"Maafin aku Mas. Aku sedang tidak enak badan. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu.” Nesa menatap Raga dengan muram.“Ada apa cinta? Boleh gak nanti aja kita bicarakan hal-hal yang akan membuat suasana tidak ceria? Aku kangen sama kamu. Aku ingin kita santai dulu. Boleh gak? Kalo kamu ijinin aku pengen nginap di sini. Biar besok ke kantor dari sini.”“Tapi Mas, banyak hal yang harus kita bicarakan. Kalo kamu nginap di sini nanti kita kebablasan.” Nesa berusaha menghindar.“Ayolah, Sayank. Kita ini bukan lagi anak kemarin sore. Lagipula kalo kamu memang gak mau kita melakukan hal-hal yang tidak kamu suka, aku gak akan maksa. Tapi ijinkan aku nginap malam ini. Seperti kata kamu, banyak hal yang harus kita bicarakan. Tapi aku gak mau ngomongin itu sekarang. Nanti malam kita ngobrol banyak tentang persoalan kita. Sekarang kita santai du
“Aku mencintai kamu, Nesa. Sangat mencintai kamu. Aku masih menginginkan kamu untuk menjadi istriku. Menjadi ibu bagi anak-anakku. Tapi mengapa keadaan jadi begini rumit? Aku pikir Papaku hanya mengoceh karena mabok. Aku tidak menyangka Ibumu juga mengatakan hal yang sama.” Raga menatap Nesa dengan mata sarat dengan kesedihan. “Aku tidak percaya kita adik kakak. Sedikitpun aku tidak percaya. Tidak mungkin kamu adikku. Rasanya ini terlalu mengada-ada. Kita harus buktikan mereka salah, Nes.” Nesa tampak terkejut. “Maksud Mas, Pak Pram juga bilang kita adik kakak?” Manik mata Nesa membulat dengan mulut nyaris ternganga karena tak menyangka Raga mengatakan hal itu. Raga memandang gadis yang sangat ia cintai itu dengan wajah sendu. Rasanya terlalu berat untuk menceritakan lebih banyak apa yang dikatakan Pram padanya. “Papaku tidak b
Seketika Raga merasakan darahnya menggelegak. Meskipun Aril mengaku sepupu Nesa, tapi sikap dan tingkah lakunya sama sekali tidak menunjukkan respek padanya dan Nesa. Entah mengapa, Raga merasa ada yang salah dengan hubungan keduanya. Namun ia masih berusaha berpikir positif. Gadisnya bukan gadis nakal, dan ia bahkan hingga enam bulan belum mapu meluluhkan hati dan membawanya bersenang-senang.“Nesa tak mungkin melakukan hal yang konyol bersama Aril,” Ia menepiskan pikiran buruk yang sesaat berkelabat dalam pikirannya.“Kamu kerja di mana?’ Aril bertanya pada Raga dengan tatapan seperti meremehkan.“Perusahaan tekstil,” Raga menjawab singkat.“Owh. Di perusahaan garmen ya?” Aril menatap Raga sinis. “Banyak perempuan cantik kan itu kerja di perusahan garmen. Gadis-gadis kampung,” ucapnya dengan nada pen
“Kamu tidak punya pilihan!”Suara itu seketika menggema dalam benak Nesa. Seringai Aril saat mendapatinya tengah berada dalam pelukan Om Beno, Papa Aril.Kala itu ia baru kelas dua SMA. Tante Ria dan Andin sedang pulang kampung. Ayah Tante Ria sedang sakit. Keluarga meminta Tante Ria pulang mengurus sang ayah. Namun Om Beno dan Aril tidak ikut pulang. Ia hanya berdua di rumah dengan Om Beno. Aril yang berusia tiga tahun di atas Andin tengah kuliah. Ia memilih kost di dekat kampus, sehingga jarang pulang.Namun hari itu, tiba-tiba saja Aril telah berada di rumah tanpa sepengetahuan Om Beno dan Nesa. Dan Aril mendapati sang ayah tengah tidur memeluk Nesa di kamarnya.Aril melotot dengan mulut ternganga. Nesa gemetar ketakutan, dan Om Beno buru-buru membereskan pakaiannya yang sudah tidak karuan.“Kalian manusia biadab,” Aril men
