Beranda / Romansa / Mutiara Lembah Hitam / Bab 9. Primadona Dari Masa Lalu

Share

Bab 9. Primadona Dari Masa Lalu

Penulis: Raf
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Cinta boleh jadi sumber masalah, tapi jika kebijaksanaan menjadi landasannya, maka cintalah yang akan mendewasakan kita. Namun nyatanya cinta kerap membuat manusia dewasa bertingkah sebaliknya. Cinta menjadikan nalar tumpul dan kebijaksanaan raib entah kemana.

 

Pram kian murka karena Raga berani membantahnya. “Kamu tidak berguna. Semua usaha ini aku rintis dengan pengorbanan. Kini kamu mau belagak hebat di depanku, hah? Memangnya kamu bisa apa?” Matanya memerah menatap Raga. Entah mengapa, Raga merasa tatapan sang ayah seperti menyiratkan kebencian. Namun ia berusaha mengabaikan dan tidak mau terpengaruh oleh kata-kata Pram yang tengah mabuk berat.

 

“Tidak ada hubungan usaha ini dengan perselingkuhan, Papa. Papa sudah menyakiti hati Mama, kini ingin menyakiti aku pula? Melarangku menikah dengan Nesa? Jangan harap aku ikut apa kata Papa yang ngawur itu. Aku bukan anak kecil lagi, yang bisa Papa atur sesuka hati.” Ia berusaha menahan diri untuk tidak meladeni Pram, namun kemarahan karena dihalangi menikahi Nesa membuat ia tak kuasa menahan emosi.

 

“Anak tidak tahu diri. Kamu pikir diri kamu siapa? Berani sekali kamu melawan aku?!”

 

Raga tidak menghiraukan kata-kata Pram. Ia tak mau terpancing emosi menghadapi sang ayah yang seperti tengah tidak sadarkan diri. Namun ia sangat peduli pada Ibunya yang dikhianati sekian lama oleh Pram.

 

“Apa Mama tau kelakuan Papa? Apa Mama tahu Papa ternyata penyuka perempuan penghibur sejak muda?”

 

Pram terkekeh. Suaranya lebih seperti orang yang menyimpan beribu misteri. “

 

“Mama kamu tidak peduli apa yang aku lakukan. Dia bahkan tidak peduli aku cinta dia atau tidak. Dia hanya butuh status. Jadi istri Pram yang hebat.” Pram terus mengoceh yang membuat Raga terperangah dengan pengakuannya. Entah benar atau tidak, namun Raga tetap merasa terganggu dengan ucapan ayahnya tentang Vita, Sang Mama.

 

Dengan pandangan menerawang, Pram melanjutkan. “Vita hanya suka bersenang senang. Dia tidak mencintai aku. Dia punya pacar. Eh, apa kau tak tahu itu?” Pram hendak menenggak lagi minuman yang ada di tangannya, tetapi dengan tangkas direbut oleh Raga.

 

“Sudah cukup minumnya. Papa sudah mabuk berat.”

 

“Jangan halangi aku, anak kecil. Tahu apa kamu tentang cinta?” Ucapannya sangat acak dan kerap tidak nyambung.

 

“Sini minumanku. Jangan berani-berani kamu menghalangi kebahagiaannku!” Ia bermaksud merebut kembali botol dari tangan Raga.

 

“CUKUP MINUMNYA!” Raga membentak lelaki yang tengah terhuyung itu. Meskipun ada perasaan bersalah, namun ucapan dan penampilan Pram yang tidak karuan membuat Raga harus menghentikan keinginannya untuk terus mabuk.

 

“Ini di kantor. Hari kerja. Apa tidak malu berbuat begini hanya karena wanita?” Ia memapah tubuh Pram kembali ke sofa.

 

Sambil mengibaskan tangan Raga yang mencengkeram tangannya, Bas kembali terduduk.

 

“Kalian memang sangat menjengkelkan,” ucapnya pelan. Entah siapa yang ia maksudkan dengan kalian.

