Beranda / Romansa / My Husband's Secret / Tragedi di Makam Bapak

Share

Tragedi di Makam Bapak

“Kalau ada tragedi kayak gini, siapa yang nolongin kamu, Mas?” Aku bertanya sambil mengompres dahi Mas Gala dengan air hangat. Dulu, sering sekali aku menghayal untuk bisa memberikan perhatian semacam ini kepada seorang lelaki. Sekarang, semua jadi kenyataan. “Apa kamu sendiri yang ngobatin?”

“Bawel!” tegasnya.

Aku menekan kompresan di dahinya hingga dia mengaduh. Rasain! Lagian, judes banget sih jadi orang?

“Kamu nggak berprikemanusiaan banget sih?” tanyanya dengan mata melotot.

“Kamu yang enggak berprikesuamian. Ditanya kayak gitu aja kok ngambek!”

Aku tidak akan kalah begitu saja Mas. Kamu lihat kan, kalau aku bisa melawan? Hahaha. Mas Gala sangat menggemaskan jika digoda seperti ini.

“Aku tahu kok siapa yang layanin kamu kalau ada tragedi kayak gini.” Aku terkikik.

“Sok tahu!” Mas Gala pura-pura melihat ke arah lain. “Emang siapa?”

“Bi Marni!” Sebelah mataku mengedip. “Kalian kan sama-sama single waktu itu. Jadi ya, satu-satunya orang yang bisa ngasih perhatian cuma Bi Marni.”

“Bisa diem nggak?”

Aku menyemburkan tawa di hadapan Mas Gala. Aku tidak bisa membayangkan jika Bi Marni melayani seorang Gala Bahuwirya. Mungkin ketika ada tragedi kejedot pintu, kejebit pintu, atau terantuk batu, Mas Gala akan lebih banyak memarahi Bi Marni. Lihat saja barusan, aku saja disemprot habis-habisan. Tapi sepertinya Bi Marni akan selalu sabar menghadapi Mas Gala. Terbukti, dia tetap bekerja selama tahunan di rumah Mas Gala.

“Mas, Bi Marni itu janda lho. Emang Mas nggak tertarik sama .....”

Mas Gala menghentikan ucapanku dengan membekam mulut. Aku meronta saat dia melakukan perlakuan itu. Hingga kemudian, wajahku tak sengaja mendekat ke wajahnya. Sejenak, aku merasakan harum mint dari napasnya. Hal itu membuatku diam cukup lama. Aku menatapnya. Dalam. Hingga ada dorongan keras yang membuatku tersungkur ke punggung kursi.

“Kejam amat!” tegasku. “Mesra dikit napa sih, Mas?”

“Enggak!” tegas Mas Gala. “Lagian ....”

“Lho, kok kalian malah ribut?”

Aku langsung terkejut mendengar suara itu. Apes! Aku tidak ingat kalau sekarang ini, kami ada di rumah Ibu. Aku pikir, kami ada di Bandung sehingga bebas berbuat apa pun. Bagaimana jika Ibu tahu bahwa hubungan kami seperti kucing dan tikus?

“Hehe ....” Aku menggaruk kepala. “Ini, Bu. Mas Gala suka becanda. Nggak mau dipeluk dia. Sok-sok-an nolak.”

Mendengar ucapan itu, Ibu malah tertawa. “Duh, pengantin baru. Ibu jadi iri sama kalian.”

Mas Gala Cuma mengangguk-angguk dengan wajah merah. Mungkin dia malu dengan Ibu martuanya sendiri.

“Mas Gala kan udah baikkan,” Aku berdiri, “siang ini aja deh kami ke makam Bapak. Iya nggak Mas?”

Mas Gala menatapku sejenak, tetapi kemudian, dia mengangguk.

“Beneran?” Ibu melihat ke arah Mas Gala. “Kamu udah nggak apa-apa?”

Gala berdiri. “Enggak kok, Bu. Saya sudah baikan.”

Ibu mengangguk-angguk. “Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya. Di kampung ini banyak anjing soalnya.”

Aku mengacungkan jempol.

Dengan sangat percaya diri, aku menelusupkan tangan ke lengan Mas Gala yang terbuka. Hingga kami saling bergandengan. Aku merasa jika tangan Mas Gala mengeras, mungkin dia sedang memakiku di dalam hati. Aku bisa merasakan urat-urat tangan yang bersentuhan dengan tanganku.

Mas Gala, Mas Gala. Menurutmu, aku akan diam saja? Tidak Mas. Mumpung ada Ibu, aku harus mengambil kesempatan sebanyak-banyaknya. Toh, kamu suamiku kan? Mepet-mepet sedikit bukanlah masalah. Bahkan mungkin, hal ini malah bikin kamu jatuh kati.

Aku dan Mas Gala menyusuri jalanan perkampungan yang sejuk. Kalau di Bandung, siang-siang begini gerah banget. Maklum, kami tinggal di salah satu perumahan di sekitaran kota. Sementara di sini, jelas-jelas rumahku di perkampungan yang begitu asri. Di kampung ini terdapat hamparan kebun kentang yang luas. Beberapa petak kebun kopi, kebun bambu, bahkan ada pula kebun tomat. Kalau ingat masa kecil, aku sering sekali ngambil tomat punya orang. Dan pulangnya, biasanya aku akan diomeli Bapak. Duh, Bapak. Kenapa sih, semua kehidupanku selalu berkaitan dengan Bapak?

