"Apa yang terjadi padaku?”Nesa mencengkeram kitchen set dengaan erat. Pandangannya buram. Tiba-tiba semua tampak bergerak. Dengan tertatih-tatih, ia kembali ke sofa. Kepalanya terasa sangat berat.Ia merebahkan tubuh.“Apa ini hukuman karena aku melakukan hubungan terlarang?” tiba-tiba wajahnya memucat. Sakit kepala yang tak terkira membuat Nesa tak melanjutkan membuat sarapan.Ia meringkuk di sofa dengan pikiran berkecamuk. “Aku pasti dikutuk,” batinnya lirih.Tak berselang lama, Raga keluar kamar mandi dengan wajah cerah. Lalu tertegun melihat Nesa yang terbaring sambil memijit kepala.“Sayang, kamu kenapa?” Ia mendekat dan terkejut mendapati tubuh Nesa sangat panas.Dengan panik ia menempelkan tangan di kening dan leher Nesa
Aroma ruangan yang menusuk membuat nafas Nesa sesak. Tatapan Andin pun seakan tengah menghakimi tanpa suara. Namun ia tak boleh lemah. Nesa tak ingin Andin makin curiga.“Temanin aku ke kamar Om Beno, Ndin.” Sedikit rasa was-was menyelinap saat harus bertemu laki-laki yang pernah sangat beruasa atas dirinya. Meskipun dalam situasi yang sangat berbeda.Andin kembali menatap Nesa dengan ekspresi datar.“Kamu masih tahu kan kamar Mama dan Papaku? Masuk aja. Gak ada siapa-siapa. Cuma ada Papa.”“Papa kamu kan sakit. Gak enaklah aku sendirian. Kalo beliau mau sesuatu, aku kan gak paham.”Dengan malas-malasan, Andin beranjak dari duduknya.“Sudah berapa lama kamu tidak ke sini, Nes?” Pertanyaan sekilas, tapi membuat Nesa menghela nafas panjang.
Keduanya saling pandang.“Maksud kamu gimana, Nes?” Andin menatap Nesa dengan tajam.“Iya. Dulu aku kan menumpang di rumah ini. Kalian memberiku tempat tinggal dan Mama kamu ikut berjasa membesarkan aku. Om Beno membiayai sekolahku. Kini wajar jika aku membalas semua kebaikan dan jasa kalian padaku, bukan?” Nesa tersenyum tipis pada Andin yang terus menatapnya seakan ingin menyelam hingga ke dasar hati saudara yang dulu sering ia bully dengan kejam.“Kamu mau membantu biaya perawatan Papaku, Nes?” Andin seolah belum percaya.“Iya. Aku juga akan mencarikan orang untuk merawat Papa kamu dan mengurus rumah ini. Sayang rumah kamu sekarang sepertinya kurang terawat. Tidak seperti dulu.” Nesa bicara blak-blakan. Ingin ia berbasa basi, tapi Nesa tahu, Andin bukan orang yang suka bicara berbelit-belit dan tidak sabaran.
Ruangan terasa kian sesak. Nesa ingin segera pergi dan membereskan beberapa hal.“Katanya kamu semalam ketemu Mas Aril. Kamu gak minta nomor ponselnya?” Andin menyahut seperti menyelidik ke wajah Nesa.“Belum sempat, Ndin. Tau-tahu Mas Aril pergi begitu aja.” Nesa teringat semalam, Aril tidur di sofanya dan pagi-pagi sudah tak ada.“Mas Aril dari dulu memang begitu. Pergi dan datang sesuka hatinya. Di rumah ini juga sama saja.” Andin tampak sedikt kesal.“Aku minta nomor ponsel Mas Aril. Ada yang harus aku bicarakan dengan dia.” Nesa kembali mengingatkan Andin.“Ntar, Nes. Aku cariin dulu.” Andin mencari nomor Aril di daftar kontak ponselnya.Nesa menunggu.Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari ke arah Andin.
