"Sayang... Cia... ini sudah hampir maghrib, kalian mau sampai kapan bermainnya!" suara Elena, mama Cia, terdengar menggelegar dari dalam rumah. Elena berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang menatap tajam suami dan anak semata wayangnya yang masih asik bermain badminton. Xavier dan Cia mengabaikan teriakan Elena. Mereka terus melanjutkan permainan seolah tidak terganggu dengan tatapan tajam wanita itu.
"Mama hitung sampai tiga, kalau masih tidak berhenti, Papa tidur diluar malam ini!" Teriak Elena mengancam suaminya, Xavier. Mendengar ancaman istrinya, Xavier langsung menghentikan permainan dan meninggalkan Cia yang siap menservis.
"Papa, jangan curang, Cia sudah menang, kenapa Papa pergi, sih?" Omel Cia saat melihat papanya pergi meninggalkan lapangan. Mereka sedang bermain Badminton di halaman belakang rumah. Memang rumah tempat mereka tinggal memiliki halaman yang luas dan asri. Warna halaman rumah itu pun terasa hidup dengan banyaknya macam warna bunga. Rumah tersebut merupakan pilihan Elena saat mereka akan pindah ke Indonesia. Mereka pindahan dari Amsterdam tiga tahun lalu. Di indonesia mereka memiliki lebih banyak family dari pada di Amsterdam.
"Jangan begitu, sayang. Aku tidak akan sanggup jika harus tidur diluar malam ini. Oh, god aku tidak ingin itu." Xavier mengabaikan celotehan putrinya yang masih berada di lapangan dan menghampiri istrinya yang masih berdiri di depan pintu. Dirangkulnya Elena menuju kamar mereka.
"Papa itu seharusnya mengajarkan anak kita yang baik-baik bukannya seperti ini, bermain hingga hampir malam!" Omel Elena saat berjalan menuju kamar mereka.
"Sudah, Ma, jangan marah lagi nanti cepat tua." Xavier menatap istrinya, namun setelah itu ia sadar apa yang baru ia ucapkan.
Selamatkan hamba ya rabb, batin Xavier.
"Ooh ... Papa bilang Mama tua, jadi Papa ingin mencari wanita lain, begitu?!" Tanya Elena marah sambil melepas rangkulan Xavier dari bahunya dan menatap mata suaminya tajam.
"Bukan begitu sayang, bagiku sampai kapanpun kamu tetap cantik." Xavier ingin menarik tangan Elena, namun Elena terlebih dulu menjauhkan tangannya.
"Sudah lah, Papa memang ingin mencari wanita lain." Putus Elena dan berlalu meninggalkan Xavier yang berdiri dengan perasaan serba salah.
"Salah lagi... salah lagi." Xavier geleng-geleng kepala sembari memijat pelipisnya yang tidak sakit melihat istrinya yang super duper pencemburu. Disusulnya langkah Elena yang menuju kamar mereka dengan senyum devilnya. Dia sangat tahu bagaimana cara meluluhkan hati istrinya yang pemarah itu.
Disisi lain Cia menyaksikan perdebatan orangtuanya dengan tatapan cuek. Hal seperti itu sudah sering ia lihat sehingga membuatnya tidak terlalu khawatir saat melihat orang tuanya berdebat seperti itu.
Pasti sebentar lagi juga baikan, batinnya.
Selalu saja, Xavier dan Elena berdebat panas, bahkan lebih panas dari yang tadi. Namun, baru saja bertengkar, setengah jam kemudian mereka sudah kembali baikan, saling menunjukkan kemesraan. Cia memutar bola matanya jengah melihat tingkah kedua orangtuanya yang menurutnya sedikit kekanakan.
"Na... na...na...na...na..na..." Cia bersenandung ria sambil berjalan menuju kamarnya di lantai atas.
Patricia Florence. Seorang gadis manja berumur 23 tahun yang merupakan putri tunggal di keluarganya. Memiliki seorang kembaran laki-laki bernama Alden Florence. Namun kini, kakaknya itu sudah tenang di alam sana, di alam yang berbeda dengan Cia. Alden pergi meninggalkan mereka semua dan kehidupan di dunia ini 13 tahun yang lalu. Peristiwa itu merupakan bencana yang meninggalkan kesedihan amat mendalam bagi keluarga mereka, terutama kedua orangtua Cia. Putra pertama Xavier dan Elena meninggal dengan sangat mengenaskan saat jatuh dari balkon mansion nenek mereka yang tinggal di Amsterdam dan kejadian itu terjadi saat ada acara perkumpulan keluarga. Alden yang yang saat itu berusia sepuluh tahun, sedang bermain bersama sepupunya yang lain. Namun, entah apa yang terjadi, mereka semua dikejutkan saat mendengar teriakan salah satu sepupu Alden yang berasal dari kamar. Peristiwa itu membuat keluarga mereka trauma sehingga kedua orangtua Cia sangat over protectife kepadanya.
