Susan mendorong ayunan dengan pelan. Sepoi angin mempermainkan rambutnya yang hitam tebal. Matanya terpejam, tapi berbagai kenangan seperti terpampang jelas di depan matanya.Sejak usia sepuluh tahun, ia tinggal berdua Darsih, sang Ibu. Ayah Susan meninggal karena kecelakaan. Sebagai anak tunggal, Darsih mencurahkan kasih sayang penuh untuknya. Tapi karena keadaan keuangan mereka yang terbatas, Susan harus bekerja keras untuk bisa tampil layaknya remaja seusia.Sejak SMP ia sudah bekerja. Kala itu Susan membantu Nyonya Sinta, istri Tuan Herman, juragan terkaya di kampungnya. Tugasnya membantu Nyonya Sinta membersihkan kamar dan melayani keperluan pribadi Nyonya Sinta. Sedangkan Darsih, bekerja sebagai pembantu di rumah besar itu.Nyonya Sinta sayang padanya. Ia kerap diajak pergi jalan-jalan saat liburan. Tuan Herman dan Nyonya Sinta tak punya anak perempuan. Kedua anaknya laki-laki dan su
Entah apa yang salah dengan otaknya, tiba-tiba Santi membayangkan Hendra tengah bergumul dengannya, sembari mendesah dan menjerit penuh kepuasan, seperti yang ia dengar semalam.Wajahnya tiba-tiba memerah. Hendra mengamatinya dengan seksama.“Kamu kenapa?” tanyanya sembari mengamati Santi dari atas ke bawah.“Tidak kenapa-kenapa, Pak,” jawab Santi cepat. Suaranya bergetar.Hendra memandangnya dengan senyum dikulum.“Kamu mendengar apa semalam?” Ia mengedipkan sebelah mata pada Santi yang berdiri dengan posisi serba salah tingkah.“Tidak ada Pak,” jawabnya malu-malu. Dadanya bergemuruh kencang.“Hmm, yakin kamu gak mendengar apa-apa?” Hendra semakin senang karena kini wajah Santi bak udang rebus matang.
Sudah seminggu Santi tinggal di rumah Hendra. Setiap pagi, dengan antusias ia menuju ruang kantor di lantai dasar. Pukul tujuh, ia sudah berada di ruangan. Dengan senang hati, ia ikut membersihkan meja kerja dan ruangan kantor. Kini ruangan itu tampak lebih nyaman dan menyenangkan.Ia sangat menikmati hari-harinya menjadi pegawai. Hendra dan Astra pun menyukai hasil kerjanya. “Hebat kamu,” puji Hendra di hari ketiga ia bekerja. “Kamu belajar cepat, dan hasilnya lumayan memuaskan.”Ia tersipu mendapat pujian Hendra.Setiap pagi, Hendra berada di kantor hingga pukul delapan. Dengan pakaian santai dan celana pendek, ia sibuk memeriksa catatan dan beberapa dokumen. Pada saat itu, mereka hanya berdua di ruang kantor.Terkadang Hendra tidak memedulikan kehadiran Santi. Namun ada kalan
“Pak Hendra…. Jangan Pak….” keluhnya dengan rintihan tertahan. “Saya tidak akan memaksa kamu, Sayang.” Hendra berbisik sembari mempermainkan cuping kuping Santi dengan bibirnya. Hembusan nafasnya membuat bulu-bulu halus di tubuh Santi meremang. Pada saat yang sama, jemari tangan Hendra mulai mengembara dan berlabuh di inti tubuhnya dengan gerakan keluar masuk yang membuat Santi tak mampu lagi berpikir. "Pak Hendra..... Jangan," keluhnya. “Aku tidak akan memaksa kamu, Sayang,” ucap Hendra berulang-ulang. “Jika kamu tidak mau, aku akan hentikan.” Namun, tangan dan mulutnya terus bergerak menjelajahi bukit dan lembah di tubuh belia Susanti. Sentuhan dan gerakan-gerakan Hendra membuat gadis itu kian kehilangan nalar. Ia terbang ke langit tinggi, melayang di awang-awang. Namun itu tak cukup. Ia ingin lebih. Ia ingin mencapai nirwana. Ia mendambakan H
