Beranda / Romansa / Mutiara Lembah Hitam / Bab 11. Sang Pelepas Dahaga

Share

Bab 11. Sang Pelepas Dahaga

Penulis: Raf
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kei membersihkan diri di toilet, dan mematut wajah cantiknya di kaca. Sebuah senyum puas tersungging di sudut bibirnya. Ia sangat bahagia bisa bersama Raga lagi. Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Raga dan ingin bertemu dengannya, tapi ia selalu punya alasan untuk menolak. Setelah enam bulan ia menahan diri, kini laki-laki itu menginginkannya kembali. Kei yakin Raga tengah memiliki masalah.

 

Namun, itu tak mengganggu kebahagiaan dan hasratnya untuk melayani Raga. Sebaliknya ia bertekad menjadikan momen ini langkah awal membawa Raga kembali ke dalam pelukannya. Ia akan membuat laki-laki itu tidak akan melupakannya begitu saja. Ia masih memiliki hadiah-hadiah menarik untuk Raga.

 

Meskipun kali ini Raga membutuhkan karena sedang ada persoalan, baginya tak masalah. Bisa kembali menginjakkan kaki di apartemen ini dan merasakan kegarangan Raga di ranjang sudah menjadi kepuasan tersendiri baginya. Raga yang selalu tampak serius dan dingin benar-benar berbeda saat sedang bercinta. Ia memiliki stamina yang membuat Kei mabuk kepayang. Ia sangat ekspresif dan liar, membuat Kei tergila-gila. Gadis itu selalu dan selalu ingin datang ke apartemennya. Namun Raga sangat sulit untuk ditaklukkan.

 

“Sekarang tidak saatnya mempersoalkan hal yang tidak penting.” Ia bergumam sambil menyemprotkan parfum di beberapa bagian tubuhnya.

 

Ia kembali ke ranjang, berbaring di samping Raga, dan menatap wajah tampan itu dengan hasrat yang seakan tak pernah tuntas. Ia tak sabar menunggu Raga terbangun. Ia ingin memberikan surga dunia terindah untuk laki-laki yang membuatnya senantiasa menunggu untuk diundang.

 

Dengan lembut, ia kembali mengecup bibir Raga dan bergerak menjelajahi laki-laki itu.

 

“Hmmm… kamu gak istirahat, Kei” Ia bergumam sambil merengkuh kepala Kei.

 

“Aku masih kepengen, sayang.” Kei berbisik di kuping Raga. “Aku mau lagi. Aku kangen banget sama kamu. Aku mau kamu lagi, sayang.” Ia bergerak dan melakukan aksi-aksi dengan keahlian tingkat tinggi. Kei terus melancarkan serangan hingga membuat Raga terbangun dan dengan kalap kembali mengimbangi aksinya gilanya. Hilang sudah kantuk dan lelah.

 

“Arrghh… gadis kecil. Kamu benar-benar nakal.” Raga mulai bereaksi atas perlakuan Kei.

Ia tak lagi memikirkan apapun. Saat itu hanya Kei yang mengisi seluruh pikirannya. Sensasi gerakan tangan dan mulut Kei membuat ia meracau tak karuan. Gadis itu benar-benar ahli bermain-main dengan miliknya. Kei membuatnya terbang. Totalitas Kei membuatnya mabuk kepayang. Tak tahan, ia menarik gadis itu dan membalikkan tubuhnya dengan kasar. Lalu dengan hentakan-hentakan kuat yang membuat Kei berkali-kali terbang melayang dengan rintihan yang membuat Raga kian menggila. Ruangan seketika menjadi panas. Mereka terus bergerak, mencari cara mencapai puncak nirwana.

 

Setelah beberapa saat kamar kembali sunyi. Keduanya terkapar dengan raut wajah penuh kemenangan.

 

***

Sepuluh menit kemudian Kei terbangun. Ia mengumpulkan pakaian yang berserakan dan mengenakannya. Ia lapar. Energinya terkuras. Perlahan ia beranjak keluar kamar dan menuju dapur. Ia ingin membuatkan Raga makanan.

 

Dengan bersenandung kecil, Kei sibuk menyiapkan makanan di dapur.

 

“Aku benar-benar ingin menjadi milik kamu, Raga.” Ia membatin teringat petualangan mereka barusan.

 

“Meskipun aku sudah banyak mengenal laki-laki, tapi kamu benar-benar istimewa.”

Ia yang terhanyut dalam lamunan, tidak menyadari kehadiran Raga yang menyusul ke dapur.

 

“Bikin apa, Kei?”

 

Ia kaget. “Hei, sayang. Udah bangun? Aku mau bikin omelet. Kamu mau gak?”

 

“Boleh.”

 

Raga yang hanya menggunakan celana pendek, berjalan menuju sofa. Ia merebahkan diri dengan mata mengarah ke dapur, menatap gadis yang tengah bahagia menyiapkan makanan untuknya.

 

“Kamu sangat cantik Kei. Kamu juga sangat ahli di ranjang. Tapi cuma hasrat itu yang aku punya untukmu.” Ia bergumam dalam hati memperhatikan Kei yang hanya memakai kemeja. Tubuh indah gadis itu sangat menggairahkan. Namun tak ada cinta untuknya.

 

Sejenak timbul rasa kasihan. Raga tahu, Kei sangat ingin menjadi kekasihnya. Tetapi Kei tak mampu menyentuh rasa terdalamnya. Baginya gadis itu hanya istimewa saat di ranjang. Sangat berbeda dengan rasa yang ia miliki untuk Nesa.

 

Teringat Nesa, ia dihinggapi rasa bersalah. Namun persoalan pelik yang tengah mereka hadapi tidak memungkinkan ia bertemu Nesa. Ia ingin sejenak menjaga jarak agar mampu berpikir tenang. Tekanan yang sedang menyiksanya butuh pelampiasan. Jika dalam kondisi ini ia bersama Nesa, bisa-bisa gadis itu makin menjauh darinya.

 

Jika boleh memilih, ia ingin Nesa yang saat ini berada di dapur dan menyiapkan makanan untuknya. Namun gadis itu sangat sulit untuk diajak bersenang-senang. Tubuhnya yang selalu menegang tiap kali Raga mencoba memberinya sentuhan gairah, membuat Raga selalu menarik kembali niatnya. Ia harus sabar saat bersama Nesa. Namun ia yakin, suatu hari Nesa pun pasti akan menjadi miliknya. Ia hanya perlu waktu untuk mengurai persoalan satu persatu agar tidak semakin kusut. Saat ini ia butuh keleluasaan untuk berpikir.

 

“Taraaa…. Ini dia omelet hasil karya cheff Kei yang cantik dan seksi.” Tiba-tiba suara Kei mengagetkan lamunannya. “Kamu mau makan di meja sini atau kubawain ke sana, yank.”

 

“Aku ke sana.” Raga beranjak menuju meja makan.

 

“Aku suapin ya.” Kei menatapnya dengan mata berbinar.

 

“Gak usah. Lagian masih panas kan?”

 

“Iya. Mau aku bikinin minuman apa?”

 

“Kopi boleh.”

 

“Siap.” Kei bergegas ke dapur untuk membuatkan Raga segelas kopi kesukaannya. Kei yang sering ke apartemen Raga, sudah hapal tempat ia menyimpan peralatan dan barang-barangnya.

 

Mata Raga mengikuti setiap gerakan gadis yang tengah bahagia itu.

 

Tak lama ia membawakan kopi kesukaan Raga.

 

“Sayang, malam ini aku boleh nginap di sini, ya?” Tiba-tiba ia mengagetkan Raga dengan pertanyaan yang tak pernah terpikir oleh laki-laki itu. Meskipun Kei sering ke apartemennya, tetapi selama ini belum pernah menginap. Ia selalu pulang setelah mereka selesai bersenang-senang. Kini, di saat ia telah memiliki Nesa, Kei justru ingin menginap di tempatnya. Ia tak bisa membayangkan jika Nesa tahu. Sekarang saja ia khawatir jika Nesa mengendus hubungannya dengan Kei.

 

Sejenak Raga terdiam. Tak tahu harus menjawab bagaimana.

 

“Boleh yaaa…. Please….. Aku pengen nginap semalam di sini. Kali ini aja. Ya… Please…. “ Kei menatapnya penuh harap. Raga dilanda rasa bimbang.

 

“Tapi aku sedang banyak kerjaan, Kei.”

 

“Aku gak bakal ganggu kamu kok. Janji.” Kei menunjukkan jari kelingkingnya dengan manja.

“Ayo dong, Raga sayang…. Boleh yaaa…..yaa… nanti aku pijitin kamu deh, kalo udah selesai kerja. Aku jamin kamu gak bakal nyesal deh kalo aku nginap.“ Tawarannya benar-benar membuat Raga maju mundur antara menerima atau menolak. Membayangkan Kei menginap dan melalui malam panjang bersamanya membuat Raga kembali bergairah. Seketika pikiran jernihnya tertutup kabut hasrat mendengar godaan Kei yang sangat menjanjikan. Nesa tiba-tiba hilang dari pikirannya.

 

“Tapi kamu kan gak bawa pakaian, Kei.” Ia berusaha tenang.

 

“Ih, aku gak butuh pakaian kali kalo cuma di dalam rumah.” Ia mengedipkan mata nakal ke arah Raga yang tampak semakin bimbang. “Ya .. ya … ya ….. boleh ya…“ Kei yang melihat perubahan wajah Raga, tidak mau mundur. “Perjuangan segera dimulai.” Ia tersenyum dalam hati dengan penuh kemenangan.

 

Dengan gerakan gemulai ia mendekati Raga dan memeluk leher laki-laki itu sehingga membuat Raga semakin sulit menolak keinginannya.

 

Belum sempat Raga menjawab, tiba-tiba ponsel Raga berdering. Ia kaget dan berusaha melepaskan tangan Kei dari lehernya.

 

“Ntar ya, Kei. Aku terima telpon dulu.” Ia beranjak ke meja yang ada di ruang depan.

 

Ketika melihat nama yang ada di layar ponsel, mendadak ia jadi gugup.

 

NESA

 

Ia hanya berdiri tertegun melihat nama itu terus melakukan panggilan. Kei yang memperhatikan sikap Raga merasa curiga.

 

Tidak biasanya Raga seperti itu. Dia selalu percaya diri. Namun melihat gelagatnya kali ini, Kei makin curiga bahwa Raga memang sedang bermasalah, dan itu pasti ada ada kaitan dengan wanita.

 

Seulas senyum puas tersungging di sudut bibirnya.

 

“Mulai sekarang, aku tak akan membagimu dengan orang lain.” Ia menyusul Raga dan bertanya dengan manja.

 

“Siapa, sayang? Kok gak diangkat telponnya.”

 

***

 

 

Bab terkait

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 12. Cinta Manipulatif

    Raga tertegun menatap layar ponsel. Panggilan Nesa tak juga berhenti. Kei berada di belakangnya, memeluk erat pinggangnya. Ia sangat ingin menerima panggilan Nesa, namun khawatir Kei melakukan tindakan nekat. Gadis itu posesif dan pencemburu, yang membuat Raga akhirnya memilih untuk meninggalkannya. “Angkat aja, sayang. Aku gak apa-apa kok.” “Gak usah nanti aja.” “Dari siapa sih. Kenapa gak diangkat. Pacar kamu ya, sayang?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 13. Surprise

    Begitu Kei keluar, Raga menghela nafas panjang. Godaan Kei dan cinta pada Nesa membuat ia serasa tengah berada di atas perahu yang diombang-ambing badai. Setiap mengingat Nesa, hatinya sakit. Ia mencintai gadis itu, namun rintangan yang mereka hadapi jelas bukan persoalan sepele yang bisa diabaikan begitu saja. Terlihat beberapa missed calls yang dilakukan Nesa, bergegas ia menghubungi kembali. Setelah beberapa kali mencoba, terdengar Nesa menjawab dengan suara parau. “Ya, Mas… kamu dimana?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 14. Gadis Arogan

    Mendengar nama Raga, Nesa langsung tersentak. “Raga? Kamu apanya Raga?” Ia menatap Kei dengan pandangan penuh selidik. “Memangnya ada apa dengan Raga?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 15. Aku Laki-Laki Normal

    "Maafin aku Mas. Aku sedang tidak enak badan. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu.” Nesa menatap Raga dengan muram.“Ada apa cinta? Boleh gak nanti aja kita bicarakan hal-hal yang akan membuat suasana tidak ceria? Aku kangen sama kamu. Aku ingin kita santai dulu. Boleh gak? Kalo kamu ijinin aku pengen nginap di sini. Biar besok ke kantor dari sini.”“Tapi Mas, banyak hal yang harus kita bicarakan. Kalo kamu nginap di sini nanti kita kebablasan.” Nesa berusaha menghindar.“Ayolah, Sayank. Kita ini bukan lagi anak kemarin sore. Lagipula kalo kamu memang gak mau kita melakukan hal-hal yang tidak kamu suka, aku gak akan maksa. Tapi ijinkan aku nginap malam ini. Seperti kata kamu, banyak hal yang harus kita bicarakan. Tapi aku gak mau ngomongin itu sekarang. Nanti malam kita ngobrol banyak tentang persoalan kita. Sekarang kita santai du

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 16. Tamu Tengah Malam

    “Aku mencintai kamu, Nesa. Sangat mencintai kamu. Aku masih menginginkan kamu untuk menjadi istriku. Menjadi ibu bagi anak-anakku. Tapi mengapa keadaan jadi begini rumit? Aku pikir Papaku hanya mengoceh karena mabok. Aku tidak menyangka Ibumu juga mengatakan hal yang sama.” Raga menatap Nesa dengan mata sarat dengan kesedihan. “Aku tidak percaya kita adik kakak. Sedikitpun aku tidak percaya. Tidak mungkin kamu adikku. Rasanya ini terlalu mengada-ada. Kita harus buktikan mereka salah, Nes.” Nesa tampak terkejut. “Maksud Mas, Pak Pram juga bilang kita adik kakak?” Manik mata Nesa membulat dengan mulut nyaris ternganga karena tak menyangka Raga mengatakan hal itu. Raga memandang gadis yang sangat ia cintai itu dengan wajah sendu. Rasanya terlalu berat untuk menceritakan lebih banyak apa yang dikatakan Pram padanya. “Papaku tidak b

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 17. Laki-Laki Dari Masa Lalu

    Seketika Raga merasakan darahnya menggelegak. Meskipun Aril mengaku sepupu Nesa, tapi sikap dan tingkah lakunya sama sekali tidak menunjukkan respek padanya dan Nesa. Entah mengapa, Raga merasa ada yang salah dengan hubungan keduanya. Namun ia masih berusaha berpikir positif. Gadisnya bukan gadis nakal, dan ia bahkan hingga enam bulan belum mapu meluluhkan hati dan membawanya bersenang-senang.“Nesa tak mungkin melakukan hal yang konyol bersama Aril,” Ia menepiskan pikiran buruk yang sesaat berkelabat dalam pikirannya.“Kamu kerja di mana?’ Aril bertanya pada Raga dengan tatapan seperti meremehkan.“Perusahaan tekstil,” Raga menjawab singkat.“Owh. Di perusahaan garmen ya?” Aril menatap Raga sinis. “Banyak perempuan cantik kan itu kerja di perusahan garmen. Gadis-gadis kampung,” ucapnya dengan nada pen

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 18. Masa Kegelapan

    “Kamu tidak punya pilihan!”Suara itu seketika menggema dalam benak Nesa. Seringai Aril saat mendapatinya tengah berada dalam pelukan Om Beno, Papa Aril.Kala itu ia baru kelas dua SMA. Tante Ria dan Andin sedang pulang kampung. Ayah Tante Ria sedang sakit. Keluarga meminta Tante Ria pulang mengurus sang ayah. Namun Om Beno dan Aril tidak ikut pulang. Ia hanya berdua di rumah dengan Om Beno. Aril yang berusia tiga tahun di atas Andin tengah kuliah. Ia memilih kost di dekat kampus, sehingga jarang pulang.Namun hari itu, tiba-tiba saja Aril telah berada di rumah tanpa sepengetahuan Om Beno dan Nesa. Dan Aril mendapati sang ayah tengah tidur memeluk Nesa di kamarnya.Aril melotot dengan mulut ternganga. Nesa gemetar ketakutan, dan Om Beno buru-buru membereskan pakaiannya yang sudah tidak karuan.“Kalian manusia biadab,” Aril men

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 19. Rela Demi Sekolah

    Kehidupan tak pernah ramah pada mereka yang lemah.Nesa merasakan hatinya sakit tiada terperi menerima perlakuan Om Beno. Laki-laki yang dia kira selama ini menyayangi dan menjadi pengganti ayah yang tak pernah ia kenal, ternyata hanya menginginkan tubuh mudanya. Perlakuan dan sikap sayang selama ini hanya topeng yang menutupi niat yang sebenarnya.Ia merasakan kebencian yang teramat sangat pada Susan, yang mengirimnya tinggal dengan keluarga Om Beno.“Orang dewasa hanya manusia egois yang selalu memikirkan kepentingan sendiri.”Ia benci Susan. Ia benci Om Beno, dan ia benci pada diri sendiri yang begitu lemah tak bisa melakukan perlawanan saat diperlakukan semena-mena.Mendadak, bayangan ketika tinggal bersama Susan, menyeruak di dalam benaknya. Seketika air mata membanjiri pipinya. Nesa kecil dulu pun harus berjuang se

Bab terbaru

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 65. Kau Begitu Dekat (Tamat)

    Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 64. Hati Seindah Mutiara

    Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 63. Fakta Akhirnya Terungkap

    Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 62. Sujud Perdana

    Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 61. Raga Hilang?

    Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 60. Wajah Asli Kei

    “Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 59. Hasil Tes DNA

    Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 58. Fakta Menyedihkan

    Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 57. Berita Duka

    Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat

DMCA.com Protection Status