 

Raga memandangi tubuh Pram yang kini merosot ke dalam jok sofa empuk itu. Matanya setengah terpejam. Nafasnya pun tampak tersengal-sengal. Tiba-tiba rasa kasihan menyelinap di sudut hatinya melihat betapa laki-laki yang ia cintai itu tampak begitu rapuh karena cinta.

 

“Ah, seandainya cinta yang Papa miliki itu untuk Mama,” batinnya sembari membereskan botol-botol minuman yang berserakan di atas meja.

 

Sebenarnya sudah sangat lama Raga tidak melihat Pram mabuk. Dulu, ketika ia masih kecil, beberapa kali ia sang ayah bermasalah akibat dikuasai alkohol. Tidak sekali dua kali Pram berbuat kasar pada Ibu dan dirinya. Kadang Pram melontarkan kata-kata jahat dan tidak pantas pada pada Ibunya. Di saat mabuk berat, ia bahkan pernah melihat Pram memukuli ibunya.

 

Saat kecil, ia pun pernah kena bogem mentah karena membantu sang mama yang tengah dipukuli Pram. Namun, setelah itu, Kakek berhasil membuat Pram lepas dari alkohol. Sejak itu, ia tak pernah lagi melihat Pram mabuk dan berlaku kasar pada Vita. Mereka menjalani kehidupan dengan tenang, hingga kini ia kembali kambuh. Raga tidak menyangka pertemuan dengan Susan bisa membuat Pram sangat tertekan.

 

“Rupanya ini yang dimaksud Nesa pernikahanku dan dia bakal menghadapi masalah besar. Rupanya kalian memang memiliki masa lalu yang kelam.” Raga bergumam menatap Pram yang tampak kian melorot. Ia pandangi lelaki paruh baya yang tengah terhanyut dalam kenangan cinta masa lalunya itu.

 

Ternyata cinta tak benar-benar bisa terkikis oleh waktu. Ia hanya mampu menghilang sekejap. Jika saatnya tiba, ternyata cinta mampu mencengkeram dengan sangat kuat dan membuat jiwa-jiwa yang pernah memilikinya menjadi tak berdaya.

 

“Jika benar apa yang dikatakan Papa, berarti sudah puluhan tahun mereka tak bertemu.” Ia terus bergumam dengan pikiran campur aduk. “Ternyata cinta Papa pada Ibu Nesa begitu kuat hingga membuat dia kembali ke kebiasaan lamanya.”

 

“Apa perpisahan mereka yang membuat Papa dulu suka mabuk-mabukan?” Kini batin Raga semakin gundah. “Jika benar mereka saling mencintai dan hubungan mereka sebegitu dalam, apa mungkin Nesa benar anak Papa?” Raga merasakan bulu kuduknya meremang membayangkan kemungkinan sangat tidak masuk akal itu.

 

“Tapi tidak mungkin,” kilahnya buru-buru. “Tidak mungkin Nesa anak Papa. Nesa bisa jadi anak siapa saja.” Ia bergumam dengan perasaan hampa. “Calon istriku ternyata entah anak siapa.

 

Tapi aku sudah berjanji akan menikahinya. Dia tidak bersalah. Aku tidak akan mengecewakannya. Dan aku akan buktikan pula jika aku dan Nesa tak ada hubungan darah. Aku sangat yakin tentang hal itu!”

 

Untuk sesaat, ia dihinggapi rasa gamang. Pikirannya bolak balik menyangkal, tapi pada saat yang sama, terselip pula sedikit rasa was-was.

 

Jika Pram dan Susan pernah berhubungan dan Nesa mengaku mereka adik kakak, apa mungkin Nesa berkata yang sebenarnya? Apa Nesa sudah mengetahui semua ini? Tiba-tiba ia merasa begitu tolol karena menganggap enteng ucapan Nesa sebelumnya. Kini ia dihadapkan pada kenyataan yang membuat ia muak dengan kelakuan orang tua mereka.

 

“Bagaimana aku harus menghadapi gadis itu?” Ia duduk lemas memandangi sang ayah yang tampak tertidur kelelahan.

 

“Aku bahkan berkata tetap akan menikahinya jika pun ternyata kami kakak adik. Sial!” Ingin ia menghajar laki-laki di hadapannya, tapi sekuat tenaga menahan diri agar tidak terjadi persoalan yang lebih runyam.

 

Tiba-tiba ia teringat kata-kata pram yang mengatakan ayahnya dipaksa menikahi Vita yang sedang hamil. "Apa aku yang bukan anak dia?" katanya resah.

 

“Ternyata banyak sekali rahasia yang kalian sembunyikan. Bahkan Mama yang aku sangka perempuan terbaik dan sangat lembut, memiliki kekasih dan hamil sebelum nikah?” Ia setengah tak percaya dengan ucapan Pram, tapi kini benaknya dipaksa memutar momen-momen bersamaan ia dan kedua orang tuanya selama ini.

 

“Betapa bodohnya aku,” bisiknya dengan perasaan hampa. “Sekarang aku baru mengerti mengapa selama ini rumah tangga mereka tampak begitu tenang. Seperti tak pernah ada gejolak. Semua itu bukan karena berkelimpahan cinta, tetapi justru karena tidak ada cinta.”

 

Tanpa cinta, apa yang harus diributkan?

 

Dengan menyimpan segudang pertanyaan dengan perasaan kecewa, Bergegas, ia meninggalkan kamar penthouse yang nyaman itu.

 

Kini tersisa kegetiran.

 

“Banyak yang harus aku urus!” Ia melangkah dengan wajah gusar.

 

***

Bab terkait

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 10. Kei

    Raga kembali ke ruangan kerja di lantai delapan. Lantai khusus Board of Directors. Ruangannya bersebelahan dengan Pram, Sang CEO. Bersama mereka ada Farid dan Arham jajaran direksi lainnya. “Bos besar lagi di mana, Mas?” Farid menyambut kehadirannya yang tengah berjalan tergesa-gesa. “Ada di atas. Lagi bertapa,” sahut Raga acuh. “Jangan diganggu dulu.” Farid tersenyum. Namun Raga sedang kehilangan keramahan. Ia tak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak beban pikiran setelah bertemu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 11. Sang Pelepas Dahaga

    Kei membersihkan diri di toilet, dan mematut wajah cantiknya di kaca. Sebuah senyum puas tersungging di sudut bibirnya. Ia sangat bahagia bisa bersama Raga lagi. Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Raga dan ingin bertemu dengannya, tapi ia selalu punya alasan untuk menolak. Setelah enam bulan ia menahan diri, kini laki-laki itu menginginkannya kembali. Kei yakin Raga tengah memiliki masalah. Namun, itu tak mengganggu kebahagiaan dan hasratnya untu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 12. Cinta Manipulatif

    Raga tertegun menatap layar ponsel. Panggilan Nesa tak juga berhenti. Kei berada di belakangnya, memeluk erat pinggangnya. Ia sangat ingin menerima panggilan Nesa, namun khawatir Kei melakukan tindakan nekat. Gadis itu posesif dan pencemburu, yang membuat Raga akhirnya memilih untuk meninggalkannya. “Angkat aja, sayang. Aku gak apa-apa kok.” “Gak usah nanti aja.” “Dari siapa sih. Kenapa gak diangkat. Pacar kamu ya, sayang?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 13. Surprise

    Begitu Kei keluar, Raga menghela nafas panjang. Godaan Kei dan cinta pada Nesa membuat ia serasa tengah berada di atas perahu yang diombang-ambing badai. Setiap mengingat Nesa, hatinya sakit. Ia mencintai gadis itu, namun rintangan yang mereka hadapi jelas bukan persoalan sepele yang bisa diabaikan begitu saja. Terlihat beberapa missed calls yang dilakukan Nesa, bergegas ia menghubungi kembali. Setelah beberapa kali mencoba, terdengar Nesa menjawab dengan suara parau. “Ya, Mas… kamu dimana?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 14. Gadis Arogan

