Beranda / Romansa / Mutiara Lembah Hitam / Bab 5. Suami Posesif

Share

Bab 5. Suami Posesif

Penulis: Raf
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Susan pulang ke rumah dengan hati resah. Perlawanan Nesa tadi membuat ia marah. Tak biasa gadis itu melawannya. Ia selalu memilih diam jika ada yang tidak disukai. Namun kali ini Susan melihat mata anak gadisnya begitu gelap ketika ia melarang menikah dengan Raga.

 

“Aku juga ingin kamu bahagia. Kamu sudah terlalu banyak menderita.” Ia bergumam sambil membuka pintu rumahnya yang megah.

 

Selama ini hubungannya memang tidak dekat dengan putri semata wayangnya. Sejak bayi Nesa dirawat oleh ibu kandungnya di kampung. Ketika sang ibu wafat, Nesa terpaksa ia bawa tinggal bersamanya. Kala itu usianya tujuh tahun. Namun saat usia delapan, Nesa ia serahkan pada Beno, sepupu jauhnya untuk diangkat anak. Ia tak mungkin merawat dan membesarkan Nesa karena hidupnya sendiri sangat kacau.

 

Baru ia menutup pintu, Baskoro, suaminya menyambut dengan muka masam.

 

“Kamu dari mana?”

 

Susan menghela nafas. Ia tak menyangka Bas ada di ruang tamu menunggunya.

 

“Dari apartemen Nesa.”

 

“Ada apa? Kamu tidak pamit!”

 

“Iya, papa sedang tidur. Aku tidak mau mengganggu.”

 

“Aku tidak suka kamu pergi diam-diam. Harusnya tunggu aku bangun. Kamu tidak boleh lancang!” Suara keras laki-laki itu membuat Susan tersentak.

 

“Aku cuma ke rumah Nesa.”

 

“Ke rumah Nesa atau kemana pun harusnya kamu minta ijin.”

 

Ia merasa sesak dengan perlakuan Bas akhir-akhir ini.

“Kenapa sih papa semarah ini hanya karena aku keluar rumah? Aku cuma ke apartemen Nesa.

Aku gak kemana-mana. Ada urusan yang harus kuurus dengan dia terkait rencana pernikahannya dengan Raga.” Susan berusaha menjelaskan dengan wajah muram.

 

“Gak usah ikut campur urusan mereka. Mereka bisa membereskan sendiri. Nesa dan Raga bukan anak kecil. Mereka orang-orang sukses. Untuk apa kamu ikut campur urusan mereka?”

 

“Nesa anakku satu-satunya. Tentu saja aku harus ikut campur ketika dia akan menikah.”

 

“Memangnya selama ini kamu ikut mengurus dia? Kamu kan jadi ibu hanya karena dia sudah sukses.” Tanpa perasaan Bas menuduh Susan dengan enteng.

 

Susan marah, namun ia berusaha menahan diri.

 

“Bukan mau ikut campur. Ada yang harus aku luruskan dengan Nesa. Lagipula apa Papa perlu mengungkit masa laluku dengan dia?” Ia berusaha tidak terpengaruh kata-kata menyakitkan dari laki-laki yang telah lima tahun menikahinya.

 

Ia tak mungkin menceritakan persoalan yang dihadapinya.

 

“Apa yang mau kamu luruskan dengan Nesa? Kamu mengenal ayah Raga?”

 

Susan terkejut. “Tidak.” Ia mengelak.

 

“Kamu bohong. Aku tahu kamu mengenalnya. Kamu pucat dan tangan kamu dingin di pertemuan itu.” Ia menyelidik menatap mata Susan langsung di bola matanya.

 

“Aku tidak kenal. Baru di sana aku kenal mereka.”

 

Tiga hari lalu ia sangat senang karena Bas mau menemaninya menerima undangan keluarga Raga untuk membicarakan kelanjutan hubungan dengan Nesa. Meskipun semula ia menolak, akhirnya Bas memutuskan ikut. Namun setelah pertemuan itu, ia makin obsesif.

 

“Mestinya aku tidak mengajak kamu ke acara itu.” Ia bergumam lirih.

 

Bas, pria berusia enam puluh tahun itu, menatap Susan penuh selidik.

 

“Kamu bilang apa? Mestinya tidak mengajak aku?” Ia semakin marah mendengar gumaman Susan.

 

Bas masih ingat ekspresi Susan dan ayah Raga saat mereka bertemu. Susan tampak shock dan terkejut. Begitu pula Pram. Ia merasakan tangan perempuan itu sangat dingin dan keringat keluar dari pelipisnya. Padahal mereka berada di ruangan privat restoran yang nyaman.

 

Ia merasa ada yang disembunyikan Susan. Berkali-kali Bas bertanya apa Susan mengenal Pram, namun sang istri selalu menjawab tidak kenal. Namun hati kecilnya mengatakan ada sesuatu di antara mereka.

 

Sejak tiga hari lalu, ia mengikuti gerak gerik susan. Tiba-tiba saat bangun tidur perempuan itu tidak di rumah. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Bas murka. Ia diliputi kecemburuan dan rasa marah yang luar biasa.

