Home / Romansa / Mutiara Lembah Hitam / Bab 7. Cinta Dalam Derita

Share

Bab 7. Cinta Dalam Derita

Author: Raf
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Kalian manusia-manusia tak tahu malu. Bikin rusak hariku saja.” Ia memandang mereka dengan muak. "Jika ingin bikin keributan jangan di sini. Kalian ini tidak ada bedanya dengan preman pasar. Berteriak dan berkata kasar membuat perutku mual."

 

Kini Lee melotot ke arah Nesa. Tampaknya ia benar-benar tak menyangka bakal menerima kejutan menakjubkan. "Kamu cantik juga!" katanya dengan wajah sinis. "Apa kerjaan kamu juga seperti dia? Menghibur laki-laki? Sepertinya kamu cukup menyenangkan untuk diajak bersenang-senang!" Dengan tatapan meremehkan, Lee menguliti Nesa dengan tatapannya.

 

Nesa menatap Lee dengan mata terbelalak. “Kalian….Ayah dan Anak tidak ada beda. Rupanya bicara kasar dan kurang ajar sudah menjadi tradisi kalian. Luar biasa keluarga barumu, Bu!” Nesa berkata dengan suara tercekat.

 

Apa yang ada di hadapannya benar-benar tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sikap Bas dan Lee, sedikit pun tidak menunjukkan penghargaan pada Ibunya. Hatinya perih. Meskipun

Susan sudah sangat banyak meninggalkan luka, namun menyaksikan perempuan yang melahirkannya itu diperlakukan kasar dan semena-mena membuat hatinya tetap pedih.

 

“Aku tidak terima kalian berlaku kurang ajar pada Ibuku. Silahkan kamu hina aku sepuas hati kamu!” Tatapan Nesa membara ke arah Lee. “Asal kamu tahu, aku seorang pengacara, dan tuduhan kamu itu bisa menyeret kamu ke ranah hukum. Cam kan itu!”

 

Untuk sesaat Lee tampak terkejut. “Oya? Anak seorang pelacur bisa juga menjadi pengacara?” Kini tatapannya mengarah kepada Susan.

 

“Lee, stop!” Tiba-tiba suara Bas terdengar menggelegar. “Tak usah ikut campur dalam urusan keluarga Papa!”

 

“What? Keluarga Papa? Jadi aku ini siapa Papa? Bukan keluarga, hah?” Matanya semakin memerah. “Kalian semua sama saja. Bikin hariku rusak!”

 

Nesa terpaku. Wajahnya mengerinyit menahan perasaan yang berkecamuk. "Keluarga luar biasa," batinnya prihatin. “Tak terbayang gimana cara Ibu bisa bertahan di antara orang-orang mengerikan ini.”

 

“Papa silahkan ambil Ibunya, aku mau anaknya!” Tiba-tiba dengan suara setengah berteriak,

Lee mendekat ke arah Nesa.

 

Nesa merasakan amarahnya menggelegak. Dadanya terasa sempit. Sikap Bas dan Lee benar-benar kurang ajar.

 

"Hei! Jaga mulut kamu ya!" Ia balas menatap Lee dengan wajah tak kalah merah. "Apa memang kebiasaan kalian seperti ini? Kurang ajar dan asal bicara? Keluarga macam apa ini?"

Lee menyeringai sinis. “Keluarga apa? Yang jelas keluarga ini dirusak oleh kehadiran seorang perempuan murahan di rumah ini! Gara-gara perempuan itu, Ibuku terpaksa hengkang dari rumah ini. Gara-gara Ibu kamu, rumah ini berubah jadi neraka!" Ia membalas dengan nada penuh cemooh.

 

“Asal kamu tahu, ya Nona Pengacara! Dulu rumah ini nyaman dan tenang. Sejak Ibu kamu yang pelacur itu masuk, kehidupan keluarga gua jadi porak poranda. Sekarang kamu berani menilai keluarga gua dan merasa sok suci?” Tatapannya membuat Nesa berpikir untuk segera membawa Susan dari tempat yang tak ada beda bagai di neraka.

 

"Gua juga muak mendengar mereka selalu bertengkar. Sudah pada tua, tapi tidak tahu malu!" Lee melanjutkan ocehannya dengan nada tinggi. “Setiap hari ribut dan bertengkar!”

 

Ia memang sudah sejak lama ingin menumpahkan kemarahnya pada Bas dan Susan. Apalagi sejak setahun terakhir, tak henti-henti ia mendengar dan menyaksikan Bas dan Susan bertengkar. Hari ini menjadi puncak kekesalannya ketika mendengar orang-orang menyebalkan itu saling berteriak.

 

“Lanjutkan ketololan kalian. Aku mau tidur lagi.” Ia beranjak meninggalkan ruangan. Tak tampak sedikitpun rasa hormat pada Bas dan Susan.

 

"Oya, Nona Pengacara. Sampai bertemu lagi. Kita lihat di mana drama ini akan berakhir." Lalu dengan langkah diseret ia masuk ke dalam.