“Lepasin!” tegas Mas Gala.

Aku langsung terperanjat. Tanganku terlepas dari lengan kokohnya. “Kenapa sih, Mas?”

“Dasar kurang ajar!” Wajah Mas Gala terlihat seperti panci yang keras. “Kamu jangan macam-macam sama saya!”

“Siapa yang macam-macam sih, Mas? Wajar kan kita gandengan? Kita itu ....”

“Saya nggak suka!”

“Oh, oke ....”

Mas Gala memang mangsa yang potensial untuk digoda, tetapi di sisi lain, dia juga adalah lelaki yang menakutkan kalau sudah marah. Mau tidak mau, aku harus berhenti menggodanya.

“Itu makam Bapak, Mas,” desahku saat sampai di pintu pemakaman umum.

Di kampungku, pemakaman umum tidak sama dengan di kota-kota sana. Luasnya hanya beberapa meter. Pemakaman ini dipakai khusus kerabat dan tetangga yang rumahnya di sekitaran sini. Tidak ada pembelian lahan. Sebab, lahan pemakaman di sini merupakan lahan hibah yang bisa digunakan oleh orang-orang sekitar.

“Huh ....”

Aku mendesah saat ada di depan makam Bapak. Aku membaca namanya: Wira Darmajati.

Bapak, bahkan menyebut namamu di dalam hati pun, Nara tidak sanggup.

“Sampurasun, Bapak,” desahku. Aku menyapa Bapak dengan bahasa Sunda sambil mengusap pusara yang sudah bersih. Pasti Ibu yang membersihkannya. “Tebak deh, Nara sama siapa!”

Aku melirik Mas Gala yang masih berdiri dengan wajah datar. Dia terlihat tidak bertenaga.

“Nara sama lelaki pengganti Bapak,” desahku. “Dia nyebelin sih Pak, tapi Nara cinta.”

Itu adalah ungkapan terjujur tepat di dekat orangnya langsung. Aku tidak tahu bagaimana mimik wajah Mas Gala saat mendengarnya. Namun aku berharap ucapan itu bisa membuat dia tahu rasa cintaku yang besar.

“Makasih buat kenang-kenangannya ya, Pak.” Aku tertawa. “Tadi Ibu udah kasih tahu Nara. Tapi katanya Benda itu nggak boleh dikasih tahu ke siapa-siapa lagi. Memang beneran rahasia Pak? Kok maen rahasia-rahasiaan sih?”

Aku memang terlalu lama menyimpan rindu untuk Bapak. Hal ini pula yang membuat aku mengoceh seperti ini. Aku ingin bertemu Bapak dan memeluknya. Aku ingin meminta wejangan dari Bapak.

“Kenalin, Pak,” Aku menarik tangan Mas Gala hingga dia duduk. “Ini Mas Gala. Suamiku. Si ganteng kalem.”

Aku tertawa saat Mas Gala terlihat jijik ketika aku menyebutnya ‘ si ganteng kalem’. Di masa-masa seperti ini, Mas Gala selalu bisa membuatku terhibur dengan raut muka yang kadang-kadang tidak bisa ditebak.

“Mas,” aku menatapnya. “Sapa Bapak dong! Kamu coba usap pusaranya. Dia mau kenalan.”

Awalnya, aku melihat keraguan dari wajah Mas Gala. Bahkan aku mendapati hawa panas yang entah muncul dari mana. Padahal di makam ini terdapat banyak pepohonan. Bagaimana mungkin suasananya jadi berubah gerah?

“Mas?” Aku mengguncang tangannya. “Kok malah ngelamun?”

Mas Gala terperanjat, hingga dia menggerakkan tangan perlahan-lahan. Gerakkan tangan itu membuat aku gemas. Kamu pernah berniat untuk mencelupkan tangan ke air dingin? Nah, gerakkan Mas Gala persis seperti gerakan ketika kita membayangkan dinginnya air di pagi hari.

Plup!

Tangan itu menempel di pusara Bapak. Mas Gala tersenyum, mengusap-usapkannya. Namun tiba-tiba, aku merasakan perubahan yang begitu besar dari wajah Mas Gala. Wajah yang awalnya terlihat teduh berubah menjadi menakutkan. Dia melotot! Wajahnya merah! Dia seperti akan menyemburkan bara api di hadapan makam Bapak. Hingga kemudian, dia berdiri dan lari begitu kencang.

“Mas? Kamu mau ke mana?” Aku ikut berdiri dan berteriak.

Mas Gala keluar dari area pemakaman tanpa menjawab pertanyaanku. Apa yang salah dengan Bapak? Kenapa Mas Gala bertingkah seperti itu?

Sejenak, hatiku sakit. Aku seperti ditusuk oleh besi panas. Bapak memang sudah meninggal, tapi bagaimana mungkin Mas Gala bertindak seenaknya seperti itu? Meninggalkan Bapak begitu saja sama saja dengan mengecewakanku.

Mas, aku tidak keberatan kalau kamu benci sama aku. Tapi kenapa kamu melakukannya juga kepada Bapak? Atau, kamu punya masalah dengan Bapak? Ah, rasanya mustahil. Mas Gala sama sekali tidak mengenal keluargaku sebelum kami menikah.

“Pak,” desahku di hadapan Bapak. “Nanti aku ke sini lagi ya. Aku mau cari Mas Gala dulu.”

Dengan langkah berat, aku meninggalkan makam Bapak. Sementara, hatiku terluka.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status