Aku berjalan, tetapi kaki ini seperti tak menapak di atas lantai. Aku merasa panas dingin saat harus menemui perempuan yang Bibi maksud. Sampai kemudian, aku mendapati seorang perempuan yang membelakangiku di ruang tamu. Terdapat koper kecil yang bertengger di sisinya.
Aku mendeham. Hingga dia berbalik dan tersenyum lebar.
“Melica?” Terkejut, aku mendekatinya. “Jadi kamu yang ....”
“Sorry Nara.” Dia langsung memelukku. “Aku bikin kamu panik ya? Mungkin kamu akan ngira yang enggak-enggak soal kedatangan seorang perempuan. Mana bawa-bawa koper lagi.” Melica terkekeh.
Aku mengembuskan napas. Meskipun yang datang ke rumah adalah Melica, tetap saja aku merasa was-was. Mas Gala menyuruh Melica tinggal di sini?
“Tadinya, aku akan tinggal di hotel selama dua minggu ini. Tapi Gala maksa aku buat tinggal di rumahnya. Khawatir katanya. Lagian, biaya hotel selama dua minggu itu mahal banget. Mana aku juga p
Air mataku belum reda juga. Ini adalah tangisan terpanjang selama aku hidup. Nyaris tujuh jam lebih aku ada di kamar ini. Mengunci diri. Menutup seluruh badan menggunakan selimut. Aku benar-benar tidak habis pikir Mas Gala berbicara sekasar itu. Dia menyesal karena telah menikahiku?Pak, Bapak lihat perlakuan Mas Gala kan? Aku benar-benar tidak tahu harus mengadu ke siapa. Tapi jujur, Pak, Nara sakit hati. Di sini, Nara seperti manusia paling menjijikan yang pernah ada. Mas Gala berbicara dengan begitu enteng.Apa Nara harus menyerah?Pasti Bapak bilang bahwa ini semua tidak lucu.“Nara, pernikahanmu dengan Gala baru berjalan tiga hari. Bagaimana mungkin kamu memutuskan untuk menyerah?”Mungkin itu yang akan Bapak katakan. Aku tidak yakin Bapak akan mendukungku penuh. Tapi Pak, aku tidak bisa diam saja diperlakukan seperti ini. Aku masih punya harga diri. Bayangkan Pak, bagaimana jika Mas Gala melakukan hal yang lebih ekstrem dari sekad
Aku menyimpan koper di pojok kamar. Rencana pergiku batal. Kamar juga dikunci. Sementara Mas Gala sudah terbaring di atas sofa. Huh, dia benar-benar cuek. Setelah memelukku tadi, tidak ada lagi perhatian lain yang dia berikan.Aku naik ke atas ranjang perlahan-lahan. Lantas, aku melilit badan dengan selimut. Agak lega sebenarnya. Mas Gala tidak lagi marah. Pelukan itu sudah membuktikan kalau dia khawatir aku pergi. Tapi tetap saja aku kesal. Kesal karena adegan yang kuimpikan tidak berlanjut. Mas Gala pura-pura lupa dan memilih tidur.Blukbuk ...Duh, perutku sakit lagi. Ini gara-gara aku belum makan. Dari tadi siang, napsu makan itu memang menghilang, tapi kenapa sekarang malah muncul ya? Ini tandanya kalau aku sudah pulih. Pulih dari rasa sedih dan gelisah.Tapi malas juga untuk makan. Apalagi kalau ada Mas Gala begini. Nanti dikiranya, aku ini terlalu jaim hingga baru makan sekarang. Ujung-ujungnya, pasti dia ngomel dan bilang, “Makannya, jangan
“Keras, Mas!” ucapku.Aku masih berusaha untuk membuka peti tersebut. Ah, sepertinya ini terjadi karena petinya sudah terlalu tua. Kuncinya pun susah untuk dibuka.“Kamu aja yang buka, Mas,” ucapku. Aku menggeserkan bagian peti, sehingga bagian gembok yang harus dibuka ada di depannya. Kuncinya pun sudah menempel di gembok itu. “Tenagamu sepertinya sudah lebih besar.”Ragu-ragu, Mas Gala memegang peti itu. Dia mencoba untuk membuka kunci dengan tangan. Namun tiba-tiba saja, badannya beku. Dia diam seperti patung. Kejadian ini sama seperti kejadian malam itu saat kami menginap di rumah Ibu.Otomatis, aku melotot. “Mas, kamu kenapa?”Dia tidak menjawab. Hingga kemudian, badannya terjatuh ke belakang. Untung saja ini di atas kasur, kalau di lantai, mungkin kepalanya akan terbentur. Kamu tahu? Kejadian malam itu terjadi lagi sekarang. Badannya menggigil.Aku meloncat dari kasur dan kembali menyimpa