Kebencian tampak jelas di kedua mata Aril.“Gara-gara kamu, Mamaku menderita dan mati sia-sia!” Ia berkata dengan tatapan sinis. “Kini kamu harus jadi istriku.”“Aku tidak mengerti arah pembicaraan kamu, Mas Aril.” Nesa merasa sudah cukup mendengar kesimpangsiuran pembicaraan Aril. Omongannya tidak terstruktur dan tercampur aduk.“Sepertinya Mas Aril sedang mabuk. Biar aku antar ke rumah.”“Mabuk, hah? Iya, aku mabuk gara-gara kamu!”Aril tampak kian marah. “Aku mau menginap di sini. Ada masalah?”Raga kehilangan kesabaran.“Hei. Cukup kamu meracau di sini. Jika tidak mau panjang urusan, silahkan kamu pergi. Kalau tidak aku panggil keamaan.”“Mas Raga, sepertinya M
Nesa terperanjat. Ia berusaha melepaskan diri dari gendongan Raga. Namun tenaganya tak sebanding dengan tenaga lelaki bertubuh tinggi besar itu. Ia bagai anak kecil di dalam dekapan tubuh Raga yang kekar.“Lepasin aku, Mas. Kita tidak boleh melakukan itu.” Ia berupaya menyadarkan Raga yang mulai kehilangan kendali.Raga tak lagi peduli. Ia menutup pintu kamar Nesa dan menguncinya. Dengan nafas memburu, ia baringkan gadis yang membuat perasaannya berhari-hari terombang ambing tidak karuan. Kata-kata Aril tentang Nesa dan ayah Aril menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat, tetapi pada saat yang bersamaan juga membuat adrenalinnya melonjak tajam.“Aku tidak mau lagi mendengar alasan apa pun dari kamu, Sayang. Aku menginginkan kamu dan tak ada yang bisa menghalangi.” Ia menciumi Nesa dengan perasaan campur aduk. Semakin Nesa meronta, hasrat Raga kian merasa dita
"Apa yang terjadi padaku?”Nesa mencengkeram kitchen set dengaan erat. Pandangannya buram. Tiba-tiba semua tampak bergerak. Dengan tertatih-tatih, ia kembali ke sofa. Kepalanya terasa sangat berat.Ia merebahkan tubuh.“Apa ini hukuman karena aku melakukan hubungan terlarang?” tiba-tiba wajahnya memucat. Sakit kepala yang tak terkira membuat Nesa tak melanjutkan membuat sarapan.Ia meringkuk di sofa dengan pikiran berkecamuk. “Aku pasti dikutuk,” batinnya lirih.Tak berselang lama, Raga keluar kamar mandi dengan wajah cerah. Lalu tertegun melihat Nesa yang terbaring sambil memijit kepala.“Sayang, kamu kenapa?” Ia mendekat dan terkejut mendapati tubuh Nesa sangat panas.Dengan panik ia menempelkan tangan di kening dan leher Nesa
Aroma ruangan yang menusuk membuat nafas Nesa sesak. Tatapan Andin pun seakan tengah menghakimi tanpa suara. Namun ia tak boleh lemah. Nesa tak ingin Andin makin curiga.“Temanin aku ke kamar Om Beno, Ndin.” Sedikit rasa was-was menyelinap saat harus bertemu laki-laki yang pernah sangat beruasa atas dirinya. Meskipun dalam situasi yang sangat berbeda.Andin kembali menatap Nesa dengan ekspresi datar.“Kamu masih tahu kan kamar Mama dan Papaku? Masuk aja. Gak ada siapa-siapa. Cuma ada Papa.”“Papa kamu kan sakit. Gak enaklah aku sendirian. Kalo beliau mau sesuatu, aku kan gak paham.”Dengan malas-malasan, Andin beranjak dari duduknya.“Sudah berapa lama kamu tidak ke sini, Nes?” Pertanyaan sekilas, tapi membuat Nesa menghela nafas panjang.
Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.
Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan
Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat
Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora
Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m
“Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da
Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb
Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke
Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat