Beranda / Romansa / Mutiara Lembah Hitam / Bab 8. Mantan Terindah

Share

Bab 8. Mantan Terindah

Penulis: Raf
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sejak pertemuan keluarga, Pram uring-uringan. Ia tak menyangka Ibu Nesa adalah perempuan yang sekian puluh tahun silam pernah menjadi kekasihnya. Ia belum pernah mencintai seseorang hingga bertemu Susan. Perempuan itu memiliki kecantikan sempurna, dan seorang primadona di Mike House, rumah hiburan berbayar mahal untuk kalangan terbatas.

 

Ia begitu kaget saat bertemu Susan di private room restoran tempat pertemuan digelar. Tak pernah terbayangkan perempuan itu muncul kembali di hadapannya, apalagi sebagai calon besannya.

 

“Sial. Bagaimana mungkin Susan adalah ibu Nesa?” Ia bergumam sambil menenggak minuman keras yang sudah lama ia tinggalkan.

 

Pertemuan dengan Susan menyulut kenangan masa lalu dan membuat Pram kembali mengkonsumsi alkohol untuk menepis keresahan.

 

“Hampir dua puluh sembilan tahun dan perempuan itu masih cantik seperti dulu.” Ia terus bergumam. Pram benar-benar tersiksa setiap mengingat Susan. Kenangan yang pernah mereka ukir tak mudah ia lupakan begitu saja. Keliaran Susan di ranjang membuat ia harus berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan perempuan itu, dan harus membuat pernyataan tertulis di hadapan mertuanya agar meninggalkan Susan untuk selama-lamanya.

 

Kini ia muncul begitu saja. Bergandengan mesra dengan suaminya tepat di depan matanya. Pram dilanda perasaan gelisah dan juga cemburu melihat cara laki-laki itu memperlakukan Susan. Namun sorot tajam mata suami Susan membuat ia tak berani menatap mantan kekasihnya itu secara terang-terangan.

 

“Benar-benar sial!” Ia tak henti-henti merutuk kenyataan itu.

 

Tiga botol minuman keras membuat pikirannya makin kacau. Ia tak henti memaki dan menyesali pertemuan dengan Susan. Setelah sekian puluh tahun, ia merasa diseret kembali ke masa lalu. Tiba-tiba ia marah pada Raga dan Nesa.

 

Ia menyuruh Grace, sang sekretaris memanggil Raga. Sementara ia sendiri tengah berada di Penthouse. Gedung perkantoran berlantai sembilan itu milik perusahaannya. Penthouse berada di lantai paling atas. Hanya ia dan orang-orang tertentu yang mempunyai akses ke sana.

Terdapat sebuah suite room kelas hotel bintang lima berikut ruang tamu dengan dekorasi yang sangat nyaman, dilengkapi ruang rapat untuk kalangan terbatas.

 

Ia biasa menghabiskan waktu di penthouse jika sedang banyak pekerjaan atau tengah mengalami tekanan yang membuat stress. Terkadang, orang kepercayaannya menyelinapkan perempuan muda untuk menemani. Tempat itu gua persembunyiannya. Bahkan Vita, istrinya tidak diperbolehkan ke sana tanpa ijinnya.

 

Tak lama Raga muncul. Ia tercengang melihat di meja tergeletak botol-botol kosong minuman keras. Sudah lama ia tak melihat Pram mabuk, sejak ia kecil dulu.

 

Raga menatap sang ayah. Sejak bertemu keluarga Nesa ia terlihat lebih pendiam dan seperti banyak pikiran. Namun Raga tidak terlalu memedulikan. Ia sudah biasa melihat Pram terhanyut dalam dunianya sendiri. Ibunya, Vita, bahkan mengingatkan agar ia tidak mengganggu jika sang ayah sedang banyak masalah.

 

Kini laki-laki usia lima puluh lima tahun itu menatap Raga dengan pandangan penuh selidik.