 

“Kalau mau balik ke dunia kamu yang dulu silahkan. Kamu boleh keluar dari rumahku!”

 

Susan terpaku. “Kamu selalu mengungkit masa laluku. Dulu kamu bilang kamu tidak peduli.”

Ia menatap laki-laki itu dengan pandangan dingin. Setahun belakangan Bas semakin kejam padanya. Entah apa yang membuat laki-laki itu hingga tak lagi memiliki perasaan padanya. Padahal mereka pernah menjalani kehidupan yang sangat menyenangkan.

 

“Kamu dari dunia hitam dan akan kembali ke sana.”

 

“Cukup, Baskoro. Aku muak dengan penghinaan kamu yang tidak habis-habisnya. Jika kamu memang ingin kita bercerai, kamu tinggal bilang. Aku pergi dari rumah kamu!” Susan benar-benar marah. Hatinya sedang kalut memikirkan Nesa, kini sang suami ikut membuat ia tertekan.

 

Bas tersentak Kaget. Biasanya Susan tak pernah menyebut nama lengkapnya meskipun sedang marah. Kali ini ia begitu ringan menyebut dan menantangnya untuk diceraikan. Ia semakin marah. Ia makin curiga Susan sedang menyimpan sesuatu darinya.

 

“Hei. Kamu. Istri durhaka. Berani sekali kamu melawanku dan menantangku untuk menceraikan kamu. Jangan main-main kamu dengan kata cerai.” Matanya melotot, mukanya merah.

 

“Aku bukan menantang kamu. Tapi cukup penghinaan kamu selama ini. Masa laluku memang tidak bersih. Aku memang pernah berada di dunia yang kotor. Tapi bukan berarti kamu boleh menghinaku sesuka hatimu.”

 

Susan kadung terluka dengan kata-kata Bas yang menyakitkan. Ia tak lagi peduli. Masa lalunya telah membuat anaknya terancam batal menikah dengan laki-laki yang ia cintai, kini suaminya menghina dan mengungkit-ungkit dosa yang sangat ingin ia lupakan.

 

Tak pernah ia diperlakukan kasar dan hina seperti ini. Meskipun pernah hidup di lembah hitam dan menjijikkan, tapi mereka memperlakukannya dengan baik dan bahkan ia merasa disayang. Tetapi kini, laki-laki yang ia harap dapat menuntun hidupnya pada kebaikan, justru membuatnya patah arang .

 

“Kamu memang kotor, kamu memang menjijikkan.” Bas merasa sangat benci pada perempuan yang selama ini ia cintai.

 

Susan tidak banyak berubah. Ia masih sangat cantik dan mempesona di usianya yang lima puluh tahun. Sedangkan Bas tidak bisa lagi memberi kepuasan padanya. Sudah setahun Bas menderita penyakit diabetes yang membuatnya tak lagi bisa memenuhi nafkah batin sang istri.

 

Ia frustasi. Ia selalu curiga dan cemburu setiap kali Susan jauh darinya. Ia takut Susan mencari pelampiasan di luar sana. Ia tahu Susan sangat menyukai aktifitas ranjang. Empat tahun menikah, mereka sangat bahagia dan menikmati hubungan yang sangat istimewa. Kini semua tinggal kenangan bagi Bas. Ia marah. Ia benci pada perempuan yang membuatnya merasa tak berdaya.

 

“Kamu mantan pelacur, pasti akan kembali ke sana.” Ia tak tahan untuk tidak mengucapkan kata-kata itu.

 

Susan sangat terpukul mendengar kata-kata Bas. Apalagi Lee, putra sulung Bas tengah menyaksikan mereka dengan senyum puas tersungging di sudut bibirnya.

 

“Ow.. ternyata mantan pelacur.” Ia menyeringai, lalu dengan santai beranjak meninggalkan mereka tanpa perasaan.

 

Susan murka, diperlakukan sangat hina oleh suami dan anak sambungnya. Ia tahu kedua anak Bas tidak menyetujui pernikahan mereka. Kini ia benar-benar merasa dilecehkan.

 

“Kamu… kamu … laki-laki sialan!” Susan meninggalkan Bas dan berlari masuk ke kamar.

 

***

 

 

Bab terkait

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 6. Drama Memuakkan

    Susan tak keluar kamar hingga pagi. Bas berkali-kali mengetuk pintu ingin masuk, tapi Susan tidak peduli. Ia tak ingin melihat wajah laki-laki monster yang telah membuatnya jatuh miskin. Ia benci dan ingin pergi. Tak mampu menahan sedih, ia menenggak dua butir pil tidur dan terlelap hingga pagi. Susan tersentak kaget ketika Bik Min menggedor pintu kamar. “Bu, ada Neng Nesa. Katanya mau ketemu Ibu.” Bik Min memanggil berkali-kali.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 7. Cinta Dalam Derita

