Nadin menatap kesal ponselnya yang berada di atas meja, tepat di samping komputer. Waktu makan siang sudah masuk sepuluh menit yang lalu. Namun, Nadin masih belum beranjak dari kursinya.
"Kenapa lo?" Suara Cia mengalihkan pandangannya.
"Ini nih, si Niko. Katanya mau ngajakin gue makan diluar, tapi sampai sekarang masih belum ngasih kabar." Nadin memanyunkan bibirnya.
"Dia lupa kali. Mending lo telpon aja deh dari pada lo kelamaan nunggu." Cia memberi solusi.
"What? Yang bener aja lo! Masa iya gue duluan yang nelpon, kan gue malu. Mau ditaroh dimana wajah cantik gue ini. Nanti dia pikir gue terlalu berharap lagi." Protes Nadin tidak setuju dengan solusi Cia.
"Lo mah gitu, gengsinya kebangetan." Cia berujar sambil membereskan lembaran-lembaran kertas yang berserakan diatas mejanya.
Nadin bungkam, tidak membantah perkataan Cia. Cia yang melihat Nadin tidak menjawab melanjutkan ucapannya.
"Kalau gue jadi lo ya, gue bakalan telpon tuh si Niko. Lagipula gak ada salahnya kalau sesama teman, lagian lo mau kan jadian sama Niko? Masa gitu doang lo gak berani." Tambah Cia semakin memanas-manasi Nadin.
"Iiih lo mah gak ngerti perasaan gue." Nadin memasang tampang sedih.
"Udah deh, mending lo ikut sama gue aja. Kita makan di kantin daripada disini terus nungguin yang gak pasti." Cia menarik pergelangan tangan Nadin agar berdiri dari duduknya.
Nadin hanya pasrah dengan perlakuan Cia yang terus menarik pergelangan tangannya.
"Kita duduk disana aja, ya?" Tanya Cia sambil terus berjalan menuju sudut ruangan yang menghadap ke belakang gedung. Disini mereka dapat melihat gedung-gedung pencakar langit yang berada tidak jauh dari gedung yang mereka tempati sekarang. Baru saja teman sejoli itu mendaratkan pantat mereka pada kursi kantin, suara pekikan Nadin membuat puluhan pasang mata menatap mereka heran.
"Hehe... sorry sorry." Nadin sedikit membungkukkan badannnya sembari meminta maaf pada penghuni kantin atas tindakannya itu.
"Lo kenapa lagi, sih?" Tanya Cia sambil menghidupkan ponselnya yang mati.
"Niko, dia nelpon gue!"Jawab Nadin girang. Cia tersenyum maklum melihat kelakuan sahabatnya yang sedang jatuh cinta.
"Lo lama banget sih, gua dari tadi nungguin telpon dari lo tau gak." Nadin langsung meluapkan kekesalannya setelah mendengar suara Niko. Ia terlihat sedang mendengarkan penjelasan pria itu di seberang sana.
"Oke, gue kesana sekarang." Nadin berujar antusias.
"...."
"Iya deh, iya. Ntar gue bilangin sama Cia supaya dia mau." Nadin melirik Cia sambil tersenyum manis. Cia yang mendengar namanya disebut mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sedang dimainkannya, tapi setelah itu ia kembali menatap benda pipih itu lagi.
"Tunggu gue ya, bye." Nadin merasa hatinya berbungan-bunga saat ini. semua rasa kesal yang tadi hinggap dihatinya menguap entah kemana. Ia menyentuh dadanya yang terasa berdetak tidak karuan.
"Ayo kita berangkat sekarang. Niko bilang, dia udah hampir sampai di restaurant yang ada di dekat perusahaan tempat dia kerja." Nadin tersenyum bahagia menatap Cia yang bengong.
"Cia, lo dengerin gue kan?" Tanya Nadin sembari mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Cia.
"Hah apaan, Nad?" Tanya Cia balik. Ia memasang wajah menyesal telah mengabaikan sahabatnya itu.
"Niko juga ngajak lo buat pergi sama kita, katanya biar lebih asik gitu."
"Kok gue ikut sih? Enggak deh, kalian aja. Nanti kalian jadi keganggu kalo ada gue." Tolak Cia halus.
"Gak bakalan. Lagian kalo ada lo gue jadi gak kaku-kaku amat kalo ketemu Niko."
Cia terdiam beberapa saat setelah nya.