Cia tinggal di Indonesia masih satu tahun. Sebelumnya ia tinggal di Amsterdam bersama nenek dan kakeknya. Disana ia melanjutkan kuliah sehingga orang tuanya pindah terlebih dahulu. Lalu ia menyusul saat masa kuliahnya telah barakhir dan disinilah Cia sekarang, di tanah air Indonesia menjalani hari-hari barunya.
Malam hari, Cia membantu mamanya menyiapkan makan malam. Walaupun anak tunggal, Cia sudah diajarkan untuk menjadi anak yang rajin dan patuh kepada orangtua. Apalagi mamanya selalu mengajarkannya memasak berbagai jenis makanan. Cia sangat ingat perkataan mamanya saat mereka memasak bersama pertama kali.
Perempuan itu harus pandai memasak, agar nanti bisa menyiapkan makanan untuk suami. Perkataan mamanya membuat Cia selalu bersemangat jika memasak. Ia berharap jika suatu saat nanti ia sudah bersuami, ia bisa memasakkan makanan untuk suaminya setiap hari dan melihat suaminya menyantap makanan yang di buatnya dengan lahap. Membayangkan itu membuat hati Cia menghangat.
Saat ini, Cia dan mamanya sedang menyiapkan makan malam.
"Ma, Cia aja ya yang masak sambalnya." Ucap Cia pada mamanya.
"Memangnya sudah bisa?" Tanya Elena sambil memotong brokoli di tangannya.
"Bisa dong Ma, ini kan gampang, masak sayur asem aja Cia tau apa lagi sambal goreng." Jelas Cia pada mamanya. Elena dan Cia akan memasak tumis brokoli, ayam sambal goreng dan sup iga sebagai menu makan malam mereka. Makanan rumahan memang selalu menjadi pilihan keluarga mereka. Cia memasak sambal ayam goreng dengan telaten. Saat makanan yang di masaknya sudah selesai, Cia langsung menghidangkan masakannya di meja makan. Setelah itu kembali lagi ke dapur menghampiri mamanya.
"Boleh Cia bantu, Ma?" Tanya Cia yang berdiri di samping mamanya.
"Boleh. Kamu potong bahan-bahan untuk sup saja, ya." Suruh Elena.
"Oke chef."Ujar Cia sambil mengacungkan kedua jempolnya. Cia mulai melaksanakan perintah mamanya. Dimulai dari memotong bawang, tomat, kemiri, sarei dan lainnya lalu mencampurkan semua bahan di tempat yang sama yaitu blender. Setelah itu Cia menambahkan sedikit air dan mulai memblender bahan-bahan tersebut.
Beberapa menit kemudian, Cia sudah memindahkan sup yang dimasaknya ke dalam mangkuk yang berukuran sedang.
"Yey... selesaiiii!!" Ujar Cia heboh lalu menghirup aroma sup masakannya yang menggugah selera.
"Jangan teriak-teriak, kamu itu ya kebiasaan." Komentar Elena pada putrinya yang sangat hobby berteriak.
"Hehe mau gimana lagi Ma, namanya juga sudah kebiasaan, Cia refleks," sanggah Cia.
"Iya, tapi itu tidak bagus, jadi perempuan itu yang calm, yang ayu." Nasihat Elena.
Cia memang sangat suka bersuara dengan volume yang tinggi alias berteriak. Itu sudah jadi kebahagiaan tersendiri baginya. Bahkan dulu saat ia masih bersekolah hingga keperguruan tinggi, ia selalu mendapat berbagai macam julukan. Salah satunya 'si Toa Dunia'. Di antara julukan lainnya itulah julukan yang paling Cia ingat sampai sekarang. Cia tidak pernah malu mendapat julukan seperti itu, baginya itu sebuah kebanggaan sehingga orang-orang lebih banyak mengenalnya.
Menurut Cia, menjadi wanita pendiam seperti yang diingikan mamanya itu tidak menyenangkan, selalu diam, tidak banyak bicara, tidak banyak teman, hari-hari orang seperti itu pasti sangat membosankan menurutnya. Cia lebih suka menjadi dirinya sendiri, yang selalu ceria, heboh, suka berteriak, dan keras kepala, walaupun mamanya selalu mengatakan agar ia berusaha merubah kebiasaannya itu.
"Ma, jadi diri kita sendiri itu lebih baik." Ucap Cia lembut pada mamanya.
"Iya deh iya, kamu memang selalu menang dari Mama." Elena mengalah kepada putri semata wayangnya. Memang jika sudah berdebat dengan Cia tidak akan ada habisnya, selalu saja ada balasan kalau kita tidak mengalah lebih dulu.
