Home / Romansa / Mutiara Lembah Hitam / Bab 3. Tak Lama Lagi

Share

Bab 3. Tak Lama Lagi

Author: Raf
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Nesa terdiam. Ia bingung harus memulai dari mana. Meski tak ingin berpisah dengan Raga, tapi jika apa yang dikatakan Susan benar, ia pun harus pasrah menerima kenyataan. Perasaannya berkecamuk. Pikirannya campur aduk. Beban di dadanya terasa sangat berat.

 

“Kepalaku pusing, Mas.” Tiba-tiba ia memeluk Raga dengan erat. Ia menangis. Semua kepedihan dan kekecewaan tumpah bersama air mata yang melekat di baju Raga. Ia marah teringat perkataan Susan.

 

"Maafin aku jika nanti tidak seperti yang kita rencanakan. Aku juga tidak ingin semua ini terjadi."

 

Raga terkesiap. Tak biasanya gadis itu cengeng. Selama enam bulan menjalin hubungan, baru kali ini Nesa menangis seperti lepas kendali. Nesa yang ia kenal adalah sosok kuat, mandiri, dan tegas. Salah satu sikap yang membuat ia selama ini sangat terpesona. Dia hanya pernah menangis sekali ketika bercerita sedikit tentang masa lalunya. Saat itu pun ia jauh lebih tenang. Tapi kali ini gadisnya tampak sangat menderita.

 

Raga memeluk erat tubuh mungil Nesa dan membelai rambutnya dengan lembut.

“Ayolah, Sayang. Ada apa? Kalau ada persoalan harusnya kamu cerita ke aku. Bukannya disimpan sendiri. Aku merasa jadi gak berguna kalo gak dipercaya.” Raga berusaha membuat suasana sedikit ceria, namun Nesa masih terisak sedih.

 

“Aku takut mas.”

 

“Takut kenapa? Memangnya ada apa? Makanya kamu cerita. Jika begini aku kan bingung, Sayang.”

 

“Aku takut jika ternyata kita adik kakak dan sedarah!”

 

Sejenak Raga terdiam, lalu tertawa terpingkal-pingkal, membuat tubuh Nesa yang ada dalam pelukannya ikut terguncang.

 

Raga tak berhenti tertawa mendengar pernyataan Nesa. Entah apa yang sedang dipikirkan gadisnya yang istimewa itu.

 

Dengan terkekeh, ia melepas pelukan. “Kamu lucu, sayang.” Lalu menjawil ujung hidung Nesa dengan perasaan gemas.

 

“Aku pikir tadi kamu serius.”

 

Nesa menatap Raga dengan pandangan sayu.

 

“Aku tidak bercanda, Mas.”

 

“Mimpi apa sih kamu semalam. Mana mungkin kita adik kakak. Ada-ada aja.” Raga tersenyum lebar.

 

“Sudah ah, yuk kita makan. Aku tadi beliin ayam panggang kesukaan kamu. Aku siapin ya.” Ia berjalan menuju dapur mungil di ruangan apartemen berkamar dua itu.

Nesa memandangi punggung Raga. Laki-laki itu begitu tinggi dengan tubuh kekar berotot. Wajah tampan dan sorot mata tajamnya membuat Nesa salah tingkah saat jumpa pertama mereka.

 

Perkenalannya dan Raga bermula ketika ia menjadi wakil dari firma hukum yang ditunjuk untuk menangani kasus yang tengah melilit perusahaan ayah Raga. Sebagai pengacara dan partner di firma hukum tersebut, Nesa sering mendapat tugas membela perusahaan-perusahaan besar. Termasuk PT. Global Textile, perusahaan tekstil terbesar yang ada di kota mereka. Perusahaan itu salah satu anak perusahaan dari PT Global Holding Company, yang saham terbesarnya dimiliki ayah Raga.

 

“Raga.” Laki-laki itu mengulurkan tangan dengan tatapan tajam tanpa senyum.