"Lo kenapa sih ngelamun terus? Emangnya lo habis liat apaan?" Tanya Nadin sambil mengulurkan tangannya ingin mengambil ponsel Cia. Namun, Cia langsung menjauhkan ponselnya dari jangkauan tangan Nadin.
"Enggak. Gak ada apa-apa. Ya udah deh gue ikut." Cia langsung beranjak dari kursinya menghindari pertanyaan Nadin yang akan membuatnya sulit untuk menjawab.
Nadin yang sedang bahagia mengabaikan gelagat Cia yang menurutnya sedikit aneh. Ia menyusul Cia yang sudah berjalan di depannya.
Tidak lama kemudian, mereka sampai di depan sebuah restaurant. Cia dan Nadin langsung keluar dari mobil yang mereka kendarai. Cia celengak-celenguk memperhatikan sekitar restaurant tersebut.
"Gue kayaknya pernah deh ke tempat ini sebelumnya. Lo yakin Niko disini?" Tanya Cia pada Nadin yang masih berdiri di depan bumper mobil.
"Yakin lah, kan cuma restoran ini yang ada di dekat kantornya dia. Kita langsung masuk aja yuk." Ajak Nadin dan mulai memasuki pintu utama restaurant. Cia hanya mengikuti kemana langkah Nadin berjalan. Sedari tadi ia hanya terus berdoa agar apa yang dilihatnya tadi tidaklah benar.
Tadi, saat ia sedang asik memainkan ponselnya, dengan tidak sengaja ia melihat hot news bahwasanya CEO muda yang bernama Elgan Gaulia Lambet baru saja memasuki restaurant yang tidak jauh dari perusahaan pria itu bersama seorang pria yang diketahui merupakan sekretarisnya.
"Niko!" Seruan Nadin membuyarkan lamunan Cia. Dari kejauhan Cia dapat melihat Niko yang sedang melambaikan tangannya kepada mereka. Ketika melihat sosok pria yang duduk di samping Niko tubuh Cia menegang dibuatnya.
"Ayo..." Nadin menarik pergelangan tangan Cia yang berdiri di belakangnya.
"Gak perlu gandengan juga kali, Nad." Protes Cia sembari melepaskan tangannya dari Nadin.
Nadin melepaskan genggamannya dari tangan Cia dan melanjutkan langkahnya menuju kursi kosong di depan dua pria tampan yang sedang menunggu mereka. Cia berulang kali menghela nafasnya. Sepertinya nasib baik sedang tidak berpihak kepadanya saat ini. Ia berjalan lambat, menyeret kakinya dengan malas ke arah tiga orang yang sudah duduk manis di kursi mereka. Ia ingin berlama-lama sampai di kursinya. Namun, apa boleh buat, ia tidak ingin Nadin dan Niko curiga kareka tingkah anehnya.
"Hai," Sapa Cia pada dua orang di depannya, namun Cia hanya menatap mata Niko lalu duduk di kursi yang tersisa untuknya, tepat di samping Nadin.
"Lo tadi kenapa lama banget sih nelpon gue?" Tanya Nadin membuka obrolan setelah mereka memesan makanan.
"Sorry ya Nad, tadi gue lagi maksa seseorang buat ikut sama gue. Ya, karena itu jadinya lama." Niko menjelaskan.
"Maksudnya?" Tanya Nadin yang tidak mengerti.
"Gini lho Nadin yang cantik. Tadi itu, Elgan gak mau ikut sama gue ke tempat ini. Alasan dia itu banyak banget... Ya, jadi karena itu gue telat hubungin lo karena lagi sibuk maksa anak satu ini supaya mau makan bareng kita." Nadin mangut-mangut mendengar penjelasan Niko yang sudah ia mengerti.
"Apaan sih, lo?" Protes Elgan sambil menyikut lengan Niko kuat. Matanya menatap Niko tajam. Sedangkan Niko hanya menyengir lebar melihat Elgan yang menatapnya seperti itu.
"Udah-udah, kalian jangan berantem disini, nanti aja kalo udah pulang." Nadin memberi solusi.
"Ogah gue berantem sama dia." Tolak Niko.
Nadin melihat ke arah Cia yang sedang duduk dengan kaku. Ia merasa ada yang aneh dengan sahabatnya itu.
Perasaan tadi dia baik-baik aja, deh. kenapa sekarang jadi tegang gitu? Kayak habis liat hantu aja, batinnya.
"Lo kenapa?" Tanya Nadin sambil menepuk pundak sahabatnya.
"Ah, enggak. Gue gakpapa. Emangnya kenapa?" Tanya Cia balik setelah sadar dari lamunannya.
"Dari tadi gue perhatiin lo kayak aneh gitu. Relax aja kali." Nadin menatap Cia yang sedang mengusap tengkuknya yang tidak gatal.
"Gue ke toilet dulu ya. Kalian makan duluan aja." Ujar Cia kikuk sebelum beranjak dari kursinya. Nadin dan Niko mengangguk serentak dan mulai memakan hidang yang sudah ada dihadapan mereka.
Cia melangkah cepat menuju toilet. Sesampainya di toilet, ia langsung membasuh wajahnya yang terasa panas. Entah mengapa sejak memasuki tempat itu, ia merasa atmosfer disekitarnya terasa panas.
"Kalian lanjut aja." Elgan yang belum menyentuh makanannya beranjak dari kursinya. Ia berjalan ke arah yang sama dengan Cia lalu berhenti di persimpangan lorong yang berada di dekat toilet. Ia bersandar pada dinding sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sesekali ia melihat kearah pintu toilet wanita.
Elgan menegakkan tubuhnya sambil bersedekap setelah melihat Cia keluar dari toilet. Ia memperhatikan penampilan Cia yang sedang mengenakan serangam kantor dengan rok pensil yang pas dipinggulnya dan kemeja putih yang melekat di kulit putihnya.
Elgan bersiap-siap hendak menarik lengan Cia.
"Aww... Apaan, sih?!" Marah Cia, refleks membentak orang tersebut. Ia membulatkan matanya setelah melihat orang yang menarik tangannya ternyata Elgan dengan tampang datarnya.
"Lo? Ngapain narik-narik tangan gue?" Tanya Cia tak suka. Diusapnya pergelangan tangannya yang sedikit sakit karena genggaman Elgan yang terlalu kuat.
"Berisik lo. Langsung aja gue ingatin. Jangan pernah lo ngasih tahu soal perjodohan ini sama mereka berdua." Ujar Elgan dingin dengan tatapan tajamnya melihat Cia. Dua orang yang dimaksud Elgan adalah Niko dan Nadin.
"Kenapa? Lo takut?" Tanya Cia tak terima atas perlakuan Elgan padanya.
"Kalo gue ngasih tahu mereka emangnya kenapa? Lo gak suka? Gue gak peduli!" Tantang Cia. Matanya balik menatap Elgan tajam.
"Lo! turuti kata-kata gue selagi gue bicara baik-baik." Ujar Elgan dingin. Matanya menatap Cia tak suka.
"Apa? Bicara baik-baik kata lo? Bicara kayak gini lo bilang baik? Waaah, kasar banget lo jadi cowok." Cia menantang Elgan sambil berkacak pinggang.
"Jaga kata-kata lo sebelum gue berbuat kasar." Ucap Elgan datar lalu pergi meninggalkan Cia.
"Dasar cowok gila! Lebay! Bilang aja lo malu kalo mereka tau soal perjodohan ini. Asal lo tau, gue juga malu dan SANGAT TIDAK MAU dijodohin sama cowok kayak lo." Ucap Cia tajam menatap punggung Elgan yang semakin menjauh. Ia yakin, Elgan pasti mendengar perkataannya barusan.
Drrttt... Drrttt...
Cia mengalihkan perhatiannya dari Elgan ketika ponsel yang berada di genggamannya berdering. Kata 'Mama' muncul di layar pipih itu.
Cia kembali melangkahkan kakinya setelah sambungan telpon dari mamanya terputus. Dari kejauhan ia dapat melihat Elgan yang sedang menikmati makanannya. Jika diperhatikan, Elgan memang sangan tampan. Apalagi, saat ini pria itu sedang makan dengan lengan baju yang ditarik hingga siku dan rambutnya yang sedikit berantakan serta dasinya yang sudah longgar benar-benar membuatnya terlihat sexy. Cia mengulum senyum melihat Elgan dari kejauhan.
Bagaimana bisa dia setampan itu, batin Cia. Ia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya secara perlahan sebelum duduk dikursinya.
Gue harus bersikap bagi sama dia, mungkin dengan itu dia juga akan memperlakukan gue dengan baik, tambahnya lagi.
Elgan mendongak menatap Cia yang menarik kursinya. Cia tersenyum manis melihat Elgan yang juga menatapnya. Elgan menaikkan sebelah alisnya melihat Cia yang tersenyum kepadanya.
