“Duduk!” tegas Mas Gala.
Seumur-umur, aku tidak pernah diperintah oleh siapa pun. Aku orang yang bebas dengan segala argumen dan juga keberanianku. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa kalah dengan Mas Gala? Bagaimana mungkin, aku bisa menjadi suruhannya Mas Gala?
Aku duduk sesuai perintah. Dan aku tidak bisa membantah.
“Makan!” Ucapannya masih sama. Pendek, tapi nyelekit di hati.
Aku melihat sekeliling meja makan. Nasi goreng bertengger di atasnya. Ayam goreng, sop, sayur segar, dan ikan seukuran tangan menjadi salah satu pelengkap. Sumpah, mungkin ini makanan yang biasa saja bagi Mas Gala. Aku yakin jika Bi Marni memasak bahan-bahan sisa karena sibuk membantu nikahan kemarin. Namun bagiku, ini adalah makanan yang cukup mewah. Saat dikosan, makananku itu-itu saja. Kalau tidak nasi telur, paling banter nasi ayam, itu juga seminggu sekali.
Aku masih ingat ucapan Bapak. Hidup itu harus hemat. Sebab jika hemat, seseorang akan merasa begitu bersyukur. Nasihat Bapak, makanlah sesuatu yang benar-benar diinginkan sesekali untuk menyeimbangkan kehidupan. Meski waktu itu aku bekerja sebagai team marketing di salah satu perusahaan dengan gaji di atas UMR, tetapi aku mencoba menerapkan hidup sesuai dengan apa yang Bapak ajarkan. Apalagi, sebagian besar uang hasil bekerja dikirim ke Ibu.
“Kok diem?” tanya Mas Gala saat aku melamun.
Aku gelagapan. “Enggak.”
“Makanannya kurang banyak ya?”
Sebelum aku menjawab, Mas Gala angkat bicara lagi. “Makan yang ada! Jangan manja!”
Lah? Aku belum jawab apa pun soal makanan. Bahkan tadinya, aku akan bilang jika ini pertama kalinya aku bisa sarapan dengan menu cukup banyak. Bagaimana mungkin dia se-negatif thinking itu ke aku?
“Masih diem?” Mas Gala berhenti mengunyah. “Rumah ini bukan tempat syuting, ya. Jadi jangan drama terus.”
Huh. Jika ada penelitian yang menyebutkan perempuan berkata lebih banyak dari laki-laki, maka di situasi sekarang fakta itu tidak berlaku. Meski Mas Gala jarang berbicara panjang lebar, tetapi dia sering sekali mengomel. Hal itu malah membuatku muak.
“Mau saya ambilkan?”
Nah, sekarang ucapannya agak lembut! Tingkatkan Mas!
Aku tidak menduga jika Mas Gala akan mengambilkan nasi goreng. Dia juga menambahkan paha ayam di atasnya. Tentu saja aku merasa amaze. Rupanya, dia tidak mau aku kelaparan. Aku tahu tujuannya. Dia takut aku ngadu ke Ibu kan? Apalagi, kami akan berangkat ke Garut pagi ini.
“Makasih, Mas,” desahku sambil menarik piring.
Lumayanlah ya nilai perhatiannya meningkat. Awalnya dua, sekarang tiga. Mungkin belum sampai sepuluh, tapi aku yakin jika akan ada masanya kalau Mas Gala akan memperhatikanku lebih dari ini.
“Mas,” sambil mengunyah nasi goreng, aku angkat suara. “Sejak kapan kamu tinggal di sini?”
“Sejak berumur dua puluh tahun.”
Aku mengangguk-angguk. Hebat juga Mas Gala. Dia bisa hidup mandiri tanpa orangtua diumur yang terbilang masih muda.
“Orangtuamu pasti bangga,” desahku.
Mas Gala melotot. “Bisa diem nggak?”
Oh, sepertinya ucapanku soal orangtua menyinggung Mas Gala. Lagian, kenapa sih Nar, kamu membicarakan orangtua di hadapan Mas Gala? Mas Gala itu hidup tanpa orangtua sejak kecil. Seharusnya kamu lebih menghargai itu! Wajar kalau dia marah.
“Saya paling nggak suka bahas orangtua!” tegas Mas Gala.
Aku menunduk, “Maaf Mas.”
Sekarang, aku memilih untuk menyeruput air putih di atas meja. Kemudian, aku menyudahi makan dengan badan menegang.
“Kok berhenti makan?”
“Tadi kan, kamu nyuruh aku diem!” Aku mendongak. “Ya aku diem ....”
“Gila!” ucapnya.
Aku hanya tertawa mendapati perkataan itu. Lucu juga kalau Mas Gala kesal seperti itu.
***
Ada yang penasaran dengan Mas Gala Bahuwirya? Mungkin aku akan sedikit membicarakannya sambil menunggu kami sampai di Garut. Kamu pasti penasaran, kenapa Mas Gala bisa jadi orang super kaku dengan segala ucapan pedasnya.
Di awal-awal kami bertemu, aku langsung menerima ajakannya menikah. Sebab aku yakin jika dia orang yang baik, romantis, juga bersahabat. Ya, bukankah aku sudah bertemu dengannya sejak lima tahun lalu? Aku bisa memastikan jika Mas Gala adalah orang yang sama dengan sosok yang sering muncul di mimpiku.
Namun jelas saja faktanya tidak sesuai dengan pemikiranku. Kalian juga tahu kan, bagaimana sikapnya di hari pertama kami menikah? Semua sifat aslinya keluar. Maka dari itu, aku bisa menyimpulkan beberapa hal yang menyebabkan Mas Gala menjadi lelaki super menyebalkan.
Aku tahu jika Mas Gala yatim piatu saat dia datang ke rumah Ibu di Garut. Ibu dan Bapaknya meninggal saat dia berumur tiga tahun. Dia menceritakan penuh latar belakang keluarganya. Dia juga mengatakan bahwa dirinya berasal dari luar pulau Jawa, kemudian merantau ke Bandung.
Hidupnya keras. Mas Gala terbiasa bekerja. Hingga akhirnya, aku mencari tahu tanggal berdirinya PT Gamalang Abadi. Sudah banyak media yang meliput perusahaan tersebut, karena faktanya, perusahaan itu berdiri saat Mas Gala berumur 20 tahun. Berarti bertepatan dengan usiaku yang menginjak 17 tahun pada masa itu. Hingga di umur 26 tahun, Mas Gala menjadi salah satu pemuda yang cukup kaya di Bandung.
Dari fakta-fakta itu, aku bisa menyimpulkan sifat dan karakter Mas Gala. Dia memang terbiasa seperti robot sejak awal. Bahkan saat aku bertanya kepada Bi Marni, Mas Gala belum pernah membawa perempuan sekali pun ke rumah. Bi Marni yang sudah bekerja sejak enam tahun lalu, jelas lebih banyak tahu tentang Mas Gala.
Namun meski begitu, ada satu hal yang menurutku kontradiktif dengan latar belakang Mas Gala. Bayangkan, dia tidak pernah membawa perempuan ke rumah. Mas Gala tidak pernah terdengar berpacaran dengan siapa pun. Kemudian di saat aku datang ke kantornya, tiba-tiba dia membisikanku untuk mau menikah dengannya. Itu adalah keanehan nomor satu.
Apa yang menjadi alasan Mas Gala menikahiku? Ini masih menjadi misteri hingga kini. Seperti yang kujelaskan, aku bodoh! Kenapa tidak sejak awal aku mencari tahu tentang alasan itu? Aku malah terbuai oleh Mas Gala karena terlanjur percaya dengan sosok di dalam mimpi. Akibatnya, aku dihantui rasa penasaran terus-menerus.
“Nanti kalau ada yang nanya soal malam pertama, jawab saja kita melakukannya,” jelas Mas Gala.
Ucapan itu benar-benar membuyarkan lamunanku yang mengawang-awang ke atas sana. Aku juga baru sadar kalau mobil Mas Gala sudah jauh melaju dari rumah.
“Kenapa gitu?” tanyaku pura-pura polos.
“Ya supaya mereka percaya kalau kita memang suami istri.”
“Berarti kalau kita tidak melakukannya, kita bukan suami istri?” Kedua alisku menaut. “Aku heran deh, Mas sama kamu. Kenapa kamu melakukan ini? Apa yang sebenarnya kamu inginkan?”
“Saya tidak suka diinterogasi seperti itu!” tegas Mas Gala. “Yang jelas, kamu harus menuruti perintah saya!”
Aku tertawa sambil mengelus dada. Haduh, Mas, Mas. Kamu itu misterius sekali, tapi hal inilah yang sepertinya akan membuatku bertahan.
“Satu lagi,” dia masih membolak-balikkan setiran, “kamu tidak boleh berbicara apa pun kepada orangtuamu soal saya. Saya bisa pastikan kalau kamu tidak akan hidup tentram kalau semuanya terbongkar.”
“Soal perlakuanmu sama aku?” tanyaku.
Mas Gala tidak merespons.
“Aku nggak akan berbicara apa pun soal rumah tanggaku, Mas. Masalah Ibu sudah cukup rumit sejak Bapak meninggal. Jadi kamu jangan khawatir. Aku tidak akan membocorkan kebusukanmu.”
“Kebusukan?”
“Ya kebusukan! Memang menurutmu apa jika seorang suami memperlakukan istrinya seperti ini? Itu busuk, Mas!”
Mas Gala tidak menanggapi ucapanku. Hanya saja aku melihat ada kilat emosi di matanya. Entahlah, Mas. Aku benar-benar tidak tahu semua yang ada di pikiranmu. Yang jelas, aku mencintaimu sejak awal kita bertemu di dalam mimpi. Maka aku tidak memiliki alasan untuk menyerah begitu cepat. Ya, aku akan berusaha untuk menarik perhatianmu kembali.
Bertepatan dengan itu, aku melihat sebuah mobil besar dari depan. Mobil yang tiba-tiba saja memotong dan menyalip beberapa kendaraan. Hingga aku melotot. Mobil itu berhadap-hadapan dengan mobil Mas Gala. Mobil itu ada di jalur yang salah.
“Awas, Mas!” teriakku.
Mas Gala tidak bersuara. Hanya saja aku langsung menutup wajah dengan kedua tangan. Setelah itu, aku merasakan guncangan yang begitu keras. Aku tidak tahu, apakah kami masih diberi nyawa oleh Tuhan setelah ini?
***
Aku mendengar beberapa teriakkan, hingga ada satu hal yang membuatku beku. Kendaraan Mas Gala berhenti. Sementara jeritan dari luar seolah menggambarkan chaos-nya keadaan. Jeritan itu panjang, namun aku masih menutup wajah dengan dada naik turun. Kejadian ini mengingatkanku kepada Bapak. Bapak meninggal gara-gara tambrakan sehabis pulang mengantarku wisuda.“Kamu nggak apa-apa?”Suara itu? Ah, suara itu benar-benar menenangkanku. Bagaimana mungkin Mas Gala bisa membuat seluruh tubuhku menghangat? Perlahan-lahan, aku membuka mata. Kamu tahu? Kedua tangan Mas Gala melingkar di kepalaku. Ternyata, dia memelukku dengan begitu erat.“Mas .....”Sekarang, Mas Gala mengusap wajahku yang berkeringat. Dia terlihat begitu cemas. “Ada yang sakit?”Aku menggeleng. “Aku cuma .....”“Bilang kalau kamu merasa sakit!” tegasnya.“Aku cuma ....” Aku mengembuskan napas dengan diirin
Ibu mengangguk dengan tatapan nanar. Aku tahu, Ibu sangat sedih jika harus mengungkit hal-hal yang berhubungan dengan Bapak. Tapi apa boleh buat? Bukankah Bapak memberikan amanat itu kepada Ibu? Sebagai anak, tentu saja aku hanya bisa menguatkan.“Jang Kasep tunggu saja di ruang tamu ya,” desah Ibu. “Bukannya nggak boleh ikut ke kamar, tapi ....”“Tidak masalah, Bu,” jawab Mas Gala. “Saya mengerti.”Ibu tersenyum lebar mendengar tanggapan sopan dari Mas Gala.Kami bertiga bangkit dari ruang makan. Mas Gala melangkah ke ruang tamu, sementara aku dan Ibu melangkah ke kamar Ibu. Kamar yang sudah lama tidak aku injak. Aku masih ingat, terakhir kali masuk ke kamar itu saat aku kelas lima SD. Sebelum pindah ke kamar berbeda.Saat masuk ke kamar, aku masih mencium aroma tubuh Bapak. Aroma yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Harum khas yang membuat badanku seperti tersuntik energi. Ah, Bapak memang h
“Kalau ada tragedi kayak gini, siapa yang nolongin kamu, Mas?” Aku bertanya sambil mengompres dahi Mas Gala dengan air hangat. Dulu, sering sekali aku menghayal untuk bisa memberikan perhatian semacam ini kepada seorang lelaki. Sekarang, semua jadi kenyataan. “Apa kamu sendiri yang ngobatin?”“Bawel!” tegasnya.Aku menekan kompresan di dahinya hingga dia mengaduh. Rasain! Lagian, judes banget sih jadi orang?“Kamu nggak berprikemanusiaan banget sih?” tanyanya dengan mata melotot.“Kamu yang enggak berprikesuamian. Ditanya kayak gitu aja kok ngambek!”Aku tidak akan kalah begitu saja Mas. Kamu lihat kan, kalau aku bisa melawan? Hahaha. Mas Gala sangat menggemaskan jika digoda seperti ini.“Aku tahu kok siapa yang layanin kamu kalau ada tragedi kayak gini.” Aku terkikik.“Sok tahu!” Mas Gala pura-pura melihat ke arah lain. “Emang siapa?”
“Mas Gala!” teriakku.Sial! Apa yang salah dengan makam Bapak? Kenapa Mas Gala pergi begitu saja? Dia seperti ketakutan. Di sisi lain, dia juga terlihat emosi. Seolah-olah, pernah ada hubungan antara Bapak dan Mas Gala sebelumnya. Tapi apa?“Mas tunggu!” teriakku makin kencang. “Jangan gini dong!”Mas Gala pikir, mungkin aku adalah seorang perempuan lemah yang tidak bisa berlari untuk menyusulnya. Hei, kamu tidak tahu Mas. Gini-gini, aku adalah juara atlit lari antar anak-anak kampung semasa SD. Kamu menyepelekanku, Mas?Aku berlari begitu kencang. Bahkan aku sudah bisa melihat tubuh Mas Gala yang semakin dekat denganku. Kira-kira 15 meter dari posisiku sekarang. Namun, aku terkejut luar biasa saat ada gonggongan anjing dari belakang! Otomatis, aku menengok. Ada satu anjing yang seperti kesetanan mengejar kami berdua.Kampungku tidak pernah berubah dengan keberadaan anjing-anjing milik warga. Di sini, anjing dija
“Kamu di mana?” teriakku.Ini kesekian kalinya aku mencari sosok itu. Namun, bagaimana mungkin aku tidak menemukannya? Di mana dia yang selalu menemaniku dikala sedih? Di mana dia yang selalu mendengarkanku saat bercerita soal Bapak?“Jangan becanda!” Aku hampir frustrasi, hingga duduk di atas tanah.Aku harus mencari dia ke mana lagi? Ini tanah lapang. Tidak ada jalan yang bisa kutelusuri. Semua hal yang kulihat semacam ruangan luas yang sama sekali tidak berpenghuni. “Apa kamu nggak sayang aku lagi?”Masih tidak ada jawaban. Hanya gema suara sendiri yang berhasil kudengar. Sementara suara lembut itu, senyum lebar yang menenangkan itu, semuanya lenyap. Aku jadi ingat pertemuan kemarin. Apakah dia memang benar-benar pergi? Kupikir dia becanda, tapi semua yang diucapkan benar adanya.Sekarang, aku tidak bisa melakukan apa pun selain menangis kencang. Tangisan itu membuat aku membuka mata. Lebar. Dan, ah ... aku mi