 

“Nesa.” Ia membalas datar, pun tanpa senyum.

 

Selanjutnya mereka tak saling bicara hingga pertemuan pertama itu berakhir.

Raga duduk menyimak tak banyak bicara ketika sekretaris perusahaan menjelaskan persoalan hukum yang mereka hadapi. Sesekali mata elangnya menatap Nesa, membuat gadis itu sedikit tidak nyaman.

 

Dua bulan mereka lalui dengan komunikasi datar, hanya seputar persoalan yang membelit perusahaan.

 

Namun semakin lama mengenalnya, Nesa menemukan kelembutan pada pria usia tiga puluh tahun itu. Apalagi setelah intens berkomunikasi terkait kasus hukum yang menjerat perusahaan. Semua ketidaknyaman berubah menjadi rasa yang membuat Nesa senang berada di dekatnya.

 

Bulan ketiga, Raga mendekat. Namun Nesa justru dilanda rasa panik saat Raga mengungkapkan perasaan. Masa lalu seketika menari-nari di pelupuk matanya. Ia memandang Raga dengan perasaan hampa, takut semua hanya mimpi. Ia tidak memberi jawaban satu patah kata pun. Respon yang membuat Raga penasaran. Butuh waktu empat bulan setelah itu, hingga akhirnya ia menerima Raga yang tak pernah lelah berupaya mendekati.

 

Ia beruntung mendapat cinta Raga. Ia tahu Raga disukai banyak gadis di luar sana. Sebagai putra tunggal pemilik perusahaan tekstil terbesar di kota mereka, ditambah penampilan fisik yang jauh di atas rata-rata, ia menjadi incaran gadis-gadis cantik di sekitarnya.

Namun Raga memilihnya. Ia yang memiliki masa lalu suram, dengan sejarah keluarga berantakan, tapi tetap tidak menyurutkan niat Raga untuk menjadikannya calon istri.

 

“Aku tidak peduli dengan masa lalu kamu. Aku ingin membangun masa depan dengan kamu, bukan merajut yang sudah berlalu.” Raga meyakinkannya dengan penuh percaya diri.

Kini masa lalunya kembali datang untuk menghadang cinta mereka.

 

“Aku juga berharap semua hanya mimpi.” Lirih ia bergumam, lalu menyusul Raga ke dapur.

 

Sore itu mereka menghabiskan waktu dengan saling berdiam diri. Nesa tak berminat menanggapi humor-humor Raga yang biasa membuatnya ceria. Sang kekasih pun tampak kehilangan gairah untuk bercanda. Hampir satu jam mereka diam-diaman. Keheningan yang membuat Raga bolak balik ia mengganti chanel yang ia sendiri pun tak tahu sedang menayangkan acara apa.

 

“Aku bisa gila jika begini terus.” Raga membatin.

 

Ingin ia membawa gadis itu ke ranjang, agar Nesa bisa melupakan persoalan yang memenuhi pikirannya, meski cuma untuk sesaat. Namun ia sudah berjanji tak akan melakukan hubungan itu sebelum mereka menikah. Janji yang kini menyiksanya. Ia menginginkan Nesa. Ia sangat ingin gadis itu bahagia, tapi Nesa selalu gemetar jika ia menyentuh bagian tubuh sensitifnya.

 

Tak ingin membuat Nesa menjauh, ia berusaha menahan diri agar sang kekasih tetap nyaman saat bersamanya. Meski sudah enam bulan pacaran, ia masih mampu menjaga komitmen dan menahan diri untuk tidak berhubungan. Nesa gadis istimewa, ia ingin memperlakukannya dengan istimewa pula.

