Aku mendengar beberapa teriakkan, hingga ada satu hal yang membuatku beku. Kendaraan Mas Gala berhenti. Sementara jeritan dari luar seolah menggambarkan chaos-nya keadaan. Jeritan itu panjang, namun aku masih menutup wajah dengan dada naik turun. Kejadian ini mengingatkanku kepada Bapak. Bapak meninggal gara-gara tambrakan sehabis pulang mengantarku wisuda.
“Kamu nggak apa-apa?”
Suara itu? Ah, suara itu benar-benar menenangkanku. Bagaimana mungkin Mas Gala bisa membuat seluruh tubuhku menghangat? Perlahan-lahan, aku membuka mata. Kamu tahu? Kedua tangan Mas Gala melingkar di kepalaku. Ternyata, dia memelukku dengan begitu erat.
“Mas .....”
Sekarang, Mas Gala mengusap wajahku yang berkeringat. Dia terlihat begitu cemas. “Ada yang sakit?”
Aku menggeleng. “Aku cuma .....”
“Bilang kalau kamu merasa sakit!” tegasnya.
“Aku cuma ....” Aku mengembuskan napas dengan diiringi senyum lebar. “Cuma mau dicium. Rasa sakit ditubuhku kayaknya bakal mendadak hilang.”
Mendengar ucapan itu, Mas Gala langsung melotot. Dia mendorongku begitu keras.
“Saya tidak sedang bercanda!” teriaknya.
“Aku juga nggak sedang becanda, Mas!” Aku malah ikut berteriak. “Istri minta dicium itu wajar. Gimana kalau aku kenapa-napa? Apa kamu masih bisa menciumku kalau nanti aku meninggal?”
Mas Gala tidak menjawab. Dia memilih keluar dari dalam mobil untuk melihat keadaan sekitar. Aku juga ikut membuka pintu mobil. Penasaran juga. Apa yang terjadi dengan kendaraan yang tadi di depan mobil kami? Secara logika, seharusnya mobil yang aku tumpangi terpental atau bahkan terguling. Namun keadaan ini terlihat normal.
Aku mendapati sebuah mobil kijang memepet ke sisi jalan raya. Untung saja ada penghalang jalan. Kulihat, penghalangnya juga hampir jebol. Sementara penumpangnya sudah ada di luar. Beberapa menangis. Satu terduduk di pinggir jalan sambil memijit-mijit kaki.
Aku dan Mas Gala menghampiri mereka.
“Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Mas Gala.
Ternyata, Mas Gala perhatian juga.
“Kami baik-baik saja,” desah supir berbedan besar. “Tapi saya syok. Seharusnya mobil ini memental ke sebelah kanan.”
Aku melirik ke sebalah kanan yang ternyata adalah jurang. Sementara sebelah kiri ini bawahnya adalah perkebunan kol yang terhampar luas.
“Kami tidak tahu kalau seandainya mobil ini terpental ke jurang.”
Bukan hanya mereka yang syok, aku yang mendengar penjelasan itu juga syok. Apakah sebuah mobil bisa berbelok dengan cepat? Maksudku, di situasi seperti ini, jarang sekali ada supir yang bisa mengendalikan kendaraan.
Sekarang, aku melirik mobil Mas Gala. Tidak ada lecet sedikit pun. Logikanya, bukankah seharusnya mobil itu tertubruk mobil di depannya? Bagaimana mungkin mobil Mas Gala masih kelihatan segar? Ini benar-benar aneh.
Bukan hanya itu. Jika seandainya mobil itu tertubruk, mungkin sekarang aku sedang tidak sadarkan diri. Atau meninggal? Ah, mengerikan sekali pemikiranku ini. Mana baru nikah. Tapi, ini sungguh di luar dugaan. Selain bahagia karena selamat, aku juga merasa aneh dengan kejadian ini.
Mas Gala mengobrol sejenak dengan supir tadi. Dia bahkan mengusap-usap tangan si supir yang bergetar hebat. Beberap warga yang berkumpul karena kejadian ini ikut berkerumun. Melakukan apa yang bisa mereka lakukan. Mereka juga menolong penumpang yang terduduk di pinggir jalan.
“Ayo!” tegas Mas Gala setelah selesai.
Aku mengekor di belakangnya. Di situasi ini, tidak ada salah menyalahkan. Toh semua orang tau jika pengendara mobil tadi yang salah. Namun meski begitu, aku melihat Mas Gala menyusupkan beberapa lembar uang berwarna merah ke saku si supir. Aku tidak tahu berapa. Namun si supir kelihatan senang dengan bantuan itu.