"Mama manggil Papa diruang kerja dulu, ya." Elena pergi ke ruang kerja suaminya, hendak mengajak suaminya makan. Cia membalas perkataan mamanya hanya dengan anggukan. Ia duduk setia menunggu kedua orangtuanya diruang makan, hingga dia mendengar suara mama dan papanya yang sedang berbicara. Cia tersenyum lembut melihat kedua orangtuanya yang sudah berbaikan, padahal tadi sore mereka saling diam. Xavier menghampiri putrinya dan mengecup puncak kepala Cia.
"Malam, Pa." Sapa Cia.
"Malam, sayang." Balas Xavie lalu duduk dikursinya. Elena yang sudah duduk lebih dulu, mengambilkan makanan untuk suaminya dan diterima Xavier dengan senang hati. Mereka melalui makan malam dengan obrolan ringan yang membuat suasana makan malam mereka terasa hangat.
Selesai makan Elena kembali kedapur untuk mencuci piring dengan Xavier yang setia menunggunya diatas meja bar kecil sambil duduk. Sedangkan Cia, setelah selesai membereskan meja makan, ia langsung pergi ke ruang keluarga untuk menonton tv dengan channel kesukaannya.
"Sayang, kemarin Bima menelponku." Ucap Xavier membuka obrolan.
"Tumben sekali dia menelpon, ada urusan apa, Pa? Bagaiman kabarnya dan Lira?" Balas Elena sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Kabar mereka baik baik-baik saja dan dia mengungkit soal perjanjian kita dulu." Xavier menatap punggung istrinya.
"Perjanjian?" Elena tanpak berpikir.
"Oh iya, Mama ingat. Waah tidak disangka ya, Pa. Tidak lama lagi perjanjian kita itu akan menjadi kenyataan." Elena berbalik badan menatap suaminya dengan semangat.
"Iya, Ma, Bima ingin anaknya dan anak kita segera dipertemukan." Xavier menghampiri istrinya.
"Iya, Mama setuju, Pa." Balas Elena sambil menatap suaminya.
"Kita harus membuat acara pertemuan untuk mengenalkan mereka. Ayo Pa, kita bicarakan ini dengan Cia." Elena menarik lengan suaminya dengan semangat. Sebelumnya, ia sudah mengeringkan tangannya terlebih dulu saat sudah selesai mencuci piring. Xavier tersenyum lembut melihat istrinya yang sangat bersemangat jika membahas soal pernikahan.
"Kenapa Ma, kok kelihatannya seneng banget?" Cia mengalihkan tatapannya dari layar TV untuk melihat mamanya yang terlihat sedang gembira.
"Tentu Mama sangat senang karna Mama dan Papa ingin membicarakan soal masa depan kamu." Balas Elena lalu duduk di samping putrinya.
"Masa depan? Mama seperti peramal saja, ingin membicarakan masa depan." Cia mengerutkan alisnya melihat mamanya.
"Iya, sayang. Sekarang Mama tanya, Cia belum punya pacar 'kan?" Tanya Elena serius.
"Belum, tapi Mama gak perlu khawatir, anak Mama yang cantik ini pasti akan memiliki pacar yang tampan, baik, perhatian, kaya seperti Aisssh..." pukulan Elena dilengan Cia menyadarkan kembali hayalan Cia yang sudah melambung tinggi.
"Iiihh Mama, kebiasaan deh."
Cemberut Cia melihat mamanya.
"Sayang jangan main tangan. Lihat, tangan anak kita jadi merah begitu." Xavier memperingati istrinya yang sudah membuat Cia cemberut. Elena memang sangat suka melayangkan pukulan kepada mereka berdua. Itu sudah seperti makanan bagi mereka setiap harinya, walaupun Elena tidak benar-benar memukul mereka, tetapi tetap saja pukulannya terasa perih.
"Sudah lah, Mama selalu salah dimata kalian. Sekarang, kamu dengarkan perkataan mama. Mama dan Papa punya sahabat sewaktu kuliah. Waktu itu, kami membuat perjanjian, jika nanti kami mempunyai anak yang berbeda kelamin maka kami akan menjodohkan anak kami. Dan sekarang, Mama sudah punya Cia, jadi Mama akan menjodohkan Cia dengan anak sahabat Mama itu." Elena menjelaskan kepada Cia niat utamanya yang ingin disampaikan pada putrinya. Sekarang reaksi Cia benar-benar tak terbaca. Alis yang mengeruk, bibir yang terbuka, dan matanya yang melotot melihat mama dan papanya bergantian.
"Kamu mengerti?" Tanya Xavier pada putrinya.
"No." jawab Cia enteng dan cepat dengan tampang polosnya.
Plaak...
Elena dan Xavier sama-sama menepuk kening mereka melihat tingkah Cia.
