Beranda / Romansa / Mutiara Lembah Hitam / Bab 2. Kita Tak Mungkin Menikah

Share

Bab 2. Kita Tak Mungkin Menikah

Penulis: Raf
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Ibu sungguh pandai mempermainkan hidupku. Tak cukup menghadiahiku dengan masa lalu yang kelam, perempuan itu masih juga mengobrak-abrik masa depan yang tengah aku rancang. Drama apa yang tengah kau mainkan, Bu!” Nesa bergumam sambil memijat kepala yang terasa berputar. Ia mual karena barang-barang di kamar tak henti bergerak. Ruangan kamar terasa terus bergoyang.

 

“Aku tak percaya Raga kakakku! Itu pernyataan paling konyol yang pernah kudengar!”

 

Di tengah rasa pusing yang menyiksa, ia bertekad mencari tahu siapa Raga sebenarnya dan siapa ayah kandungnya. Ia tak akan kalah hanya karena pernyataan Susan.

 

Raga tak mungkin ada hubungan darah dengannya. Raga ditakdirkan menjadi miliknya, kekasihnya, suaminya. Bukan kakaknya.

 

“Kamu salah, Bu. Aku tetap akan menikah dengan Raga. Kamu tidak berhak mengatur hidupku.”

 

Sementara itu, Susan yang biasanya tinggal cukup lama saat mengunjungi Nesa, kini bergegas hendak pulang. Situasi tegang di antara mereka membuat ia ingin cepat-cepat keluar dari tempat itu.

 

“Ibu pulang, Nes. Ingat apa yang Ibu katakan. Kamu tidak boleh menikah dengan Raga.”

 

Nesa tak ingin menahan kepergian Susan. Ia bahkan tak mau membuka pintu kamar untuknya. Marah dan benci memenuhi rongga dadanya. Sudah lama ia ingin memaafkan dan melupakan masa lalu mereka yang kelam. Namun pernyataan Susan kali ini benar-benar membuat luka hatinya kembali berdarah.

 

Nesa menutup kepala dengan bantal dan tidak mengindahkan kepergian perempuan setengah baya itu. “Aku tidak akan memaafkanmu, Bu,” bisiknya sambil menekan bantal lebih dalam.

 

Sesaat kemudian, ponsel Nesa berdering. Ada lima missed call dari Raga. Sejenak ia bimbang. Namun akhirnya ia menerima panggilan itu dengan suara berat.

 

“Sayang, kamu lagi di mana?” Raga terdengar khawatir di ujung sana.

 

“Aku di apartemen, Mas. Sedang kurang enak badan.”

 

“Kamu kenapa? Dari tadi Mas telpon tidak diangkat. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa.” Suara Raga terdengar cemas. “Aku ke sana ya. Kamu mau dibawakan apa?”

 

“Tidak usah, Mas. Aku sedang tidak pengen makan apa-apa.” Nesa menjawab lemas.

 

“Ya sudah. Tunggu aku. Paling dua puluh menit. Baik-baik ya. Love you, Honey.” Ia menutup pembicaraan.

 

Nesa kembali menarik bantal untuk menutupi kepala.

 

“Semua pasti tidak benar. Aku tidak percaya pada Ibu yang hidup tidak karuan sejak dulu. Mana mungkin Raga saudara sedarahku. Jika pun iya, seharusnya dia memberi tahu kebenarannya. Bukannya membuatku menderita tanpa tahu apa-apa. Perempuan itu hanya ingin menghancurkan kebahagiaanku." Nesa tak bisa menyembunyikan kegeraman atas perlakuan Susan padanya.

 

Sejak kecil, Susan selalu semena-mena dan tidak memikirkan perasaannya. Sesaat ia teringat betapa berat hidup yang telah dijalani hingga akhirnya mampu berdiri di atas kaki sendiri. Tak perlu bergantung pada siapa pun lagi. Ia harus membayar biaya sekolah dengan penderitaan yang tak akan pernah perempuan itu bisa bayangkan. Tetapi ia menutupi semua. Ia tak ingin Susan ikut campur di dalam hidupnya setelah ia dicampakkan begitu saja.

 

Semenjak diserahkan pada om Beno di usia delapan tahun, Nesa memendam rasa marah dan benci pada Susan.