    “Kalian manusia-manusia tak tahu malu. Bikin rusak hariku saja.” Ia memandang mereka dengan muak. "Jika ingin bikin keributan jangan di sini. Kalian ini tidak ada bedanya dengan preman pasar. Berteriak dan berkata kasar membuat perutku mual." Kini Lee melotot ke arah Nesa. Tampaknya ia benar-benar tak menyangka bakal menerima kejutan menakjubkan. "Kamu cantik juga!" katanya dengan wajah sinis. "Apa kerjaan kamu juga seperti dia? Menghibur laki-laki? Sepertinya kamu cukup menyenangkan untuk diajak bersenang-senang!" Dengan tatapan meremehkan, Lee menguliti Nesa dengan tatapannya. Nesa menatap Lee dengan mata terbelalak.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 8. Mantan Terindah

    Sejak pertemuan keluarga, Pram uring-uringan. Ia tak menyangka Ibu Nesa adalah perempuan yang sekian puluh tahun silam pernah menjadi kekasihnya. Ia belum pernah mencintai seseorang hingga bertemu Susan. Perempuan itu memiliki kecantikan sempurna, dan seorang primadona di Mike House, rumah hiburan berbayar mahal untuk kalangan terbatas. Ia begitu kaget saat bertemu Susan di private room restoran tempat pertemuan digelar. Tak pernah terbayangkan perempuan itu muncul kembali di hadapannya, apalagi sebagai calon besannya. “Sial. Bagaimana mungkin Susan adalah ibu Nesa?” Ia bergumam sambil menenggak minuman keras yang sudah

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 9. Primadona Dari Masa Lalu

    Cinta boleh jadi sumber masalah, tapi jika kebijaksanaan menjadi landasannya, maka cintalah yang akan mendewasakan kita. Namun nyatanya cinta kerap membuat manusia dewasa bertingkah sebaliknya. Cinta menjadikan nalar tumpul dan kebijaksanaan raib entah kemana. Pram kian murka karena Raga berani membantahnya. “Kamu tidak berguna. Semua usaha ini aku rintis dengan pengorbanan. Kini kamu mau belagak hebat di depanku, hah? Memangnya kamu bisa apa?” Matanya memerah menatap Raga. Entah mengapa, Raga merasa tatapan sang ayah seperti menyiratkan kebencian. Namun ia berusaha mengabaikan dan tidak mau terpengaruh oleh kata-kata Pram yang tengah mabuk berat.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 10. Kei

    Raga kembali ke ruangan kerja di lantai delapan. Lantai khusus Board of Directors. Ruangannya bersebelahan dengan Pram, Sang CEO. Bersama mereka ada Farid dan Arham jajaran direksi lainnya. “Bos besar lagi di mana, Mas?” Farid menyambut kehadirannya yang tengah berjalan tergesa-gesa. “Ada di atas. Lagi bertapa,” sahut Raga acuh. “Jangan diganggu dulu.” Farid tersenyum. Namun Raga sedang kehilangan keramahan. Ia tak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak beban pikiran setelah bertemu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 11. Sang Pelepas Dahaga

    Kei membersihkan diri di toilet, dan mematut wajah cantiknya di kaca. Sebuah senyum puas tersungging di sudut bibirnya. Ia sangat bahagia bisa bersama Raga lagi. Entah sudah berapa kali ia mencoba menghubungi Raga dan ingin bertemu dengannya, tapi ia selalu punya alasan untuk menolak. Setelah enam bulan ia menahan diri, kini laki-laki itu menginginkannya kembali. Kei yakin Raga tengah memiliki masalah. Namun, itu tak mengganggu kebahagiaan dan hasratnya untu

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 12. Cinta Manipulatif

    Raga tertegun menatap layar ponsel. Panggilan Nesa tak juga berhenti. Kei berada di belakangnya, memeluk erat pinggangnya. Ia sangat ingin menerima panggilan Nesa, namun khawatir Kei melakukan tindakan nekat. Gadis itu posesif dan pencemburu, yang membuat Raga akhirnya memilih untuk meninggalkannya. “Angkat aja, sayang. Aku gak apa-apa kok.” “Gak usah nanti aja.” “Dari siapa sih. Kenapa gak diangkat. Pacar kamu ya, sayang?”

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 13. Surprise

    Begitu Kei keluar, Raga menghela nafas panjang. Godaan Kei dan cinta pada Nesa membuat ia serasa tengah berada di atas perahu yang diombang-ambing badai. Setiap mengingat Nesa, hatinya sakit. Ia mencintai gadis itu, namun rintangan yang mereka hadapi jelas bukan persoalan sepele yang bisa diabaikan begitu saja. Terlihat beberapa missed calls yang dilakukan Nesa, bergegas ia menghubungi kembali. Setelah beberapa kali mencoba, terdengar Nesa menjawab dengan suara parau. “Ya, Mas… kamu dimana?”

Bab terbaru

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 65. Kau Begitu Dekat (Tamat)

    Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 64. Hati Seindah Mutiara

    Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 63. Fakta Akhirnya Terungkap

    Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 62. Sujud Perdana

    Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 61. Raga Hilang?

    Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 60. Wajah Asli Kei

    “Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 59. Hasil Tes DNA

    Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 58. Fakta Menyedihkan

    Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 57. Berita Duka

    Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat

DMCA.com Protection Status