancurkan keluarga saya, kan?” tanya Mas Gala. Ucapannya penuh penekanan.Aku, Melica, dan Cakra masih diam di tempat. Sesekali, aku mengamati beberapa prajurit yang menatap tajam. Takut sekali jika mereka mendekat, kemudian mengambil kedua batu yang ada di tangan Mas Gala.Ucapan Mas Gala membuat Raja Fatah mendekat dengan senyum lebar. Aku melihat ada raut kemenangan di sana.“Setelah saya menunggumu, akhirnya kau datang,” ucapnya. “Saya pamanmu.”Mas Gala mundur satu langkah. Aku melihat kilatan tajam dari matanya. “Saya tidak sudi punya paman sepertimu!”
Tenggorokanku tercekat. Kamu bisa membayangkan kan, jika batu itu harus jatuh ke tangan Raja Fatah? Bukannya aman, bisa-bisa negeri ini malah semakin hancur. Raja akan bertindak semena-mena. Tidak menutup kemungkinan, kami juga akan terkurung selamanya di sini. Menjadi budak bagi raja yang keji.Badanku jatuh. Air mataku juga jatuh. Melica berusaha membangunkanku, tetapi aku tidak bisa. Hingga kemudian, aku melihat suatu lesatan yang menarik badan Mas Gala. Kontan, alam ini kembali cerah. Langit berwarna orange itu tampak. Aku yang sedang terduduk di atas tanah menggeleng. Apakah ini keajaiban?Mas Gala berdiri di hadapanku bersama .... Tetua?“Ayah?” Melica angkat suara.“Kenapa Tetua menarik saya?” Mas Gala bertanya dengan nada keras. “Orangtua saya dalam bahaya!”Tetua menggeleng. “Mereka bukan orangtuamu. Mereka orang sakti, suruhan Raja untuk mengelabui. Dari tadi, Tetua melihat aktivitas itu!
Punggungku sakit, hati juga. Perjuangan yang sudah lama kami lakukan harus berakhir seperti ini. Cakra memegang batu kembar itu, dia sedang berjalan menghampiri Raja Fatah.Di sisi kiri, Mas Gala terlihat frustrasi dan lemas. Sama sepertiku, sepertinya badannya benar-benar remuk. Pentalan itu membuat kami benar-benar tidak bisa apa-apa. Apalagi Melica? Dia masih fokus mengguncang-guncang ayahnya dengan air mata mengucur.“Kalian kalah!” tawa itu menggema.Aku yang sedang menangis, mengusap air mata.Itu adalah suara Raja Fatah. Ternyata, dia mendadak kembali sombong saat Cakra menghampirinya.“Saya mengirimkan Cakra untuk menjadi penjaga kalian, hingga bisa mengantarkan batu itu!” ucapnya. Dia kembali berdiri dengan gerakkan pelan. “Cakra, cepatlah, Nak!”Cakra yang sedang berjalan terlihat begitu percaya diri. Sementara aku melempem. Kenapa gerakkannya lambat sekali? Hal tersebut hanya membuat aku semakin
Hatiku tersayat saat melihat Mas Gala meraung-raung di depan dua makam orang yang paling dia kasihi. Dia memang tidak bertemu kedua orangtuanya setelah belasan tahun, tetapi aku yakin, ikatan batin pasti ada, bahkan kuat. Mas Gala selalu melukis wajah kedua orangtuanya saat di panti. Menurutku, aktivitas tersebut adalah proses pendekatan dirinya dan kedua orangtuanya.“Ayo, Mas, waktunya tidak banyak,” ucapku. Aku mungkin seperti orang paling menyebalkan di dunia ini. Disaat orang lain sedang berduka, aku malah menarik tangannya. “Upacara itu akan dilakukan. Setelah prosesi itu, kamu bebas untuk datang ke sini lagi.”Mas Gala mengusap nisan yang diberi nama Panji Anggareksa. Setelah mengusap nisan ayahnya, dia berpindah ke makam di sisi lain. Nama di makam itu tertulis Amani Raharta. Itukah nama orangtua Mas Gala?“Saya pergi ya,” desah Mas Gala. “Pasti saya ke sini lagi ….”Sebelum benar-benar pergi,
Setelah berbicara seperti itu, Mas Gala melangkah ke arah Cakra. Aku tidak pernah melihat tatapan peduli dari mata Mas Gala sebelumnya. Bukankah kadang-kadang Mas Gala terlihat iri dengan segala kekuatan yang Cakra miliki? Nah sekarang, aku tidak melihat kilatan itu. Aku justru melihat ketulusan dari sorot mata Mas Gala.Mas Gala mengusap bahu Cakra. Kedua lelaki ini memang luar biasa. Saat mereka saling berhadapan, aku menyadari sesuatu bahwa ada kemiripan di antara keduanya. Aura. Aura itu memancar begitu kuat. Kalau aku belum mencintai Mas Gala, mungkin aku akan susah memilih.“Cakra,” ucap Mas Gala. “Saya bukan apa-apa di sini. Kamulah orang yang paling tepat menjadi raja. Kamu adalah ksatria hebat yang bisa memimpin negeri ini menjadi lebih baik.”Cakra tidak menjawab. Dia hanya melihat Mas Gala dengan tatapan tidak percaya.“Saya bisa saja menerima tawaran untuk menjadi seorang raja, tapi apa mau kamu melihat Negara ini
“Aw!” Aku menjerit saat badan terjatuh di lantai.“Kita sudah ada di rumah?” Melica angkat bicara setelah beberapa saat.Ucapan itu membuatku diam sejenak. Mengamati sekeliling tempat yang sekarang aku duduki. Dan … ah, ranjang itu? Kami sudah benar-benar ada di rumah ini.“Mas, kita sudah pulang!” teriakku. “Aku sudah rindu ruangan ini ….”Dua minggu lebih kami ada di dunia bayangan. Dan saat bisa merasakan kembali dinginnya AC rumah, tentu saja hal tersebut membuatku bahagia. Tidak akan ada lagi hal-hal yang berhubungan dengan keringat yang mengucur sepanjang hari. Tidak ada pula gangguan makhluk-makhluk aneh seperti di negeri bayangan.Prak!Itu suara pintu terbuka. Otomatis, aku merbalik ke arah pintu. Kamu tahu? Ada Ibu di sana. Ibu menatap kami satu persatu. Mungkin tidak percaya. Hingga kemudian, ibu benar-benar masuk, lantas memelukku.“Kamu sudah pulang, Nak?