 

“Dia membuangku karena ingin bebas.” Pikiran itu selalu menghantui. “Akibat keegoisannya, aku hidup seperti di neraka.”

 

Tiba-tiba air mata tak mampu ia bendung. Ia menangis sesegukan menumpahkan kekecewaan yang membebani. Setelah puas, ia bersiap merapikan diri dan membereskan apartemen yang berantakan.

 

“Aku tak mau tampak kusut di depan Raga. Bagaimanapun aku tak ingin ia merasa tak nyaman saat bersamaku.” Ia mematut diri di depan kaca.

 

Tak berselang lama, terdengar bunyi kode kunci pintu apartemen dibuka. Raga bergegas masuk dengan wajah cemas. Namun seulas senyum mencuat di sudut bibirnya saat melihat sang pujaan hati duduk santai tengah menonton televisi di sofa.

 

“Hai cinta. Kamu kenapa?” Ia menghempaskan tubuh di sebelah Nesa dan mendaratkan sebuah kecupan.

 

“Lagi kurang sehat, Mas. Badanku pegal semua.”

Raga menatap tepat di bola mata Nesa yang tampak tidak ceria seperti biasa.

 

“Ada masalah?”

 

“Gak ada. Kecapean aja kayaknya.”

 

Raga merengkuh Nesa dan memberikan pijatan lembut di bahunya.

 

“Mau aku pijatin? Mungkin kamu masuk angin.”

 

“Gak usah. Nanti juga hilang sendiri.” Seulas senyum tipis ia berikan pada Raga.

 

Merasa ada yang tak beres, Raga menatap gadisnya dalam-dalam. Biasanya Nesa selalu menyambut kedatangannya dengan riang. Lalu berceloteh ini itu tentang banyak hal. Terutama mengenai kasus-kasus ringan yang tengah ia tangani di pengadilan. Kali ini jelas ia tidak bersemangat.

 

“Sayang, kalo kamu ada masalah, ada aku lho. Aku ini orang paling dekat dengan kamu sekarang. Kamu harus cerita jika ada persoalan. Kamu tidak sendiri lagi. Sebentar lagi kita menikah. Jadi gak ada alasan kamu menyembunyikan masalah dariku.”

 

Nesa tercekat. Tubuhnya kian merosot ke dalam sofa.

 

“Hai, gadis kecil. Kok malah makin melorot?” Raga menahan Nesa dan berusaha menegakkan kembali tubuh kekasihnya.

 

Nesa hanya bergumam sekilas. Lalu bersandar pada tubuh Raga yang kekar. Ia selalu merasa nyaman saat bersama Raga. Belum pernah sebelumnya ia merasa begitu tenang dan damai saat bersama seseorang. Laki-laki itu mampu menumbuhkan kembali kepercayaannya. Ia berhasil membuatnya merasakan getar-getar cinta yang ia kira tak akan pernah mampir di dalam hidupnya.

 

Tapi kini di saat ia mulai membutuhkan Raga, Susan memaksa mereka untuk berpisah. Pernyataan itu terlalu tiba-tiba. Ia bimbang. Ia gamang. Ia bingung untuk menentukan sikap.

Sesaat mereka terdiam. Suasana hening itu dihentakkan dengan sebuah pertanyaan tak terduga dari Nesa.

 

“Bagaimana jika kita batalkan saja rencana pernikahannya?”

 

Raga tertegun. Ia menatap Nesa penuh tanda tanya.

 

“Jangan ngomong sembarangan, Sayang. Pernikahan itu bukan urusan main-main. Kita sudah pernah bahas. Lagi pula para orang tua sudah bertemu. Orang tuaku bukan orang yang suka diajak main-main. Kamu tahu itu, kan?” Raga berusaha menahan diri agar tidak terdengar kesal dengan perkataan Nesa yang konyol.

 

“Iya aku tahu. Tapi bagaimana jika kita ternyata tidak boleh menikah?”

 

“Maksud kamu apa sih, Yank? Kamu pikir selama ini hubungan kita cuma main-main? Kamu anggap biasa semua yang sudah kita lakukan? Waktu-waktu yang kita lewati selama ini tidak berarti buat kamu?” Nada suara Raga mulai meninggi.

 

Setelah menghela nafas untuk menenangkan diri, ia melanjutkan. “Bagaimana mungkin kita tidak boleh menikah, padahal kemarin orang tua kita sudah bertemu dan tidak ada persoalan. Papaku juga suka banget sama kamu. Selama ini dia sering membanggakan kamu. Mamaku juga gak pernah ada masalah dengan kamu. Terus kenapa kita tidak boleh menikah? Siapa yang melarang?” Raga terdengar kesal karena merasa Nesa terlalu mengada-ada.

 

“Aku tidak suka kamu becanda soal hubungan kita. Aku serius. Kamu tahu kan, baru kamu yang pernah aku ajak menikah. Aku belum pernah membawa orang tuaku bertemu orang tua gadis manapun di luar sana. Aku serius, dan sangat serius dengan kamu.” Ia menatap Nesa tajam.

 

“Iya. Aku tahu, Mas. Tapi kita bakal menghadapi masalah besar. Aku juga tidak mau kita berpisah. Tapi...”

 

“Masalah besar apa? Kamu bisa cerita. Nanti kita lihat apa memang besar atau hanya kamu yang menganggap persoalan itu besar. Jika menyangkut kita, kamu harusnya memberitahu aku, Sayang.” Raga mengurangi intonasi suaranya yang sempat meninggi.

 

***

Bab terkait

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 3. Tak Lama Lagi

    Nesa terdiam. Ia bingung harus memulai dari mana. Meski tak ingin berpisah dengan Raga, tapi jika apa yang dikatakan Susan benar, ia pun harus pasrah menerima kenyataan. Perasaannya berkecamuk. Pikirannya campur aduk. Beban di dadanya terasa sangat berat. “Kepalaku pusing, Mas.” Tiba-tiba ia memeluk Raga dengan erat. Ia menangis. Semua kepedihan dan kekecewaan tumpah bersama air mata yang melekat di baju Raga. Ia marah teringat perkataan Susan.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 4. Andai Waktu Bisa Diulang

    Nesa merespon sekilas. Ia sedang tak ingin bermesraan dengan Raga. Pikirannya sedang gundah. Ia masih bertanya-tanya, apa mungkin Raga benar kakaknya? “Jika benar aku dan dia sedarah, apa yang harus kulakukan?” Ia memandangi Raga yang saat itu juga tengah menatapnya. Terlalu banyak yang harus ia pikirkan. Semua berkecamuk membuat ia merasa lelah dan tak berdaya. “Aku harus bagaimana, Mas?” Ia bertanya lirih dengan wajah sedih. “Ya ampun, Sayang. Apa yang bagaimana? Aku juga gak ng

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 5. Suami Posesif

    Susan pulang ke rumah dengan hati resah. Perlawanan Nesa tadi membuat ia marah. Tak biasa gadis itu melawannya. Ia selalu memilih diam jika ada yang tidak disukai. Namun kali ini Susan melihat mata anak gadisnya begitu gelap ketika ia melarang menikah dengan Raga. “Aku juga ingin kamu bahagia. Kamu sudah terlalu banyak menderita.” Ia bergumam sambil membuka pintu rumahnya yang megah.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 6. Drama Memuakkan

    Susan tak keluar kamar hingga pagi. Bas berkali-kali mengetuk pintu ingin masuk, tapi Susan tidak peduli. Ia tak ingin melihat wajah laki-laki monster yang telah membuatnya jatuh miskin. Ia benci dan ingin pergi. Tak mampu menahan sedih, ia menenggak dua butir pil tidur dan terlelap hingga pagi. Susan tersentak kaget ketika Bik Min menggedor pintu kamar. “Bu, ada Neng Nesa. Katanya mau ketemu Ibu.” Bik Min memanggil berkali-kali.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 7. Cinta Dalam Derita

    “Kalian manusia-manusia tak tahu malu. Bikin rusak hariku saja.” Ia memandang mereka dengan muak. "Jika ingin bikin keributan jangan di sini. Kalian ini tidak ada bedanya dengan preman pasar. Berteriak dan berkata kasar membuat perutku mual." Kini Lee melotot ke arah Nesa. Tampaknya ia benar-benar tak menyangka bakal menerima kejutan menakjubkan. "Kamu cantik juga!" katanya dengan wajah sinis. "Apa kerjaan kamu juga seperti dia? Menghibur laki-laki? Sepertinya kamu cukup menyenangkan untuk diajak bersenang-senang!" Dengan tatapan meremehkan, Lee menguliti Nesa dengan tatapannya. Nesa menatap Lee dengan mata terbelalak.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 8. Mantan Terindah

    Sejak pertemuan keluarga, Pram uring-uringan. Ia tak menyangka Ibu Nesa adalah perempuan yang sekian puluh tahun silam pernah menjadi kekasihnya. Ia belum pernah mencintai seseorang hingga bertemu Susan. Perempuan itu memiliki kecantikan sempurna, dan seorang primadona di Mike House, rumah hiburan berbayar mahal untuk kalangan terbatas. Ia begitu kaget saat bertemu Susan di private room restoran tempat pertemuan digelar. Tak pernah terbayangkan perempuan itu muncul kembali di hadapannya, apalagi sebagai calon besannya. “Sial. Bagaimana mungkin Susan adalah ibu Nesa?” Ia bergumam sambil menenggak minuman keras yang sudah

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 9. Primadona Dari Masa Lalu

    Cinta boleh jadi sumber masalah, tapi jika kebijaksanaan menjadi landasannya, maka cintalah yang akan mendewasakan kita. Namun nyatanya cinta kerap membuat manusia dewasa bertingkah sebaliknya. Cinta menjadikan nalar tumpul dan kebijaksanaan raib entah kemana. Pram kian murka karena Raga berani membantahnya. “Kamu tidak berguna. Semua usaha ini aku rintis dengan pengorbanan. Kini kamu mau belagak hebat di depanku, hah? Memangnya kamu bisa apa?” Matanya memerah menatap Raga. Entah mengapa, Raga merasa tatapan sang ayah seperti menyiratkan kebencian. Namun ia berusaha mengabaikan dan tidak mau terpengaruh oleh kata-kata Pram yang tengah mabuk berat.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 10. Kei

    Raga kembali ke ruangan kerja di lantai delapan. Lantai khusus Board of Directors. Ruangannya bersebelahan dengan Pram, Sang CEO. Bersama mereka ada Farid dan Arham jajaran direksi lainnya. “Bos besar lagi di mana, Mas?” Farid menyambut kehadirannya yang tengah berjalan tergesa-gesa. “Ada di atas. Lagi bertapa,” sahut Raga acuh. “Jangan diganggu dulu.” Farid tersenyum. Namun Raga sedang kehilangan keramahan. Ia tak bisa berpikir jernih. Terlalu banyak beban pikiran setelah bertemu

Bab terbaru

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 65. Kau Begitu Dekat (Tamat)

    Enam bulan telah berlalu. Namun tak juga ada tanda-tanda Raga akan kembali. Vita berubah menjadi pemurung dan sering duduk diam sendiri di samping jendela di ruang tamunya. Tatapannya kosong menatap gerbang rumah megah yang kini terasa sunyi. Setiap ada yang masuk, matanya berbinar berharap Raga yang datang. Namun tak jua anak kesayangannya yang muncul di depan mata.“Mohon jaga anakku Tuhan.” Kalimat itu tak henti-henti ia ucapkan. Air mata Vita sudah mengering. Namun keyakinan bahwa Raga masih hidup membuat ia tetap memiliki energi untuk bertahan.“Anakku pasti pulang,” lirihnya setiap ingat Raga.Pram pun kini jauh lebih lembut pada Vita. Permintaan Nesa agar Pram mencintai Vita sebagaimana Raga mencintai ibunya, membuat Pram tersentuh. Apalagi melihat betapa sayang Nesa pada istrinya itu.“Papa akan menjaga Mama Vita, Nak,” kata Pram dengan suara bergetar kala suatu hari Vita kembali jatuh sakit dan pingsan.

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 64. Hati Seindah Mutiara

    Waktu terus bergulir. Tak terasa sudah sebulan berlalu. Raga tak juga ditemukan. Nesa dan Vita kini sering bertemu dan saling menguatkan. Vita sangat meyayangi Nesa, calon menantu, gadis kecintaan buah hatinya. Vita mencintai Nesa untuk mengenang cinta Raga pada Nesa.“Mama harap kamu tetap mau bertemu Mama, Sayang,” lirih Vita pada Nesa yang tengah menemani Vita. Sejak Raga menghilang, kesehatan Vita merosot tajam. Saat ini ia bahkan tengah dalam perawatan di sebuah rumah sakit. Nesa mendampingi dengan penuh kasih sayang. Terkadang, bertiga dengan Pram.“Tentu saja, Ma,” sahut Nesa sambil menggenggam tangan Vita. “Aku tidak pernah mencintai orang lain. Mas Raga satu-satunya buatku. Sampai kapan pun aku akan menunggu dia.” Air mata tak terasa merebak di sudut mata Nesa. Entah sudah berapa banyak air mata yang ia kucurkan sejak Raga menghilang. Upaya Pram mengerahkan orang untuk mencari Raga tak membawa hasil, hingga membuat Vita dan