"Jadi kenapa ekspresimu begitu?" Tanya Elena.
"Gakpapa. Lagian, apa hubungannya perjanjian Mama dengan Cia?" Tanya Cia sambil menaikkan alisnya.
"Kamu kan anak Mama, sudah pasti ada hubungannya."
"Memangnya Cia anak Mama? Sejak kapan?" Tanyanya bermaksud ingin menggoda mama galaknya itu.
Elena menghela nafas. Bukan saatnya ia membalas pertanyaan Cia yang sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.
"Pa, jelaskan. Mama pusing jika bicara dengan anakmu ini." Elena menyuruh Xavier agar menjelaskan semuanya pada Cia. Ia sudah tidak sanggup meladeni putrinya yang lemot.
"Anak kita, Ma. Kan waktu itu kita buatnya bareng." Timpal Xavier lalu menjelaskan tujuan dari pembicaraan mereka.
"Cia, begini, Papa akan menjodohkan kamu dengan anak sahabat papa." Jelas Xavier secara perlahan sambil menunggu reaksi Cia.
"Jadi?" Tanya Cia bingung.
"Ya... kamu dijodohkan." Balas Xavier.
"Ooh.." Cia beroh ria sambil mengangguk berulang kali.
"APA?!" Teriakan Cia menggelegar diruangan itu membuat kedua orang tuanya tergelonjak kaget sembari menutup kedua telinga mereka. Setelah beberapa detik, Cia baru menyadari dan mencerna perkataan papanya dan reaksinya setelah itu benar-benar mengerikan.
"Cia dijodohkan? Hahaha... Papa becanda? Aduh Pa, bagi Cia becadaan Papa itu sama sekali nggak lucu. Garing banget, Papa mau nge-prank Cia, ya?" Cia geleng-geleng sambil tertawa geli melihat papa dan mamanya.
"Cia, Papa serius." Xavier berujar dengan nada yang serius untuk meyakinkannya.
"Pa, Ma, ini sudah zaman modern, bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Sudah bukan zamannya hal yang seperti itu " Protes Cia.
"Lagipula, Cia nggak tau bakalan dijodohin sama siapa dan Cia sama sekali gak mau tau. Pokoknya Cia gak mau." Sambungnya dengan gelengan dan kekesalan.
"Dengarkan Mama dulu. Memang benar, saat ini kamu belum kenal dengan pria yang akan dijodohkan dengan mu. Karena itu, saat ini Mama cerita sama kamu, supaya Mama bisa ngenalin kamu sama anak sahabat Mama itu. Supaya nanti kamu tidak syok dan malu-maluin Mama dengan reaksi kamu yang seperti tadi." Elena meraih kedua tangan Cia dan menggenggamnya, meyakinkan Cia bahwa ia serius dengan perjodohan ini.
Elena hanya ingin yang terbaik untuk putri tunggalnya. Ia tidak ingin Cia bersama sembarangan pria yang tidak diketahui asal usulnya. Apalagi sekarang sudah banyak pria hidung belang yang mengaku-ngaku masih single, nyatanya sudah beristri. Elena tidak ingin putrinya sampai bertemu pria seperti itu. Apalagi sampai menjalin hubungan.
"Tapi Ma, ini hidup Cia. Cia berhak menentukan pilihan Cia sendiri, Cia hanya mau menikah dengan pria yang Cia cintai dan mencintai Cia." Cia berusaha membujuk dan meluluhkan hati mamanya. Namun, Elena masih tetap dengan pilihannya, menjodohkan Cia dengan anak sahabatnya.
"Cinta itu tidak menentukan hubungan seseorang akan berjalan baik, sayang. Memang benar kamu tidak cinta sama dia, tapi bukan berarti kamu tidak bisa cinta sama dia. Mama yakin sesudah kalian menikah dan tinggal bersama, kalian pasti akan saling mencintai. Cinta itu tumbuh karena terbiasa. Dengar dan pegang kata-kata Mama." Jelas Elena meyakinkan Cia yang keras kepala.
"Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak." Tambah Xavier.
"Kamu tidur gih, ini sudah larut malam. Tenangin pikiran kamu dan semuanya akan baik-baik saja." Xavier berujar lembut pada putri tunggalnya.
"Ya sudah, Cia kekamar dulu, Pa, Ma." Pamit Cia sambil mencium pipi orangtuanya bergantian.
"Mimpi yang indah, sayang." Ujar Elena sembari mengelus rambut panjang Cia.
Cia memasuki kamarnya yang berada dilantai atas. Ia berjalan menuju ranjangnya dengan lesu. Wajahnya yang selalu tampak ceria bertolak belakang dengan malam ini. Cia menaiki ranjang dan menelentangkan tubuh lelahnya, menatap kosong langit-langit kamarnya. Tidak ada pergerakan dan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Hanya matanyalah yang berkedip, menunjukkan sorotan mata yang kosong.
Ya rabb tunjukkanlah hamba dengan pilihan yang benar, ujar Cia dalam hati. Setelah itu ia benar-benar hilang dari alam sadarnya.
07 : 15 WIB Suasana ibu kota Indonesia selalu seperti biasa dengan keramaiannya. Orang-orang melakukan berbagai macam aktivitas seperti biasa. Kota ini merupakan kota terpadat se-Indonesia juga kota yang tidak pernah tidur. Saat berada dikota ini, kita seakan-akan lupa waktu, walaupun tengah larut malam orang-orang masih saja berkeliaran melakukan aktivitas mereka seakan tak kenal waktu untuk tidur. Saat berada di kota ini, ada satu masalah yang seakan selalu menguji kesabaran siapa saja. Kemacetannya, yang sangat terkenal bahkan sampai keluar Indonesia. Hanya untuk mencapai suatu tempat pun menjadi butuh waktu yang lama, seperti yang tengah dialami oleh seorang pria yang sedari tadi terus mengeluarkan umpatan melihat kemacetan didepannya. Suara klakson yang saling bersahutan menambah keributan dearah itu.Rambu-rambu lalu lintas yang berada dipersimpangan jalan itu sudah menunjukkan warna hijau yang menyala, menandakan bahwa para peng
"Elgan...! bangun...! ini sudah hampir jam sembilan!" Suara ketukan pintu dan teriakan Lira mengusik pria yang masih berada di alam bawah sadarnya."Kamu kemarin malam pulang jam berapa? Kenapa sudah jam segini masih belum bangun?!" Omel Lira.Elgan menggeliat diatas ranjang mendengar tariakan mamanya yang membuat tidur nyenyaknya terganggu."Kenapa sih, Ma?" Suara Elgan terdengar serak, khas orang bangun tidur. Matanya masih saja terpejam seperti ada sesuatu yang merekatkannya."Bangun kamu! Ini sudah jam sembilan." Tegas Lira dari luar kamar.Mendengar kata jam sembilan yang diucapkan mamanya, Elgan langsung terduduk diatas ranjang dan melihat jam di dinding dengan tampang syok."Astaga, gue telat!" Kagetnya langsung turun dari ranjang."Aaagh...."Rasa pusing langsung menyerangnya karena berdiri tiba-tiba. Elgan mengabaikan rasa pusingnya dan memasuki kamar mandi un
Malam hari, sekitar pukul setengah delapan keluarga Lambert sudah bersiap-siap hendak pergi kerumah sahabat mereka. Lira sedari tadi terus tersenyum tidak jelas membuat Elgan heran melihat tingkah mamanya itu. Lira sudah cantik dengan dress berwarna baby blue yang melekat ditubuhnya yang masih terlihat indah. Lira memang masih cantik disaat umurnya yang sudah hampir memasuki usia 50-an. Tidak heran ia memiliki putra yang sangat tampan seperti Elgan."Kenapa sih Ma kelihatannya seneng banget?" Tanya Elgan mengalihkan perhatian mamanya."Iya, mama lagi bahagia, bentar lagi bakalan jumpa calon mantu mama." Jawab Lira masih dengan senyumannya. Elgan langsung mengalihkan pandangannya dari mamanya mendengar jawaban tersebut.Tiiin...Tiiin...Suara klakson mobil terdengar dari garasi. Bima yang sedang memanaskan mesin mobil membunyikan klaksonnya saat istri dan anaknya tak kunjung keluar."Ayo, Nak. Papamu sudah heboh sendiri didepan." Lira mengajak Elg
Ingin rasanya Cia mengatakan tidak kepada Bima, tapi melihat antusias kedua orangtuanya membuat Cia bersedih. Pasti orang tuanya akan sangat kecewa jika ia menolak perjodohan tersebut.Cia tidak kunjung menjawab pertanyaan tersebut sehingga Bima kembali berujar."Keterdiamanmu akan kami anggap sebagai jawaban, bahwa kamu menerima perjodohan ini." Ujarnya.Lira dan kedua orangtua Cia tersenyum mendengar penuturan Bima barusan. Sementara Cia dan Elgan tampak diam seribu bahasa. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, tetapi jika dilihat dari mimik wajah tampak jelas jika mereka tidak menunjukkan kebahagiaan yang biasanya dirasakan oleh sepasang kekasih yang akan segera menikah."Elgan, kamu bisa langsung memasangkan cincin untuk Cia." Suruh Bima pada anaknya.Elgan merasa seperti sedang bermimpi. Bagaimana bisa ia berakhir seperti ini. Berakhir dengan gadis pilihan mamanya dan melamar gadis itu malam ini. Elgan mel