Menyebalkan, Elgan menggerutu dalam hati lalu melanjutkan makannya.
Masih datar, dasar cowok sombong, gerutu Cia pada Elgan yang tidak membalas senyumannya. Cia duduk dikursinya lalu mulai memakan hidangan yang tadi dipesannya. Sesekali ia melirik Elgan yang sedang menikmati makanannya.
"Setelah ini kalian balik ke kantor lagi, kan?" Tanya Niko kepada dua gadis di depannya.
"Gue sih iya, soalnya masih ada kerjaan." Jawab Nadin sambil mengunyah makanannya.
"Kalo, lo?" Tanya Nadin pada Cia sambil menyenggol siku gadis itu.
"Nyokap nyuruh gua langsung balik, " Jawab cia seadanya.
"Emang nyokap lo tau kalo kita lagi disini?" Tanya Nadin lagi dan diangguki oleh Cia.
"Tumben nyokap lo nyuruh cepat pulang, ada apaan?" Tanya Nadin penasaran dan ikuti oleh anggukan Niko.
Elgan hanya diam sembari menikmati makanannya, sesekali ia juga melirik Cia yang tengah menikmati makanannya. Elgan menatap Cia was-was sambil menunggu jawaban apa yang akan dilontarkan Cia atas pertanyaan Nadin.
"Nyokab gue bi-bilang lagi ada urusan. Iya, lagi ada urusan dan urusannya itu ngelibatin gue." Jawab Cia terbata-bata. Elgan menghembuskan napasnya lega sedangkan Niko Dan Nadin hanya mengangguk mengerti.
Beberapa menit kemudian, mereka telah menghabiskan semua makanan yang dipesan. Setelah melihat Elgan dan Niko membayar tagihan, Cia dan Nadin langsung melangkah ke arah mobil mereka terparkir yang kemudian diikuti oleh Niko dan Elgan yang berjalan tepat di belakang mereka. Cia merasa ada yang aneh dengam jantungnya. Entah mengapa sedari bertemu Elgan di dekat toilet tadi detak jantungnya terpacu dengan cepat. Apa mungkin karena amarahnya belum mereda?.
"Cia, lo langsung balik aja, gue balik ke kantor sama Niko, iya kan?" Niko mengangguk sambil melihat Cia dan Nadin bergantian.
"Bener nih, gapapa? Tapi kan Niko tadi datang kesini sama Elgan. Emangnya dia mau nganterin lo ke kantor?" Tanya Cia sambil melirik Elgan.
"Ya udah anterin aja, gue bisa minta supir untuk jemput gue." Ujar Elgan cuek lalu menghubungi supirnya agar segera menjemputnya.
"Serius? Tapi, lo balik ke kantor lagi, kan?" Tanya Niko sambil tersenyum senang karena Elgan membiarkannya pergi bersama Nadin dengan mobilnya.
"Nggak" Jawab Elgan.
"Kok gitu? Kan kita ada meeting jam tiga." Protes Niko sambil menatap Elgan.
"Batalin aja, gue ada urusan mendadak." Jelas Elgan lalu melangkah pergi saat melihat mobil yang dikendarain supirnya sudah datang.
Cia memutar bola matanya jengah melihat kesombongan Elgan.
Dasar calon suami songong.