    Mendengar nama Raga, Nesa langsung tersentak. “Raga? Kamu apanya Raga?” Ia menatap Kei dengan pandangan penuh selidik. “Memangnya ada apa dengan Raga?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 15. Aku Laki-Laki Normal

    "Maafin aku Mas. Aku sedang tidak enak badan. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu.” Nesa menatap Raga dengan muram.“Ada apa cinta? Boleh gak nanti aja kita bicarakan hal-hal yang akan membuat suasana tidak ceria? Aku kangen sama kamu. Aku ingin kita santai dulu. Boleh gak? Kalo kamu ijinin aku pengen nginap di sini. Biar besok ke kantor dari sini.”“Tapi Mas, banyak hal yang harus kita bicarakan. Kalo kamu nginap di sini nanti kita kebablasan.” Nesa berusaha menghindar.“Ayolah, Sayank. Kita ini bukan lagi anak kemarin sore. Lagipula kalo kamu memang gak mau kita melakukan hal-hal yang tidak kamu suka, aku gak akan maksa. Tapi ijinkan aku nginap malam ini. Seperti kata kamu, banyak hal yang harus kita bicarakan. Tapi aku gak mau ngomongin itu sekarang. Nanti malam kita ngobrol banyak tentang persoalan kita. Sekarang kita santai du

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 16. Tamu Tengah Malam

    “Aku mencintai kamu, Nesa. Sangat mencintai kamu. Aku masih menginginkan kamu untuk menjadi istriku. Menjadi ibu bagi anak-anakku. Tapi mengapa keadaan jadi begini rumit? Aku pikir Papaku hanya mengoceh karena mabok. Aku tidak menyangka Ibumu juga mengatakan hal yang sama.” Raga menatap Nesa dengan mata sarat dengan kesedihan. “Aku tidak percaya kita adik kakak. Sedikitpun aku tidak percaya. Tidak mungkin kamu adikku. Rasanya ini terlalu mengada-ada. Kita harus buktikan mereka salah, Nes.” Nesa tampak terkejut. “Maksud Mas, Pak Pram juga bilang kita adik kakak?” Manik mata Nesa membulat dengan mulut nyaris ternganga karena tak menyangka Raga mengatakan hal itu. Raga memandang gadis yang sangat ia cintai itu dengan wajah sendu. Rasanya terlalu berat untuk menceritakan lebih banyak apa yang dikatakan Pram padanya. “Papaku tidak b

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 17. Laki-Laki Dari Masa Lalu

    Seketika Raga merasakan darahnya menggelegak. Meskipun Aril mengaku sepupu Nesa, tapi sikap dan tingkah lakunya sama sekali tidak menunjukkan respek padanya dan Nesa. Entah mengapa, Raga merasa ada yang salah dengan hubungan keduanya. Namun ia masih berusaha berpikir positif. Gadisnya bukan gadis nakal, dan ia bahkan hingga enam bulan belum mapu meluluhkan hati dan membawanya bersenang-senang.“Nesa tak mungkin melakukan hal yang konyol bersama Aril,” Ia menepiskan pikiran buruk yang sesaat berkelabat dalam pikirannya.“Kamu kerja di mana?’ Aril bertanya pada Raga dengan tatapan seperti meremehkan.“Perusahaan tekstil,” Raga menjawab singkat.“Owh. Di perusahaan garmen ya?” Aril menatap Raga sinis. “Banyak perempuan cantik kan itu kerja di perusahan garmen. Gadis-gadis kampung,” ucapnya dengan nada pen

Bab terbaru

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 65. Kau Begitu Dekat (Tamat)

    Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 64. Hati Seindah Mutiara

    Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 63. Fakta Akhirnya Terungkap

    Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 62. Sujud Perdana

    Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 61. Raga Hilang?

    Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 60. Wajah Asli Kei

    “Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 59. Hasil Tes DNA

    Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 58. Fakta Menyedihkan

    Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 57. Berita Duka

    Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat

DMCA.com Protection Status