Nadin menatap kesal ponselnya yang berada di atas meja, tepat di samping komputer. Waktu makan siang sudah masuk sepuluh menit yang lalu. Namun, Nadin masih belum beranjak dari kursinya."Kenapa lo?" Suara Cia mengalihkan pandangannya."Ini nih, si Niko. Katanya mau ngajakin gue makan diluar, tapi sampai sekarang masih belum ngasih kabar." Nadin memanyunkan bibirnya."Dia lupa kali. Mending lo telpon aja deh dari pada lo kelamaan nunggu." Cia memberi solusi."What? Yang bener aja lo! Masa iya gue duluan yang nelpon, kan gue malu. Mau ditaroh dimana wajah cantik gue ini. Nanti dia pikir gue terlalu berharap lagi." Protes Nadin tidak setuju dengan solusi Cia."Lo mah gitu, gengsinya kebangetan." Cia berujar sambil membereskan lembaran-lembaran kertas yang berserakan diatas mejanya.Nadin bungkam, tidak membantah perkataan Cia. Cia yang melihat Nadin tidak menjawab melanjutkan ucapannya."Kalau gue jadi lo ya, gue
Elgan menaiki mobil yang dikemudi oleh supirnya. Ia membiarkan Niko membawa mobilnya untuk mengantarkan Nadin, lagipula ia terlalu malas jika harus ikut dengan Niki untuk mengantarkan gadis itu ke kantornya. Sangat merepotkan, pikir Elgan.Tidak berapa lama kemudian, Elgan sampai di depan rumah mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama orangtuanya. Ternyata di saat siang begini, pelataran rumah keluarga Florence itu tampak jauh lebih indah.Elgan bergegas menuju pintu utama. Seorang pembantu yang berada di depan rumah membukakan pintu untuk Elgan."Assalamu'alaikum." Salam Elgan setelah pembantu itu pergi dari hadapannya. Elgan melemparkan pandangannya ke setiap ruangan, menunggu si tuan rumah menjawab salamnya."Wa'alaikumsalam." Suara Elena terdengar dari salah satu ruangan. Elena menghampiri Elgan sembari tersenyum manis menyambut kedatangan calon menantunya itu."Nak Elgan, kamu sendirian? Tante pikir kamu datang b
Di pagi hari yang serah ini, orang-orang melakukan berbagai macam aktivitas. Biasanya, pagi yang cerah dapat menambah semangat bagi orang yang merasakannya. Hari ini, keluarga besar Lambert dan Florence sedang bersuka cita. Hari di mana terikatnya tali pernikahan antara Cia dan Elgan. Terlihat rumah mewah yang menjadi kediaman keluarga Florence itu sudah dihias sedemikian rupa, pertanda resepsi akan segera di mulai dan keluarga besar Lambert juga sudah tiba beberapa saat yang lalu.Di kamar lantai atas, kamar yang selalu menjadi tempat seorang gadis terlelap setiap malam, Cia tampak duduk termenung di depan cermin hias. Ia menatap pantulan dirinya yang sudah berbalut kebaya putih dengan tatapan kosong. Beberapa saat yang lalu, ia mendapat kabar bahwa keluarga Elgan sudah tiba. Cia meremas tangannya yang berada di atas paha. Ia gugup. Tidak lama lagi ia akan sah menjadi istri Elgan. Mengingat nama Elgan, Cia merasa gamang dengan pernikahan tersebut. Cia paham, bahwa ia dan Elga
Di pagi hari, sebelum matahari menampakkan dirinya, Cia sudah bangun dari tidurnya. Ia melihat ke arah samping dan menatap kosong ranjang di sebelahnya. Cia menggeleng saat pemikiran buruk tentang Elgan melintas di pikirannya."Apa malam ini dia tidak pulang?" Tanya Cia entah pada siapa.Cia mengkuncir rambutnya lalu membersihkan diri di kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Cia sudah selesai mandi dan melaksanakan sholat subuh. Saat ini, ia sedang berkutat dengan masakannya. Cia merasa senang saat melihat bahan-bahan masakan yang sudah lengkap di lemari es. Jadi ia tidak perlu lagi pergi ke pasar untuk membeli bahan masakan. Cia sangat yakin pasti semua ini mama mertuanya lah yang menyiapkan, tidak mungkin Elgan yang melakukan ini semua, melihat wajah Cia saja dia enggan apalagi peduli dan menyiapkan semua ini.Pagi ini, Cia memasak makanan yang dulu sering ia buat bersama mamanya, nasi goreng spesial. Cia sudah menyajikan dua p
Hai, Kak, terimakasih banyak karena kalian sudah membaca novel ini. Tanpa dukungan kalian novel ini mungkin tidak akan bisa aku selesai dengan baik. Terimakasih atas supportnya selama ini. Di sini, aku ingin menyampaikan mengenai kelanjutan dari cerita My Cold Husband Is A CEO. Yang mana judul selanjutnya My Cold Husband IS A CEO 2. Kakak semua bisa lihat di 'tentang penulis' di bagian depan buku ini untuk melihatnya. Tentu saja aku pasti melanjutkan cerita ini karena masih banyak konflik-konflik yang akan mengiringi perjalanan rumah tangga Elgan dan Cia, kehamilan Cia dan juga perjalanan cinta Niko dan Nadin. Semoga kalian suka dengan kelanjutan cerita ini. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih.