Semakin lama mendengar cerita Andin, kepala Nesa kian berat. Kini saatnya untuk bertindak.“Ndin, aku pamit dulu. Banyak yang harus aku bereskan. Tolong terima ini.” Ia menyerahkan sebuah amplop.“Apa ini, Nes?”“Tadi aku sempat mampir di ATM. Terima ya. Buat keperluan Icha dan kalian.”Andin menatap Nesa nanar dan tergesa membuka amplop. Tiba-tiba, ia memeluk Nesa dengan erat.“Ya Allah, Nes. Ini banyak bangat. Kamu yakin?”Nesa tersenyum. “Iyalah. Terima ya Ndin. Semoga bisa sedikit membantu.”“Terima kasih Nesa. Terima kasih. Kamu ternyata baik banget. Maafin aku dulu ya.”“Sudah ah. Gak usah mengingat masa lalu.”“Kamu gak pamit sama Papa?”“Salam aja Ndin. Kasian Om Beno nanti terganggu. Aku pamit ya.” Nesa bergegas menuju pagar.“Kamu kerja di mana, Nes?” Andin baru
"Yang ingin saya tanyakan tidak ada urusan dengan Anton. Ini urusan pribadi. Antara saya dengan Pak Pram.” Nesa berkata tegas sambil menatap Pram tajam.Laki-laki itu terlihat kaget.“Urusan dengan saya? Saya tidak ada urusan dengan kamu. Jika urusan kantor, silahkan tanya pada Anton. Saya tidak membahas urusan pribadi di kantor.”“Susan bilang Mas Raga kakak saya.” Nesa berkata dengan suara pelan, tapi penuh tekanan. Ia perhatikan ekspresi Pram dengan seksama. Laki-laki itu lagi-lagi terlihat kaget. Namun, dalam waktu singkat ia mampu mengendalikan diri.“Maksud kamu?”“Pak Pram kenal Susan Ibu saya, bukan? Tidak usah pura-pura. Saya sudah tahu. Tapi yang saya tidak mengerti, mengapa Susan mengatakan saya adik Mas Raga?” Tatapan Nesa kian menusuk ke arah Pram.
Raga membawa Nesa ke ruangan kerjanya.“Sayang, kamu kenapa nekat sekali ketemu Papa seperti itu?” Raga mendudukkan Nesa di sofa ruangannya yang nyaman. Ia mengelus pipi Nesa yang masih menyala, ingin menenangkan gadisnya yang tampak marah.“Aku tidak mau terus dalam keadaan ragu, Mas. Apalagi kita sudah terlanjur jauh melangkah. Sementara mereka justru membuat kita semakin bingung.”“Apa kamu tidak khawatir Papaku makin marah dan menghalangi rencana kita?”
Nesa mengerinyitkan kening mendengar kata-kata Kei.“Baik gadis nakal. Jangan kira aku bisa kamu gertak.”Kei tampak senang merasa berhasil membuat Nesa terganggu. Namun, ia terhenyak ketika mendengar kata-kata Nesa selanjutnya.“Oh. Begitu rupanya? Baiklah. Kalau begitu aku tinggal kamu berdua dengan calon suamiku di sini. Aku yakin calon suamiku tidak akan melakukan hal-hal konyol. Aku paham betul, suamiku kadang memang harus berjuang keras untuk mengatasi gadis-gadis yang sekedar ingin mendapat perhatiannya. Pastinya tidak mudah buat dia, apalagi kalau ketemu gadis agresif yang minim rasa malu. So, semoga urusannya cepat beres ya, Kei. Kutinggal dulu.” Nesa beranjak dari duduknya.“Sayang, kamu mau kemana?” Raga ikut kaget mendengar kata-kata dan sikap Nesa. Ia sudah menduga, Nesa bukan orang yang mudah diintimidasi, apalagi oleh Kei.“Aku masih banyak urusan, Mas. Tadi aku dari rumah Mas Aril.
Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.
Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan
Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat
Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora
Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m
“Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da
Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb
Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke
Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat