Share

Bab 10. Kei

Author: Raf
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Raga kembali ke ruangan kerja di lantai delapan. Lantai khusus Board of Directors. Ruangannya bersebelahan dengan Pram, Sang CEO. Bersama mereka ada Farid dan Arham jajaran direksi lainnya.

 

“Bos besar lagi di mana, Mas?” Farid menyambut kehadirannya yang tengah berjalan tergesa-gesa.

 

“Ada di atas. Lagi bertapa,” sahut Raga acuh. “Jangan diganggu dulu.”

 

Farid tersenyum. Namun Raga sedang kehilangan keramahan. Ia tak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak beban pikiran setelah bertemu ayahnya yang mabuk.

 

Ia masih marah karena Pram melarangnya menikahi Nesa. Lebih tak masuk akal, ayahnya bahkan membenci Nesa. Padahal gadisnya hanya korban, sebagaimana dia pun tak bertanggungjawab atas masa lalu kedua orang tua mereka. Tetapi Pram justru membenci Nesa. Ia harus memikirkan cara agar Nesa tidak terluka. Gadis itu sudah cukup menderita, jika ia tahu apa yang baru saja dikatakan Pram, harga diri dan rasa percaya diri Nesa pasti semakin hancur. Ia tak ingin itu terjadi.

 

“Bagaimana pun aku harus menyelesaikan persoalan ini. Terlalu banyak ocehan laki-laki tua itu yang bikin aku pusing.” Ia menyandarkan kepala di kursi kerja yang empuk. Kepalanya sakit.

 

Ia juga teringat kata-kata Pram yang mengaku tidak mencintai ibunya, dan masih menginginkan Susan. Ia marah. Ia kecewa karena ternyata sang ayah tidak peduli pada ibunya. Bagaimana pun sebagai anak ia sangat menyayangi Vita. Ibunya tidak pernah banyak bicara dan selalu patuh pada Pram. Bahkan terkadang ia merasa Pram sangat keterlaluan pada Ibu.

 

“Bagaimana mungkin mereka bisa hidup lebih dari tiga puluh tahun tanpa cinta? Pernikahan macam apa itu? Aku bahkan tidak bisa membayangkan hidup serumah dengan perempuan yang tidak kucintai meski untuk seminggu.” Ia terus memijat kepalanya yang makin berdenyut.

 

Ia sangat menyayangi Vita, sang mama. Namun sepertinya kehidupan kedua orang tuanya pun menyimpan banyak misteri yang membuat ia semakin pusing.

 

Di saat tertekan seperti ini, biasanya ia lampiaskan dengan aktifitas ranjang. Saat sedang stress dan banyak pikiran, ia menghubungi salah satu dari perempuan yang sabar menanti cintanya. Mereka selalu menerima tawaran Raga dengan senang hati, apalagi jika diajak ke apartemennya yang nyaman. Setelah bercint*, ia baru merasa jauh lebih tenang. Namun sejak enam bulan lalu, setelah memutuskan akan menikahi Nesa, ia tak pernah lagi berhubungan dengan siapapun. Dan saat ini, ia benar-benar sangat membutuhkan seseorang untuk meredakan tekanan yang menyesakkan. Namun itu tak mungkin dilakukan dengan Nesa.

 

“Huh…! Nesa… kamu terlalu susah untuk diajak bersenang-senang. Coba kamu seperti mereka, saat ini aku pasti bisa mengendurkan sedikit ketegangan ini.”

 

Sejenak pikirannya melayang ke sana kemari. Tiba-tiba ia teringat Kei, salah satu gadis yang menyukainya setengah mati. Gadis cantik usia dua puluh lima tahun anak salah seorang pengusaha sukses. Ia sangat berani dan agresif saat di ranjang. Dulu ia sering mengajak gadis itu ke apartemennya. Mereka sama-sama menyukai petualangan saat bercinta. Gadis itu seperti tidak pernah capek melayaninya. Kei sangat menyukai Raga. Namun Raga tak suka sikap dominan dan posesifnya. Ia juga sangat pencemburu sehingga Raga tidak nyaman dan tidak ingin menjalin hubungan lebih dekat. Tetapi gadis itu tetap happy setiap kali Raga menghubungi.

 

Ia mengenal Kei lima bulan sebelum bertemu Nesa. Setelah Nesa bersedia menerima cintanya, ia tak pernah lagi mengontaknya. Namun Kei tetap berusaha ingin bersama, meskipun ia selalu mencari alasan untuk tidak menemuinya.

 

Kini ia sangat ingin bertemu Kei. Nekat, ia coba menghubungi nomor telpon gadis itu. Baru di panggilan pertama, Kei sudah menjawab dengan suara riang.

 

“Hai pangeran. Kamu kemana aja? Aku kangen tau!”

 

Harapan Raga melambung tinggi mendengar sambutan hangat Kei.

 

“Hai Kei. Kamu lagi dimana?”

 

“Aku di kantor. Bokap lagi resek nih minta laporan bulanan. Mesti aku pula yang harus nyiapin. Huh.. untung udah kelar. Sekarang aku lagi santai. Kamu apa kabar? Emang gak kangen?” Kei mengoceh membuat Raga kian pusing. Namun ia sabarkan hati karena berharap mereka bisa segera bertemu.

 

“Hmm.. baguslah. Kamu ada waktu?”

 

“Ada dong. Untuk kamu, sesibuk apa pun aku bela-belain kasih waktu.” Ia terdengar sangat senang menerima ajakan Raga. “Yuk ketemuan. Aku juga butuh penyegaran setelah suntuk ngurusin laporan buat bokap. Kamu di mana sekarang? Aku datang ya. Aku kangen sama kamu.” Kei memang sangat bawel, suka mendominasi dan selalu bicara panjang lebar tanpa diminta.

 

“Aku sedang di kantor. Tapi pengen pulang ke apartemen. Kamu mau ke sana?”

 

“Mau banget. Aku kangen berat sama kamu. Ya sudah. Aku siap-siap ya. Dalam setengah jam aku sampai di apartemen kamu.” Kei terdengat sangat gembira.

 

“Oke. See you there.” Raga menutup telpon dengan wajah sumringah.

 

Membayangkan Kei dengan segala kelihaiannya membuat Raga tak sabar bertemu gadis itu.

Saat ini ia tak mau memikirkan Nesa. Ia ingin melepaskan semua beban pikiran yang menghimpit dan sejenak bersenang-senang dengan Kei.

 

Bergegas, ia membereskan beberapa dokumen di atas meja dan beranjak keluar ruangan. Dee, sekretarisnya yang seksi tampak heran.

 

“Pak Raga mau keluar kantor?”

 

“Iya. Tolong re-schedule semua appoinment hari ini.”

 

“Tapi nanti balik kantor kan Pak?” Dee menyelidik, karena di jadwal Raga tidak ada acara keluar kantor hari ini.

 

“Belum tau.” Ia berlalu meninggalkan Dee yang menatap dengan penuh tanda tanya.

 

“Hish.. si ganteng kenapa lagi sih?” Dee bergumam memandangi punggung bossnya yang berjalan menjauh.

 

Dee menyukai Raga. Mereka kadang menghabiskan waktu bersama. Namun ia tahu Raga tak mencintainya. Raga hanya butuh saat ia sedang diperlukan saja. Tapi Dee tetap senang. Terkadang Raga berlaku sangat lembut padanya, namun kadang bersikap tak acuh. Ia juga sangat mengetahui sepak terjang Raga di luar bersama perempuan lain. Tapi itu tak menghalangi kebahagiaannya jika Raga sedang menginginkannya. Ia memuja laki-laki itu.

 

***

Tak berapa lama setelah sampai di apartemen, bel berbunyi. Raga bergegas membuka pintu. Kei sudah berdiri dengan wajah sumringah dan senyum manisnya.

 

“Hai..hai.. jagoan… nice to meet you again.” Ia merangsek masuk. Begitu Raga menutup pintu,

 

Kei langsung memeluk tubuh laki-laki gagah itu dengan erat.

 

“I miss you so so much ….” Tanpa malu ia mencium bibir Raga.

 

Raga yang sudah mengkhayalkan Kei sejak di kantor membalas ciumannya dengan penuh gairah. Dalam sekejap mereka sudah terhanyut dalam ciuman panjang dan panas. Tanpa melepaskan mulut Kei yang terus mendesah, Raga menyeret tubuh gadis itu ke dalam kamar.

 

Tak butuh waktu lama, kedua anak manusia yang sama-sama telah menahan hasrat, bergumul di ranjang yang selalu menjadi saksi tingkah polah Raga bersama para wanita yang ia bawa ke apartemennya. Mereka bagai dua ekor singa yang sedang kelaparan. Raga yang telah enam bulan tidak berhubungan benar-benar kalap mengimbangi aksi-aksi Kei yang agresif dan ahli dalam bercinta. Nyaris satu jam mereka habiskan waktu untuk saling memuaskan hasrat yang terpendam sekian lama, hingga ahirnya teriakan kencang Raga dan erangan panjang Kei menyudahi permainan mereka yang liar.

 

Seketika Raga merasa plong. Ia tergeletak lemas dan dihinggapi rasa kantuk yang teramat sangat. Kei menatap wajah laki-laki yang selalu membuat ia lupa diri saat bersamanya. Ingin ia menjadi milik Raga untuk selamanya, namun laki-laki itu sangat sulit untuk diajak bicara tentang masa depan.

 

“Aku akan bikin kamu jadi milikku. Aku mau kita selalu seperti ini.” Ia menciumi wajah Raga. Ia masih menginginkan Raga. Ia ingin menebus kehilangan waktu selama enam bulan tanpa Raga. Ia ingin mengguncang laki-laki itu lebih dahsyat. Namun ia harus membiarkan Raga istirahat sejenak. Masih ada ronde kedua, ketiga dan keempat.

 

Ia bertekad, kali ini akan membawa laki-laki itu terbang jauh lebih tinggi hingga melupakan apapun persoalan yang sedang ia hadapi.

 

***

Related chapters

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 11. Sang Pelepas Dahaga

    Kei membersihkan diri di toilet, dan mematut wajah cantiknya di kaca. Sebuah senyum puas tersungging di sudut bibirnya. Ia sangat bahagia bisa bersama Raga lagi. Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Raga dan ingin bertemu dengannya, tapi ia selalu punya alasan untuk menolak. Setelah enam bulan ia menahan diri, kini laki-laki itu menginginkannya kembali. Kei yakin Raga tengah memiliki masalah. Namun, itu tak mengganggu kebahagiaan dan hasratnya untu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 12. Cinta Manipulatif

    Raga tertegun menatap layar ponsel. Panggilan Nesa tak juga berhenti. Kei berada di belakangnya, memeluk erat pinggangnya. Ia sangat ingin menerima panggilan Nesa, namun khawatir Kei melakukan tindakan nekat. Gadis itu posesif dan pencemburu, yang membuat Raga akhirnya memilih untuk meninggalkannya. “Angkat aja, sayang. Aku gak apa-apa kok.” “Gak usah nanti aja.” “Dari siapa sih. Kenapa gak diangkat. Pacar kamu ya, sayang?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 13. Surprise

    Begitu Kei keluar, Raga menghela nafas panjang. Godaan Kei dan cinta pada Nesa membuat ia serasa tengah berada di atas perahu yang diombang-ambing badai. Setiap mengingat Nesa, hatinya sakit. Ia mencintai gadis itu, namun rintangan yang mereka hadapi jelas bukan persoalan sepele yang bisa diabaikan begitu saja. Terlihat beberapa missed calls yang dilakukan Nesa, bergegas ia menghubungi kembali. Setelah beberapa kali mencoba, terdengar Nesa menjawab dengan suara parau. “Ya, Mas… kamu dimana?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 14. Gadis Arogan

    Mendengar nama Raga, Nesa langsung tersentak. “Raga? Kamu apanya Raga?” Ia menatap Kei dengan pandangan penuh selidik. “Memangnya ada apa dengan Raga?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 15. Aku Laki-Laki Normal

    "Maafin aku Mas. Aku sedang tidak enak badan. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu.” Nesa menatap Raga dengan muram.“Ada apa cinta? Boleh gak nanti aja kita bicarakan hal-hal yang akan membuat suasana tidak ceria? Aku kangen sama kamu. Aku ingin kita santai dulu. Boleh gak? Kalo kamu ijinin aku pengen nginap di sini. Biar besok ke kantor dari sini.”“Tapi Mas, banyak hal yang harus kita bicarakan. Kalo kamu nginap di sini nanti kita kebablasan.” Nesa berusaha menghindar.“Ayolah, Sayank. Kita ini bukan lagi anak kemarin sore. Lagipula kalo kamu memang gak mau kita melakukan hal-hal yang tidak kamu suka, aku gak akan maksa. Tapi ijinkan aku nginap malam ini. Seperti kata kamu, banyak hal yang harus kita bicarakan. Tapi aku gak mau ngomongin itu sekarang. Nanti malam kita ngobrol banyak tentang persoalan kita. Sekarang kita santai du