Dua bulan kemudian. Langit masih gelap, awan masih tampak hitam. Rembulan sudah mulai turun. Azan subuh sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Jangan harap ada suara kokokan ayam yang menjadi alarm tidur. Ini bukan pedesaan. Orang-orang perkotaan biasanya menggunakan benda kecil dengan suara yang nyaring untuk membangunkan tidur mereka. Hal itu sama seperti Cia, wanita itu biasanya bangun karena alarm. Tapi, hari ini berbeda, Cia terbangun dari tidurnya saat rasa mual tiba-tiba merenggut tidur nyenyaknya.Di dalam kamar mandi, Cia berdiri di depan wastafel dan memuntahkan cairan bening yang terasa pahit di lidahnya. Perutnya terasa melilit, padahal ia tidak sedang menstruasi.Cia menyeka air yang lengket di mulutnya. Tidak ada makanan yang keluar kecuali cairan bening yang terasa pahit.Ruangan yang tidak terlalu besar itu terasa berputar saat Cia mencoba menegakkan t
Selesai sarapan pagi, Cia langsung mencuci piring kotor yang sudah Elgan pindahkan dari meja makan ke wastafel yang tidak jauh dari meja kompor. Ada banyak perubahan dari diri Elgan dan Cia sangat mensyukuri itu. Suaminya itu tidak lagi langsung pergi setelah selesai makan, seperti yang sudah-sudah. Kali ini, Elgan akan membantunya melakukan pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan. Awalnya, Cia terperangah saat melihat Elgan memindahkan piring-piring kotor itu ke wastafel. Hingga akhirnya ia mengulum senyum saat melihat Elgan kembali ke meja makan dan membersihkan meja tersebut dengan serbet.Elgan yang tadi melihat wajah keheranan Cia, langsung menjawab tanpa diminta."Aku mau bantuin istriku beresin ini, bolehkan?" Elgan menatap Cia dengan penuh cinta.Cia yang sedang berdiri di depan wastafel semakin mengembangkan senyumnya.Istriku.Kata yang manis.Walaupun perlakuan Elgan sangat sederhana, hal itu sudah mampu menyentuh
Elgan baru saja pergi dari pemakaman Alden bersama Niko dan Nadin. Pemakaman yang dilakukan dengan khidmat itu menyisakan kenangan di ingatan mereka. Mereka masih saja tidak menyangka kalau Alden benar-benar telah pergi, padahal rasanya mereka baru saja bertemu. Pertemuan mereka memang tidak disangka-sangka, sama seperti perpisahan kali ini. Semua makhluk hidup pasti akan bertemu azalnya, semua orang tau itu, tapi tetap saja setiap kepergian selalu menyisakan kesedihan. Mengapa harus demikian? Bukankah kita sudah tau akhir dari kehidupan? Bukankah kita tau kematian akan menghampiri siapapun? Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, begitulah konteksnya. Kita tidak dapat membantah dan menghindari hal tersebut.Mereka memasuki ruangan serba putih itu, bau obat-obatan langsung menyambut mereka. Di sana, sudah ada Lira dan Bima, sementara Xavier dan Elena masih di pemakaman, mereka sedang menemani Mr. Bill yang sedang berduka. Elgan segera menghampiri Cia, wanita itu sedang tidur, m
Elgan dan Amora berjalan cepat di lorong rumah sakit yang sunyi menuju ruang operasi tempat Cia dan Alden berada. Disana, Elgan melihat kedua mertuanya terduduk lemas. Mereka saling merengkuh, menangis terisak. Terlebih Elena, wanita itu tidak dapat menahan isakannya yang semakin menjadi. Tubuhnya bergetar hebat sejak mendapat kabar tentang kecelakaan putrinya. Elena meradang, kejadian waktu itu kembali terulang. Ia menggeleng kuat ketika pikiran-pikiran buruk mengenai keselamatan putrinya melintas di pikirannya. Disana, Elgan juga melihat keberadaan Mr. Bill. Pria itu tampak terpukul dengan kejadian ini. Tapi apakah itu asli atau hanya sekedar akting?."Ma, Pa." Panggilnya setelah sampai di dekat mertuanya.Xavier menatap Elgan sebentar lalu melirik Amora yang berdiri di samping pria itu. Sementara Elena tetap menangis di pelukan suaminya."Pa, maafin aku. Aku gak bisa jaga Cia dengan baik." Elgan menatap Xavier dengan perasaan bersalah.Ia telah
Cia baru saja keluar dari gedung tempatnya bekerja. Sekarang ia tengah mengendarai mobilnya sambil bersenandung ria. Cia mengetuk-ngetuk stir dengan telunjuknya mengikuti irama musik yang ia dengar. Sebuah lagu keluaran terbaru dari Taylor Swift dengan judul It's Time to Go sering ia dengar akhir-akhir ini. Cia menatap jalanan di depannya. Orang-orang tampak sedang menunggu lampu berubah hijau, termasuk dirinya.Cia termenung beberapa saat, pikirannya melayang memikirkan Elgan, pasti pria itu sedang bertemu dengan Amora saat ini. Ia tidak mengungkit hal tersebut tadi pagi karena menunggu pengakuan dari Elgan, tapi tampaknya pria itu tidak berniat memberitahunya bahwa ia akan bertemu Amora sore ini. Cia juga malas untuk bertanya. Biarkan saja pria itu melakukan apapun yang ia suka. Lampu di depannya sudah berubah, Cia langsung tancap gas menyusuri jalanan disana. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari mobil setelah melepas sealtbelt dan mengambil tasnya di jok sebelah.