Elgan menaiki mobil yang dikemudi oleh supirnya. Ia membiarkan Niko membawa mobilnya untuk mengantarkan Nadin, lagipula ia terlalu malas jika harus ikut dengan Niki untuk mengantarkan gadis itu ke kantornya. Sangat merepotkan, pikir Elgan.Tidak berapa lama kemudian, Elgan sampai di depan rumah mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama orangtuanya. Ternyata di saat siang begini, pelataran rumah keluarga Florence itu tampak jauh lebih indah.Elgan bergegas menuju pintu utama. Seorang pembantu yang berada di depan rumah membukakan pintu untuk Elgan."Assalamu'alaikum." Salam Elgan setelah pembantu itu pergi dari hadapannya. Elgan melemparkan pandangannya ke setiap ruangan, menunggu si tuan rumah menjawab salamnya."Wa'alaikumsalam." Suara Elena terdengar dari salah satu ruangan. Elena menghampiri Elgan sembari tersenyum manis menyambut kedatangan calon menantunya itu."Nak Elgan, kamu sendirian? Tante pikir kamu datang b
Di pagi hari yang serah ini, orang-orang melakukan berbagai macam aktivitas. Biasanya, pagi yang cerah dapat menambah semangat bagi orang yang merasakannya. Hari ini, keluarga besar Lambert dan Florence sedang bersuka cita. Hari di mana terikatnya tali pernikahan antara Cia dan Elgan. Terlihat rumah mewah yang menjadi kediaman keluarga Florence itu sudah dihias sedemikian rupa, pertanda resepsi akan segera di mulai dan keluarga besar Lambert juga sudah tiba beberapa saat yang lalu.Di kamar lantai atas, kamar yang selalu menjadi tempat seorang gadis terlelap setiap malam, Cia tampak duduk termenung di depan cermin hias. Ia menatap pantulan dirinya yang sudah berbalut kebaya putih dengan tatapan kosong. Beberapa saat yang lalu, ia mendapat kabar bahwa keluarga Elgan sudah tiba. Cia meremas tangannya yang berada di atas paha. Ia gugup. Tidak lama lagi ia akan sah menjadi istri Elgan. Mengingat nama Elgan, Cia merasa gamang dengan pernikahan tersebut. Cia paham, bahwa ia dan Elga
Di pagi hari, sebelum matahari menampakkan dirinya, Cia sudah bangun dari tidurnya. Ia melihat ke arah samping dan menatap kosong ranjang di sebelahnya. Cia menggeleng saat pemikiran buruk tentang Elgan melintas di pikirannya."Apa malam ini dia tidak pulang?" Tanya Cia entah pada siapa.Cia mengkuncir rambutnya lalu membersihkan diri di kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Cia sudah selesai mandi dan melaksanakan sholat subuh. Saat ini, ia sedang berkutat dengan masakannya. Cia merasa senang saat melihat bahan-bahan masakan yang sudah lengkap di lemari es. Jadi ia tidak perlu lagi pergi ke pasar untuk membeli bahan masakan. Cia sangat yakin pasti semua ini mama mertuanya lah yang menyiapkan, tidak mungkin Elgan yang melakukan ini semua, melihat wajah Cia saja dia enggan apalagi peduli dan menyiapkan semua ini.Pagi ini, Cia memasak makanan yang dulu sering ia buat bersama mamanya, nasi goreng spesial. Cia sudah menyajikan dua p
Cia menatap nanar punggung Elgan yang menghilang di balik pintu. Cia menghela nafas lelah. Ia tidak menyangka Elgan akan pergi begitu saja tanpa mau memakan masakannya. Berbagai macam pertanyaan melintas di pikiran Cia. Bagaimana bisa Elgan pergi tanpa makan siang terlebih dulu? Mengapa pria itu menolak ajakannya? Apa Elgan sangat bencinya hingga makan bersamapun ia ogah? Kemana pria itu akan pergi dengan kondisi wajah yang belum membaik? Entahlah. Cia tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.Lagi-lagi Cia menghembuskan nafasnya sembari menengadah. Untuk kedua kalinya ia makan seorang diri di meja makan tanpa ditemani siapapun. Makanan yang awalnya terasa lezat di mulut Cia, kini terasa hambar. Sup yang ia cicipi terasa lezat beberapa saat yang lalu kini terasa berbeda di lidahnya. Semuanya, Cia merasa tidak enak dengan semua yang terjadi. Walaupun makanan tersebut terasa hambar di lidahnya, namun ia tetap harus makan. Ia butuh energi untuk menghilangkan semu
Seringai tipis terukir di bibir Elgan. Matanya yang tajam membuat siapa saja akan yakin kalau pria ini benar-benar mengerikan. Termasuk cara berpikirnya yang kadang sulit untuk dimengerti. Termasuk Niko, ia tidak mengerti bagaimana jalan pikir sahabatnya itu. Bagaimana bisa Elgan melakukan semua itu pada Cia? Atas dasar apa sebenarnya Elgan melakukannya hingga dia benar-benar ingin membuat Cia menderita? Semua pertanyaan itu hanya Elgan lah yang dapat menjawabnya dan Niko sebagai sahabatnya akan berusaha agar Elgan mau menjawab semua pertanyaan itu dan ia benar-benar mengerti dengan alasan yang Elgan berikan."Tapi, kenapa lo lakuin itu? Gue yakin dan percaya, lo juga sadar kalau semua yang lo lakuin itu salah." Ujar Niko semakin dalam."Iya, gue tau gue salah, tapi yang lebih salah itu dia. Kenapa dia masuk ke kehidupan gue?! Gue ngerasa terusik dengan kehadiran dia!" Ujar Elgan tajam.Niko langsung membantah perkataan Elgan."Tapi lo sendirikan juga tau kal
Hingga pagi menjelang, sepasang suami istri itu masih tidur dengan saling berpelukan. Elgan memeluk erat pinggang Cia yang terasa pas di tangannya. Dagunya bertumpu pada puncak kepala Cia. Wangi rambut Cia yang menenangkan membuat tidur Elgan menjadi lebih nyenyak. Begitupun dengan Cia, lengannya juga masih memeluk tubuh kekar Elgan. Kaki jenjangnya di lilit oleh kaki Elgan, namun hal itu tidak membuat tidurnya terganggu. Tadi malam, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, Cia tersenyum saat Elgan pelukan mereka. Wajah Cia tepat berhadapan dengan dada bidang Elgan. Keningnya pun sudah menempel di dada bidang pria itu. Sungguh luar biasa kedua ciptaan tuhan ini. Mereka sangat cocok jika dalam keadaan tidur maupun tidak. Malam ini mereka benar-benar terlihat seperti pasangan pada umumnya.Matahari sudah mulai timbul dan memancarkan sinarnya. Secara perlahan cahaya mulai masuk ke dalam kamar pengantin baru itu m
Elgan mengurungkan niat awalnya yang ingin membuat sarapan. Ia malah jadi terhipnotis melihat Cia yang menari hingga suara musik berhenti. Musik telah berhenti namun Elgan masih berdiri ditempatnya.Cia merasa kepanasan setelah menarikan dua judul lagu sekaligus. Ia memperbaiki kuncir rambutnya yang mengendur sambil membalikan badan dan langsung tersentak saat melihat Elgan yang berdiri tidak jauh darinya. Masih dengan posisi menguncir rambutnya, Cia menyergit bingung menatap Elgan.Ngapain Kulkas Rusak itu disini?, Cia membatin.Cia menurunkan tangannya saat selesai dengan rambutnya."Heh ngapain lo disitu?" Tanya Cia menyadarkan Elgan.Elgan tersadar dari lamunannya. Ia mendengus tak suka mendengar suara Cia yang tak bersahabat.Kenapa sih gue?,Ia kembali memasang tampang seperti semula. Wajah datar nan dingin kembali mendominasinya."Eheem...." Cia berdehem."N
Niko mengendarai mobil sportnya dengan kecepatan sedang melalui lika-liku jalan raya. Pandangannya fokus ke depan dan bibirnya ditarik tertahan agar tidak menunjukkan senyum manisnya yang akan membuat gadis di sampingnya semakin kesal. Sejak ia mencium Nadin di depan umum tadi, gadis itu menatapnya dengan tajam. Namun, karena Niko menertawakannya, Nadin jadi kesal melihat Niko yang sepertinya sengaja ingin membuatnya malu. Dan sekarang, berakhir lah Niko dengan senyum tertahannya setelah mendengar ancaman Nadin. Di mana gadis itu tidak akan bicara dengannya selama satu tahun ke depan jika Niko masih saja menertawakannya.Niko melirik Nadin yang sedang duduk serong kearahnya sambil menatapnya kesal."Udah ya Nad, jangan ngambek lagi..." Niko mengusap puncak kepala Nadin sekilas."Kamu sih buat badmood aja, ngeselin banget tau gak." Nadin memperbaiki duduknya menghadap depan."Kan aku cuma becanda, aku tuh nyium k
Hai, Kak, terimakasih banyak karena kalian sudah membaca novel ini. Tanpa dukungan kalian novel ini mungkin tidak akan bisa aku selesai dengan baik. Terimakasih atas supportnya selama ini. Di sini, aku ingin menyampaikan mengenai kelanjutan dari cerita My Cold Husband Is A CEO. Yang mana judul selanjutnya My Cold Husband IS A CEO 2. Kakak semua bisa lihat di 'tentang penulis' di bagian depan buku ini untuk melihatnya. Tentu saja aku pasti melanjutkan cerita ini karena masih banyak konflik-konflik yang akan mengiringi perjalanan rumah tangga Elgan dan Cia, kehamilan Cia dan juga perjalanan cinta Niko dan Nadin. Semoga kalian suka dengan kelanjutan cerita ini. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih.
Dua bulan kemudian. Langit masih gelap, awan masih tampak hitam. Rembulan sudah mulai turun. Azan subuh sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Jangan harap ada suara kokokan ayam yang menjadi alarm tidur. Ini bukan pedesaan. Orang-orang perkotaan biasanya menggunakan benda kecil dengan suara yang nyaring untuk membangunkan tidur mereka. Hal itu sama seperti Cia, wanita itu biasanya bangun karena alarm. Tapi, hari ini berbeda, Cia terbangun dari tidurnya saat rasa mual tiba-tiba merenggut tidur nyenyaknya.Di dalam kamar mandi, Cia berdiri di depan wastafel dan memuntahkan cairan bening yang terasa pahit di lidahnya. Perutnya terasa melilit, padahal ia tidak sedang menstruasi.Cia menyeka air yang lengket di mulutnya. Tidak ada makanan yang keluar kecuali cairan bening yang terasa pahit.Ruangan yang tidak terlalu besar itu terasa berputar saat Cia mencoba menegakkan t
Selesai sarapan pagi, Cia langsung mencuci piring kotor yang sudah Elgan pindahkan dari meja makan ke wastafel yang tidak jauh dari meja kompor. Ada banyak perubahan dari diri Elgan dan Cia sangat mensyukuri itu. Suaminya itu tidak lagi langsung pergi setelah selesai makan, seperti yang sudah-sudah. Kali ini, Elgan akan membantunya melakukan pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan. Awalnya, Cia terperangah saat melihat Elgan memindahkan piring-piring kotor itu ke wastafel. Hingga akhirnya ia mengulum senyum saat melihat Elgan kembali ke meja makan dan membersihkan meja tersebut dengan serbet.Elgan yang tadi melihat wajah keheranan Cia, langsung menjawab tanpa diminta."Aku mau bantuin istriku beresin ini, bolehkan?" Elgan menatap Cia dengan penuh cinta.Cia yang sedang berdiri di depan wastafel semakin mengembangkan senyumnya.Istriku.Kata yang manis.Walaupun perlakuan Elgan sangat sederhana, hal itu sudah mampu menyentuh
Elgan baru saja pergi dari pemakaman Alden bersama Niko dan Nadin. Pemakaman yang dilakukan dengan khidmat itu menyisakan kenangan di ingatan mereka. Mereka masih saja tidak menyangka kalau Alden benar-benar telah pergi, padahal rasanya mereka baru saja bertemu. Pertemuan mereka memang tidak disangka-sangka, sama seperti perpisahan kali ini. Semua makhluk hidup pasti akan bertemu azalnya, semua orang tau itu, tapi tetap saja setiap kepergian selalu menyisakan kesedihan. Mengapa harus demikian? Bukankah kita sudah tau akhir dari kehidupan? Bukankah kita tau kematian akan menghampiri siapapun? Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, begitulah konteksnya. Kita tidak dapat membantah dan menghindari hal tersebut.Mereka memasuki ruangan serba putih itu, bau obat-obatan langsung menyambut mereka. Di sana, sudah ada Lira dan Bima, sementara Xavier dan Elena masih di pemakaman, mereka sedang menemani Mr. Bill yang sedang berduka. Elgan segera menghampiri Cia, wanita itu sedang tidur, m
Elgan dan Amora berjalan cepat di lorong rumah sakit yang sunyi menuju ruang operasi tempat Cia dan Alden berada. Disana, Elgan melihat kedua mertuanya terduduk lemas. Mereka saling merengkuh, menangis terisak. Terlebih Elena, wanita itu tidak dapat menahan isakannya yang semakin menjadi. Tubuhnya bergetar hebat sejak mendapat kabar tentang kecelakaan putrinya. Elena meradang, kejadian waktu itu kembali terulang. Ia menggeleng kuat ketika pikiran-pikiran buruk mengenai keselamatan putrinya melintas di pikirannya. Disana, Elgan juga melihat keberadaan Mr. Bill. Pria itu tampak terpukul dengan kejadian ini. Tapi apakah itu asli atau hanya sekedar akting?."Ma, Pa." Panggilnya setelah sampai di dekat mertuanya.Xavier menatap Elgan sebentar lalu melirik Amora yang berdiri di samping pria itu. Sementara Elena tetap menangis di pelukan suaminya."Pa, maafin aku. Aku gak bisa jaga Cia dengan baik." Elgan menatap Xavier dengan perasaan bersalah.Ia telah
Cia baru saja keluar dari gedung tempatnya bekerja. Sekarang ia tengah mengendarai mobilnya sambil bersenandung ria. Cia mengetuk-ngetuk stir dengan telunjuknya mengikuti irama musik yang ia dengar. Sebuah lagu keluaran terbaru dari Taylor Swift dengan judul It's Time to Go sering ia dengar akhir-akhir ini. Cia menatap jalanan di depannya. Orang-orang tampak sedang menunggu lampu berubah hijau, termasuk dirinya.Cia termenung beberapa saat, pikirannya melayang memikirkan Elgan, pasti pria itu sedang bertemu dengan Amora saat ini. Ia tidak mengungkit hal tersebut tadi pagi karena menunggu pengakuan dari Elgan, tapi tampaknya pria itu tidak berniat memberitahunya bahwa ia akan bertemu Amora sore ini. Cia juga malas untuk bertanya. Biarkan saja pria itu melakukan apapun yang ia suka. Lampu di depannya sudah berubah, Cia langsung tancap gas menyusuri jalanan disana. Beberapa menit kemudian, ia keluar dari mobil setelah melepas sealtbelt dan mengambil tasnya di jok sebelah.
