Hai, Kak, terimakasih banyak karena kalian sudah membaca novel ini. Tanpa dukungan kalian novel ini mungkin tidak akan bisa aku selesai dengan baik. Terimakasih atas supportnya selama ini.
Di sini, aku ingin menyampaikan mengenai kelanjutan dari cerita My Cold Husband Is A CEO. Yang mana judul selanjutnya My Cold Husband IS A CEO 2. Kakak semua bisa lihat di 'tentang penulis' di bagian depan buku ini untuk melihatnya. Tentu saja aku pasti melanjutkan cerita ini karena masih banyak konflik-konflik yang akan mengiringi perjalanan rumah tangga Elgan dan Cia, kehamilan Cia dan juga perjalanan cinta Niko dan Nadin.
Semoga kalian suka dengan kelanjutan cerita ini. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih.
One year ago"Bapak dan ibu yang terhormat, sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Waktu setempat sekarang menunjukkan pukul 11 lewat 20 menit. Waktu setempat adalah 5 jam lebih cepat dari pada waktu di Amsterdam. Silahkan mengenakan sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi, melipat dan mengunci meja serta menyimpan sandaran kaki dan layar vidio ketempat semula. Laptop dan alat elektronik lainnya kami mohon untuk di matikan sekarang. Perlu kami sampaikan bahwa bagi siapa saja yang membawa dan menyimpan segala bentuk narkoba atau sejenisnya akan mendapat hukuman berat dan bagi anda yang mengetahui agar melapor kepada petugas, terimakasih." Suara seorang awak pesawat terdengar oleh para penumpang. Setelah mendengar pemberitahuan tersebut, para penumpang langsung melaksanakan instruksi dari yang mereka dengar.Beberapa menit kemudian pesawat sudah mendarat dengan sempurna. Para penumpang juga sudah mulai beranjak dari kursi mereka s
"Sayang... Cia... ini sudah hampir maghrib, kalian mau sampai kapan bermainnya!" suara Elena, mama Cia, terdengar menggelegar dari dalam rumah. Elena berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang menatap tajam suami dan anak semata wayangnya yang masih asik bermain badminton. Xavier dan Cia mengabaikan teriakan Elena. Mereka terus melanjutkan permainan seolah tidak terganggu dengan tatapan tajam wanita itu."Mama hitung sampai tiga, kalau masih tidak berhenti, Papa tidur diluar malam ini!" Teriak Elena mengancam suaminya, Xavier. Mendengar ancaman istrinya, Xavier langsung menghentikan permainan dan meninggalkan Cia yang siap menservis."Papa, jangan curang, Cia sudah menang, kenapa Papa pergi, sih?" Omel Cia saat melihat papanya pergi meninggalkan lapangan. Mereka sedang bermain Badminton di halaman belakang rumah. Memang rumah tempat mereka tinggal memiliki halaman yang luas dan asri. Warna halaman rumah itu pun terasa hidup dengan banya
07 : 15 WIB Suasana ibu kota Indonesia selalu seperti biasa dengan keramaiannya. Orang-orang melakukan berbagai macam aktivitas seperti biasa. Kota ini merupakan kota terpadat se-Indonesia juga kota yang tidak pernah tidur. Saat berada dikota ini, kita seakan-akan lupa waktu, walaupun tengah larut malam orang-orang masih saja berkeliaran melakukan aktivitas mereka seakan tak kenal waktu untuk tidur. Saat berada di kota ini, ada satu masalah yang seakan selalu menguji kesabaran siapa saja. Kemacetannya, yang sangat terkenal bahkan sampai keluar Indonesia. Hanya untuk mencapai suatu tempat pun menjadi butuh waktu yang lama, seperti yang tengah dialami oleh seorang pria yang sedari tadi terus mengeluarkan umpatan melihat kemacetan didepannya. Suara klakson yang saling bersahutan menambah keributan dearah itu.Rambu-rambu lalu lintas yang berada dipersimpangan jalan itu sudah menunjukkan warna hijau yang menyala, menandakan bahwa para peng
"Elgan...! bangun...! ini sudah hampir jam sembilan!" Suara ketukan pintu dan teriakan Lira mengusik pria yang masih berada di alam bawah sadarnya."Kamu kemarin malam pulang jam berapa? Kenapa sudah jam segini masih belum bangun?!" Omel Lira.Elgan menggeliat diatas ranjang mendengar tariakan mamanya yang membuat tidur nyenyaknya terganggu."Kenapa sih, Ma?" Suara Elgan terdengar serak, khas orang bangun tidur. Matanya masih saja terpejam seperti ada sesuatu yang merekatkannya."Bangun kamu! Ini sudah jam sembilan." Tegas Lira dari luar kamar.Mendengar kata jam sembilan yang diucapkan mamanya, Elgan langsung terduduk diatas ranjang dan melihat jam di dinding dengan tampang syok."Astaga, gue telat!" Kagetnya langsung turun dari ranjang."Aaagh...."Rasa pusing langsung menyerangnya karena berdiri tiba-tiba. Elgan mengabaikan rasa pusingnya dan memasuki kamar mandi un
Malam hari, sekitar pukul setengah delapan keluarga Lambert sudah bersiap-siap hendak pergi kerumah sahabat mereka. Lira sedari tadi terus tersenyum tidak jelas membuat Elgan heran melihat tingkah mamanya itu. Lira sudah cantik dengan dress berwarna baby blue yang melekat ditubuhnya yang masih terlihat indah. Lira memang masih cantik disaat umurnya yang sudah hampir memasuki usia 50-an. Tidak heran ia memiliki putra yang sangat tampan seperti Elgan."Kenapa sih Ma kelihatannya seneng banget?" Tanya Elgan mengalihkan perhatian mamanya."Iya, mama lagi bahagia, bentar lagi bakalan jumpa calon mantu mama." Jawab Lira masih dengan senyumannya. Elgan langsung mengalihkan pandangannya dari mamanya mendengar jawaban tersebut.Tiiin...Tiiin...Suara klakson mobil terdengar dari garasi. Bima yang sedang memanaskan mesin mobil membunyikan klaksonnya saat istri dan anaknya tak kunjung keluar."Ayo, Nak. Papamu sudah heboh sendiri didepan." Lira mengajak Elg
Ingin rasanya Cia mengatakan tidak kepada Bima, tapi melihat antusias kedua orangtuanya membuat Cia bersedih. Pasti orang tuanya akan sangat kecewa jika ia menolak perjodohan tersebut.Cia tidak kunjung menjawab pertanyaan tersebut sehingga Bima kembali berujar."Keterdiamanmu akan kami anggap sebagai jawaban, bahwa kamu menerima perjodohan ini." Ujarnya.Lira dan kedua orangtua Cia tersenyum mendengar penuturan Bima barusan. Sementara Cia dan Elgan tampak diam seribu bahasa. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, tetapi jika dilihat dari mimik wajah tampak jelas jika mereka tidak menunjukkan kebahagiaan yang biasanya dirasakan oleh sepasang kekasih yang akan segera menikah."Elgan, kamu bisa langsung memasangkan cincin untuk Cia." Suruh Bima pada anaknya.Elgan merasa seperti sedang bermimpi. Bagaimana bisa ia berakhir seperti ini. Berakhir dengan gadis pilihan mamanya dan melamar gadis itu malam ini. Elgan mel
Nadin menatap kesal ponselnya yang berada di atas meja, tepat di samping komputer. Waktu makan siang sudah masuk sepuluh menit yang lalu. Namun, Nadin masih belum beranjak dari kursinya."Kenapa lo?" Suara Cia mengalihkan pandangannya."Ini nih, si Niko. Katanya mau ngajakin gue makan diluar, tapi sampai sekarang masih belum ngasih kabar." Nadin memanyunkan bibirnya."Dia lupa kali. Mending lo telpon aja deh dari pada lo kelamaan nunggu." Cia memberi solusi."What? Yang bener aja lo! Masa iya gue duluan yang nelpon, kan gue malu. Mau ditaroh dimana wajah cantik gue ini. Nanti dia pikir gue terlalu berharap lagi." Protes Nadin tidak setuju dengan solusi Cia."Lo mah gitu, gengsinya kebangetan." Cia berujar sambil membereskan lembaran-lembaran kertas yang berserakan diatas mejanya.Nadin bungkam, tidak membantah perkataan Cia. Cia yang melihat Nadin tidak menjawab melanjutkan ucapannya."Kalau gue jadi lo ya, gue
Elgan menaiki mobil yang dikemudi oleh supirnya. Ia membiarkan Niko membawa mobilnya untuk mengantarkan Nadin, lagipula ia terlalu malas jika harus ikut dengan Niki untuk mengantarkan gadis itu ke kantornya. Sangat merepotkan, pikir Elgan.Tidak berapa lama kemudian, Elgan sampai di depan rumah mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama orangtuanya. Ternyata di saat siang begini, pelataran rumah keluarga Florence itu tampak jauh lebih indah.Elgan bergegas menuju pintu utama. Seorang pembantu yang berada di depan rumah membukakan pintu untuk Elgan."Assalamu'alaikum." Salam Elgan setelah pembantu itu pergi dari hadapannya. Elgan melemparkan pandangannya ke setiap ruangan, menunggu si tuan rumah menjawab salamnya."Wa'alaikumsalam." Suara Elena terdengar dari salah satu ruangan. Elena menghampiri Elgan sembari tersenyum manis menyambut kedatangan calon menantunya itu."Nak Elgan, kamu sendirian? Tante pikir kamu datang b
Hai, Kak, terimakasih banyak karena kalian sudah membaca novel ini. Tanpa dukungan kalian novel ini mungkin tidak akan bisa aku selesai dengan baik. Terimakasih atas supportnya selama ini. Di sini, aku ingin menyampaikan mengenai kelanjutan dari cerita My Cold Husband Is A CEO. Yang mana judul selanjutnya My Cold Husband IS A CEO 2. Kakak semua bisa lihat di 'tentang penulis' di bagian depan buku ini untuk melihatnya. Tentu saja aku pasti melanjutkan cerita ini karena masih banyak konflik-konflik yang akan mengiringi perjalanan rumah tangga Elgan dan Cia, kehamilan Cia dan juga perjalanan cinta Niko dan Nadin. Semoga kalian suka dengan kelanjutan cerita ini. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih.
Dua bulan kemudian. Langit masih gelap, awan masih tampak hitam. Rembulan sudah mulai turun. Azan subuh sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Jangan harap ada suara kokokan ayam yang menjadi alarm tidur. Ini bukan pedesaan. Orang-orang perkotaan biasanya menggunakan benda kecil dengan suara yang nyaring untuk membangunkan tidur mereka. Hal itu sama seperti Cia, wanita itu biasanya bangun karena alarm. Tapi, hari ini berbeda, Cia terbangun dari tidurnya saat rasa mual tiba-tiba merenggut tidur nyenyaknya.Di dalam kamar mandi, Cia berdiri di depan wastafel dan memuntahkan cairan bening yang terasa pahit di lidahnya. Perutnya terasa melilit, padahal ia tidak sedang menstruasi.Cia menyeka air yang lengket di mulutnya. Tidak ada makanan yang keluar kecuali cairan bening yang terasa pahit.Ruangan yang tidak terlalu besar itu terasa berputar saat Cia mencoba menegakkan t
Selesai sarapan pagi, Cia langsung mencuci piring kotor yang sudah Elgan pindahkan dari meja makan ke wastafel yang tidak jauh dari meja kompor. Ada banyak perubahan dari diri Elgan dan Cia sangat mensyukuri itu. Suaminya itu tidak lagi langsung pergi setelah selesai makan, seperti yang sudah-sudah. Kali ini, Elgan akan membantunya melakukan pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan. Awalnya, Cia terperangah saat melihat Elgan memindahkan piring-piring kotor itu ke wastafel. Hingga akhirnya ia mengulum senyum saat melihat Elgan kembali ke meja makan dan membersihkan meja tersebut dengan serbet.Elgan yang tadi melihat wajah keheranan Cia, langsung menjawab tanpa diminta."Aku mau bantuin istriku beresin ini, bolehkan?" Elgan menatap Cia dengan penuh cinta.Cia yang sedang berdiri di depan wastafel semakin mengembangkan senyumnya.Istriku.Kata yang manis.Walaupun perlakuan Elgan sangat sederhana, hal itu sudah mampu menyentuh
Elgan baru saja pergi dari pemakaman Alden bersama Niko dan Nadin. Pemakaman yang dilakukan dengan khidmat itu menyisakan kenangan di ingatan mereka. Mereka masih saja tidak menyangka kalau Alden benar-benar telah pergi, padahal rasanya mereka baru saja bertemu. Pertemuan mereka memang tidak disangka-sangka, sama seperti perpisahan kali ini. Semua makhluk hidup pasti akan bertemu azalnya, semua orang tau itu, tapi tetap saja setiap kepergian selalu menyisakan kesedihan. Mengapa harus demikian? Bukankah kita sudah tau akhir dari kehidupan? Bukankah kita tau kematian akan menghampiri siapapun? Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, begitulah konteksnya. Kita tidak dapat membantah dan menghindari hal tersebut.Mereka memasuki ruangan serba putih itu, bau obat-obatan langsung menyambut mereka. Di sana, sudah ada Lira dan Bima, sementara Xavier dan Elena masih di pemakaman, mereka sedang menemani Mr. Bill yang sedang berduka. Elgan segera menghampiri Cia, wanita itu sedang tidur, m
Elgan dan Amora berjalan cepat di lorong rumah sakit yang sunyi menuju ruang operasi tempat Cia dan Alden berada. Disana, Elgan melihat kedua mertuanya terduduk lemas. Mereka saling merengkuh, menangis terisak. Terlebih Elena, wanita itu tidak dapat menahan isakannya yang semakin menjadi. Tubuhnya bergetar hebat sejak mendapat kabar tentang kecelakaan putrinya. Elena meradang, kejadian waktu itu kembali terulang. Ia menggeleng kuat ketika pikiran-pikiran buruk mengenai keselamatan putrinya melintas di pikirannya. Disana, Elgan juga melihat keberadaan Mr. Bill. Pria itu tampak terpukul dengan kejadian ini. Tapi apakah itu asli atau hanya sekedar akting?."Ma, Pa." Panggilnya setelah sampai di dekat mertuanya.Xavier menatap Elgan sebentar lalu melirik Amora yang berdiri di samping pria itu. Sementara Elena tetap menangis di pelukan suaminya."Pa, maafin aku. Aku gak bisa jaga Cia dengan baik." Elgan menatap Xavier dengan perasaan bersalah.Ia telah
Cia baru saja keluar dari gedung tempatnya bekerja. Sekarang ia tengah mengendarai mobilnya sambil bersenandung ria. Cia mengetuk-ngetuk stir dengan telunjuknya mengikuti irama musik yang ia dengar. Sebuah lagu keluaran terbaru dari Taylor Swift dengan judul It's Time to Go sering ia dengar akhir-akhir ini. Cia menatap jalanan di depannya. Orang-orang tampak sedang menunggu lampu berubah hijau, termasuk dirinya.Cia termenung beberapa saat, pikirannya melayang memikirkan Elgan, pasti pria itu sedang bertemu dengan Amora saat ini. Ia tidak mengungkit hal tersebut tadi pagi karena menunggu pengakuan dari Elgan, tapi tampaknya pria itu tidak berniat memberitahunya bahwa ia akan bertemu Amora sore ini. Cia juga malas untuk bertanya. Biarkan saja pria itu melakukan apapun yang ia suka. Lampu di depannya sudah berubah, Cia langsung tancap gas menyusuri jalanan disana. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari mobil setelah melepas sealtbelt dan mengambil tasnya di jok sebelah.