Aku terharu dengan suamiku sendiri. Ternyata Mas Gala begitu perhatian. Perlindungan yang dia lakukan beberapa menit lalu juga masih terbayang. Aku yang sedang ketakutan dipeluk begitu erat, hingga aku merasa lebih tenang. Bapak, sekarang anakmu ini punya pelindung. Meskipun dia sangat menyebalkan.
Aku dan Mas Gala masuk ke dalam mobil. Kami yang sudah sampai di Jalan Nagreg, kembali melajukan mobil menuju kampung halamanku. Di sana, Ibu pasti sudah menunggu anak perawan satu-satunya, yang tetap perawan meski sudah menikah.
Apakah aku harus senang dengan fakta ini? Atau sebaliknya?
***
Ibu menyambut di depan pintu saat kami sampai. Dia terlihat bahagia melihat anaknya datang dengan seorang lelaki berjas semi casual. Dia terlihat bangga dengan anak satu-satunya yang bisa menikah dengan seorang lelaki tajir. Bukan hanya Ibu, kulihat tetangga juga memngantri di depan kami. Mereka menyalamiku dan Mas Gala. Di kampungku, pengantin baru itu seperti seorang permaisuri. Dipuja dan juga dimuliakan. Ah, hal ini memang lumrah. Namun mereka tidak tahu kenyataan yang sebenarnya.
“Ibu sehat?” tanya Mas Gala. Dia mencium tangan Ibu setelah kami sampai di teras rumah.
“Alhamdulillah, Ujang Kasep, sehat,” jelas Ibu. Dia memang seorang Suku Sunda sejati. “Gimana barusan, nggak ada kendala di jalan?”
Mas Gala tersenyum. “Alhamdulillah lancar, Bu.”
Aku mengembuskan napas. Untung Mas Gala tidak menceritakan tragedi di jalan setengah jam lalu. Kalau Ibu sampai tahu, dia bisa histeris. Kecelakaan Bapak masih terbayang hingga kini. Bahkan saat ijab kabul kemarin, Ibu menangis. Mungkin perasaannya campur aduk antara senang dan sedih. Senang karena anak satu-satunya telah menikah. Sedih karena Bapak tidak bisa menyaksikan. Tapi untung saja masih ada kerabat yang menjadi wali nikah, sehingga aku dan Mas Gala bisa seperti sekarang.
Aku mencium tangan Ibu, kemudian memeluknya erat. “Seharusnya, Ibu masih ada di Bandung. Kan kalau masih di sana, aku dan Mas Gala nggak perlu repot-repot ke sini.”
“Teteh geulis,” Ibu mendesah. “Sengaja Ibu pulang biar kalian nginep di sini. Bapak tidak bisa hadir ke nikahan kalian. Setidaknya, Teteh sama Jang kasep bisa pergi ke makam Bapak. Dia juga mungkin akan bahagia kalau kalian menginap di rumah ini.”
Aku mengangguk-angguk. Ah, Bapak. Kenapa pula Bapak harus pergi sebelum melihat aku menikah?
“Hayuk atuh masuk. Ibu sudah masak buat kalian.” Ibu menarik tanganku dan Mas Gala.
“Ayo Kakang Gala, jangan malu-malu,” bisikku ke Mas Gala.
“Kakang?” Alisnya terangkat.
“Kakang itu sebutan terhadap laki-laki di Sunda, Mas. Gimana? Kamu lebih macho lho kalau disebut Kakang.”
“Terserah kamu saja. Aturrr!”
Aku tertawa mendengar tanggapannya. Hingga kemudian, kami sampai di ruang makan.
Ngomong-ngomong soal rumah, aku besar dan tinggal di Cisurupan. Sebuah kecamatan yang berada di bawah kaki Gunung Papandayan. Aku hidup di antara wisatawan yang sering hilir mudik untuk bisa menikmati kawah yang asapnya sering membumbung ke atas sana. Kadang-kadang, aku juga suka lari pagi untuk bisa sampai ke gunung itu. Baru setelah lulus SMA, aku pergi ke Bandung. Kuliah di salah satu universitas swasta, lantas bekerja dan menetap di ibu kota Jawa Barat itu.
Detik ini, aku ada di sini lagi. Baru dua minggu aku pulang saat Mas Gala melamar. Nah sekarang, kami kembali dengan keadaan sudah menjadi suami istri.