Langit masih gelap menandakan hari masih malam, tapi Cia sudah terusik dari tidurnya. Ia melenguh pelan disusul dengan matanya yang kian terbuka. Cia mengusap matanya pelan lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Gelap. Ruangan dimana ia dan Elgan tidur hanya diterangi oleh cahaya yang berasal dari lampu yang berada di atas nakas.Cia mengulurkan tangan dan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas lalu melihat jam yang tertera di benda pipih itu."Masih jam setengah empat. Berarti gue baru tidur sekitar satu jam setengah, huh!" Ucapnya pelan lalu kembali meletakkan ponselnya ke tempat semula.Cia menoleh ke samping dan melihat Elgan yang masih terpecam. Pria itu tidur menyamping ke arahnya dengan lengan kekarnya yang berada di atas perutnya. Ia yang tadinya tidur telentang kini merubah posisinya menjadi menghadap Elgan. Senyum manis langsung terukir di bibir tipisnya saat melihat wajah Elgan yang tak berekpresi. Dengan perlahan tangannya terulur
Elgan memasuki kamar dimana di dalamnya sudah ada Cia yang baru saja keluar dari kamar mandi. Elgan memperhatikan tubuh Cia yang kini sudah dibalut gaun tidur. Sexy dan tentunya menggoda. Elgan yang berdiri kaku di ambang pintu baru menyadari betapa indahnya tubuh ciptaan tuhan tersebut. Kemana saja ia selama ini hingga sekarang ia baru menyadari hal tersebut? Akh! Elgan merutuki dirinya yang telah menyia-nyiakan ke-agresifan Cia dulu.Andai saja dulu ia tidak dibutakan oleh cinta masa lalunya, pasti sekarang ia dan Cia sudah bahagia dan selalu menghabiskan malam mereka dengan kegiatan panas yang menguras tenaga. Huh! Elgan jadi panas dingin memikirkannya."Gimana caranya supaya gue bisa dapetin Cia lagi?"Elgan menyandarkan tubuhnya di kosen pintu sambil memperhatikan gerak gerik Cia yang sedang menyisir rambut di depan cermin.Elgan ingin merasakan tubuh itu lagi!"Akkhh!!" Elgan meremas rambutnya frustasi. Mengapa di saat yang
Mobil sport hitam yang dikemudi oleh Alden tampak melaju membelah kepadatan kota Jakarta. Gedung-gedung pencakar lagi tak luput dari perjalanan mereka. Para pengguna jalan dari bermacam generasi menjadi point penting untuk kepadatan kota itui. Alden bersenandung kecil mengikuti irama musik yang berasal dari radio. Sebuah lagu yang berjudul; Bukan Dia Tapi Aku yang dibawakan oleh Judika ikut ia nyanyikan bersama jarinya yang sesekali mengetuk-ngetuk stir mobil. Tidak berapa lama kemudian, mobil hitam itu tampak melambat dan berbelok memasuki salah satu gedung pencakar langit lalu berhenti di basement.Alden dan Cia turun dari mobil. Cia yang baru pertama kali datang ke perusahaan itu celinga-celinguk menatap keseluruhan interior. Semuanya tampak cantik dan mewah. Mereka memasuki lobby dan tanpa bertanya kepada resepsionis Alden menarik Cia memasuki lift yang Cia yakin lift itu di khususkan hanya untuk pemegang saham terbesar. Keluar dari lift, Alden kembali menggandeng tangan