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 16. Tamu Tengah Malam

    “Aku mencintai kamu, Nesa. Sangat mencintai kamu. Aku masih menginginkan kamu untuk menjadi istriku. Menjadi ibu bagi anak-anakku. Tapi mengapa keadaan jadi begini rumit? Aku pikir Papaku hanya mengoceh karena mabok. Aku tidak menyangka Ibumu juga mengatakan hal yang sama.” Raga menatap Nesa dengan mata sarat dengan kesedihan. “Aku tidak percaya kita adik kakak. Sedikitpun aku tidak percaya. Tidak mungkin kamu adikku. Rasanya ini terlalu mengada-ada. Kita harus buktikan mereka salah, Nes.” Nesa tampak terkejut. “Maksud Mas, Pak Pram juga bilang kita adik kakak?” Manik mata Nesa membulat dengan mulut nyaris ternganga karena tak menyangka Raga mengatakan hal itu. Raga memandang gadis yang sangat ia cintai itu dengan wajah sendu. Rasanya terlalu berat untuk menceritakan lebih banyak apa yang dikatakan Pram padanya. “Papaku tidak b

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 17. Laki-Laki Dari Masa Lalu

    Seketika Raga merasakan darahnya menggelegak. Meskipun Aril mengaku sepupu Nesa, tapi sikap dan tingkah lakunya sama sekali tidak menunjukkan respek padanya dan Nesa. Entah mengapa, Raga merasa ada yang salah dengan hubungan keduanya. Namun ia masih berusaha berpikir positif. Gadisnya bukan gadis nakal, dan ia bahkan hingga enam bulan belum mapu meluluhkan hati dan membawanya bersenang-senang.“Nesa tak mungkin melakukan hal yang konyol bersama Aril,” Ia menepiskan pikiran buruk yang sesaat berkelabat dalam pikirannya.“Kamu kerja di mana?’ Aril bertanya pada Raga dengan tatapan seperti meremehkan.“Perusahaan tekstil,” Raga menjawab singkat.“Owh. Di perusahaan garmen ya?” Aril menatap Raga sinis. “Banyak perempuan cantik kan itu kerja di perusahan garmen. Gadis-gadis kampung,” ucapnya dengan nada pen

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 18. Masa Kegelapan

    “Kamu tidak punya pilihan!”Suara itu seketika menggema dalam benak Nesa. Seringai Aril saat mendapatinya tengah berada dalam pelukan Om Beno, Papa Aril.Kala itu ia baru kelas dua SMA. Tante Ria dan Andin sedang pulang kampung. Ayah Tante Ria sedang sakit. Keluarga meminta Tante Ria pulang mengurus sang ayah. Namun Om Beno dan Aril tidak ikut pulang. Ia hanya berdua di rumah dengan Om Beno. Aril yang berusia tiga tahun di atas Andin tengah kuliah. Ia memilih kost di dekat kampus, sehingga jarang pulang.Namun hari itu, tiba-tiba saja Aril telah berada di rumah tanpa sepengetahuan Om Beno dan Nesa. Dan Aril mendapati sang ayah tengah tidur memeluk Nesa di kamarnya.Aril melotot dengan mulut ternganga. Nesa gemetar ketakutan, dan Om Beno buru-buru membereskan pakaiannya yang sudah tidak karuan.“Kalian manusia biadab,” Aril men

Latest chapter

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 65. Kau Begitu Dekat (Tamat)

    Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 64. Hati Seindah Mutiara

    Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 63. Fakta Akhirnya Terungkap

    Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 62. Sujud Perdana

    Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 61. Raga Hilang?

    Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 60. Wajah Asli Kei

    “Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 59. Hasil Tes DNA

    Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 58. Fakta Menyedihkan

    Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 57. Berita Duka

    Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat

DMCA.com Protection Status