 

Seketika Nesa merasa ruangan itu berputar. Kepalanya sakit. Hatinya terluka. Ternyata kehidupan Susan jauh lebih buruk daripada yang pernah ia bayangkan. Sebagai anak, ia tetap merasakan kepedihan yang tersirat dari mata Susan yang menatapnya dengan pipi dibanjiri air mata.

 

“Bawa Ibu pergi, Nak.” Susan menangis dengan suara mengiba. Nesa tak kuasa menahan air bah yang sejak tadi ingin tumpah.

 

“Ayo Bu. Kita ke pergi! Di sini bukan rumah. Ini neraka!” Ia berkata dengan suara sangat terluka, sembari berusaha mengangkat tubuh Susan.

 

“Ibu tidak bisa bergerak Nes. Tubuh ibu sakit semua.” Susan memandang Nesa dengan wajah memelas.

 

Bas seperti tersadar. Ia terkejut menyaksikan kondisi Susan. Ia mendekat dan di luar dugaan Susan dan Nesa, tiba-tiba ia menggendong Susan.

 

“Kamu silahkan pulang, Nesa. Aku yang akan mengurus istriku.” Ia berlalu dan membawa Susan masuk ke kamarnya.

 

"Lepaskan aku! Aku mau pergi!" Susan berteriak-teriak di dalam gendongan laki-laki paruh baya itu.

 

Nesa kembali tertegun dengan apa yang baru saja ia saksikan. Ia seperti bermimpi melihat drama kehidupan rumah tangga ibunya yang benar-benar di luar dugaan.

 

“Benar kata orang, ternyata tidak ada rumah tangga yang biasa-biasa saja.” Ia tercenung cukup lama di ruang tamu rumah Bas yang megah. Perasaannya berkecamuk. Ia ingin membawa Susan pergi dari tempat mengerikan itu, namun Bas pun tak mau melepaskan sang istri.

 

“Apa yang akan terjadi dalam hidupmu, Bu?” batinnya nelangsa.

 

Dengan perasaan campur aduk, akhirnya Nesa beranjak meninggalkan rumah itu.

 

“Besok aku harus kembali. Aku harus memastikan Ibu baik-baik saja.” Ia keluar rumah menuju mobil dengan pikiran penuh dengan berbagai rencana.

 

Sementara itu, Bas tiba-tiba dihinggapi rasa bersalah melihat keadaan Susan. Ia menggendong tubuh Susan yang masih saja terasa ringan buat perempuan usia lima puluh tahun. Istrinya itu benar-benar tidak berubah.

 

Ia masih merasakan cinta yang besar untuknya, tetapi di saat yang sama ia begitu membencinya. Tepatnya ia membenci dirinya sendiri, namun semua ia salahkan pada Susan. Ia ingin mencumbu Susan seperti tahun-tahun yang telah mereka lewatkan sekian lama.

Namun penyakit sialan itu membuatnya menjadi laki-laki bodoh, tidak berharga.

 

Ia membaringkan Susan di tempat tidur. Ia mengusap kepalanya dengan lembut. Susan yang masih marah dan tengah kesakitan berusaha menghindar. Ia tidak mau membuka mata. Ia benci pada suaminya.

 

Tiba-tiba Bas menciumi wajahnya. Lalu bibirnya, dan dalam sekejap berpindah ke leher dan dadanya. Susan kaget dan mendorong Bas menjauh. Namun Bas justru seperti menggila.

Susan berusaha meronta. Kemarahan akibat perlakuan Bas di depan Nesa membuat harga dirinya ambruk. Apalagi Lee pun mendengar hinaan Bas yang teramat sangat menyakitkan.

 

"Jangan sentuh aku, baj*ngan," Susan menjerit. Ia tak sudi disentuh Bas setelah semua penghinaan yang meluncur begitu mudah dari mulutnya.

 

Namun Bas bergeming dan kian kalap.

“Aku lebih suka kamu seperti ini. Aku lebih suka kamu tidak berdaya.” Ia mencium Susan dengan penuh gairah.

 

Ia meracau dan merintih dengan suara terdengar sangat menderita.

“Aku menginkan kamu, Susan. Sangat menginginkan kamu. Tapi aku sudah tak bisa membahagiakan kamu seperti dulu. Aku cuma bisa memberikan ini padamu.” Ia terus meracau dan menciumi Susan di berbagai tempat. Bas seperti tak mampu mengendalikan diri. Ia terus bergerak dan merosot hingga membuat Susan perlahan mulai mengerang.

 

***

Related chapters

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 8. Mantan Terindah

    Sejak pertemuan keluarga, Pram uring-uringan. Ia tak menyangka Ibu Nesa adalah perempuan yang sekian puluh tahun silam pernah menjadi kekasihnya. Ia belum pernah mencintai seseorang hingga bertemu Susan. Perempuan itu memiliki kecantikan sempurna, dan seorang primadona di Mike House, rumah hiburan berbayar mahal untuk kalangan terbatas. Ia begitu kaget saat bertemu Susan di private room restoran tempat pertemuan digelar. Tak pernah terbayangkan perempuan itu muncul kembali di hadapannya, apalagi sebagai calon besannya. “Sial. Bagaimana mungkin Susan adalah ibu Nesa?” Ia bergumam sambil menenggak minuman keras yang sudah

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 9. Primadona Dari Masa Lalu

    Cinta boleh jadi sumber masalah, tapi jika kebijaksanaan menjadi landasannya, maka cintalah yang akan mendewasakan kita. Namun nyatanya cinta kerap membuat manusia dewasa bertingkah sebaliknya. Cinta menjadikan nalar tumpul dan kebijaksanaan raib entah kemana. Pram kian murka karena Raga berani membantahnya. “Kamu tidak berguna. Semua usaha ini aku rintis dengan pengorbanan. Kini kamu mau belagak hebat di depanku, hah? Memangnya kamu bisa apa?” Matanya memerah menatap Raga. Entah mengapa, Raga merasa tatapan sang ayah seperti menyiratkan kebencian. Namun ia berusaha mengabaikan dan tidak mau terpengaruh oleh kata-kata Pram yang tengah mabuk berat.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 10. Kei

    Raga kembali ke ruangan kerja di lantai delapan. Lantai khusus Board of Directors. Ruangannya bersebelahan dengan Pram, Sang CEO. Bersama mereka ada Farid dan Arham jajaran direksi lainnya. “Bos besar lagi di mana, Mas?” Farid menyambut kehadirannya yang tengah berjalan tergesa-gesa. “Ada di atas. Lagi bertapa,” sahut Raga acuh. “Jangan diganggu dulu.” Farid tersenyum. Namun Raga sedang kehilangan keramahan. Ia tak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak beban pikiran setelah bertemu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 11. Sang Pelepas Dahaga

    Kei membersihkan diri di toilet, dan mematut wajah cantiknya di kaca. Sebuah senyum puas tersungging di sudut bibirnya. Ia sangat bahagia bisa bersama Raga lagi. Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Raga dan ingin bertemu dengannya, tapi ia selalu punya alasan untuk menolak. Setelah enam bulan ia menahan diri, kini laki-laki itu menginginkannya kembali. Kei yakin Raga tengah memiliki masalah. Namun, itu tak mengganggu kebahagiaan dan hasratnya untu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 12. Cinta Manipulatif

    Raga tertegun menatap layar ponsel. Panggilan Nesa tak juga berhenti. Kei berada di belakangnya, memeluk erat pinggangnya. Ia sangat ingin menerima panggilan Nesa, namun khawatir Kei melakukan tindakan nekat. Gadis itu posesif dan pencemburu, yang membuat Raga akhirnya memilih untuk meninggalkannya. “Angkat aja, sayang. Aku gak apa-apa kok.” “Gak usah nanti aja.” “Dari siapa sih. Kenapa gak diangkat. Pacar kamu ya, sayang?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 13. Surprise

    Begitu Kei keluar, Raga menghela nafas panjang. Godaan Kei dan cinta pada Nesa membuat ia serasa tengah berada di atas perahu yang diombang-ambing badai. Setiap mengingat Nesa, hatinya sakit. Ia mencintai gadis itu, namun rintangan yang mereka hadapi jelas bukan persoalan sepele yang bisa diabaikan begitu saja. Terlihat beberapa missed calls yang dilakukan Nesa, bergegas ia menghubungi kembali. Setelah beberapa kali mencoba, terdengar Nesa menjawab dengan suara parau. “Ya, Mas… kamu dimana?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 14. Gadis Arogan

    Mendengar nama Raga, Nesa langsung tersentak. “Raga? Kamu apanya Raga?” Ia menatap Kei dengan pandangan penuh selidik. “Memangnya ada apa dengan Raga?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 15. Aku Laki-Laki Normal

    "Maafin aku Mas. Aku sedang tidak enak badan. Sebenarnya banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu.” Nesa menatap Raga dengan muram.“Ada apa cinta? Boleh gak nanti aja kita bicarakan hal-hal yang akan membuat suasana tidak ceria? Aku kangen sama kamu. Aku ingin kita santai dulu. Boleh gak? Kalo kamu ijinin aku pengen nginap di sini. Biar besok ke kantor dari sini.”“Tapi Mas, banyak hal yang harus kita bicarakan. Kalo kamu nginap di sini nanti kita kebablasan.” Nesa berusaha menghindar.“Ayolah, Sayank. Kita ini bukan lagi anak kemarin sore. Lagipula kalo kamu memang gak mau kita melakukan hal-hal yang tidak kamu suka, aku gak akan maksa. Tapi ijinkan aku nginap malam ini. Seperti kata kamu, banyak hal yang harus kita bicarakan. Tapi aku gak mau ngomongin itu sekarang. Nanti malam kita ngobrol banyak tentang persoalan kita. Sekarang kita santai du

Latest chapter

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 65. Kau Begitu Dekat (Tamat)

    Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 64. Hati Seindah Mutiara

    Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 63. Fakta Akhirnya Terungkap

    Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 62. Sujud Perdana

    Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 61. Raga Hilang?

    Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 60. Wajah Asli Kei

    “Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 59. Hasil Tes DNA

    Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 58. Fakta Menyedihkan

    Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 57. Berita Duka

    Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat

DMCA.com Protection Status