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 63. Fakta Akhirnya Terungkap

    Raga terbaring tak berdaya. Tubuhnya terasa lumpuh. Entah apa yang dilakukan Kei padanya. Ia merasa tenaganya tak tersisa. Bahkan untuk menggerakkan kaki dan tangan saja ia tak lagi punya daya.“Kei,” lirihnya teringat saat terakhir sebelum berada di ruangan asing itu. “Apa yang kamu lakukan padaku?”Tapi semua sudah terlambat. Raga masuk perangkap. Kei bukanlah gadis seperti yang dibayangkannya. Kei seorang Alpha, terlebih lagi ia juga mengidap skizofrenia.Mata Raga nanar menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Ia tak tahu sedang berada di mana.“Ini bukan penthouse dia,” gumumnya gusar. “Apa yang dia mau dariku?” lirihnya mencoba menggerakkan badan.Raga merasa tubuhnya seperti lumpuh. “Ya Tuhan, Kei, apa yang kamu lakukan?” gumamnya panik. Tak pernah ia merasa begini tak berdaya. “Sial! Kei!” teriaknya dengan suara keras. Tapi yang keluar dari mulutnya hanya lenguhan berat

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 62. Sujud Perdana

    Nesa tak bisa tidur. Kabar dari Raga tak kunjung tiba. Matanya sembab. Meski tak pasti tapi Nesa merasa Raga sedang tidak baik-baik saja. Pikirannya benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin melaksanakan salat. Sudah teramat lama ia mengabaikan kewajiban lima waktunya. Kini Nesa merasa sangat membutuhkan pegangan. Setelah sekian lama, akhirnya ia terpekur di sepertiga malam di atas sajadah milik nenek yang sejak kecil selalu dibawa. Tumpahan air mata membanjiri wajahnya. Berbagai kenangan terpampang di hadapannya. Kepedihan demi kepedihan yang menyelimuti semua anggota keluarganya membuat Nesa terisak hingga subuh menjelang. “Ampuni hamba ya Allah,” gumamnya disela isak yang tak tertahankan. Setelah itu, baru ia merasakan dadanya lapang. Doa-doa tak lepas ia panjatkan untuk keselamatan Raga dan ora

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 61. Raga Hilang?

    Hingga malam, Nesa belum juga dapat kabar dari Raga. Berkali-kali ia hubungi ponsel kekasihnya itu tetapi tetap tidak bisa tersambung. Perasaannya mulai was-was. Raga bukan tipikal laki-laki yang suka menghilang tanpa kabar berita.“Kamu di mana, Mas…?” Pertanyaan itu entah sudah berapa puluh kali ia ucapkan sejak siang. Biasanya Raga balik menelponnya setelah selesai meeting. Tapi kali ini Nesa merasa ada yang janggal. “Tidak biasanya kamu mengacuhkan aku, apalagi saat ada berita penting yang harus kita hadapi bersama.” Nesa berjalan mondar mandir di apartemennya.“Apa apa, Nes? Ibu perhatikan sejak tadi kamu terlihat gelisah,” tanya Susan yang baru keluar dari kamar dengan tatapan curiga.“Harusnya tadi siang aku ambil hasil tes DNA. Tapi aku tunggu Mas Raga malah gak ada kabar sampai sekarang,” jawab Nesa was-was.“Oh. Mungkin ada urusan penting yang tidak bisa disela.” Susan berusaha m