Kehidupan tak pernah ramah pada mereka yang lemah.Nesa merasakan hatinya sakit tiada terperi menerima perlakuan Om Beno. Laki-laki yang dia kira selama ini menyayangi dan menjadi pengganti ayah yang tak pernah ia kenal, ternyata hanya menginginkan tubuh mudanya. Perlakuan dan sikap sayang selama ini hanya topeng yang menutupi niat yang sebenarnya.Ia merasakan kebencian yang teramat sangat pada Susan, yang mengirimnya tinggal dengan keluarga Om Beno.“Orang dewasa hanya manusia egois yang selalu memikirkan kepentingan sendiri.”Ia benci Susan. Ia benci Om Beno, dan ia benci pada diri sendiri yang begitu lemah tak bisa melakukan perlawanan saat diperlakukan semena-mena.Mendadak, bayangan ketika tinggal bersama Susan, menyeruak di dalam benaknya. Seketika air mata membanjiri pipinya. Nesa kecil dulu pun harus berjuang se
“Hei! Tolong jaga sikap ya! Tidak peduli apa urusan kalian di masa lalu, saat ini Nesa sudah jadi calon istriku dan aku tidak menerima kehadiran kamu di sini! Silahkan tinggalkan rumah ini!” Raga menatap Aril dengan mata membara.Nesa berusaha melepaskan diri dari Aril. Wajahnya memerah. Matanya menyorot tajam. Hilang rasa takut dan gentarnya menghadapi Aril yang kian kurang ajar.“Nesa minta Mas Aril tinggalkan rumah ini sekarang juga!” Suaranya penuh tekanan. “Jangan sampai urusan ini aku bawa ke ranah hukum. Aku tidak suka Mas Aril datang malam-malam dan memperlakukan aku dengan kurang ajar.”Aril membelalak tidak percaya. “Wow, Nesa yang lembut dan penakut ternyata kini sudah jadi jagon!” Ia menyeringai, tak peduli dengan perkataan Nesa. “Berani mengancam pula. Hebat kamu sekarang!” Ia ingin menyentuh pipi Nesa kembali, namun
Sementara itu, Susan pun tengah bergumul dengan permasalahan rumah tangganya yang rumit. Sikap permusuhan Lee dan perlakuan Bas yang tidak stabil membuat Susan merasa terombang ambing.Lee, anak pertama Bas yang berusia tiga puluh lima tahun, tinggal di rumah Bas sejak dua tahun lalu. Lee bercerai dengan istrinya. Kedua anak laki-lakinya ikut dengan ibu mereka. Lee kembali hidup membujang. Ia memilih tinggal di rumah besar ayahnya dan bekerja di perusahaan Bas. Namun karena usaha mereka kian hari kian menurun, Lee menjadi malas-malasan. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.Susan kerap merasa terganggu dengan keberadaannya. Apalagi Bas sering ke luar kota. Asisten rumah tangga pun kini tak ada yang tinggal di rumah. Mereka hanya datang pagi hingga menjelang siang. Berduaan bersama Lee di rumah membuat Susan merasa tidak nyaman.Apalagi setelah insiden beberapa hari yang lalu. Lee se
Tak terasa, dua tahun sudah Susan menjadi penghuni Mike House. Ia menikmati kemewahan dan petualangan yang didapat di istana megah mereka, tempat ia bebas melakukan apa pun yang ia inginkan, kecuali pergi dari sana.Tinggal di Mike House membuat Susan tak perlu pusing memikirkan uang. Setiap bulan, ia bahkan mengirimi Darsih, sang ibu uang dalam jumlah besar. Ketika Darsih bertanya pekerjaannya, Susan berkata bekerja dengan orang asing.Setiap hari ada saja tamu yang datang ke Mike House. Para gadis menyambut raja-raja itu dengan wajah sumringah. Penampilan menawan dengan senyum ramah tak henti-henti mereka ulaskan. Namun, di antara hari-hari yang sibuk itu, ada satu hari paling disukai oleh seluruh penghuni rumah, khususnya oleh Susan.Gathering Bulanan.Acara itu menghadirkan sensasi tersendiri bagi gadis yang selalu tampil menawan itu. Gathering dihadi
Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.
Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan
Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat
Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora
Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m
“Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da
Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb
Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke
Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat