“Mel, tau nggak gambar terbaik itu kayak apa?” tanya Mas Gala saat melangkah ke areal pemukiman.
“Nggak tau,” Melica menjawab pelan.
“Gambar terbaik itu yang mirip tikus!” tegasnya sambil tergelak.
Aku yang dari tadi diam, kini mendengkus. Hei, ternyata dia masih menertawakan gambarku yang dikatai mirip tikus. Mentang-mentang gambarnya menarik perhatian penjaga. Dasar Mas Gala. Dia adalah orang paling menyebalkan yang pernah kukenal.
Tadinya, aku ingin menimpali ucapan Mas Gala. Namun pada akhirnya, aku harus diam saat di depan kami ada dua penjaga yang berdiri di rumah paling besar. Ah, rumah di sini tidak jauh berbeda dengan rumah semi permanen di kampungku. Hanya saja, warna-warna rumah di sini lebih mencolok dari biasanya.
“Selamat datang di Dunia Kertas,” ucap salah satu dari mereka. “Ada yang bisa kami bantu?”
Mas Gala langsung angkat bicara. “Saya mau ketemu Tetua di si
Sinar mentari pagi ini membuat badanku menghangat. Hal itu membuatku sedikit lebih bersemangat daripada sebelumnya yang penuh ketakutan gara-gara mendengar soal ‘hewan buas’. Apalagi, jalan yang kami lewati menurun. Semakin sini, kami memang menuju dataran rendah dan perkotaan. Bisa ditebak jika rumah ayahnya Melica berada di dataran yang cukup tinggi.Aku masih tidak menyangka, seorang Nara Candrakara bisa berpetualang di sebuah negeri yang mirip bumi. Negeri yang kukira ada di dongeng-dongeng. Sebuah tempat yang memiliki sistem berbeda dengan bumi. Meski secara penghuni, sama saja. Mereka manusia. Mereka makan seperti kami. Bedanya mungkin dari kekuatan. Seperti kata Tetua, masyarakat di sini terbiasa memiliki kesaktian, meskipun lama-lamaan, orang yang memiliki kesaktian itu bersembunyi, mengasingkan diri, atau kalau tidak, mereka menyerahkan diri ke kerajaan.“Lari aja yuk, Mas!” ucapku antusias. Aku yang mulai bosan karena langkah mer
Aku berjalan di sebuah tempat yang terasa damai. Semua serba putih. Bajuku juga putih. Sesekali, aku berlari kecil sambil merasakan kesejukkan yang menimpa wajah. Anginnya benar-benar berbeda. Aku tidak pernah merasakan udara sesejuk ini.“Hei!”Aku yang sedang berjalan menuju cahaya putih di depan sana, menengok ke belakang.“Kamu mau ke mana?” tanyanya dengan tatapan sayu. “Jangan pergi!”Aku melihat ke arah depan. Cahaya itu semakin memancar. Aku merasa bahwa di depan sana, ketenangan itu hadir. Aku ingin ke sana. Sepertinya, hal tersebut akan membuatku lebih bahagia daripada saat ini.“Kenapa kamu diam?” tanyanya.Aku tersenyum tipis. Dia selalu ada dan menemani hari-hariku. Namun, aku tidak bisa menurutinya sekarang. Aku pasrah kepada Tuhan. Sepertinya, Tuhan memang menginginkanku untuk mengikuti cahaya yang memancar itu.“Aku mau pergi!” tegasku. “Aku ingin hidup
Aku mendengar suara napas Mas Gala yang tidak beraturan. Langkahnya juga tersendat-sendat. Sementara, Melica sudah berjalan di depan sana. Mungkin 10 meter dari kami. beberapa kali, Melica menunggu, tetapi mungkin, dia juga kesal karena langkah Mas Gala yang begitu lambat.“Makannya .....” Mas Gala menarik napas panjang, “Kalau disuruh sama suami itu nurut!”Tuh kan, Mas Gala mulai ngegas. Lagian, kenapa sih Nara, kamu nekat jalan sendirian? Kalau kamu nggak nekat, mungkin Mas Gala tidak akan kewalahan seperti ini. Perjalanan juga akan dilalui tanpa hambatan. Nah sekarang? Mas Gala harus menahan dua beban sekaligus. Beban badan sendiri, plus badan dirimu.“Kamu nggak berubah ya!” tegas Mas Gala lagi. “Dari awal nikah, kamu egois banget. Kamu nggak bisa dengerin saya. Cemburulah, kaburlah. Nah sekarang, kamu sok jago karena merasa bisa lari cepet!”Mas Gala bahkan membawa-bawa masalah rumah tangga. Lucu sekal
“Saya Cakra Bahuraksa!”Lelaki itu menyodorkan tangan kepada Mas Gala. Sementara Mas Gala diam sejenak. Dia seperti sedang meneliti orang di depannya.“Kamu tidak perlu khawatir, saya bukan orang jahat,” katanya. “Kalau saya jahat, buat apa saya nolong dia yang hampir mati?”Lelaki ini benar-benar berwibawa. Dulu, aku mengira jika hanya Mas Gala lelaki dengan segala kharismanya. Namun sekarang, ada orang baru yang kharismatik. Meskipun, Mas Gala nggak akan pernah tergantikan di hatiku.“Saya Gala Bahuwirya,” ucap Mas Gala sambil menerima uluran tangan itu.Giliran aku yang mendekat ke arah lelaki bernama Cakra. Lantas, aku ikut mengulurkan tangan. “Nara Candrakara.”“Nama yang bagus,” pujinya sambil tersenyum.Mendapat pujian itu, aku sedikit tersipu, meskipun Mas Gala melotot. Sepertinya, dia cemburu.“Kami mau ke Dunia Kesedihan,” ucap Melica.