Langit masih gelap menandakan hari masih malam, tapi Cia sudah terusik dari tidurnya. Ia melenguh pelan disusul dengan matanya yang kian terbuka. Cia mengusap matanya pelan lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Gelap. Ruangan dimana ia dan Elgan tidur hanya diterangi oleh cahaya yang berasal dari lampu yang berada di atas nakas.Cia mengulurkan tangan dan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas lalu melihat jam yang tertera di benda pipih itu."Masih jam setengah empat. Berarti gue baru tidur sekitar satu jam setengah, huh!" Ucapnya pelan lalu kembali meletakkan ponselnya ke tempat semula.Cia menoleh ke samping dan melihat Elgan yang masih terpecam. Pria itu tidur menyamping ke arahnya dengan lengan kekarnya yang berada di atas perutnya. Ia yang tadinya tidur telentang kini merubah posisinya menjadi menghadap Elgan. Senyum manis langsung terukir di bibir tipisnya saat melihat wajah Elgan yang tak berekpresi. Dengan perlahan tangannya terulur
Elgan memasuki kamar dimana di dalamnya sudah ada Cia yang baru saja keluar dari kamar mandi. Elgan memperhatikan tubuh Cia yang kini sudah dibalut gaun tidur. Sexy dan tentunya menggoda. Elgan yang berdiri kaku di ambang pintu baru menyadari betapa indahnya tubuh ciptaan tuhan tersebut. Kemana saja ia selama ini hingga sekarang ia baru menyadari hal tersebut? Akh! Elgan merutuki dirinya yang telah menyia-nyiakan ke-agresifan Cia dulu.Andai saja dulu ia tidak dibutakan oleh cinta masa lalunya, pasti sekarang ia dan Cia sudah bahagia dan selalu menghabiskan malam mereka dengan kegiatan panas yang menguras tenaga. Huh! Elgan jadi panas dingin memikirkannya."Gimana caranya supaya gue bisa dapetin Cia lagi?"Elgan menyandarkan tubuhnya di kosen pintu sambil memperhatikan gerak gerik Cia yang sedang menyisir rambut di depan cermin.Elgan ingin merasakan tubuh itu lagi!"Akkhh!!" Elgan meremas rambutnya frustasi. Mengapa di saat yang
Mobil sport hitam yang dikemudi oleh Alden tampak melaju membelah kepadatan kota Jakarta. Gedung-gedung pencakar lagi tak luput dari perjalanan mereka. Para pengguna jalan dari bermacam generasi menjadi point penting untuk kepadatan kota itui. Alden bersenandung kecil mengikuti irama musik yang berasal dari radio. Sebuah lagu yang berjudul; Bukan Dia Tapi Aku yang dibawakan oleh Judika ikut ia nyanyikan bersama jarinya yang sesekali mengetuk-ngetuk stir mobil. Tidak berapa lama kemudian, mobil hitam itu tampak melambat dan berbelok memasuki salah satu gedung pencakar langit lalu berhenti di basement.Alden dan Cia turun dari mobil. Cia yang baru pertama kali datang ke perusahaan itu celinga-celinguk menatap keseluruhan interior. Semuanya tampak cantik dan mewah. Mereka memasuki lobby dan tanpa bertanya kepada resepsionis Alden menarik Cia memasuki lift yang Cia yakin lift itu di khususkan hanya untuk pemegang saham terbesar. Keluar dari lift, Alden kembali menggandeng tangan