Titik nggak pakek koma, pokoknya aku benar-benar marah. Mas Gala sudah keterlaluan tadi pagi. Dia membuat hatiku sakit. Dia semakin menunjukkan bahwa keberadaanku tidak ada penting-pentingnya.Sekarang, aku masuk ke dalam mobil dengan bibir cemberut. Aku juga memasang pengaman tanpa ba bi bu. Sementara dengan cueknya, Mas Gala tetap melajukan mobil tanpa bertanya apa-apa. See? Dia itu benar-benar menyebalkan.Saat mobil melaju, aku sempat melihat makam Bapak dari kejauhan. Kemarin, aku benar-benar menyesal karena tidak bisa berlama-lama di makam itu. Dan sekarang, aku malah pulang ke Bandung tanpa menemuinya lagi.Bapak nggak marah kan? Semoga tidak. Aku yakin, Bapak mengerti perasaan Mas Gala. Sebagai seorang istri, aku harus menghargai Mas Gala yang tidak bisa melihat makam dalam waktu yang lama. Dia begitu terpukul jika ingat orangtuanya.“Peti itu sudah dibawa?” tanya Mas Gala tiba-tiba.Aku tidak menjawab. Kamu pikir, kamu doang ya
Kami sudah sampai di Bandung. Syukurlah. Aku ingin segera masuk ke rumah, kemudian menangis sejadi-jadinya selama Mas Gala kerja. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan berbagai kejadian yang terjadi hanya dalam beberapa jam saja. Kamu tahu rasanya ditikam batu besar dari atas? Begitulah kira-kira diriku sekarang. Sakit. Remuk.Kulihat Mas Gala mengambil ponsel dari dasboard. Dia menyetir menggunakan satu tangan, sementara satu tangan lainnya sibuk menggulirkan layar ponsel. Setelah itu, kulihat dia menempelkan ponsel di telinga.“Atur ulang jadwal meeting siang ini ya!” tegasnya. “Saya ada keperluan!”Mas Gala menurunkan ponsel. Sekarang, dia sibuk lagi menggulir layar ponsel, kemudian, dia menelepon seseorang.“Mel, kita ketemu siang ini ya. Saya sudah di Bandung. Mungkin dua puluh menitan lagi, saya sampai di tempat biasa.”Mas Gala mengakhiri telepon, menyimpan benda itu di dasboard, lalu kembali fokus meny
Aku masuk ke dalam mobil dengan senyum sumringah. Aku merasa begitu bahagia saat tahu bahwa suamiku bertanggungjawab penuh untuk memberikan bukti. Dia mengajakku bertemu langsung dengan Melica supaya aku tidak salah faham. Ah, Mas, kamu selalu berusaha meyakinkanku, tetapi di sisi lain, kamu juga keras, kaku, datar, dan kadang-kadang menyakitkan. Kenapa bisa begitu, Mas?Aku melirik Mas Gala yang sedang membolak-balikkan setiran mobil. Setelahnya, dia melajukan kendaraan dari café yang sudah kami datangi. Aku yang ada di sisinya terus menatapnya dengan senyuman lebar. Kalau dilihat-lihat, Mas Gala begitu mempesona. Aku mencintai bentuk rahang yang begitu tajam.“Ngapain lihat-lihat?” tanya Mas Gala. Matanya masih fokus ke depan.“Heh?” Aku langsung nyengir. “Kukira kamu nggak nyadar, Mas.”“Kamu lihatin gitu kayak mau ngelahap saya tau nggak!”Aku tertawa mendengar ucapan itu. Kenapa sih Mas, k