Kami diizinkan untuk masuk ke perkampungan itu. Ya, Melica berhasil membujuk Nana. Anak itu bisa kembali ceria, setidaknya tidak semurung sebelumnya. Padahal kata Ibu Kasmi, anak itu selalu menghabiskan waktu di depan danau beberapa bulan belakangan. Dia akan kembali jika menjelang malam. Pernah beberapa kali Nana diawasi, tetapi dia malah marah. Bahkan mengancam akan meloncat ke danau. Sampai kemudian, Bu Kasmi membiarkan anak itu untuk melakukan apa yang dia mau.Setelah dibujuk Melica, anak itu juga sudah mulai tersenyum saat melihat laki-laki. Ternyata dia trauma dengan pesuruh kerajaan yang menangkap orangtuanya. Dia merasa benci jika melihat laki-laki asing. berkat Melica, anak itu bisa sedikit lebih terbuka.Dan di sinilah kami sekarang. Dunia Kesedihan. Ini adalah pemukiman khusus anak-anak yang orangtuanya ditangkap oleh kerajaan. Mereka yang memiliki kekuatan dipenjara di ruang bawah tanah. Kenapa mereka tidak bisa melawan? Kebanyakan dari mereka pasrah denga
Aku melihat Nana merengkuh Melica dengan begitu erat. Pedih, Nana baru menemukan orang yang cocok untuknya, tetapi orang itu harus segera pergi. Ya, pagi ini, kami harus segera melakukan perjalanan.“Kamu kenapa tinggalin Nana?” tanya anak perempuan itu.Melica berjongkok, mengacak rambut Nana, lantas mencium keningnya. “Saya kan sudah janji mau nyelamatin orangtua kamu. Kamu doain saya ya?”Nana mengangguk. Dia merengkuh Melica.Selain Nana, satu per satu dari anak-anak lain juga memeluk dan menyalami kami. Mereka terlihat sedih karena harus berpisah dengan kami. Sama denganku. Aku yang mulai nyaman karena dikelilingi anak-anak harus menerima kenyataan, bahwa kami memang harus segera pergi.“Ini untuk kalian,” Nana menyodorkan sebuah foto tua. “Ini foto orangtua Nana. Kalau kalian bertemu dengan mereka, sampaikan salam Nana kepada mereka.”Melica menerima foto itu. “Saya janji, saya akan berusaha un
Melica mendekat ke arah singa dengan langkah pelan. Langkah itu membuat dadaku berdegup kencang. Hei, apa yang akan Melica lakukan? Dia mau menyerahkan diri kepada singa itu? Bagaimana mungkin dia malah mendekati kematian? Aku tidak bisa membayangkan jika mulut singa merobek tubuh Melica.“Melica!” Mas Gala berteriak. “Kamu jangan nekat!”“Dia bahaya!” Cakra ikut bersuara meski napasnya tak beraturan. “Kamu mundur!”Melica tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengcungkan tangan ke belakang. Tanda jika kami semua harus diam. Ya ampun, suhu di tanah lapang ini mendadak panas. Apa yang akan terjadi? Aku tidak yakin Melica bisa menangani hewan itu.Aku menggigit bibir ketika tangan Melica mengacung. Tangan itu menyentuh kepala singa. Hampir saja aku berteriak karena tidak menyangka dengan semua yang Melica lakukan. Namun aku hanya bisa membekam mulut menggunakan kedua tangan.“Kau tenang,” desa
Entah kenapa, energiku seperti bertambah menjadi dua kali lipat. Energi itu membuat badanku terasa ringan. Aku juga merasa begitu lincah dari biasanya. Ah, tidak sia-sia aku menjadi seorang perempuan dengan lari tercepat semasa SD. Ternyata, itu semua bisa memberikan manfaat.Aku mengejar makhluk yang tadi menarik tubuh Melica. Awalnya, aku merasa ragu bisa menyusulnya. Namun ternyata, semua tidak ada yang mustahil. Aku bisa mengejarnya dari belakang. Terbukti, aku melihat tubuh mereka berdua yang semakin sini semakin terlihat jelas.“Hei, tunggu!” teriakku.Aku terus berusaha untuk bisa menyusul dan mencegah makhluk itu. Sampai kemudian, aku sedikit terkejut. Mereka berdua menghilang di depan sana. Mereka seperti menembus bumi. Dan kamu tahu? Aku tidak menyangka karena aku juga menembus ke sebuah ruang berbeda. Tubuhku muncul di pemukiman warga.Sejenak, aku berhenti. Aku masih pusing dengan ini semua. Baru saja aku berada di tengah hutan. Se