Satu minggu aku diam. Ya, aku menahan diri untuk tidak mencari tahu soal Mas Gala. Aku membiarkan diri untuk tenang. Dalam hal ini, aku tidak boleh gegabah. Kalau aku mengambil keputusan yang salah, bisa saja Mas Gala kembali marah.Namun setelah kejadian itu, aku selalu cemburu. Di rumah ini tidak hanya ada aku, tetapi juga ada Melica. Ketika di meja makan, kadang-kadang aku dicuekin. Mereka seru becanda dan saling suap. Sementara aku? Ah, aku hanya mampu menelan ludah. Ternyata begitu rasanya cemburu?Hal itu terus berlanjut, sama halnya seperti detik ini. Mas Gala sedang mengobrol seru, hingga aku ikut nyeletuk.“Mel, ternyata udah seminggu aja ya kamu di sini. Gimana pelatihannya? Lancar?” Ucapan itu memotong percakapan mereka yang dari tadi menggema.Mas Gala mendeham. Dia mungkin terganggu karena aku telah memecah keseruan mereka. Dia lantas meneguk air putih yang bertengger di atas meja. Sementara aku masih menunggu jawaban Melica sambi
“Bibi!” teriakku. “Sini, Bi!”Sambil berteriak panik, aku mengguncang-guncang tubuh Mas Gala. Namun badannya tetap saja menggigil.“Iya, Neng, ken .....”Bibi melotot di depan pintu saat melihat Mas Gala tergeletak.“Bi, panggilin satpam dan supir buat bantu angkat mas Gala.”“Pak Gala kenapa?” Bi Marni terlihat panik. “Apa dia ...”“Udah buruan, Bi! Nanti aku jelasin.”Bibi berlari dari hadapan pintu. Sementara aku masih panik dengan Mas Gala. Untuk ketiga kalinya, aku melihat Mas Gala seperti ini. Dan yang ketiga ini lebih lama. Jika kejadian di kamar berlangsung beberapa detik, maka sekarang lebih dari itu. Mata Mas Gala juga menyeramkan. Warna hitamnya menghilang, dia seperti kerasukan setan.Kedua lelaki yang bekerja sebagai satpam dan supir datang tergopoh. Dengan cekatan, mereka mengangkat Mas Gala untuk dibawa ke kamar. Sementara setelah
Saat aku tanya soal hubungan kedua peti, Mas Gala tidak menjawab. Dia memilih mengganti pakaian, lantas pergi ke kantor. Kukira, dia akan instirahat seharian ini. Ternyata jiwa pekerja kerasnya kembali muncul. Mungkin dia juga akan meluruskan masalah meeting yang tidak jadi. Kini, aku sendirian di kamar. Berharap bisa mendapatkan informasi penting dari surat yang telah kuambil.Sebelum membuka surat itu, aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku tidak mau gegabah. Aku pernah ketahuan Mas Gala dan dia marah besar. Maka saat ini, aku tidak boleh ketahuan.Aku mengeluarkan surat dari dalam saku. Surat yang kuambil dari paling bawah peti. Mungkin kamu bertanya-tanya, memangnya ada berapa surat di peti itu? Aku juga kurang tahu persisnya berapa, namun yang kutahu, surat itu lebih dari dua puluh jika dilihat dari ketebalan tumpukannya. Banyak sekali kan? Dan sekarang, aku sudah membawa dua surat lain.Saat membuka surat pertama, aku menarik napas panjang. Hingga akhirny
Hal sederhana yang membuatku bahagia selain bisa menyiapkan makanan untuk suami, tentu saja ketika suamiku juga menyukai makanan itu. Sederhana sih makanannya. Namun akyang kulihat, dia lahap sekali menyantap makanan. Tadinya aku berpikir bahwa Mas Gala tidak mau makan. Bisa jadi, dia sudah makan malam di luar. Tapi kebetulannya, dia belum makan sama sekali. Dan ya, akhirnya mahakarya seorang Nara yang dibantu oleh Bi Marni bisa dihargai.Sekarang, kami berdua sudah ada di kamar. Tentu saja, aku tidak pernah berhenti tersenyum. Makan malam sudah selesai dari tadi, tetapi kebahagiaan itu masih ada hingga sekarang. Bahkan, kebahagiaan tersebut malah semakin memuncak.“Makasih ya, Mas,” ucapku pelan.Kulihat Mas Gala sedang melepas pakaian kantor. Sesekali, dia curi-curi pandang saat aku mengamatinya.“Jangan lihatin saya terus!” tegasnya tanpa membalas ucapan terima kasihku.“Emangnya kenapa?” tanyaku dengan mata t
Dari tadi, aku gelisah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah mengetahui fakta ini. Fakta kalau Mas Gala menyimpan berita kematian Bapak satu tahun lalu. Ada apa sebenarnya? Kenapa pernikahanku dengan Mas Gala terlihat begitu rumit. Apa yang harus kulakukan?Aku harus telepon Ibu. Aku harus menanyakan banyak hal kepadanya. Meski Bapak orang yang tertutup, aku yakin kalau Ibu tahu bagaimana kehidupan Bapak. Bisa jadi, Mas Gala dan Bapak memang ada hubungan di masa lalu.“Ibu!” Aku yang sudah tidak sabar menekan-nekan dada. “Nara mau tanya sesuatu.”“Lho?” Sepertinya, Ibu terkejut. “Kita baru tadi pagi teleponan lho, Nar.”“Aku tahu,” desahku. “Sebenarnya, Nara nggak mau nanyain hal ini Bu. Cuman semakin ditunda, Nara semakin resah.”“Tenang,” ucap Ibu. “Ceritakan ke Ibu. Apa yang mau kamu tanyakan?”“Ini soal Bapak!” Aku yang