Langit masih gelap menandakan hari masih malam, tapi Cia sudah terusik dari tidurnya. Ia melenguh pelan disusul dengan matanya yang kian terbuka. Cia mengusap matanya pelan lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Gelap. Ruangan dimana ia dan Elgan tidur hanya diterangi oleh cahaya yang berasal dari lampu yang berada di atas nakas.Cia mengulurkan tangan dan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas lalu melihat jam yang tertera di benda pipih itu."Masih jam setengah empat. Berarti gue baru tidur sekitar satu jam setengah, huh!" Ucapnya pelan lalu kembali meletakkan ponselnya ke tempat semula.Cia menoleh ke samping dan melihat Elgan yang masih terpecam. Pria itu tidur menyamping ke arahnya dengan lengan kekarnya yang berada di atas perutnya. Ia yang tadinya tidur telentang kini merubah posisinya menjadi menghadap Elgan. Senyum manis langsung terukir di bibir tipisnya saat melihat wajah Elgan yang tak berekpresi. Dengan perlahan tangannya terulur
Elgan memasuki kamar dimana di dalamnya sudah ada Cia yang baru saja keluar dari kamar mandi. Elgan memperhatikan tubuh Cia yang kini sudah dibalut gaun tidur. Sexy dan tentunya menggoda. Elgan yang berdiri kaku di ambang pintu baru menyadari betapa indahnya tubuh ciptaan tuhan tersebut. Kemana saja ia selama ini hingga sekarang ia baru menyadari hal tersebut? Akh! Elgan merutuki dirinya yang telah menyia-nyiakan ke-agresifan Cia dulu.Andai saja dulu ia tidak dibutakan oleh cinta masa lalunya, pasti sekarang ia dan Cia sudah bahagia dan selalu menghabiskan malam mereka dengan kegiatan panas yang menguras tenaga. Huh! Elgan jadi panas dingin memikirkannya."Gimana caranya supaya gue bisa dapetin Cia lagi?"Elgan menyandarkan tubuhnya di kosen pintu sambil memperhatikan gerak gerik Cia yang sedang menyisir rambut di depan cermin.Elgan ingin merasakan tubuh itu lagi!"Akkhh!!" Elgan meremas rambutnya frustasi. Mengapa di saat yang
Mobil sport hitam yang dikemudi oleh Alden tampak melaju membelah kepadatan kota Jakarta. Gedung-gedung pencakar lagi tak luput dari perjalanan mereka. Para pengguna jalan dari bermacam generasi menjadi point penting untuk kepadatan kota itui. Alden bersenandung kecil mengikuti irama musik yang berasal dari radio. Sebuah lagu yang berjudul; Bukan Dia Tapi Aku yang dibawakan oleh Judika ikut ia nyanyikan bersama jarinya yang sesekali mengetuk-ngetuk stir mobil. Tidak berapa lama kemudian, mobil hitam itu tampak melambat dan berbelok memasuki salah satu gedung pencakar langit lalu berhenti di basement.Alden dan Cia turun dari mobil. Cia yang baru pertama kali datang ke perusahaan itu celinga-celinguk menatap keseluruhan interior. Semuanya tampak cantik dan mewah. Mereka memasuki lobby dan tanpa bertanya kepada resepsionis Alden menarik Cia memasuki lift yang Cia yakin lift itu di khususkan hanya untuk pemegang saham terbesar. Keluar dari lift, Alden kembali menggandeng tangan