“Mangga Jang Kasep di makan, pasti lapar kan?” Ibu mempersilahkan Mas Gala yang sudah duduk.
“Kami sebenarnya sudah sarapan, Bu,” desahku. “Tapi nggak apa-apa, Kakang Gala pasti seneng makan masakan Ibu. Lebih enak dari masakan Bi Marni.”
Aku melihat jika Mas Gala mendelik. Mungkin karena aku sebut dia Kakang. Apa aku sebut Mas Gala seperti itu saja? Kedengarannya lucu sekali. Menggoda Mas Gala adalah jalan ninjaku.
Sekarang, aku memilih membuka piring yang menangkup. Kulihat ada urap daun singkong di atas mangkuk, ada sambal, ada jengkol goreng, ada boyotok leunca kesukaan Bapak. Dan, ah ... apakah Mas Gala menyukai masakan sederhana ini?
“Mas, urap daun singkong buatan Ibu itu ... uh, mantap, edun!” Aku mengambilkannya dua sendok. “Kamu kalau pernah makan di warung Padang, pasti sering lihat daun singkong. Tapi daun singkong yang ini beda. Jadi setelah direbus, Ibu pasak lagi dan dicampurkan dengan parutan kelapa. Iya nggak, Bu?”
Ibu mengangguk-angguk. Sepertinya, dia ikut bersemangat mendengarkanku menjelaskan.
Sepertinya Mas Gala masih canggung duduk di depan Ibu. Ah, aku punya ide. Jika aku melancarkan aksi ini, pasti Mas Gala tidak akan marah-marah. Toh ada Ibu juga kan? Dia bakal manut mengikuti seluruh hal yang kuminta.
“Mas ....” Aku yang sedang makan, menoleh. “Urapnya enak kan?”
Mas Gala mengangguk sambil menikmati makanan.
“Kalau jengkolnya?”
“Lumayan,” desahnya.
“Aku boleh coba?” tanyaku.
Di piringku, jelas ada makanan itu. Namun aku ingin mencoba dari sendok Mas Gala langsung.
“Coba deh kamu suapin aku,” kataku.
Mendengar permintaan itu, Mas Gala melotot. Namun pada akhirnya, dia tersenyum dipaksakan, lantas mengacungkan sendok berisi nasi dan urap daun singkong.
“Ehm, enak,” desahku. “Enak, karena sendoknya bekas kamu. Ada manis-manisnya gitu ....”
Ibu tertawa keras mendengar kekonyolanku. Sementara Mas Gala mungkin sedang merutuk. Haduh, itu adalah lelucon tergaring sekaligus terreceh yang pernah kulakukan. Tidak apa-apa, yang penting aku bisa membuat Mas Gala lebih perhatian. Lagipula, kapan lagi aku bisa mengerjainya?
“Setelah makan, Ibu mau memberikan sesuatu untukmu, Nara,” desah Ibu.
“Apa, Bu?” tanyaku pelan.
“Ibu mau ngasih barang-barang peninggalan Bapak.”
Ucapan itu cukup membuatku terhipnotis. Mas Gala juga mendadak tegang. Aku bisa melihat urat-urat di lehernya mengeras.
“Peninggalan? Bukannya Bapak nggak punya ....”
“Ada, Nara. Bapak punya peninggalan. Peninggalan itu khusus untuk kamu. Bapak berpesan kepada Ibu untuk memberikan benda-benda itu setelah kamu menikah.”
Aku mengembuskan napas. Benar-benar bikin penasaran.
“Memang peninggalan Bapak itu apa, Bu?” tanyaku masih penasaran.
“Ibu tidak tahu karena barang ini bersifat rahasia. Bapak hanya ingin kalau Barang ini sampai di tangan kamu!”
Ucapan Ibu membuat Mas Gala tersedak. Aku yang sedang bengong buru-buru memberikan air minum kepadanya. Ah, apa sebenarnya barang yang Ibu maksud? Aku tidak menyangka jika Bapak menyimpan sesuatu khusus untukku.
***
Ibu mengangguk dengan tatapan nanar. Aku tahu, Ibu sangat sedih jika harus mengungkit hal-hal yang berhubungan dengan Bapak. Tapi apa boleh buat? Bukankah Bapak memberikan amanat itu kepada Ibu? Sebagai anak, tentu saja aku hanya bisa menguatkan.“Jang Kasep tunggu saja di ruang tamu ya,” desah Ibu. “Bukannya nggak boleh ikut ke kamar, tapi ....”“Tidak masalah, Bu,” jawab Mas Gala. “Saya mengerti.”Ibu tersenyum lebar mendengar tanggapan sopan dari Mas Gala.Kami bertiga bangkit dari ruang makan. Mas Gala melangkah ke ruang tamu, sementara aku dan Ibu melangkah ke kamar Ibu. Kamar yang sudah lama tidak aku injak. Aku masih ingat, terakhir kali masuk ke kamar itu saat aku kelas lima SD. Sebelum pindah ke kamar berbeda.Saat masuk ke kamar, aku masih mencium aroma tubuh Bapak. Aroma yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Harum khas yang membuat badanku seperti tersuntik energi. Ah, Bapak memang h
“Kalau ada tragedi kayak gini, siapa yang nolongin kamu, Mas?” Aku bertanya sambil mengompres dahi Mas Gala dengan air hangat. Dulu, sering sekali aku menghayal untuk bisa memberikan perhatian semacam ini kepada seorang lelaki. Sekarang, semua jadi kenyataan. “Apa kamu sendiri yang ngobatin?”“Bawel!” tegasnya.Aku menekan kompresan di dahinya hingga dia mengaduh. Rasain! Lagian, judes banget sih jadi orang?“Kamu nggak berprikemanusiaan banget sih?” tanyanya dengan mata melotot.“Kamu yang enggak berprikesuamian. Ditanya kayak gitu aja kok ngambek!”Aku tidak akan kalah begitu saja Mas. Kamu lihat kan, kalau aku bisa melawan? Hahaha. Mas Gala sangat menggemaskan jika digoda seperti ini.“Aku tahu kok siapa yang layanin kamu kalau ada tragedi kayak gini.” Aku terkikik.“Sok tahu!” Mas Gala pura-pura melihat ke arah lain. “Emang siapa?”
“Mas Gala!” teriakku.Sial! Apa yang salah dengan makam Bapak? Kenapa Mas Gala pergi begitu saja? Dia seperti ketakutan. Di sisi lain, dia juga terlihat emosi. Seolah-olah, pernah ada hubungan antara Bapak dan Mas Gala sebelumnya. Tapi apa?“Mas tunggu!” teriakku makin kencang. “Jangan gini dong!”Mas Gala pikir, mungkin aku adalah seorang perempuan lemah yang tidak bisa berlari untuk menyusulnya. Hei, kamu tidak tahu Mas. Gini-gini, aku adalah juara atlit lari antar anak-anak kampung semasa SD. Kamu menyepelekanku, Mas?Aku berlari begitu kencang. Bahkan aku sudah bisa melihat tubuh Mas Gala yang semakin dekat denganku. Kira-kira 15 meter dari posisiku sekarang. Namun, aku terkejut luar biasa saat ada gonggongan anjing dari belakang! Otomatis, aku menengok. Ada satu anjing yang seperti kesetanan mengejar kami berdua.Kampungku tidak pernah berubah dengan keberadaan anjing-anjing milik warga. Di sini, anjing dija
“Kamu di mana?” teriakku.Ini kesekian kalinya aku mencari sosok itu. Namun, bagaimana mungkin aku tidak menemukannya? Di mana dia yang selalu menemaniku dikala sedih? Di mana dia yang selalu mendengarkanku saat bercerita soal Bapak?“Jangan becanda!” Aku hampir frustrasi, hingga duduk di atas tanah.Aku harus mencari dia ke mana lagi? Ini tanah lapang. Tidak ada jalan yang bisa kutelusuri. Semua hal yang kulihat semacam ruangan luas yang sama sekali tidak berpenghuni. “Apa kamu nggak sayang aku lagi?”Masih tidak ada jawaban. Hanya gema suara sendiri yang berhasil kudengar. Sementara suara lembut itu, senyum lebar yang menenangkan itu, semuanya lenyap. Aku jadi ingat pertemuan kemarin. Apakah dia memang benar-benar pergi? Kupikir dia becanda, tapi semua yang diucapkan benar adanya.Sekarang, aku tidak bisa melakukan apa pun selain menangis kencang. Tangisan itu membuat aku membuka mata. Lebar. Dan, ah ... aku mi