 

Ia sudah biasa melakukan hubungan bebas dengan perempuan-perempuan sebelumnya. Tak perlu waktu berbulan-bulan, mereka bahkan dengan sukarela bersedia ia ajak ke tempat tidur sesaat setelah berkenalan. Baginya membawa perempuan ke ranjang bukan perkara susah. Namun Nesa bukan untuk main-main. Nesa akan menjadi pendamping seumur hidupnya. Calon ibu bagi anak-anaknya. Ia layak diperlakukan dengan hormat, dengan kasih sayang, bukan dengan nafsu sesaat.

 

Nesa benar-benar mampu menundukkan ego dan sikap arogan Raga. Kecerdasan dan kemampuannya saat membela perusahaan serta kiprahnya di pengadilan membuat Raga menaruh respek padanya. Ia tak seperti gadis-gadis lain yang hanya mengincar uangnya.

Nesa, tanpa Raga pun mampu hidup layak dengan penghasilan sebagai partner di sebuah firma hukum ternama di kota mereka.

 

Nesa pengacara yang punya nama, dan disegani oleh rekan-rekannya. Namun saat bersamanya, Nesa tampil layaknya gadis kecil yang manja. Kegarangan saat di pengadilan hilang entah kemana. Sesuatu yang membuat Raga makin tergila-gila. Bahkan tubuh mungil dan langsing itu membuat ia tak berdaya. Tubuh mungil yang nyaris tenggelam dalam pelukan Raga yang memiliki tinggi badan seratus delapan puluh lima.

 

Raga harus menahan diri sekuat tenaga agar gadis itu tetap berpakaian lengkap saat bersamanya. Matanya yang bening dengan bibir merekah indah membuat Raga harus bertarung hebat melawan keinginannya untuk membawa Nesa ke surga dunia.

 

“Tak lama lagi.” Gumamnya sambil memandangi gadis yang saat itu tidur di pahanya. “Kamu akan menjadi istriku yang sah dan akan kubawa kamu ke puncak nirwana yang tak kan bisa kamu lupakan selamanya. Jika saat itu tiba, kamu akan tergila-gila padaku.” Ia tersenyum sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Nesa dan mengecup bibir Nesa dengan penuh rasa sayang.

 

***

 

 

Related chapters

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 4. Andai Waktu Bisa Diulang

    Nesa merespon sekilas. Ia sedang tak ingin bermesraan dengan Raga. Pikirannya sedang gundah. Ia masih bertanya-tanya, apa mungkin Raga benar kakaknya? “Jika benar aku dan dia sedarah, apa yang harus kulakukan?” Ia memandangi Raga yang saat itu juga tengah menatapnya. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan. Semua berkecamuk membuat ia merasa lelah dan tak berdaya. “Aku harus bagaimana, Mas?” Ia bertanya lirih dengan wajah sedih. “Ya ampun, Sayang. Apa yang bagaimana? Aku juga gak ng

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 5. Suami Posesif

    Susan pulang ke rumah dengan hati resah. Perlawanan Nesa tadi membuat ia marah. Tak biasa gadis itu melawannya. Ia selalu memilih diam jika ada yang tidak disukai. Namun kali ini Susan melihat mata anak gadisnya begitu gelap ketika ia melarang menikah dengan Raga. “Aku juga ingin kamu bahagia. Kamu sudah terlalu banyak menderita.” Ia bergumam sambil membuka pintu rumahnya yang megah.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 6. Drama Memuakkan

    Susan tak keluar kamar hingga pagi. Bas berkali-kali mengetuk pintu ingin masuk, tapi Susan tidak peduli. Ia tak ingin melihat wajah laki-laki monster yang telah membuatnya jatuh miskin. Ia benci dan ingin pergi. Tak mampu menahan sedih, ia menenggak dua butir pil tidur dan terlelap hingga pagi. Susan tersentak kaget ketika Bik Min menggedor pintu kamar. “Bu, ada Neng Nesa. Katanya mau ketemu Ibu.” Bik Min memanggil berkali-kali.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 7. Cinta Dalam Derita

    “Kalian manusia-manusia tak tahu malu. Bikin rusak hariku saja.” Ia memandang mereka dengan muak. "Jika ingin bikin keributan jangan di sini. Kalian ini tidak ada bedanya dengan preman pasar. Berteriak dan berkata kasar membuat perutku mual." Kini Lee melotot ke arah Nesa. Tampaknya ia benar-benar tak menyangka bakal menerima kejutan menakjubkan. "Kamu cantik juga!" katanya dengan wajah sinis. "Apa kerjaan kamu juga seperti dia? Menghibur laki-laki? Sepertinya kamu cukup menyenangkan untuk diajak bersenang-senang!" Dengan tatapan meremehkan, Lee menguliti Nesa dengan tatapannya. Nesa menatap Lee dengan mata terbelalak.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 8. Mantan Terindah

    Sejak pertemuan keluarga, Pram uring-uringan. Ia tak menyangka Ibu Nesa adalah perempuan yang sekian puluh tahun silam pernah menjadi kekasihnya. Ia belum pernah mencintai seseorang hingga bertemu Susan. Perempuan itu memiliki kecantikan sempurna, dan seorang primadona di Mike House, rumah hiburan berbayar mahal untuk kalangan terbatas. Ia begitu kaget saat bertemu Susan di private room restoran tempat pertemuan digelar. Tak pernah terbayangkan perempuan itu muncul kembali di hadapannya, apalagi sebagai calon besannya. “Sial. Bagaimana mungkin Susan adalah ibu Nesa?” Ia bergumam sambil menenggak minuman keras yang sudah

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 9. Primadona Dari Masa Lalu

    Cinta boleh jadi sumber masalah, tapi jika kebijaksanaan menjadi landasannya, maka cintalah yang akan mendewasakan kita. Namun nyatanya cinta kerap membuat manusia dewasa bertingkah sebaliknya. Cinta menjadikan nalar tumpul dan kebijaksanaan raib entah kemana. Pram kian murka karena Raga berani membantahnya. “Kamu tidak berguna. Semua usaha ini aku rintis dengan pengorbanan. Kini kamu mau belagak hebat di depanku, hah? Memangnya kamu bisa apa?” Matanya memerah menatap Raga. Entah mengapa, Raga merasa tatapan sang ayah seperti menyiratkan kebencian. Namun ia berusaha mengabaikan dan tidak mau terpengaruh oleh kata-kata Pram yang tengah mabuk berat.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 10. Kei

    Raga kembali ke ruangan kerja di lantai delapan. Lantai khusus Board of Directors. Ruangannya bersebelahan dengan Pram, Sang CEO. Bersama mereka ada Farid dan Arham jajaran direksi lainnya. “Bos besar lagi di mana, Mas?” Farid menyambut kehadirannya yang tengah berjalan tergesa-gesa. “Ada di atas. Lagi bertapa,” sahut Raga acuh. “Jangan diganggu dulu.” Farid tersenyum. Namun Raga sedang kehilangan keramahan. Ia tak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak beban pikiran setelah bertemu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 11. Sang Pelepas Dahaga

    Kei membersihkan diri di toilet, dan mematut wajah cantiknya di kaca. Sebuah senyum puas tersungging di sudut bibirnya. Ia sangat bahagia bisa bersama Raga lagi. Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Raga dan ingin bertemu dengannya, tapi ia selalu punya alasan untuk menolak. Setelah enam bulan ia menahan diri, kini laki-laki itu menginginkannya kembali. Kei yakin Raga tengah memiliki masalah. Namun, itu tak mengganggu kebahagiaan dan hasratnya untu

Latest chapter

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 65. Kau Begitu Dekat (Tamat)

    Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 64. Hati Seindah Mutiara

    Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 63. Fakta Akhirnya Terungkap

    Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 62. Sujud Perdana

    Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 61. Raga Hilang?

    Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 60. Wajah Asli Kei

    “Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 59. Hasil Tes DNA

    Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 58. Fakta Menyedihkan

    Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 57. Berita Duka

    Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat

DMCA.com Protection Status