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 60. Wajah Asli Kei

    “Hasil tes DNA sudah keluar, Mas.” Nesa memberitahu Raga melalui sambungan telepon. “Aku mau mengambilnya bareng kamu.”Raga terdengar terdiam cukup lama.“Mas Raga…Kamu masih di sana?”“Oh. Iya.. aku masih di sini. Oke, nanti aku hubungi ya, Sayang. Aku lagi meeting.” Raga langsung memutuskan sambungan. Suaranya terdengar tergesa-gesa.Nesa mengerutkan alisnya.“Lagi meeting? Biasanya kalau lagi meeting, dia tidak angkat telepon tapi langsung wa untuk memberi kabar.” Nesa membatin. Namun ia paksakan untuk tetap berpikir wajar. “Mungkin Mas Raga memang sedang berada di tengah meeting yang sangat urgent. Terlalu banyak masalah yang harus kupikirkan hingga membuat otakku panas,” lirihnya dengan sedikit gelisah.Sementara itu, Raga tengah berada di penthouse sebuah hotel megah di ibu kota. Ia terpaksa datang ke tempat yang diberikan Kei. Gadis itu terus merongrong da

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 59. Hasil Tes DNA

    Seminggu telah berlalu. Proses pemakaman Bas dan Lee berjalan dengan tenang tanpa menimbulkan konflik yang berarti dengan Helena. Gadis itu akhirnya patuh pada Susan dan Nesa. Ia tampak tak berdaya setelah mengetahui kenyataan pahit penyebab kematian ayah dan kakaknya yang tragis. Keduanya terkulai layu saat polisi menceritakan apa yang terjadi. Keangkuhan mereka seakan terbang terbawa angin, hilang lenyap entah ke mana.“Aku benar-benar tidak percaya,” isak Helena saat polisi memberi keterangan. Sang ibu pun tampak sangat terpukul. Wajahnya seputih kapas. Tak ada satu patah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Keduanya berpelukan dengan wajah menyiratkaan rasa pedih yang tak terkira.Tak ingin terus terkungkung dalam kenangan menyakitkan akibat tragedi mengerikan itu, akhirnya Helena meminta agar rumah Bas dijual. Susan pun tidak keberatan.“Tidak ada yang yang perlu dikenang dari rumah ini,” lirih Susan dengan mata berkaca-kaca.&nb

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 58. Fakta Menyedihkan

    Hari itu berlalu dengan teramat ruwet. Polisi dan petugas medis bolak balik masuk ke dalam rumah. Untunglah Nesa dan Raga serta Rudi dan Roni tidak pernah beranjak dari lokasi kejadian. Dan keributan semakin menjadi-jadi ketika sesaat kemudian mantan istri Bas dan Helena, anak perempuannya tiba. Keduanya menangis histeris.“Papa…. Abang… “ Helena menjerit begitu memasuki pintu rumah.Beberapa orang berusaha menenangkan gadis remaja usia belasan tahun itu. Wajahnya sembab dan penampilannya acak-acakan. Di sampingnya berdiri mantan istri Bas dengan penampilan yang juga tampak berantakan. Keduanya menangis dan terisak-isak tak henti-hentinya.“Papa.. Abang… Apa yang terjadi pada kalian?” Gadis itu terus meraung.Susan dan Nesa berusaha menenangkan mereka. Tapi di luar dugaan, Helena justru memaki-maki Susan dengan kata-kata kasar.“Pergi dari rumahku, perempuan jahat! Dasar murahan!” jeritnya ke

  • Mutiara Lembah Hitam   Bab 57. Berita Duka

    Setelah mengurus administrasi, Nesa bergegas masuk ke ruang perawatan Susan. Ibunya tampak jauh lebih kuat dan sehat. Dokter mengatakan Susan hanya perlu istirahat dan menenangkan diri agar kondisinya kembali pulih.“Bagaimana Nes? Kamu sudah kontak Bas?” Susan lagi-lagi menanyakan Bas. Sepertinya memang ada kontak batin antara suami isteri yang telah lima tahun hidup bersama, meskipun terkadang ada saja persoalan yang membuat mereka kerap bertengkar.Nesa terlihat bingung memikirkan bagaimana cara menyampaikan berita duka itu pada Susan. Ia menghela napas panjang dan menghembuskan kembali dengan pelan sebelum akhirnya berusaha bicara dengan tenang.“Sudah Bu. Lee juga sudah ditemukan.” Ia berkata pelan.“Oya? Syukurlah. Kita bisa lebih tenang. Ibu takut kalo dia masih berkeliaran.” Susan berkata sambil menghembuskan napas lega.“Dia melawan waktu ditangkap, jadi terpaksa ditembak.”Susan menat

DMCA.com Protection Status