Titik nggak pakek koma, pokoknya aku benar-benar marah. Mas Gala sudah keterlaluan tadi pagi. Dia membuat hatiku sakit. Dia semakin menunjukkan bahwa keberadaanku tidak ada penting-pentingnya.Sekarang, aku masuk ke dalam mobil dengan bibir cemberut. Aku juga memasang pengaman tanpa ba bi bu. Sementara dengan cueknya, Mas Gala tetap melajukan mobil tanpa bertanya apa-apa. See? Dia itu benar-benar menyebalkan.Saat mobil melaju, aku sempat melihat makam Bapak dari kejauhan. Kemarin, aku benar-benar menyesal karena tidak bisa berlama-lama di makam itu. Dan sekarang, aku malah pulang ke Bandung tanpa menemuinya lagi.Bapak nggak marah kan? Semoga tidak. Aku yakin, Bapak mengerti perasaan Mas Gala. Sebagai seorang istri, aku harus menghargai Mas Gala yang tidak bisa melihat makam dalam waktu yang lama. Dia begitu terpukul jika ingat orangtuanya.“Peti itu sudah dibawa?” tanya Mas Gala tiba-tiba.Aku tidak menjawab. Kamu pikir, kamu doang ya
Kami sudah sampai di Bandung. Syukurlah. Aku ingin segera masuk ke rumah, kemudian menangis sejadi-jadinya selama Mas Gala kerja. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan berbagai kejadian yang terjadi hanya dalam beberapa jam saja. Kamu tahu rasanya ditikam batu besar dari atas? Begitulah kira-kira diriku sekarang. Sakit. Remuk.Kulihat Mas Gala mengambil ponsel dari dasboard. Dia menyetir menggunakan satu tangan, sementara satu tangan lainnya sibuk menggulirkan layar ponsel. Setelah itu, kulihat dia menempelkan ponsel di telinga.“Atur ulang jadwal meeting siang ini ya!” tegasnya. “Saya ada keperluan!”Mas Gala menurunkan ponsel. Sekarang, dia sibuk lagi menggulir layar ponsel, kemudian, dia menelepon seseorang.“Mel, kita ketemu siang ini ya. Saya sudah di Bandung. Mungkin dua puluh menitan lagi, saya sampai di tempat biasa.”Mas Gala mengakhiri telepon, menyimpan benda itu di dasboard, lalu kembali fokus meny
Aku masuk ke dalam mobil dengan senyum sumringah. Aku merasa begitu bahagia saat tahu bahwa suamiku bertanggungjawab penuh untuk memberikan bukti. Dia mengajakku bertemu langsung dengan Melica supaya aku tidak salah faham. Ah, Mas, kamu selalu berusaha meyakinkanku, tetapi di sisi lain, kamu juga keras, kaku, datar, dan kadang-kadang menyakitkan. Kenapa bisa begitu, Mas?Aku melirik Mas Gala yang sedang membolak-balikkan setiran mobil. Setelahnya, dia melajukan kendaraan dari café yang sudah kami datangi. Aku yang ada di sisinya terus menatapnya dengan senyuman lebar. Kalau dilihat-lihat, Mas Gala begitu mempesona. Aku mencintai bentuk rahang yang begitu tajam.“Ngapain lihat-lihat?” tanya Mas Gala. Matanya masih fokus ke depan.“Heh?” Aku langsung nyengir. “Kukira kamu nggak nyadar, Mas.”“Kamu lihatin gitu kayak mau ngelahap saya tau nggak!”Aku tertawa mendengar ucapan itu. Kenapa sih Mas, k
Saat ucapan itu meluncur dari mulutku, bibi langsung melotot. Dia terlihat syok karena aku berniat masuk ke dalam ruangan itu.“Jangan masuk, Neng. Nanti Pak Gala marah. Dia tidak pernah suka dibantah,” jelas Bi Marni.Mas Gala akan marah jika dia tahu kalau aku masuk ke dalam sana. Tapi kalau dia tidak tahu? Tidak mungkin dia marah. Aku bukan perempuan lemah yang jika sudah dilarang bisa diam. Semakin banyak hal aneh di sini, aku semakin penasaran.“Aku sama sekali nggak nanyain pendapat Bibi soal Mas Gala,” jelasku. “Aku hanya tanya, apa Bibi punya kunci ruangan itu?”Sekarang, Bibi menunduk. Dia seperti sedang memikirkan banyak hal. Sejenak, dia menatapku dengan tatapan ragu.“Bibi takut sama Mas Gala?” Aku bertanya dengan nada yang lebih tegas. “Aku janji, ini rahasia kita berdua. Aku nggak akan bocorin apa pun ke Mas Gala. Aku hanya penasaran dengan ruangan itu. Aku janji, aku nggak akan ma