 

“Kasih tau Anton, mulai sekarang keluarkan Nesa dari tim bantuan hukum untuk perusahaan kita!” Suara ayahnya dingin dan bernada perintah.

 

“Maksud Papa, bagaimana?”

 

“Mulai sekarang aku tidak mau Nesa ada dalam tim kuasa hukum kita. Aku juga tidak mau ketemu dia. Dan jangan kau bawa-bawa lagi dia ke hadapanku.”

 

“Kenapa?” Raga menatap sang ayah dengan wajah memerah. “Ada apa rupanya, Papa tiba-tiba membuang Nesa dari tim kuasa hukum dan menjauhinya?”

 

“Kamu juga tidak boleh menikahi dia.” Pram tampak tidak memedulikan ucapan sang anak.

 

“Dia tidak pantas untuk kamu! Cari perempuan lain!”

 

Kata kata itu sontak membuat Raga naik darah. Ia tak menyangka Pram yang semula sangat menyukai Nesa jadi berubah ingin menyingkirkan Nesa dari hidupnya.

 

“Papa mabuk dan aku tidak anggap ucapan orang mabuk!”

 

“Hei anak muda. Kau belum tahu siapa dia!”

 

“Aku tahu dia. Dia perempuan yang aku cintai dan aku akan menikahi dia. Dengan atau tanpa restu Papa!”

 

“Jangan bikin malu. Kamu tidak tau siapa ibunya.”

 

“Aku sudah lama kenal ibunya. Dia baik. Papa jangan mengada-ada.”

 

“Apa yang kamu tau tentang masa lalu ibunya?”

 

“Aku tidak peduli masa lalu ibunya, aku bahkan tidak peduli dengan masa lalu Nesa. Aku butuh dia untuk masa depanku. Bukan untuk masa lalu.” Raga tampak berang.

 

“Apa kau tau! Ibunya mantan pelacur!”

 

Raga tertegun. Tak menyangka sang ayah begitu enteng menyebut ibu calon istrinya mantan pelacur.

 

“Papa terlalu! Papa mabuk. Aku anggap omongan Papa tidak ada!”

 

“Pelacur cantik itu kekasihku. Dia masih cantik seperti dulu. Argh.. aku menginginkan dia. Susan Sang Primadona. Bawakan dia untukku.” Pram mengoceh tak karuan.

 

Raga muak menyaksikan ulah Pram. Ia beranjak melangkah ke luar ruangan, namun sang ayah kembali memanggil dengan suara keras.

 

“Heh anak sialan, mau kemana kamu?”

 

Raga menghentikan langkah. Wajahnya mengeras. Ia berusaha menahan amarah yang ingin meledak mendengar ucapan Pram.

 

“Aku mau balik. Gak ada guna bicara dengan orang mabuk!”

 

“Hei, sini kamu. Aku belum selesai dengan kamu. Cari Susan. Bawa dia kemari!”

Raga mengepalkan telapak tangan menahan amarah yang kian memuncak. Namun seketika ia mendapat ide untuk mengorek informasi dari Pram saat ia sedang mabuk.

 

“Dari mana papa tau dia mantan pelacur?” Ia bertanya dengan suara setenang mungkin.

 

“Karena aku pelanggannya.”

 

Raga terperangah. Meski tahu sang ayah sedang mabuk, namun ia tak menyangka laki-laki itu mengakui masa lalunya yang bobrok.

 

“Kapan?”

 

“Seribu tahun lalu.”

 

Raga menatap laki-laki yang tengah mabuk itu. Ia duduk di sofa di hadapannya. Pram tampak kacau dan pipinya memerah karena alkohol.

 

“Sewaktu kau dalam perut mama kau. Aku tidak pernah mencintai mama kau.”

 

Meski kaget dengan pengakuan Pram, ia tetap berusaha tenang.

 

“Jadi Papa mencintai Susan dan tidak mencintai Mama? Begitu?” Ia semakin tertarik untuk mengorek sebanyak mungkin info dari sang ayah yang sedang mabuk.

 

“Susan itu istimewa. Ia tidak ada duanya. Bawa dia kesini!”

 

“Bagaimana Papa bisa kenal Susan?”

 

“Kau harus ikut aku ke Mike House. Kau pasti suka di sana. Susan Sang Primadona selalu menjadi incaran para tamu, tapi aku yang beruntung mendapatkannya. Argh.. Susan yang cantik sempurna.”

 

Ia terus meracau. Raga membiarkan.

 

“Papa tau kan, dia calon ibu mertuaku? Dia ibu Nesa?”

 

“Kalian tak boleh menikah. Aku tak suka Nesa. Kau sudah telpon Anton? Suruh dia tarik Nesa. Aku tidak mau ketemu dia!”

 

“Aku tetap akan menikahi Nesa.”

 

“Tidak boleh. Dia anak pelacur!”

 

“Dan Papa tidak malu mengatakan itu padaku? Apakah Papa lebih bersih dari Susan?

 

“Aku tidak mau cucuku punya nenek pelacur.”

 

“Munafik!” Raga tak tahan untuk tidak membalas.

 

“Pokoknya kamu tidak boleh menikah dengan Nesa.

 

“Aku akan menikah dengan dia.”

 

“Kamu kurang ajar.”

 

“Iya. Dan aku tidak peduli dengan larangan bodoh itu. Aku bukan anak kecil. Dan aku tidak peduli dengan masa lalu ibunya. Pelacur kek, presiden kek. Toh ayahku juga ternyata penggemar pelacur di masa lalunya.”

 

Pram berdiri ingin menampar Raga.

 

“Jangan kira aku akan diam saja Papa melakukan kekerasan seperti dulu! Aku bukan lagi anak kecil yang bisa Papa perlakukan semena-mena.”

 

***

Bab terkait

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 9. Primadona Dari Masa Lalu

    Cinta boleh jadi sumber masalah, tapi jika kebijaksanaan menjadi landasannya, maka cintalah yang akan mendewasakan kita. Namun nyatanya cinta kerap membuat manusia dewasa bertingkah sebaliknya. Cinta menjadikan nalar tumpul dan kebijaksanaan raib entah kemana. Pram kian murka karena Raga berani membantahnya. “Kamu tidak berguna. Semua usaha ini aku rintis dengan pengorbanan. Kini kamu mau belagak hebat di depanku, hah? Memangnya kamu bisa apa?” Matanya memerah menatap Raga. Entah mengapa, Raga merasa tatapan sang ayah seperti menyiratkan kebencian. Namun ia berusaha mengabaikan dan tidak mau terpengaruh oleh kata-kata Pram yang tengah mabuk berat.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 10. Kei

    Raga kembali ke ruangan kerja di lantai delapan. Lantai khusus Board of Directors. Ruangannya bersebelahan dengan Pram, Sang CEO. Bersama mereka ada Farid dan Arham jajaran direksi lainnya. “Bos besar lagi di mana, Mas?” Farid menyambut kehadirannya yang tengah berjalan tergesa-gesa. “Ada di atas. Lagi bertapa,” sahut Raga acuh. “Jangan diganggu dulu.” Farid tersenyum. Namun Raga sedang kehilangan keramahan. Ia tak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak beban pikiran setelah bertemu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 11. Sang Pelepas Dahaga

    Kei membersihkan diri di toilet, dan mematut wajah cantiknya di kaca. Sebuah senyum puas tersungging di sudut bibirnya. Ia sangat bahagia bisa bersama Raga lagi. Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Raga dan ingin bertemu dengannya, tapi ia selalu punya alasan untuk menolak. Setelah enam bulan ia menahan diri, kini laki-laki itu menginginkannya kembali. Kei yakin Raga tengah memiliki masalah. Namun, itu tak mengganggu kebahagiaan dan hasratnya untu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 12. Cinta Manipulatif

    Raga tertegun menatap layar ponsel. Panggilan Nesa tak juga berhenti. Kei berada di belakangnya, memeluk erat pinggangnya. Ia sangat ingin menerima panggilan Nesa, namun khawatir Kei melakukan tindakan nekat. Gadis itu posesif dan pencemburu, yang membuat Raga akhirnya memilih untuk meninggalkannya. “Angkat aja, sayang. Aku gak apa-apa kok.” “Gak usah nanti aja.” “Dari siapa sih. Kenapa gak diangkat. Pacar kamu ya, sayang?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 13. Surprise

    Begitu Kei keluar, Raga menghela nafas panjang. Godaan Kei dan cinta pada Nesa membuat ia serasa tengah berada di atas perahu yang diombang-ambing badai. Setiap mengingat Nesa, hatinya sakit. Ia mencintai gadis itu, namun rintangan yang mereka hadapi jelas bukan persoalan sepele yang bisa diabaikan begitu saja. Terlihat beberapa missed calls yang dilakukan Nesa, bergegas ia menghubungi kembali. Setelah beberapa kali mencoba, terdengar Nesa menjawab dengan suara parau. “Ya, Mas… kamu dimana?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 14. Gadis Arogan

    Mendengar nama Raga, Nesa langsung tersentak. “Raga? Kamu apanya Raga?” Ia menatap Kei dengan pandangan penuh selidik. “Memangnya ada apa dengan Raga?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 15. Aku Laki-Laki Normal

    "Maafin aku Mas. Aku sedang tidak enak badan. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu.” Nesa menatap Raga dengan muram.“Ada apa cinta? Boleh gak nanti aja kita bicarakan hal-hal yang akan membuat suasana tidak ceria? Aku kangen sama kamu. Aku ingin kita santai dulu. Boleh gak? Kalo kamu ijinin aku pengen nginap di sini. Biar besok ke kantor dari sini.”“Tapi Mas, banyak hal yang harus kita bicarakan. Kalo kamu nginap di sini nanti kita kebablasan.” Nesa berusaha menghindar.“Ayolah, Sayank. Kita ini bukan lagi anak kemarin sore. Lagipula kalo kamu memang gak mau kita melakukan hal-hal yang tidak kamu suka, aku gak akan maksa. Tapi ijinkan aku nginap malam ini. Seperti kata kamu, banyak hal yang harus kita bicarakan. Tapi aku gak mau ngomongin itu sekarang. Nanti malam kita ngobrol banyak tentang persoalan kita. Sekarang kita santai du

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 16. Tamu Tengah Malam

    “Aku mencintai kamu, Nesa. Sangat mencintai kamu. Aku masih menginginkan kamu untuk menjadi istriku. Menjadi ibu bagi anak-anakku. Tapi mengapa keadaan jadi begini rumit? Aku pikir Papaku hanya mengoceh karena mabok. Aku tidak menyangka Ibumu juga mengatakan hal yang sama.” Raga menatap Nesa dengan mata sarat dengan kesedihan. “Aku tidak percaya kita adik kakak. Sedikitpun aku tidak percaya. Tidak mungkin kamu adikku. Rasanya ini terlalu mengada-ada. Kita harus buktikan mereka salah, Nes.” Nesa tampak terkejut. “Maksud Mas, Pak Pram juga bilang kita adik kakak?” Manik mata Nesa membulat dengan mulut nyaris ternganga karena tak menyangka Raga mengatakan hal itu. Raga memandang gadis yang sangat ia cintai itu dengan wajah sendu. Rasanya terlalu berat untuk menceritakan lebih banyak apa yang dikatakan Pram padanya. “Papaku tidak b

Bab terbaru

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 65. Kau Begitu Dekat (Tamat)

    Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 64. Hati Seindah Mutiara

    Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 63. Fakta Akhirnya Terungkap

    Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 62. Sujud Perdana

    Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 61. Raga Hilang?

    Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 60. Wajah Asli Kei

    “Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 59. Hasil Tes DNA

    Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 58. Fakta Menyedihkan

    Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 57. Berita Duka

    Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat

DMCA.com Protection Status